NovelToon NovelToon

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Part 1

Di tengah kegelapan malam yang menyelimuti, suasana mencekam menyatu dengan bulan yang bersinar redup. Cahaya remang-remang itu menjadi satu-satunya penuntun di antara keheningan malam yang terasa begitu pekat. Angin malam mengusik ilalang liar di sekelilingnya, menciptakan suara desiran yang menambah kekakuan suasana.

Tiba-tiba, suara panggilan memecah kesunyian. Seorang siswa SMP, masih mengenakan seragam putih-biru, melangkah dengan langkah gemetar di bawah cahaya bulan.

"Ca?" panggilnya, suaranya bergetar dalam kegelapan.

"Aku?" sahut Caca dengan suara penuh kebingungan, tangannya gemetar saat menyadari sesuatu yang mengejutkan.

Sebuah pisau tergenggam di tangannya, dan ketika kesadaran akan apa yang telah terjadi menyergapnya, pisau itu terlepas dari cengkeraman gemetarnya dan jatuh ke tanah.

Darah berceceran di tanah, mencerai-beraikan bayangan di bawah cahaya remang. Dua sosok tergeletak di tanah, tubuh mereka bersimbah darah. Caca terpaku, matanya membulat dalam ketakutan yang tak terucapkan.

"Haaa..." teriaknya histeris, suaranya meluncur tanpa kendali seperti derap gelombang di tengah keheningan malam.

Namun, di tengah kekacauan, suara penuh kelembutan membelai telinga Caca. Seorang siswa lain mendekatinya, meraihnya dalam dekapannya yang hangat, mencoba menenangkan gadis itu yang terhanyut dalam kebingungan dan ketakutan yang tak terkendali.

"Caca, tenang," bisiknya dengan lembut, mencoba meredakan ketakutan yang melanda.

Tangannya menepuk lembut punggung Caca, memberikan kehangatan dalam kegelapan yang membingungkan.

\~\~\~

Dengan suara berisik, alaram berbunyi dan membuyarkan alam mimpi. Marica terbangun dengan kaget, napasnya tersengal-sengal dalam kebingungan.

"Kenapa mimpi itu datang lagi sih?" gumamnya frustasi, menggosok-gosok matanya yang masih tertutup kabut mimpi.

Rambutnya diacak-acak dengan gerakan kasar, seakan ingin mengusir bayangan mimpi yang masih menghantuinya. Dengan gerakan refleks, ia bangkit dari tempat tidur untuk bersiap-siap menjalani hari di sekolah barunya.

Pikirannya masih terhanyut dalam kekacauan mimpi yang baru saja dihadapinya. Dia mencoba mengingat-ingat detail-detailnya, tetapi semakin ia mencoba, semakin sulit untuk memahami pesan yang tersembunyi di baliknya.

\~\~\~

Di tengah meja makan yang tenang, sebuah perdebatan pecah antara Adam dan Tian.

Tian, dengan ekspresi ketidakpuasan yang jelas terpancar dari wajahnya, mengajukan pertanyaan yang tak terduga kepada Adam.

"Pa, kenapa sih dia harus satu sekolah dengan Yura?" tanyanya, suaranya penuh dengan ketidaksetujuan yang tak tersembunyi.

Adam hanya diam, tetapi pandangan matanya yang tajam dan tak suka sudah cukup untuk menyampaikan rasa ketidaknyamanannya kepada Tian. Meskipun begitu, Tian tidak gentar, terus menuntut penjelasan yang memuaskan.

"Tian, udah," sementara itu Rahayu, mencoba untuk menengahi situasi dengan suara yang tenang.

"Bun, aku bisa maklumin kalau dia tinggal di sini bersama kita karena dia anak kandung Papa. Tetapi kenapa harus satu sekolah dengan Yura?" pertanyaan Tian terus menggema di ruangan itu, menciptakan atmosfer yang tegang.

Yura, dengan suara pelan, memanggil kakaknya dengan hati-hati, "kak?"

