NovelToon NovelToon

Ilmu Warisan Leluhur

Tidak Berbakat

"Hamdan!!!"

"Kan sudah aku cakap berkali-kali. Tendangan Ikan Terbang Menjulang Angkasa itu menggunakan ujung telapak kaki bukan punggung kaki!"

Wajah Kak Seto merah padam karena marah.

Setiap kali melatih silat di SMA Selat Panjang ini membuat darahnya bergerak cepat mencapai kepala.

Para anggota silat yang lain hanya melirik diam-diam ke arah Hamdan. Mereka ingin tertawa tapi takut Kak Seto tambah marah.

Hamdan adalah salah seorang siswa SMA Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti.

Dia duduk kelas dua.

Walau pun bukan termasuk siswa yang berprestasi di sekolahnya, paling tidak Hamdan masuk ke dalam sepuluh besar.

Semester kemaren dia rangking ke-10. Lumayan!

Hamdan sangat suka silat. Saat mengetahui bahwa ada kegiatan ekstrakurikuler berupa silat, Hamdan langsung mendaftar.

Ini adalah tahun kedua dia di sini tapi materi dasar belum juga dia kuasai.

Sedangkan kawan-kawan seangkatannya sudah mempelajari materi yang lebih tinggi.

Mereka sudah mempelajari jurus!

Hamdan bukan lah orang yang bebal, tapi jika berkaitan dengan silat, entah mengapa ot*knya seperti tidak mau bereaksi.

"Hamdan, kamu tak cocok latihan silat. Di sekolah kita kan ada kegiatan ekstra menari. Mengapa kamu tidak mencobanya. Aku rasa, hal itu lebih cocok untuk mu."

Tanto langsung melontarkan kata-kata tajam saat Kak Seto sedang ke WC.

Ucapan Tanto sontak disambut dengan gelak tawa anggota silat yang lain.

Hamdan mengelap keringat di dahi. Dia melirik Tanto tapi tidak berkomentar apa-apa.

"Mengapa? Tak senang? Berani tarung dengan aku? Ayo! Nanti pas sesi tarung, aku akan memilih kamu, Hamdan."

Tarung adalah istilah yang digunakan untuk latihan berlaga satu lawan satu atau satu lawan dua. Fighter.

"Ada apa ribut-ribut ini? Kembali ke barisan!"

Ternyata Kak Seto sudah kembali dari kamar kecil.

"Eh, anu, Kak. Si Hamdan nantang Tanto dalam sesi tarung nanti."

Tri lah yang bicara.

Dia adalah sahabat kental Tanto. Dia adalah tipe anak muda yang licik sedari awalnya.

"Benar begitu, Hamdan?"

Walau pun sering marah-marah, Kak Seto bukan lah orang yang picik.

"Tidak, Kak." Hamdan cepat-cepat menggeleng.

"Kalau takut bilang saja dari tadi, Hamdan. Tak perlu menggertak menantang Tanto untung bertarung."

"Pengecut!!" Tanto tersenyum sinis.

Telinga Hamdan berdenging!

Dia memang tidak berbakat dalam pencak silat tapi dia jelas bukan seorang pengecut.

Matanya berkilat menatap Tanto dan Triatmoko berganti-ganti.

"Kenapa? Kamu marah dibilang pengecut? Kalau memang dasarnya pengecut tetap pengecut.

Hamdan menenangkan dirinya. Dia mengalihkan pandanganya ke arah Kak Seto.

"Aku ingin bertarung dengan dia, Kak."

"Apa kamu yakin?"

Kak Seto memuji mental Hamdan yang tak kenal takut.

Tapi perbedaan dia dan Tanto sangat jauh. Tanto merupakan atlet laga pencak silat. Dia sudah pernah mewakili sekolah dalam O2SN.

"Iya, Kak." Hamdan mengangguk mantap.

"Oke. Semuanya, bentuk lingkaran!"

