NovelToon NovelToon

KORELASI DUA HATI

1 - Kebiasaan Manis

“Verro, tolong ambilkan berkas ayah di meja kamar.”

Bocah laki-laki yang sedang bermain itu langsung menghentikan aktivitasnya. Ia segera meletakan remot kontrol yang ia pegang ke atas meja dan berlari menuju kamar untuk melaksanakan perintah ayahnya.

Terdapat dua map yang ada di atas meja yang membuat Verro bingung. Haruskah ia membawa keduanya? Atau hanya salah satu? Tetapi jika salah satu, mana yang harus ia bawa? Map biru atau map merah? Mungkin lebih baik jika ia mengecek kedua dokumen itu satu persatu.

Namun baru saja tangannya menyentuh map biru itu tiba-tiba seorang wanita datang dan langsung merebutnya. Verro menatap wanita itu bingung, “Bunda?”

Qyara memberikan senyum teduhnya dan mengangkat map itu, “Ini punya bunda sayang, punya ayah yang map merah.”

Verro hanya ber-o-ria seraya mengangguk mendengarkan penjelasan ibunya dan segera membawa map merah itu kepada ayahnya yang masih berkutat dengan laptopnya di ruang tengah.

Setelah memberikan berkas yang ayahnya inginkan, laki-laki yang masih berusia enam tahun itu segera menuju dapur untuk menemui ibunya yang tengah bertarung dengan alat dapur. Ia duduk di kursi bar dan menopang dagunya dengan kedua tangan seraya memperhatikan wanita yang telah melahirkannya ke dunia dengan senyum manisnya.

Qyara ikut menyunggingkan senyum setelah menyadari kehadiran anak semata wayangnya. Ia pun menghentikan aktivitasnya dan menatap bocah itu dengan teduh, “Apa apa sayang? Verro perlu sesuatu?”

Bocah itu menggeleng, “Nggak, Verro cuma mau ngeliatin bunda aja karena bunda cantik.”

“Ngapain ngeliatin bunda?” tanya Qyara seraya terkekeh kecil. Jagoan kecilnya itu memang sangat ahli untuk membuatnya terbang tinggi. Sangat mirip dengan suaminya yang juga ahli merayunya.

“Bunda kalau ada masalah ngomong sama Verro ya. Jangan dipendam sendiri.”

Qyara menghentikan kekehan nya setelah mendengar ucapan Verro. Ia menghela napasnya dan menatap kedua mata sayu yang memiliki tatapan tajam itu. Tangannya tergerak untuk mengelus puncak rambut anaknya dan menampilkan senyumnya.

Darah Dirga memang mengalir deras dalam tubuh Verro, begitupun dengan kecerdasannya yang membuat anak itu tak gampang dikelabui. Bahkan perubahan sekecil apapun bisa dirasakan oleh anak itu sehingga Qyara tak akan bisa membohongi malaikat kecilnya dengan cara apapun.

“Sayangnya bunda, orang dewasa itu akan selalu punya masalah. Begitupun bunda. Tapi bunda nyimpen masalah bunda sendiri karena bunda masih kuat menahannya. Nanti deh kalau nggak kuat baru bunda cerita ke Verro ya.”

“Janji ya, Verro nggak mau lihat bunda nangis,” ucap Verro mengangkat jari kelingkingnya.

“Janji,” sahut Qyara menautkan kelingkingnya pada milik Verro.

Qyara memang tersenyum namun jauh di dalam hatinya ia sangat merasa bersalah pada Verro karena telah berbohong. Ia tak akan sanggup menceritakan masalah nya pada Verro. Ia tak ingin anaknya ikut menanggung masalah yang tengah ia hadapi meskipun anak itu terlihat sangat dewasa di usianya.

Seorang pria yang tiba-tiba datang pun menginterupsi ibu dan anak itu. Dirga yang baru datang langsung menatap istri dan anaknya bergantian. Ia pun memicingkan matanya,

“Kalian abis ngomongin apa nih kok ayah nggak diajak? Kalian ngomongin ayah ya? Atau kalian lagi merencanakan liburan tanpa ayah ya?” tuduhnya membuat istri dan anaknya terkekeh.