Namun, Tian tidak tergoyahkan, tetap mengekspresikan kebingungannya dengan tegas. "Lagian, kan dari kecil Caca juga tinggal bersama ibunya. Terus, ibunya menikah lagi, seharusnya dia tetap bersama ibunya, kenapa malah tinggal dengan Papa?" Tian melontarkan pertanyaan dengan nada yang penuh keheranan, merasa bahwa semua yang terjadi tidak masuk akal baginya.

Langkah kaki yang mendekat mengejutkan Adam. Dia tahu itu pasti Marica. Dengan nada serius, dia meminta agar segala percakapan yang memanas itu dihentikan.

"Hentikan semua omong kosong ini!" pintanya dengan tegas, mencoba meredakan ketegangan yang melanda ruangan. Suaranya mengandung keberanian dan ketegasan, mencerminkan keputusan yang telah diambilnya.

Tian hanya bisa menahan kekesalannya, terlebih lagi saat melihat Marica yang kini duduk ikut sarapan di meja yang sama.

"Ca, kamu berangkat sekolah bareng Yura," ucap Adam dengan tegas.

"Iya, Ayah," jawab Marica dengan singkat, sambil mengangguk pelan.

\~\~\~

Di sekolah, Yura terlihat tidak seperti biasanya, dan hal itu tidak luput dari perhatian sahabat dekatnya.

"Muka lo ngapa di tekuk gitu?" tanya Ririn dengan nada penasaran.

Yura menghela napas sebelum menjawab, suaranya terdengar tertekan, "Si Caca jadi satu sekolah sama gue. Dia udah masuk hari ini."

"Hmm, heran gue sama dia. Kok dia mau sih tinggal sama ayahnya padahal kan dia dari kecil udah sama ibunya," komentar Zerea

"Ya, itu juga gue enggak tahu alasan pastinya apa. Yang jelas, suasana rumah jadi beda gara-gara kehadiran dia," ungkap Yura dengan jujur, mencoba untuk merangkul perasaannya yang rumit.

"Ya jelas lah," sahut Zerea dengan nada setuju.

"Tapi, dia kelihatan anak baik-baik," tambah Yura, mencoba untuk melihat sisi positif dari situasi yang ada.

"Anak baik-baik? Heh, yang kelihatan baik itu belum tentu baik. Lo hati-hati aja sama dia," saran Ririn dengan nada waspada, merasa perlu untuk memberi peringatan kepada sahabatnya.

Perbincangan itu membuat Yura merenung sejenak, memikirkan tentang apa yang telah disampaikan oleh teman-temannya. Dia tahu bahwa kehadiran Marica telah membawa perubahan yang cukup besar dalam kehidupan mereka, dan mungkin ada hal-hal yang perlu diwaspadai.

\~\~\~

Marica ditempatkan di kelas unggulan karena prestasi akademiknya yang memadai, sebuah pengakuan yang didasarkan pada nilai dan bukan faktor lain seperti kekayaan atau hubungan keluarga. Namun, meskipun masuk ke kelas ini merupakan suatu pencapaian yang membanggakan, suasana di dalamnya jauh dari apa yang dia bayangkan.

Kelas unggulan ini benar-benar terasa penuh dengan aura persaingan yang menghunjam tajam. Meskipun terlihat bersahabat di permukaan, namun Marica bisa merasakan betapa setiap siswa di kelas ini saling bersaing satu sama lain, mengejar prestasi dan pengakuan tanpa kenal lelah.

"Baik, kita mulai pelajarannya," ucap Bu Nirma, guru kelas dengan suara yang tenang namun penuh otoritas.

Bu Nirma menjelaskan materi pelajaran matematika untuk kelas XI dengan penuh semangat, menyampaikan konsep dan rumus dengan jelas. Suasana kelas terasa sunyi karena kebanyakan siswa fokus menyimak penjelasannya, menyerap setiap kata yang diucapkan guru mereka.

"Baiklah, siapa yang bisa menjawab pertanyaan yang tertulis di papan tulis?" tanya Bu Nirma, mencari partisipasi dari murid-muridnya.

"Saya, Bu," ucap Marica dengan cepat, mengangkat tangannya dengan percaya diri.

"Maju," sambut Bu Nirma, memberi kesempatan pada Marica untuk menjawab.