Tak lama kemudian seluruh anggota silat itu membentuk lingkaran besar dengan Hamdan dan Tanto di tengahnya.

"Pasang body protector!"

Dua orang maju membantu Hamdan dan Tanto untuk mengikat tali body protector di bagian punggung.

Kak Seto masuk ke dalam lingkaran.

Dia bertindak sebagai wasit dalam tarung ini.

"Bersedia!"

Hamdan dan Tanto bersiap-siap.

"Pasang!"

Keduanya mengambil sikap kuda-kuda sedangkan kedua tangan membentuk bunga silat.

"Mulai...!!!"

Saat Kak Seto berteriak mulai, baik Tanto mau pun Hamdan langsung bergerak mendekat dengan tetap membentuk pola langkah silat.

Gerakan Tanto sangat luwes karena dia sudah sangat terbiasa sedangan Hamdan masih kaku.

Tanto tersenyum meremehkan.

Baginya melawan Hamdan ibarat membuang sampah tak berguna di tepi jalan. Tak layak disebutkan.

Saat jarak keduanya sudah dekat.

Tanto melayangkan tendangan yang bernama Ikan Terbang Menjulang Angkasa.

"Buk!!" Tendangan masuk ke dada Hamdan.

Hamdan terjajar tiga langkah ke belakang. Jelas pandangan matanya tidak sanggup mengikuti kecepatan tendangan Tanto.

Hamdan kembali membentuk pola langkah. Dia harus membalas!

Hamdan mencoba menendang punggung Tanto.

Seharusnya dia menggunakan tendangan yang bernama Gurami Menerkam Mangsa menggunakan punggung kaki.

Tapi Hamdan malah menggunakan telapak kaki membentuk gerakan menampar.

Tanto tersenyum licik.

Kaki kirinya maju membentuk kuda-kuda rendah.

Tubuhnya jatuh dengan kedua tangan menumpu di tanah.

Sedangkan kaki kanannya berputar seperti ekor buaya, langsung menyapu satu-satunya kaki Hamdan yang masih bertumpu di tanah.

Tak ayal lagi tubuh Hamdan pun langsung jatuh ke tanah.

"Henti!"

"Jatuhan sah untuk sudut merah."

Kak Seto membentangkan kedua tanganya.

Tangan kiri mengarah ke arah Hamdan dengan posisi rendah sedangkan tangan kanan mengarah Tanto.

"Bersedia!"

"Pasang!"

"Mulai!"

"Henti...!!"

"Jatuhan sah untuk sudut merah."

"Bersedia..."

Siklus itu terus terjadi dalam waktu tiga menit terakhir.

Hamdan tak mampu melawan apa-apa.

Tulang lengannya terasa sakit dan memar saat mencoba menangkis tendangan Tanto.

Bahkan kedua jarinya juga terkilir.

"Cukup!"

"Latihan kita hari ini cukup sampai di sini. Kita akan lanjutkan lagi minggu depan."

"Tanto, skill dan teknik-teknik kamu sudah bagus. Pertahankan itu. Jangan sampai mengendur."

"Hamdan, kamu harus sering-sering latihan. Gerakan kamu masih sangat kaku."

"Tendangan dan pukulan kamu tidak maksimal karena kamu masih banyak berpikir sehingga gerakan kamu belum menjadi reflek."

"Jika terus seperti ini, hingga kapan pun kamu tak pernah bisa menjadi atlit bela diri."

Hamdan hanya mengangguk. Sedangkan para anggota yang lain juga tersenyum merendahkan terhadap sosok samp*h tak berguna itu.

"Sebelum kita tutup latihan ini, apakah ada pertanyaan?"

"Tidak, Kak." Jawab mereka serempak.

"Oke. Kalau begitu dalam hitungan delapan, bentuk barisan seperti semula. Kita akan berdoa dan menutup latihan hari ini."

"Satu...dua...tiga...!"