“Ayah mau tau aja atau mau tau banget?” tanya Verro sengaja menggoda ayahnya.

Pria yang kesal itu hanya mengerucutkan mulutnya dan memeluk Qyara dari belakang. Ia menumpu dagunya pada pundak Qyara dengan manja, “Kalian beneran mau liburan tanpa aku ya?”

“Nggak sayang,” jawab Qyara seraya membelai pipi suaminya.

Mulai lagi. Jika sudah bertemu bunda, ayahnya akan selalu seperti ini dan mengabaikannya. Keromantisan pasangan itu membuat Verro berdecak, “Ayah ini kenapa sih dateng-dateng meluk bunda? Ini ada aku jadi dicuekin.”

Kedua pasangan itu saling pandang setelah mendengar protesan putra mereka. Tiba-tiba tawa menggema di ruangan itu.

Dirga segera melepaskan pelukannya. Namun ia mengecup pipi istrinya sebelum berjalan mendatangi putranya dan menggendong bocah itu tinggi-tinggi.

“Anak ayah ini udah enam tahun tapi masih suka cemburu ya,” ucap Dirga setelah mendudukkan kembali anaknya. “Kamu nggak mau main game aja sama Ethan biar nggak cemburu kalau ayah meluk-meluk bunda?”

“Boleh?”

Netra anak laki-laki membinar. Ia memang dibatasi untuk bermain gadget apalagi bermain game online dengan temannya. Kedua orang tuanya selalu mengajarkannya untuk membagi waktu antara belajar dan bermain.

Diantara kedua aktivitas itu, bermain gadget berada di persentase terkecil karena itu matanya langsung berbinar ketika ayahnya memberi lampu hijau. Bahkan sepertinya ia sudah menghilangkan rasa cemburunya sekarang.

Pria berlesung pipi itu mengangguk, “Boleh satu jam. Tab nya di laci kamar ayah.”

“Ay yay kapten,” ucap Verro memberi tanda hormat sebelum melesat ke dalam kamar orang tuanya.

Pasangan itu hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat perilaku anaknya. Setelah anaknya tak lagi terlihat, Dirga kembali berjalan mendekati istrinya dan memeluk wanita itu dengan erat. Bahkan lebih erat dari sebelumnya hingga rasanya Qyara sulit untuk bernapas.

Qyara dapat merasakan lehernya yang semakin menghangat karena napas suaminya. Pria itu semakin menelusupkan kepalanya di leher Qyara dan membuat kepalanya spontan menyamping.

“Mas...”

“Sebentar aja sayang, aku hari ini bakal lembur lagi jadi sebentar aja.”

“Kamu mau gantiin jadwal siapa lagi kali ini?”

Pertanyaan Qyara membuat Dirga mengangkat kepalanya. Tujuh tahun memang bukanlah waktu yang sebentar untuk menghafal kebiasaan pasangan. Begitupun dengan Qyara yang sudah sangat paham dengan sifat suaminya.

Pria itu tak pernah berkata tidak ketika diminta bantuan dan sudah tiga hari ini Dirga selalu berada di rumah sakit untuk menggantikan jadwal teman-temannya.

Pria itu pun mengeluarkan senyum manisnya, “Hehe, gantiin jadwal Andy. Dia lagi ada acara kelurga yang nggak bisa ditinggal jadi harus aku yang handle rumah sakit.”

Sebagai direktur rumah sakit, Dirga harus selalu memastikan rumah sakit yang ia pimpin berjalan dengan baik, karena itu ia selalu mengcover tugas-tugas dokter lain yang berhalangan hadir. Beruntungnya ia memiliki istri yang pengertian meskipun terkadang terjadi perdebatan kecil antara keduanya.

“Mas, tapi kamu harus tau kalau SIM aku masanya udah abis,” ungkap Qyara membalikkan tubuhnya.

