“Mas ndak nyangka Dik, dalam beberapa hari kedepan, kita akan resmi menjadi pasangan. Mas harap, mas bisa membahagiakanmu,” ucap seorang lelaki berkumis tipis, senyum di bibir hitamnya tampak manis. Ia menunggu jawaban wanitanya, yang hanya memilih diam menatap sepasang kakinya yang mengenakan sandal baru dengan hiasan bunga matahari di bagian atasnya.
“Setelah acara hari ini, kita akan fokus rencana kita Dik, mas benar-benar ndak sabar menunggu saat itu, apa kamu juga demikian Dik Inem?”
“I-iya Mas,” jawab wanita bernama lengkap Inem sulastri itu. Ia memang akan menikah karena perjodohan. Namun, meski begitu calon suaminya tulus mencintainya.
“Warmin, ayo kita siap-siap!” panggil Bejo, rekan kerjanya sesama satpam di yayasan tempat mereka bekerja.
“Iya Bang,” jawab Warmin lantang, sejenak memandang rekan seniornya itu sebelum akhirnya kembali memeta wajah ayu pujaan hatinya, wanita itu hanya menunduk. Warmin sangat gemas melihat sikap malu-malu calon istrinya itu, ia meraih tangan mungil berkulit putih itu lantas menggenggamnya erat.
“Mas pergi dulu ya Dik, kamu kembalilah ke kantin. Kita fokus bekerja dihari terakhir kita ya.” Seulas senyum terpatri pada wajah sang lelaki, sebelum akhirnya Warmin beranjak pergi meninggalkan Inem sendiri.
Ia bersenandung riang menemui rekan-rekannya, tugas seorang satpam bukanlah mudah meski kelihatannya remeh, ia dan ketiga rekannya harus menjaga keamanan yayasan dan mengatur setiap jalannya acara yang mungkin diselenggarakan di tempat mereka bekerja, seperti pagi ini yayasan akan kedatangan guru bantu dari kota lain yang jarak tempuhnya lumayan jauh.
Pemimpin yayasan sengaja meminta tenaga pendidik untuk yayasan mereka yang baru saja berkembang, meski letaknya di desa tapi menuju kota tidaklah terlalu jauh, hanya terhalang hutan jati yang tak terlalu luas.
“Cie yang mau nikah, nggak bisa ya jauh-jauh dari calonnya?” goda Bejo saat Warmin datang mendekat, kedua temannya Dori dan Imin hanya tersenyum menanggapi candaan Bejo pada rekannya yang memang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi itu.
“Jangan gitulah Bang, Bang Bejo ini kayak yang nggak pernah berada di posisi Warmin aja,” sanggah Dori anggota satpam yang usianya paling muda.
“Kamu ndak tau memang Dori, nanti kalau kamu sudah nemu calon pasti juga kayak dia,” jawab Bejo. Mereka tertawa serentak, lantas kembali sibuk mengatur lokasi parkir para guru yang mulai berdatangan. Di sela kesibukannya, Warmin sempat melihat adik lelakinya yang juga bekerja di yayasan yang sama, hanya saja lelaki itu berada di kantin bersama Inem dan para penjual lain.
“Warmin, bukannya itu si Heru ya? kenapa dia jalannya gitu?” ucap Imin yang juga melihat adik rekannya berjalan mengendap menuju gudang. Tak sempat Warmin memberi jawaban, saat Imin dipanggil oleh Bejo untuk membantunya mengangkat tong sampah yang terguling saat seorang guru wanita tak sengaja menabrak tong dan membuat sampah jatuh berserakan.
Warmin melihat sekilas apa yang terjadi, sadar bahwa ketiga temannya telah memberikan bantuan pada guru wanita bernama Tasya itu, Warmin memilih mengikuti sang adik yang di matanya tampak mencurigakan.
Menyusuri bangunan kelas kosong untuk menuju gudang, jantung Warmin berdetak kencang. Pasalnya ia melihat sekelebat bayangan wanita yang amat dikenalnya berjalan dari arah berbeda menuju tempat yang sama dimana adiknya berada. Warmin perlahan mendekati jendela nako jadul, yang terpasang di gudang tua itu.
Kaca jendela tampak usang dan berdebu, bahkan sarang laba-laba menutupi pandangannya ke dalam ruangan yang sedikit gelap itu. Warmin harus menyibak sarang hewan berkaki delapan atau yang sering disebut sawang untuk bisa melihat aktivitas di dalam gudang. Matanya mulai bersahabat dengan gelap, saat dalam remang-remang ia melihat Heru memeluk calon istrinya.
Dada Warmin bergejolak hebat, gemuruh badai di otaknya membuat lidahnya kelu, saat terdengar suara desahan Inem yang mengalir begitu saja bagai air sungai, desahan itu bersahutan dan pemandangan tak terelakkan terpampang jelas di depan matanya. Calon istri tengah bersetubuh dengan adiknya sendiri, erangan demi erangan terdengar memuakkan.
Warmin tak mampu berkata-kata, untuk marah saja ia tak mampu. Tangannya mengepal kuat bersama nafasnya yang menderu, dadanya naik turun menahan amarah, sungguh penghianatan besar dari orang-orang terdekatnya, orang yang amat dicintainya selama ini.