Hanya sampai hitungan kelima, mereka semua telah membentuk barisan yang sempurna.

Kak Seto berdiri di depan.

"Duduk!"

"Sebelum kita tutup latihan hari ini, mari lah sama-sama kita berdoa menurut keyakinan dan agama masing-masing.

"Berdoa, mulai!!"

Semuanya menundukkan kepala dan berdoa.

"Doa selesai."

...****************...

Hamdan mengolesi luka memar dengan balsem.

Dia tak tahu balsem itu manjur atau tidak.

Yang jelas rasa panas itu bisa mengurangi sedikit rasa nyeri di tubuhnya.

"Kamu kenapa, Hamdan?" Kak Yati, orang yang bertugas mengasuh anak-anak panti tiba-tiba memergoki Hamdan.

Yati adalah orang paling senior di panti ini.

Mereka semuanya ada 11 orang. Ini bukan lah panti asuhan yang resmi.

Panti ini dibuat atas inisiatif Haji Umar yang kasihan melihat anak-anak terlantar.

Semua biaya ini ditanggung oleh Haji Umar semuanya.

Dia tidak ada meminta bantuan dari Pemerintah.

Kecuali beberapa orang dari teman-temannya yang sesekali ingin ikut berbagi.

"Hanya memar sedikit akibat latihan, Kak."

"Ini apa?"

Kak Yati mengambil balsem dari tangan Hamdan.

"Mana bisa balsem digunakan untuk mengobati memar." Ujarnya.

Penghinaan

"Tubuh aku lain dari pada yang lain, Kak. Dengan balsem, rasa sakit di tubuh aku bisa sembuh."

"Huh. Terserah kamu lah kalau begitu."

Yati ngeloyor pergi.

Dia sangat faham sifat Hamdan sedari kecil.

Dia anak yang pendiam. Tak suka cari keributan.

Tapi dia juga keras hati. Akan mempertahankan pendapatnya jika dia merasa hal itu benar.

Sehingga tak jarang dia akan berselisih faham dengan orang lain gara-gara sifatnya itu.

Setelah istirahat yang cukup, Hamdan mulai membersihkan pekarangan rumah. Rumput yang mulai panjang dicabutinya lalu dibakar.

Setelah selesai bersih-bersih, Hamdan segera mandi.

Lepas maghrib, mereka akan belajar mengaji dengan Haji Umar. Ini merupakan kegiatan wajib. Tak ada toleransi bagi mereka yang sengaja tak mau ikut.

Cahaya bulan menerobos melalui celah ventilasi. Cuaca semakin dingin.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.

Hamdan belum bisa tidur. Dia resah dengan keadaan dirinya sendiri.

Hamdan sekamar bertiga dengan anak yatim lainnya. Teman sekamarnya masih kecil. Mereka berdua masih kelas tiga SD.

Hamdan bangkit.

Memar ditubuhnya sudah mulai pulih. Dia sudah tidak merasakan nyeri sedikit pun.

Dia tak habis pikir dengan dirinya. Sudah hampir dua tahun dia belajar silat tapi ilmu pukulan dan tendangan dasar saja masih sering salah seolah-olah tubuhnya tidak menerima ilmu bela diri.

Pada hal, jika menyangkut pelajaran lain, ota*nya tidak ada masalah.

'Apa benar aku tidak punya bakat dalam ilmu silat?' Semangat Hamdan menjadi lemah.

'Tapi bagai mana mungkin? Aku ingin menjadi kuat. Aku ingin ikut bertanding mewakili sekolah bahkan aku ingin bertanding mewakili Kabupaten.'

'Jika terus begini bagai mana aku bisa menjadi kuat?'

Hamdan menjambak rambutnya dengan geram.

Dia berdiri. Lalu mengambil posisi push up.

Hamdan mulai push up hingga kedua tangannya tak mampu lagi menumpu berat tubuhnya.