Kini keduanya saling bertatapan. Tangan Qyara ikut mengalung di pinggang Dirga. Netranya membinar hingga membuat suaminya tersenyum. Pria itu segera mendekatkan kepalanya dan mengecup bibir Qyara gemas. Berawal dari kecupan menuju lumatan lembut yang membuat keduanya terbuai. Keromantisan itu pun ditutup oleh kecupan dalam pada kening Qyara.

“Nanti aku urusin SIM kamu sekalian jalan ke rumah sakit.”

Keandra Dirga Ganeswara. Pria yang tujuh tahun lebih tua darinya memang selalu bisa Qyara andalkan. Sejak kehadiran pria itu di hidupnya, ia jadi memiliki tempat bergantung. Kedewasaan dan kesigapan Dirga membuatnya tak pernah khawatir tentang apapun. Hal itulah yang membuat Qyara khawatir. Bisakah ia menjalani kehidupannya tanpa Dirga? Bisakah ia berdiri sendiri?

“Sayang kok bengong.”

Ucapan Dirga membuyarkan lamunan Qyara. Wanita itu pun segera menggelengkan kepalanya, "Gapapa, ya udah sana mandi katanya mau berangkat."

Pria itu kembali menampilkan gigi putihnya, "Mandiin yuk."

2 - Malam Biru

“Lo udah yakin beneran, Ra?”

Sulit untuk mengatakan bahwa dirinya yakin seratus persen. Bahkan hingga sekarang hatinya hanya milik pria yang telah bersamanya dalam tujuh tahun terakhir.

Semua kenangan yang tertoreh selama itu tak akan bisa dengan mudah ia lupakan. Namun pilihan yang dimiliki oleh Qyara sekarang hanyalah melepaskan atau membelenggu pria yang sangat ia cintai.

Wanita itu hanya mengaduk minumannya tanpa minat, “Gue juga bingung, Van. Tapi mau gimana lagi? Emang gue ada pilihan lain? Gue nggak mau ngebodohin diri gue terus.”

Pengacara muda itu menghela napasnya. Tangannya bertaut di atas meja, tatapannya terkunci pada sahabatnya,

“Ra, saran gue lo ngomongin dulu berdua sama suami lo. Inget, disini bukan tentang kalian tapi juga anak kalian yang masih kecil. Karena itu gue harap lo bisa pikirin hal ini lebih dalam lagi. I know what the stupid think yang buat lo ambil keputusan ini, tapi tolong lo pikirin sekali lagi."

Qyara mengerti. Ia sangat mengerti tentang apa yang ia lakukan dan resiko apa yang akan terjadi nantinya. Ia juga sangat memahami apa yang akan anaknya rasakan jika kedua orang tuanya berpisah. Hanya saja, ia tak bisa lagi menahan pria itu. Ia tak ingin menjadi beban Dirga lebih lama.

“Gue tau, Van,” ucap Qyara menarik napas panjang, “Gue udah siap sama semua resiko yang bakal gue tanggung nantinya. Karena itu juga lagi nyiapin diri gue buat bisa berdiri sendiri.”

Sepertinya keputusan Qyara memang sudah bulat meskipun Vania masih dapat melihat keraguan di mata sahabatnya. Namun ia sebagai orang luar hanya bisa memberikan saran, ia tak dapat memaksa Qyara jika wanita itu memang ingin mengakhiri hubungannya.

“Ya udah Ra kalau gitu. Ini kayaknya gue harus jalan lagi, maaf ya nggak bisa lama-lama.”

Qyara mengangguk dan beranjak, “It’s okey. Makasih ya, Van,” ucapnya memeluk wanita itu.

Beberapa menit setelah Vania pergi, Qyara pun ikut meninggalkan kafe untuk menyusul anaknya yang sedang bersekolah. Jarak antara kafe dan sekolah Verro memang tak terlalu jauh sehingga hanya butuh beberapa menit untuknya sampai.

Terlihat bocah laki-laki yang tengah berdiri sendirian di depan sekolah dengan sebuah buku di tangannya. Bocah itu terlihat sedang menghafalkan sesuatu yang membuat bibir Qyara tersungging. Verro terlihat sangat serius sampai tak menyadari kedatangannya.