Setelah Bu Nirma memberi izin, Marica maju dengan santainya ke depan kelas. Dia menulis jawabannya di papan tulis dengan gerakan yang tenang, seolah-olah tidak ada tekanan atau kekhawatiran sedikit pun dalam pikirannya.

"Ada yang mau maju lagi?"

Saat Bu Rima menawarkan kesempatan kepada siswa lain untuk menjawab soal lainnya, seorang siswa lain langsung merespons dengan cepat, "Saya, Bu," ucapnya mantap.

"Maju," sambut Bu Rima, memberi kesempatan pada siswa tersebut untuk berbagi jawabannya.

Siswa itu maju ke depan kelas dengan langkah mantap, mengambil spidol dari meja guru, dan mulai membuat garis disamping jawaban Marica. Namun, sebelum ia bahkan mulai menjawab soal, Marica sudah menyatakan bahwa ia telah menyelesaikan jawabannya.

"Sudah, Bu," ucap Marica dengan tenang.

"Duduk," ucap Bu Rima dengan nada yang ramah, memberikan apresiasi pada partisipasi Marica.

Saat Marica berjalan kembali ke mejanya, perhatian Devano tertuju padanya. Ia merasa sedikit tertekan, melihat betapa cepatnya Marica menyelesaikan tugasnya. Tanpa ragu, Devano segera menekan spidolnya dan dengan cepat menyelesaikan soal yang diajukan.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Devano kembali ke tempatnya, tetapi sebelum duduk, ia melirik Marica sekilas. Mungkin ia merasa terkesan dengan kecepatan dan ketepatan Marica dalam mengerjakan soal tersebut.

Part 2

Di saat istirahat, Yura mendatangi kelas Marica untuk mengajaknya bersama ke kantin. Meskipun pada awalnya Ririn dan Zerea enggan ikut serta karena ada Marica, namun karena terpaksa, akhirnya mereka berempat berjalan menuju kantin.

"Lo mau makan apa?" tanya Yura saat mereka sudah berada di depan kantin.

"Apa aja yang penting mengenyangkan," jawab Marica dengan sederhana.

Suasana di kantin begitu ramai, dengan aktivitas para pelajar yang tidak main-main. Kehadiran mereka tidak hanya dari kalangan masyarakat berada, namun juga beberapa yang bersekolah berkat beasiswa.

"Tempat ini selalu ramai, kita harus cepat-cepat agar bisa mendapatkan bangku," ujar Yura sambil mengantri bersama Marica.

Sementara itu, Ririn dan Zerea mencari-cari bangku yang masih kosong. Meskipun terasa hiruk pikuk, namun tak dapat dipungkiri, kantin menjadi tempat yang sangat vital bagi para pelajar. Di sini, mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan nutrisi fisik, tetapi juga menjadi ajang untuk berinteraksi sosial dan memperluas lingkaran pertemanan.

Saat menunggu giliran untuk memesan, mereka memperhatikan keramaian di sekitar. Berbagai percakapan dan tawa riuh memenuhi udara, menciptakan energi yang tak terelakkan. Beberapa meja sudah penuh dengan siswa-siswi yang berbincang antara satu dengan yang lain, sementara yang lainnya sibuk mengambil pesanan makanan favorit mereka.

\~\~\~

Sementara Ririn dan Zerea sudah menemukan tempat untuk duduk, mereka mulai membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.

"Ngapain sih si Yura baik ke Caca? Kesel tahu enggak," gumam Zerea dengan nada kesal.

Ririn menanggapi dengan bijak, "Udah biarin aja. Lagian kalau mereka dekat kan si Yura bakal tahu niat aslinya Caca."

Namun, percakapan mereka terputus oleh keheningan mendadak di kantin. Ririn dan Zerea saling memandang, lalu mengalihkan perhatian mereka ke arah pintu masuk kantin.

Dua sosok siswa baru memasuki ruangan dengan gaya yang begitu khas. Wajah-wajah mereka menampilkan aura intimidasi yang begitu kentara, memberikan atmosfer yang tegang di sekeliling mereka.