Nafas Hamdan terengah-engah.

Bukannya berhenti, dia malah melanjutkan dengan gerakan sit up.

Hamdan terus menyiksa dirinya sendiri hingga ke batasnya.

Tubuh Hamdan dibasahi oleh keringat.

Untung saja kedua anak itu tidur dengan nyenyak sehingga tidak ada yang mempertanyakan prilaku Hamdan yang abnormal itu.

...****************...

Masa sekolah adalah masanya anak-anak muda untuk bersuka cita.

Masa sekolah adalah masa pubertas.

"Lihat! Lihat! Itu si Dewi."

"Dia cantik sekali."

"Selain cantik, dia juga kaya. Coba kamu lihat mobilnya. Bukan kah itu mobil keluaran terbaru?"

"Kalau saja aku bisa jadi pacarnya. Aku rela tak makan selama setahun."

"Kalau itu yang terjadi, maka tanggal hari ini di tahun depan akan menjadi peringatan kemat*anmu."

Hamdan baru saja sampai di gerbang sekolah saat terdengar obrolan para siswa sekolah SMA Selat Panjang.

Dia langsung menoleh ke arah Dewi.

Pandangannya sangat rumit.

Setiap kali melihat sosok Dewi, tubuh Hamdan langsung kaku. Nafasnya pun sesak. Dia benar-benar tersihir oleh kecantikan Dewi yang aduhai.

"Duk...!"

Minggir kau bocah!"

Hamdan langsung terjajar ke pintu gerbang karena didorong oleh seseorang.

"Hei! Jangan cari pasal!"

Hamdan meradang.

"Kenapa? Tidak senang?"

"Memang aku tak senang." Hamdan berang.

Pemuda itu bergerak maju.

Tangan kanannya secepat kilat menarik kerah Hamdan.

"Coba kamu ulangi sekali lagi!"

"A-aku ti-dak s-senang."

Hamdan berusaha menarik nafasnya yang terasa sesak akibat kerah bajunya mencekik leher.

"Ooo kamu tak senang ya. Ambil ini!" Pemuda itu mendorong Hamdan hingga memepet ke gerbang.

Hamdan meronta untuk melepaskan diri tapi tak bisa.

Dia mencoba menendang. Karena jaraknya terlalu dekat tentu saja tendangannya tidak akan berhasil.

Namun saat dia mengangkat kakinya, lututnya tanpa sengaja mengenai area terlarang pemuda yang bernama Rangga itu.

Rangga meringis menahan sakit.

Tangannya bergerak cepat.

"Plak!!! Plak!!!"

Tangan kirinya menampar wajah Hamdan, kiri-kanan.

Keributan itu sontak mengundang siswa lain mendekat. Mereka ingin tahu apa yang terjadi.

Ternyata Dewi juga penasaran. Dia dengan perlahan melangkah pergi, melihat situasi.

Wajah Hamdan sudah babak-belur. Dia tidak mampu melawan tapi dia juga tidak akan menyerah.

Pada hal yang dilawannya adalah Rangga. Siswa terganteng kelas tiga dan juga atlet bela diri sejenis karate.

"Siswa bod*h mana yang berani cari gara-gara dengan si Rangga itu?"

"Entah lah. Wajahnya bengkak jadi sulit dikenali."

Hamdan ingin melawan tapi tidak mampu.

Rangga sedikit pun tidak memberikan kesempatan.

"Apa yang terjadi, Rangga?"

Rangga menghentikan tindakannya.

"Eh, Dewi. Mengapa kamu ada di sini?" Rangga tersenyum manis. Tidak nampak lagi ekspresinya yang garang tadi.

"Siswa ini memandang kamu hingga meneteskan air liur. Aku rasa, dia punya pikiran kotor terhadap kamu sehingga aku berinisiatif memberikan sedikit teguran terhadapnya."

"Eh, siapa sangka dia malah melawan. Jadi terpaksa aku harus memberikan pelajarannya sedikit."