“Sayang,” panggil Qyara membuat bocah itu mendongak.

Raut serius Verro seketika berubah menjadi ceria kala netranya menatap wajah ibunya. Laki-laki itu pun segera memeluk Qyara, “Bunda aku dapet tugas menghafal nama-nama toga dan perbedaan efek sampingnya sama kegunaannya. Susah banget hafalinnya.”

Wanita itu mengangguk menyetujui. Baginya pelajaran toga untuk anak tk memang sesulit itu. Namun sepertinya dalam sekolah internasional pelajaran yang didapat lebih cepat dari seharusnya. Berbeda dengan dirinya dulu yang hanya belajar membaca, berhitung dan menulis saja saat seusia Verro.

Qyara hanya dapat mengelus pucuk kepala anaknya seraya berkata, “Gapapa dihafalkan pelan-pelan pasti Verro bisa. Nanti bunda bantuin, sama nanti tanya ayah ya kan ayah lebih paham.”

Pernyataan yang keluar dari mulut Qyara membuatnya terdiam. Sekali lagi ia hanya bisa mengandalkan suaminya bahkan untuk masalah sekecil ini. Oh Tuhan, sampai kapan ia akan bergantung pada pria itu?

Mungkin ia tak akan pernah sanggup berdiri sendiri jika tak ia paksa. Karena itu apapun yang terjadi, ia harus meyakinkan hatinya akan keputusan yang akan ia ambil.

...-+++-...

Sudah lewat tengah malam tetapi wanita yang masih berkutat pada layar laptopnya belum juga menutup mata. Sudah kebiasaanya untuk menunggu Dirga ketika pria itu belum pulang. Pun karena insomnia yang ia derita membuatnya sulit tidur tanpa kehadiran Dirga.

Entahlah, mungkin semua hal yang berhubungan dengannya pasti berkaitan dengan Dirga dan selalu pria itu yang menjadi solusi untuk setiap permasalahannya. Karena itulah Qyara selalu bergantung pada Dirga.

“Sayang...”

Suara berat yang mengalun seperti lagu itu membuyarkan lamunan Qyara. Wanita itu segera beranjak dan menyalami suaminya, “Kamu kapan nyampainya mas?”

“Barusan. Kamu lagi mikirin apasi, aku panggil-panggil dari tadi nggak ada sautan teryata lagi ngelamun,” protes Dirga membuat Qyara tersenyum.

“Kamu udah makan? Kamu bersih-bersih dulu gih, biar aku hangatin makanan buat kamu.”

Dengan tegas Dirga menggeleng. Ia memang lapar tetapi bukan makanan yang ia inginkan. Ia menarik istrinya hingga keduanya terjatuh di atas sofa dengan posisi Qyara yang menimpanya.

Wanita yang terkejut itu pun melebarkan netranya dan memukul lengan Dirga dengan keras, “Mas kebiasaan ya! Aku kaget tau.”

Dirga hanya terkekeh mendapatkan kekesalan istrinya. Tanpa menghiraukan protesan Qyara, tangannya semakin berani untuk menyingkap kaos istrinya dan mengelus punggung mulus Qyara hingga membuat wanita itu meremang,

“Main sebentar boleh nggak? Aku lagi pengen banget, sayang.”

Akhir-akhir ini mereka memang hampir tidak pernah melakukan hubungan suami istri karena kesibukan Dirga. Tak perlu waktu lama untuk mengangguk menyetujui permintaan suaminya. Persetujuan Qyara membuat Dirga tersenyum lebar dan mengecup bibir istrinya.

“Sebentar ya, aku mau bersih-bersih habis itu kita main," ucap Dirga.

“Iya.”

Pria itu segera beranjak dan melesat menuju kamar mereka. Qyara kembali merapikan pakaiannya dan duduk dengan tenang untuk menunggu suaminya. Namun keningnya mengernyit ketika melihat pria itu kembali mendatanginya,

“Mas, nggak jadi bersih-bersih?”