\~\~\~

Kevin berjalan dengan gaya yang mempesona, sementara di sebelahnya, Emil, sahabat dekatnya, mengajukan pertanyaan tentang pilihan makanan. Mereka berdua kini duduk di kursi yang strategis, siap untuk menikmati istirahat mereka.

"Lo mau makan apa?" tanya Emil dengan antusias.

Kevin, dengan sikap santai, menjawab, "Apa aja."

Dia sibuk memainkan ponselnya, sepertinya tidak begitu memperhatikan pilihan makanan yang ditawarkan.

Emil memberikan kode kepada salah satu siswa untuk memesan makanan bagi mereka berdua. Sementara Kevin menyimpan ponselnya ke dalam saku dan melihat-lihat sekeliling. Matanya secara tidak sengaja menatap seorang siswi yang tengah memeriksa menu dan harganya dengan seksama.

"Lo mau kemana?" teriak Emil, sedikit terkejut karena tiba-tiba Kevin berdiri dengan rahang yang tegang.

Awalnya Kevin hanya berjalan pelan, namun kemudian langkahnya menjadi lebih cepat, hingga akhirnya ia berlari menuju seseorang dengan sikap yang menegangkan.

\~\~\~

Suasana kantin yang semula ramai dengan tawa dan percakapan riuh tiba-tiba berubah ketika Kevin mencekal tangan seseorang dengan kuat. Ternyata, orang tersebut adalah Marica. Keheningan menyelimuti kantin saat semua mata tertuju pada mereka, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Lo ngapain di sini?" tanya Kevin dengan nada yang tidak bersahabat, suaranya rendah namun penuh dengan ketegangan.

Marica yang merasa terancam berusaha keras melepaskan cekalan Kevin. Rasa takut dan ketidaknyamanan terpancar dari matanya, tetapi Kevin tetap memegang erat tangannya, menimbulkan ketegangan yang semakin jelas terasa di udara.

Melihat situasi yang semakin memanas, Emil, seorang teman Kevin yang duduk tidak jauh dari situ, langsung beranjak dari tempatnya. Dengan cepat, dia melangkah menuju Kevin dan Marica, mencoba untuk meredakan situasi yang semakin tidak terkendali.

"Gue tanya ngapain lo di sini?" teriak Kevin, suaranya menggema di seluruh kantin, membuat suasana semakin tegang. Siswa-siswa lain yang sedang makan atau mengobrol seketika terdiam, memperhatikan kejadian ini dengan penuh perhatian.

Dengan usaha keras, Marica akhirnya berhasil melepaskan cengkraman Kevin. Namun, dalam usahanya untuk menjauh, Marica mundur beberapa langkah dengan tergesa-gesa. Sayangnya, langkahnya yang panik membuatnya menabrak seorang siswa lain yang sedang membawa nampan berisi makanan.

Tabrakan itu menyebabkan piring dan gelas yang dibawa siswa tersebut jatuh ke lantai, menghasilkan suara pecahan yang menggema dan mengisi seluruh kantin dengan bunyi yang menggelegar.

"Vin, udah Vin," ucap Emil dengan suara yang tenang namun tegas, mencoba menjadi penengah di antara mereka. Dia melingkarkan tangannya di bahu Kevin, berusaha menenangkan temannya dan mengurangi pergerakannya yang agresif.

Emil menatap Kevin dengan tatapan yang memohon, berharap bisa meredakan amarah yang membara dalam diri temannya.

Sementara itu, Marica berdiri dengan nafas yang tersengal, mencoba mengumpulkan kembali keberaniannya setelah insiden yang mengejutkan itu.

Perlahan, keheningan yang mencekam mulai mereda ketika Kevin mulai tenang. Emil masih memegang bahu Kevin erat, memastikan bahwa situasi tidak kembali memanas. Para siswa lain di kantin mulai kembali ke aktivitas mereka, meskipun bisikan-bisikan penuh rasa ingin tahu masih terdengar di seluruh ruangan.

Yura berdiri dengan gelisah, mencoba menenangkan situasi yang memanas di depan matanya. Dia menatap Kevin yang masih dipenuhi amarah dan mencoba berbicara dengan suara yang tenang namun tegas.