"Benar kah?" Mata Dewi membulat.

Dia memandang ke arah Hamdan.

"Siapa kamu?"

Hamdan berdebar melihat Dewi sedekat ini.

Dia melupakan rasa sakitnya saat melihat wajah pujaan hati yang sedang memandang ke arahnya.

"Jawab pertanyaannya, bocah!"

Rangga menendang kaki Hamdan.

"Eh, bukan kah dia si Hamdan. Siswa kelas dua. Dia sekelas sama kita, Dewi."

Seorang siswi menjelaskan kepada dewi. Dia adalah gadis cantik berkulit putih.

Namun dibandingkan dengan sang Dewi, kecantikannya seolah-olah memudar.

"Ooo jadi ternyata ini si Hamdan. Siswa yang tak naik tingkat selama dua dalam kegiatan ekskul silat."

"Jadi ini si bod*h yang tidak punya bakat bela diri itu."

"Siswa seperti dia bermimpi ingin mendapatkan Dewi. Dia terlalu banyak bermimpi."

"Kamu Hamdan?"

Di bawah pesona Dewi, Hamdan hanya bisa mengangguk.

"Mau kah kamu menjadi pacarku?"

Hamdan mengerjap tak percaya. Dia hanya bisa ternganga.

Para siswa yang lain pun sangat terkejut.

"Dewi??"

"Ha ha wajah mu itu membuat aku mau munt*h." Dewi terkekeh. Dia tahu banyak orang yang menyukainya tapi dia tidak menyangka ada orang yang senaif siswa di hadapannya ini.

"Kamu Hamdan kan? Mengingat kita adalah teman sekelas, aku akan memberikan sebuah nasehat kepadamu."

"Sebaiknya kamu cuci muka dan berkaca terlebih dahulu sebelum menyukai seseorang."

"Orang seperti kamu, jangan kan untuk menjadi pacar aku, sedangkan untuk membawa sepatu aku saja tidak layak."

Setelah berkata begitu, Dewi langsung berlalu diikuti oleh siswa yang lain.

Sambil berjalan, mereka memandang Hamdan dengan pandangan cemooh.

"Ha ha....Hamdan...Hamdan..."

"Kasihan sekali kamu ya. Kamu ini ibarat pungguk merindukan bulan. Jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan Dewi."

"Kamu harus melewati aku dulu sebelum berani merayu Dewi."

Hamdan ditinggal sendirian. Baru sekarang dia merasakan sekujur tubuhnya sakit semua.

Hamdan meringis menahan sakit. Dia hanya bisa menggertakkan giginya menahan marah. Bukan marah kepada Dewi, tapi marah kepada Rangga.

Karena hatinya sudah terpaut kepada Dewi, ucapan Dewi yang penuh penghinaan itu dianggapnya hanya angin lalu.

Hamdan benar-benar telah terbius.

Fitri

Pandangan mata Dewi telah meluluhlantakkan hati Hamdan.

Sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.

Ibnu Arabi pernah ditanya, "Siapa pencuri terkejam?"

Dia menjawab, "Yang kejam itu matanya wanita. Jika ia melihatmu dengan tatapan matanya, kau akan kehilangan segalanya dan kau hanya bisa tersenyum."

Kondisi Hamdan persis seperti yang digambarkan oleh Ibnu Arabi.

Karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar-mengajar, Hamdan memutuskan untuk pulang.

Tentu saja dia tidak berani pulang ke Panti.

Dia pasti akan diinterogasi dan diberi ceramah berjam-jam lamanya oleh Kak Yati.

Hamdan tidak siap untuk itu.

Oleh karena itu, dia menyeret langkahnya pergi ke suatu tempat yang tenang dan tidak terlalu banyak orang.

Di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil, di sanalah Hamdan menuju.

Setelah dapat posisi yang nyaman, Hamdan mulai mengeluarkan obat mujarabnya yaitu balsem.