Mengabaikan pertanyaan istrinya, Dirga mendatangi wanita itu dengan tatapan yang begitu mengintimidasi hingga membuat Qyara merinding. Pria itu menunjukkan sebuah map biru dan membantingnya dengan keras ke atas meja, “Maksud kamu apa?!"

Qyara tak langsung menjawab pertanyaan Dirga. Ia terlebih dahulu mengamati map itu sebelum menatap netra elang itu. Ini adalah pertama kalinya Qyara mendapatkan tatapan yang begitu tajam dari suaminya. Sebelumnya pria itu tak pernah sekalipun menatapnya dengan tajam bahkan membentaknya karena mengetahui tentang traumanya. Namun malam ini, ia harus mendapatkannya dari Dirga.

Sebenarnya ia cukup terkejut karena Dirga mengetahui map itu lebih cepat dari dugaannya. Namun tak ada yang bisa diubah jika pria itu sudah mengetahui maksudnya.

“Kamu udah liat mas?”

“Maksud kamu apa?! Kamu mau pisah dari aku?!”

Dengan tenang Qyara mengangguk. Ia menyodorkan dokumen itu pada Dirga, “Karena mas sudah tau jadi cepat tanda tangani mas. Aku mau kita pisah.”

Dirga segera merebut surat perceraian itu dan merobeknya tepat di hadapan Qyara. Dengan cepat ia mendorong wanita itu dan mengungkungnya. Tatapan tajamnya mengunci kedua netra Qyara hingga wanita itu tak bisa beralih darinya,

"Jelasin kenapa kamu pengen pisah? Kita bahkan nggak ada masalah apapun, Elta. Jadi kenapa kamu ingin pisah?”

Elta. Sudah lama Qyara tak mendengar nama itu. Dirga hampir tak pernah memanggil nama tengahnya sejak menikah. Pria itu hanya akan memanggil namanya ketika marah besar. Malam ini, kemarahan Dirga terpancar di kedua matanya. Sungguh menakutkan dan mendominasi.

“JAWAB ELTA!”

Bentakan Dirga menggema di seluruh ruangan. Bentakan itu membuat tubuh Qyara bergetar takut. Sungguh trauma yang ada di alam bawah sadarnya seketika bangkit dan menghantuinya.

“Mas... aku mau pisah karena kamu. Aku nggak mau jadi beban.”

“BULLSHIT!”

Dalam gerakan cepat Dirga menarik pakaian Qyara yang membuat wanita itu semakin takut. Baru kali ini suaminya bersikap kasar dan membuatnya takut. Ia pun berusaha menahan pakaiannya dengan sekuat tenaga, “Berhenti mas! Aku nggak mau!”

“Kamu harus mau! Kalau kamu mau pisah, aku yang akan ngehancurin keinginan kamu!”

3 - Pengakuan Sang Dokter

Tujuh tahun yang lalu, Qyara tengah terbujur kaku di sebuah ruangan yang penuh dengan alat-alat medis. Saat itu, netranya hanya menangkap kegelapan. Telinganya hanya dapat mendengar samar-samar suara tangisan tanpa bisa beranjak dari tempatnya.

Semua alat medis yang terpasang di tubuh Qyara menjadi penjelas tentang kondisi Qyara waktu itu. Tubuhnya yang lemah harus ditopang dengan alat medis untuk dapat bertahan. Ia bahkan tak tau berapa lama lagi waktunya untuk bisa bertahan. Hanya ada satu harapan terakhir yang selalu ia ucapkan di alam bawah sadarnya, ia hanya ingin berpamitan dengan semua keluarganya.

Qyara tak yakin betul pada saat itu Tuhan sedang menjawab doanya atau tidak. Namun tiba-tiba cahaya menerangi retinanya setelah mengutarakan keinginan terakhirnya. Pada akhirnya ia dapat melihat orang-orang yang sangat ia sayangi.

Terlihat seorang pria yang sedang duduk di kursi roda dengan tangan yang diperban. Pria yang tak bisa Qyara benci sebesar apapun kesalahannya itu terlihat pucat dengan tatapan sayu seperti habis menangis.