"Vin, kalau Caca ada salah tolong maafin ya," ucap Yura, berharap bisa meredam emosi kelvin.

"Salah? Dia salah karena dia udah ninggalin gue gitu aja!" teriak Kevin dengan suara yang menggema di seluruh kantin, membuat semua mata tertuju pada mereka.

Emil, yang masih mencoba menahan Kevin, merasakan kekuatan amarah yang semakin membesar dari tubuh sahabatnya. Dengan satu gerakan kuat, Kevin berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Emil dan langsung menuju ke arah Marica dengan langkah cepat dan penuh kemarahan.

Melihat Kevin yang semakin mendekat dengan wajah marah, naluri pertahanan diri Marica pun bangkit. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkat kakinya dan menendang bagian perut Kevin dengan kuat. Gerakan itu begitu cepat dan tepat, membuat Kevin mundur beberapa langkah dengan ekspresi terkejut dan kesakitan.

Tendangan itu begitu kuat hingga membuat Kevin kehilangan keseimbangan dan terhuyung mundur. Tubuhnya terhempas ke belakang, membentur meja dengan keras. Meja itu goyah dan akhirnya terbalik, menjatuhkan semua benda di atasnya. Piring, gelas, dan makanan berserakan di lantai dengan suara berderak yang menambah kekacauan.

Marica melihat situasi itu sebagai kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa membuang waktu, dia berlari menuju pintu kantin, berharap bisa keluar sebelum keadaan semakin memburuk.

"Marica!" teriak Kevin dengan suara parau, mencoba bangkit dan menahan rasa sakit di perutnya. Tubuhnya masih bergetar akibat tendangan kuat Marica.

"Tutup semua pintu kantin!" perintah Kevin dengan nada yang memerintah, meskipun suaranya terdengar sedikit tersendat oleh rasa sakit.

Orang-orang yang mendengar teriakan Kevin langsung bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu akses keluar dari kantin, berusaha memastikan bahwa Marica tidak bisa melarikan diri. Pintu-pintu berat itu ditutup dengan suara berdebum yang keras, mengunci semua orang di dalam kantin.

Marica berhenti sejenak, menyadari bahwa jalannya telah tertutup. Napasnya terengah-engah, pikirannya berputar mencari jalan keluar dari situasi yang semakin mencekam ini. Sementara itu, Kevin, dengan bantuan Emil, mencoba bangkit dan menenangkan dirinya.

"Lo nggak bisa kabur begitu aja, Marica," kata Kevin dengan suara yang lebih terkendali, meskipun matanya masih menyala dengan kemarahan.

Suasana kantin semakin tegang, semua mata tertuju pada Marica dan Kevin. Ketegangan terasa begitu pekat, membuat semua orang menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Emil tetap berada di samping Kevin, bersiap untuk mencegah kekerasan lebih lanjut jika situasi kembali memanas.

Part 3

Kelvin melihat seorang siswa yang membawa bola basket. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil bola itu tanpa izin dan mulai berjalan mendekat ke arah Marica, yang kini terjebak di dalam kantin. Wajah Kelvin penuh dengan kemarahan yang tertahan, setiap langkahnya menggema di lantai kantin yang sepi.

"Lo enggak mau jelasin apa-apa ke gue, Marica?" tanyanya dengan nada sinis, menekankan setiap kata dengan penuh ejekan.

Marica hanya diam, tubuhnya menegang. Seluruh isi kantin juga membeku, menahan napas dalam ketegangan yang meningkat. Emil berdiri dekat dengan Kelvin, siap berjaga-jaga. Dia tahu, semakin dia mencoba menghentikan Kelvin, semakin besar risiko situasi ini menjadi semakin buruk.

"Kalau gue tanya tuh jawab!" teriak Kelvin, suaranya menggelegar di seluruh kantin.

Dia mengayunkan tangannya dan melempar bola basket dengan kekuatan penuh ke arah Caca.

Marica, dengan refleks cepat, melakukan rol belakang untuk menghindari bola tersebut. Bola itu melesat melewatinya dan menghantam jendela dengan keras. Suara kaca yang pecah berkeping-keping menggema, membuat semua orang di kantin tersentak.