Dia langsung mengoles wajahnya yang bengkak hingga tidak dapat dikenali itu.

"Srek...!!!"

"Srek...!!!"

Hamdan langsung bersikap Waspada.

Pandangannya menatap tajam ke arah sumber suara tadi.

Saat itulah tampak seraut wajah yang tampak ragu berjalan ke arah Hamdan.

"Fitri, kenapa kamu ke sini?"

Fitri adalah teman sekelas Hamdan. Selain cantik, dia adalah sang juara kelas dan juga atlet panahan.

Walau pun tidak setenar Dewi, dia juga mempunyai banyak fans. Bahkan ada beberapa siswa yang kelas satu dan kelas tiga menyatakan perasaan kepadanya.

Namun setakat ini, tidak ada satu pun yang digubrisnya.

Fitri mendekati Hamdan. Dia menyodorkan salep yang berisi Heparin Sodium.

"Pakai salep yang ini saja, Hamdan! Mudah-mudahan bisa mengatasi memar dan juga bengkak."

Hamdan memandang Fitri dengan tatapan rumit.

"Terima kasih banyak, Fit."

Hamdan tahu ini adalah salep yang sangat manjur tapi harganya juga mahal.

Isi 20 gram saja dibanderol dengan harga seratus ribu. Itu adalah jumlah uang yang sangat banyak menurut Hamdan yang tak pernah mempunyai uang jajan sepeser pun setiap kali ke sekolah.

Hamdan mulai mengoleskan salep tersebut di area wajahnya. Sedangkan Fitri hanya melihat dalam diam.

"Kamu mengapa bolos, Fit? Pagi ini kan jam pelajaran penting."

"Aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja. Tapi jika kamu merasa terganggu dengan kehadiran aku, biar aku pergi saja."

Fitri berbalik.

"Tunggu dulu, Fit!"

Hamdan meraih tangan Fitri.

"Duduk dulu! Aku tidak bermaksud berkata begitu. Aku hanya tak ingin kamu bolos karena mengikuti jejak aku."

"Kamu tak perlu risau akan hal itu."

Fitri menarik tangannya.

"Maaf, Fit." Hamdan merasa bersalah.

"Bagai mana pun juga, terima kasih atas pertolongannya. Ini salepnya. Aku sudah selesai."

"Ambil saja, Hamdan."

"Aku sudah selesai, Fit. Aku tak memerlukannya lagi."

"Kalau begitu buang saja jika kamu memang tak ingin menggunakannya."

Fitri berdiri.

"Aku mau masuk kelas. Kamu lebih baik pulang. Istirahat."

Tanpa menunggu tanggapan dari Hamdan, Fitri segera berlalu dari sana.

Tak lama kemudian sosoknya pun hilang ditelan semak yang tumbuh setinggi kepala.

Hamdan hanya bisa mengela nafas seraya menggelengkan kepala.

"Andai saja Dewi sebaik dan seperhatian seumpama Fitri, betapa bahagianya hatiku." Gumam Hamdan.

Dia lalu memasukkan salep pemberian Fitri ke dalam saku.

...****************...

"Makan di kantin yuk, Dewi." Rika kawan sebangku Dewi menggamit tangan Dewi.

"Malas ah." Dewi sedang mengecat kukunya.

"Yuk lah, Dewi. Aku lapar sekali."

Dewi menghentikan gerakannya.

"Kamu pergi saja sendiri. Aku sedang diet."

Mata Rika terbelalak. "Kamu diet, Dewi? Sejak kapan?"

"Sudah seminggu. Kamu tak lihat lemak di perut aku sudah mulai kelihatan? Makanya aku harus menjaga tubuh aku agar tetap proporsional."

"Tubuh kamu ramping seperti ini dikatakan berlemak? Bagai mana mungkin?"

"Yuk lah." Rika menarik tangan tangan Dewi.