Di samping pria itu sedang berdiri seorang wanita berhijab yang tengah menatapnya dengan penuh binar. Wanita tercantik yang telah melahirkannya itu terlihat lelah meskipun dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Di belakang ayah dan ibu, terlihat pasangan muda yang Qyara kenal betul. Wanita yang terpaut lima tahun darinya dan pria yang baru saja menyandang status sebagai kakak iparnya terlihat tegar tetapi juga lelah dari tatapan mata mereka.

Dan terakhir, Qyara dapat melihat bocah laki-laki yang baru berusia dua belas tahun dengan bekas tangisan di pipi chubbynya. Sangat lucu melihat adik kecil yang selalu jahil menangis karena dirinya.

Waktu yang Qyara dapatkan lebih dari cukup. Ia sangat bersyukur bisa menatap orang-orang yang ia sayangi. Ia telah ikhlas dengan apapun yang terjadi setelah ini. Dan sedetik kemudian, ia dapat melihat seseorang bertudung hitam masuk ke dalam ruangan.

Ini adalah waktunya.

Kalimat itu terus terngiang di telinga Qyara. Sangat menyakitkan tetapi ia juga tak dapat menolaknya. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, tangannya terangkat dan melambai kepada kelima orang itu. Sangat singkat sebelum tangannya terjatuh dan kesadaran kembali terenggut.

Tit.....

Bunyi elektrokardiograf menggema di seluruh ruangan beriringan dengan garis lurus yang terpampang jelas di dalam layar. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu seketika histeris menyebutkan nama Qyara. Bersamaan dengan seorang pria berjas putih yang masuk kedalam ruangan.

Dokter itu segera menyuruh perawat untuk membawa keluar keluarga pasien dan perawat lain untuk mengambil alat pacu jantung. Dengan cepat ia melakukan prosedur medis itu dengan penuh harap. Saat itu ia tengah bergelut dengan waktu dan takdir. Sungguh ia ingin menyelamatkan gadis itu tak peduli apapun.

Percobaan pertama tak berhasil. Garis yang tercetak dilayar masih lurus. Namun dokter itu sama sekali tak menyerah. Ia kembali menempelkan alat itu pada dada Qyara tetapi tetap tak berhasil.

Wanita itu masih terbujur kaku. Tidak mungkin. Gadis itu tak mungkin meninggalkannya. Lagi, lagi dan lagi. Dokter itu terus memacu jantung Qyara hingga seorang perawat menghentikannya.

“Sudah dokter. Pasien telah meninggal,” ucap perawat itu.

Tak peduli berapa besar usaha yang telah ia keluarkan, dokter itu tak dapat menyelamatkan pasiennya. Keyakinannya untuk bisa menyembuhkan pasien itu ternyata tak membuahkan hasil sama sekali. Yang dapat ia lakukan hanyalah menatap nanar pasien itu ketika perawat mulai melepaskan satu persatu alat medis yang telah satu minggu terpasang di tubuh Qyara.

Qyara Eltazia Raqeesha. Pertama kali diberikan tanggung jawab sebagai dokter utama, semangat dokter muda itupun timbul. Ia sangat yakin bisa menangani pasiennya dengan mudah. Namun nyatanya ia terlalu sombong. Ia tak berhasil menyelamatkan gadis itu.

Tolong bertahan... Tolong kembali bernapas... Tolong jangan pergi...

Dokter muda itu terus mengucapkan doa di batinnya. Mungkin saja malaikat yang melihat keteguhannya mengirimkan pesan kepada Tuhan hingga pada saat perawat akan memutus alat yang terakhir tiba-tiba Qyara kembali bernapas. Layar elektrokardiograf kembali menampilkan detak jantung Qyara yang mulai berjalan normal.

“Elta... terimakasih sudah bertahan.”

...-+++-...

Setelah mendapatkan perawatan intensif, kesehatan Qyara berangsur-angsur pulih kembali. Ia sungguh bosan berada di dalam ruangan yang selalu sama setiap ia membuka matanya. Apalagi ketika mengingat hari dimana sebuah mobil melesat dengan cepat ke arahnya membuat kepalanya mendadak pening. Ia masih tak bisa melupakan kejadian memilukan itu.