"Lo gila!" maki Marica setelah berdiri kembali, napasnya terengah-engah.

"Gue memang gila dan semuanya gara-gara lo!" teriak Kelvin kesal, matanya berkilat dengan amarah yang tak terbendung.

Marica melirik ke arah jendela yang pecah dan cepat mengukur jarak dari jendela ke tanah di bawah. Mereka berada di lantai dua, sekitar 6 meter di atas tanah. Dengan perhitungan cepat, dia tahu bahwa lompatannya harus tepat agar bisa mendarat dengan aman meski ada risiko cedera.

"Dengan g (percepatan gravitasi) sekitar 9,8 m/s² dan ℎ (tinggi) sekitar 6 meter, maka 𝑣𝑓=2⋅9,8⋅6≈10,84 m/s," perhitungan Marica.

Kecepatan saat dia menyentuh tanah akan sekitar 10.84 m/s. Dampaknya akan signifikan, tapi Marica tahu dia harus mengambil risiko ini.

Dengan keputusan bulat, Marica berlari ke arah jendela. "Marica!" teriak Kelvin yang menyadari niat Marica.

Tanpa ragu, Marica melompat keluar dari jendela. Dia mengarahkan tubuhnya agar jatuh dengan kaki terlebih dahulu, mencoba meminimalkan dampak dengan meredam di lutut. Sesaat setelah melompat, dia merasakan angin yang kencang menyapu tubuhnya dan bersiap untuk benturan keras.

Marica mendarat di tanah dengan kaki terlebih dahulu, namun momentum dan kecepatan membuatnya tidak sempurna. Rasa sakit menjalar di kakinya saat dia mendarat dengan pincang, tapi dia tidak punya waktu untuk berhenti. Dia segera bangkit dan mulai berlari, meski dengan pincang.

Kelvin, penuh dengan adrenalin, berlari ke arah jendela. Dia melihat Marica yang berusaha melarikan diri dengan kaki pincangnya di bawah sana. Dengan kemarahan yang membakar, Kelvin juga melompat dari lantai dua, mengabaikan segala risiko.

Rumus untuk menghitung gaya adalah F=m⋅a,  di mana m adalah massa dan a adalah percepatan. Dalam kasus ini, Kelvin memiliki massa sekitar 70 kg, dan percepatan yang dialaminya saat mendarat adalah percepatan gravitasi bumi sekitar 9,8 m/s². Oleh karena itu, gaya yang dirasakan Kelvin saat mendarat adalah F=70×9,8=686 N.

Namun, dalam keadaan marah dan terfokus, Kelvin tidak memikirkan fisika. Dia mendarat dengan keras, merasakan sakit yang tajam di kakinya, tetapi dengan tekad yang kuat, dia segera bangkit dan mengejar Marica.

Marica berlari dengan sekuat tenaga, mencoba mengabaikan rasa sakit di kakinya. Napasnya terengah-engah, setiap langkah terasa berat. Kelvin mengejar dengan cepat, jarak antara mereka semakin menipis.

Aksi kejar-kejaran ini membuat suasana di sekitar menjadi semakin tegang. Siswa-siswa lain yang melihat kejadian ini dari kantin dan jendela lantai atas hanya bisa terpaku, menahan napas menyaksikan drama yang terjadi.

Kelvin terus mendekat, napasnya berat tapi penuh dengan tekad. Marica tahu dia tidak bisa bertahan lama dengan kaki yang cedera. Dia harus menemukan tempat aman sebelum Kelvin menangkapnya.

Ketegangan mencapai puncaknya saat Marica dan Kelvin berlari menuju area parkir, di mana banyak kendaraan yang mungkin bisa dijadikan tempat persembunyian atau perlindungan. Marica berharap menemukan bantuan atau cara lain untuk melarikan diri dari amarah Kelvin yang tak terkendali.

\~\~\~

Emil menyaksikan dengan keputusasaan saat Kelvin melompat dari lantai dua tanpa bisa menghentikannya. Dia merasa frustasi dan khawatir melihat sahabatnya yang marah itu terus mengejar Marica tanpa ampun.