Mau tak mau Dewi terpaksa ikut walau pun enggan.

"Dewi! Sini!"

Rangga melambaikan tangannya.

Dewi acuh tak acuh. Dia memilih meja di dekat jendela.

Di mana pun bunga mekar maka disitu lah kumbang akan bergerombol.

Baru saja Dewi dan Rika duduk, mereka langsung dikelilingi oleh beberapa pejantan di sana.

Namun karena mereka tahu bahwa Dewi bagai kan bunga ros yang berduri sehingga mereka hanya berani karena ramai.

Jika sendirian nyali mereka jadi ciut.

"Hush hush! Pergi kalian dari sini!" Rangga datang dan langsung duduk di depan Dewi.

"Mau makan apa, Dewi? Kamu pesan saja. Hari ini aku yang traktir."

"Asyik....! Aku juga mau." Rika bersorak senang.

"Kamu bayar sendiri lah ya! Aku hanya akan mentraktir pacar seorang." Dengus Rangga.

"Siapa juga yang jadi pacar kamu, Rangga?" Dewi mencibir tak senang.

"Jangan bilang kamu lebih suka si culun Hamdan dibandingkan aku, Dewi."

"Aku lebih baik berjalan terbalik dari pada harus berpacaran dengan siswa miskin itu."

"Apa si Hamdan nembak kamu, Dewi? Kapan? Kok aku tidak dapat kabar ya." Rika penasaran.

Rangga pun dengan senang hati menceritakan kepada Rika.

Tentu saja dia akan melebih-lebihkan kontribusinya agar Dewi lebih terkesan.

"Ooo jadi itu sebabnya dia tidak masuk sekolah ya. Aku penasaran bagai mana rupanya setelah kamu beri dia pelajaran, Rangga."

Mereka tertawa terkekeh-kekeh.

Fitri baru saja masuk ke kantin dan melihat mereka tertawa dengan gembira mengejek Hamdan.

Dia datang menghampiri.

"Plak! Plak!"

Telapak tangan putihnya bersarang di kedua pipi Rika.

"Sekarang silahkan kamu bercermin! Seperti itu lah penampakan wajahmu yang jelek itu."

"Apa yang kamu lakukan, Fitri?"

Rangga langsung berdiri.

Rika meringis menahan sakit. Dia memandang Fitri penuh dendam.

"Apa kah kamu membela si bod*h itu, Fitri? Cemooh Dewi.

"Jadi dia adalah tipemu? Aku tidak menyangka kamu punya selera serendah itu."

Fitri tidak menggubrisnya. Dia langsung keluar.

Dia sudah tidak punya selera untuk makan.

...****************...

Dalam pada itu, Hamdan sedang berada di pasar. Dia sedang bekerja paruh waktu mengangkut barang-barang di toko.

Dia tentu saja tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Fitri untuk membelanya.

Hamdan bekerja dengan semangat.

Setiap kali dia merasa lelah, dia akan membayangkan wajah Dewi. Senyumannya dan pandangan matanya sehingga rasa lelah pun lesap tidak berbekas.

Hamdan mengelap keringat yang menetes diwajahnya.

"Kamu orang istirahat dulu. Ini minum kamu punya. Cepat minum selagi dingin."

"Siap, Nya."

Hamdan meraih botol mineral dingin itu. Membuka tutupnya dan langsung meneguk dalam satu kali nafas.

"Kalau minum hati-hati. Nanti kamu orang bisa tersedak. Bisa mamp*s. Baru kamu orang tau rasa."

Hamdan tidak memperdulikannya.

Demi si buah hati, dia harus kuat.

Tak lama lagi adalah acara ulang tahun si Dewi. Dia harus cepat-cepat mengumpulkan uang untuk memberikan kado terbaik untuk si buah hati.

Hamdan tersenyum.

Dia mulai mengangkut barang dengan semangat empat lima.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!