“Elta...”

Panggilan itu menyadarkan Qyara kembali. Ia hanya tersenyum tipis kala pria berjas putih itu masuk dan duduk di samping tempat tidurnya. Namun keningnya mengernyit ketika menyadari bahwa pria itu hanya duduk tanpa melakukan prosedur pemeriksaan kepadanya,

“Dokter nggak periksa saya?”

Dokter itu menggeleng, “Saya cuma mau ketemu kamu saja,” jawabnya enteng. “Saya mau mengucapkan terimakasih karena kamu sudah mau bertahan.”

Saat itu Qyara yang tak pernah diperlakukan istimewa dengan seorang pria hanya dapat tersenyum. Ia tak tau harus merespon apa. Ia pikir dokter itu juga akan mengucapkan hal yang sama pada pasiennya yang berhasil berjuang dari ambang kematian.

“Dok, saya boleh nanya sesuatu?”

Tanpa pikir panjang dokter itu pun mengangguk, membuat Qyara kembali mengeluarkan suaranya, “Selama saya perawatan di sini, berapa banyak uang yang harus keluarga saya keluarkan? BPJS nggak menanggung semua perawatan saya kan dok.”

Jelas pria itu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Jujur baru pertama kali ini ia mendengar seorang pasien yang baru melewati masa kritis bertanya tentang biaya. Biasanya pertanyaan yang ia dapatkan berkaitan dengan kondisi pasien dan pemulihan. Namun Qyara, wanita itu sangat berbeda.

Bagi Qyara sendiri tak ada yang aneh dengan pertanyaannya. Ia merasa perlu untuk menanyakan hal itu apalagi saat itu kondisi ekonomi keluarga nya sedang memburuk. Jadi ia tak ingin ekonomi keluarganya semakin memburuk karena dirinya.

“Dokter nggak mau jawab saya ya,”

Lamunan pria itu terbuyarkan setelah mendengar kembali suara Qyara. Ia pun tersenyum dan menggenggam tangan Qyara, “Kamu nggak perlu mikirin itu, Elta. Semua biaya sudah tercover oleh pelaku jadi fokus saja sama kesembuhan kamu.”

Akhirnya Qyara dapat bernapas lega. Jujur hanya fakta itu yang perlu ia ketahui. Ia sama sekali tak penasaran dnegan kondisinya karena tanpa adanya kejadian ini ia tak pernah mempermasalahkan Tuhan akan menjemputnya kapanpun.

“Elta,” panggil dokter itu membuat Qyara menoleh. “Saya boleh bilang sesuatu?”

"Dokter mau bilang apa?”

“Kamu mau nggak jadi pasangan saya? Saya ingin serius dengan kamu.”

Deg!

Saat itu adalah kali pertama seorang pria menyatakan perasaanya pada Qyara. Dalam dua puluh tahun usianya, ia tak pernah ditembak oleh seorang pria apalagi diajak serius. Keandra Dirga Ganeswara, dokter itulah yang pertama untuknya.

Saat itu Qyara berpikir bahwa Dirga mungkin memang sudah mencintainya dari pandangan pertama atau mungkin rasa cinta pria itu tumbuh pada saat menanganinya. Semua perhatian yang pria itu berikan benar-benar sesuai dengan apa yang selalu ia doakan pada Tuhan. Akan panjang jika ia jabarkan tetapi yang pasti semua deskripsi jodoh yang Qyara inginkan ada pada diri Dirga.

Qyara sangat beruntung mendapatkan Dirga. Ketika pria itu mengucapkan janji suci di hadapan penghulu dan saksi dua bulan setelah mereka saling mengenal, Qyara terus berpikir bahwa ia akan terus bahagia bersama Dirga hingga maut memisahkan.

Namun semua pemikiran itu hancur ketika Qyara mendengar secara langsung dari mulut Dirga ketika pria itu sedang berkumpul dengan temannya. Pria itu secara sadar berkata,

“Gue jadian sama Elta karena gue kasihan sama dia."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!