"Sial!" makinya Emil, menyesali keadaan yang semakin memburuk.

Yura, dengan wajah pucat, menatap Emil dengan kekhawatiran yang jelas terpancar di matanya. "Mil, Kelvin enggak akan bunuh Caca kan?" tanyanya dengan suara yang gemetar.

Emil menatap Yura sejenak sebelum menjawab dengan tegas, "Kelvin enggak akan bunuh dia, karena Kelvin butuh dia."

Yura memandang Emil dengan kebingungan, tidak mengerti maksud dari perkataannya itu. Namun, Emil tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia sibuk mengotak-atik ponselnya, mengirim pesan ke seseorang dengan ekspresi serius di wajahnya.

"Maksudnya?" desak Yura, mencoba mencari kejelasan dari Emil.

"Dia mantanya Kelvin," jawab Emil tanpa basa-basi, memperjelas situasi yang tengah terjadi.

Setelah memberikan penjelasan singkat itu, Emil pergi dengan cepat, meninggalkan Yura yang masih terdiam dengan rasa khawatir yang tak kunjung reda. Kemudian, Emil meminta kepada semua orang untuk membuka pintu kantin, memberikan akses keluar dari ruangan tersebut.

Yura hanya bisa diam, terpaku di tempatnya. Dia memandang ke arah Emil yang pergi, lalu beralih ke jendela tempat Marica dan Kelvin melompat tadi.

\~\~\~

Marica berhasil menghindar dari Kelvin, meskipun harus melakukan permainan kucing-kucingan yang tegang dan melelahkan. Setiap langkahnya diatur dengan hati-hati, setiap belokan dipilih dengan cepat, agar dia bisa terus bergerak tanpa terlihat oleh Kelvin.

"Makin gila tuh orang," batin Marica dengan perasaan campur aduk.

Di satu sisi, dia merasa lega karena berhasil menghindari bahaya yang mengancamnya. Namun, di sisi lain, kejadian ini menambah daftar panjang ketegangan dan ketidakpastian yang telah dia alami.

Dia terus berlari, mencoba menyusun rencana selanjutnya dalam pikirannya yang berputar cepat. Dia tahu dia harus menemukan tempat aman sebelum Kelvin menemukannya lagi.

\~\~\~

Dengan bel kelas yang berbunyi, Marica akhirnya masuk ke dalam ruang kelasnya. Namun, apa yang ditemuinya di dalam membuatnya terkejut. Kelvin sudah duduk di meja guru dengan senyum sinis yang melempar tatapan tajam ke arah Marica. Para teman sekelasnya seakan-akan tidak menyadari keberadaannya atau bahkan mengabaikannya.

"Udah, gue bilang. Lo enggak akan bisa kabur dari gue, Marica," ujar Kelvin sambil berjalan mendekati Marica dengan langkah mantap.

Namun, ketika Marica berbalik untuk menghadapi Kelvin, dia mendapati seseorang yang menghalanginya. Tatapan heran dan kebingungan langsung terpancar dari wajah Marica saat dia menyadari ada orang di hadapannya.

"Mau lo apa-an sih?" tanya Marica dengan rasa tidak habis pikir, mencoba memahami apa yang sedang terjadi dengan tingkah laku Kelvin.

"Gue mau kita balik kayak dulu," jawab Kelvin dengan santainya, sambil mensejajarkan tinggi badannya dengan Marica.

Namun, perbedaan tinggi badan yang mencolok antara Kelvin yang setinggi 183 cm dan Marica yang hanya 154 cm, membuat Marica tidak merasa nyaman dengan permintaan tersebut. Berat badan Marica yang hanya 45 kg juga menambah perbedaan yang cukup signifikan di antara keduanya.

Mendengar permintaan Kelvin, Marica langsung merasa tidak nyaman. Tanpa ragu, dia mengarahkan jari tengahnya ke arah Kelvin, sebuah tindakan spontan yang membuat Kelvin tertawa terpingkal-pingkal.

Kelvin mungkin memiliki kekuatan fisik yang lebih besar, tetapi Marica tidak akan membiarkannya mengintimidasi atau mendikte dirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!