Drrt drrt… drrt…
Warmin terkesiap, ponselnya bergetar-getar dan itu berhasil menghentikan kegiatan di dalam sana, dua insan berdosa di dalam gudang segera meraih pakaian yang tercecer, terburu-buru mengenakannya kembali. Melihat hal itu Warmin memilih berjalan berjingkat meninggalkan tempat persembunyiannya.
Meski gemuruh dalam dada masih sesak terasa, tangannya pun gemetar saat meraih ponsel dan membaca pesan dari Bejo yang mencarinya. Seniornya itu meminta dia segera datang, karena tamu mereka telah tiba. Tak berpikir panjang, Warmin bertekad melupakan apa yang baru saja terjadi, ia akan menjalankan tugas terlebih dulu, meski jelas itu tak akan mudah untuk dilakukan.
***
Kendaraan yang membawa rombongan Kia dan kawan-kawan memasuki pelataran masjid, di samping kanan kirinya berjajar bangunan sekolah memutar membentuk huruf U. Gerbang utama tidaklah lebar, mungkin orang akan mengira di balik gerbang hanya ada masjid, karena memang hanya itu yang tampak dari arah jalan raya. Namun, siapa sangka jika di balik gerbang terdapat bangunan sekolah besar bertingkat.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sampai juga. Ayo kita turun,” ajak seorang lelaki muda yang memang bertugas mengantar anak-anak dari yayasan SMAHI menuju tempat baru mereka.
“Baik Pak Andi,” jawab mereka hampir serentak.
Evan dan Ijan turun pertama, disusul Shella dan Kia, dan yang terakhir Husin. Mereka berlima bersama supir dan seorang lelaki muda perwakilan SMAHI yang ditugaskan berjumpa dengan pimpinan yayasan Uswatun Hasanah, tempat baru mereka, guna menitipkan lima remaja ini.
“Assalamualaikum, selamat datang di desa Gondowangi. Perkenalkan saya Pak Umar, Kepala desa Gondowangi.
“Saya Andi Pak, perwakilan dari SMAHI, dan ini anak-anak yang akan bertugas disini,” jawab Pak Andi menjabat tangan pak Umar, lantas menunjuk pada lima remaja yang dibawanya. Husin, Evan dan Ijan ikut berjabat tangan sedangkan Kia dan Shella hanya mengangguk sopan.
“Mari saya antar menemui ustadz Subkhi,” ajak lelaki berkulit sawo matang dengan alisnya yang tebal dan mata yang lebar itu, dari senyumnya tampaklah dia lelaki yang sabar dan bijaksana.
Kemudian rombongan dari kota itu pun mengikuti langkah pak Umar menuju gedung sekolah. Disana Ustadz Subkhi menunggu kedatangan mereka.
Kesan pertama yang Kia dapatkan dari tempat baru mereka adalah dingin dan sepi, masih banyak pepohonan besar yang tinggi menjulang seolah hendak menyentuh langit, sebenarnya tak heran karena tempat baru mereka ini adalah dataran tinggi, sudah masuk area pegunungan.
“Ki, kok tempatnya serem ya?” Shella menarik diri mendekati Kia, jujur saja ia memang merasakan hawa dingin menusuk kulit dan perasaan tak nyaman kali pertama kakinya menginjak tanah desa Gondowangi itu. Kia hanya tersenyum seraya menepuk pelan tangan Shella yang melingkar di lengannya.
Annyeong yeorobun...
Sesuai janji, othor kembali bersama Tazkia dan yang lain. Meski harus bener-bener minta maaf ini sama kalian, karena telat banget kan? Kan? Kan?
Yup, ternyata othor butuh banyak waktu untuk mematangkan ide dari cerita satu ini, khawatir bikin kalian kecewa sama isinya. Muehehehe
So, baca yuk...baca. Awas nggak baca, othor nangis gulung-gulung nih. Canda canda.
Tapi, othor serius kok tolong baca ya, trus jangan lupa reactionnya, like komen, lempar vote tiap minggu. 😂🙏
Agar mimpi othor bisa segera terkabul, sebagai gantinya othor doakan kalian semua sukses, sehat, panjang umur, murah rizki, cepet dapat jodoh bagi yang belum punya. Amiiiin.
Happy reading yeorobun. Love sekebon. 😘
Kedatangan mereka disambut langsung oleh Ustadz Subkhi dan istrinya, yang menurut Pak Andi adalah pengelola yayasan UH (Uswatun Hasanah), juga beberapa lelaki dan perempuan yang Kia kira adalah guru disana.
“Assalamualaikum, selamat datang di yayasan Uswatun Hasanah, kami semua sudah sangat menunggu kedatangan adik-adik dari SMA Harmoni Ilmu, mari silahkan duduk.” Ustadz Subkhi mempersilahkan mereka duduk di atas hamparan karpet berwarna biru yang terdapat beraneka suguhan khas desa di atasnya.
Semua orang duduk lesehan, dan ustadz Subkhi meminta maaf karena tempatnya yang sangat sederhana, bahkan kenyataan mereka harus duduk lesehan tanpa kursi.
“Tidak apa-apa Ustadz, ini sudah lebih dari cukup. Ustadz sudah menyambut kedatangan kami sendiri itu sudah suatu kehormatan bagi kami, mengingat jadwal Ustadz yang sangat padat,” timpal pak Andi, anak-anak hanya diam menyimak pembicaraan orang dewasa tanpa berani menyela.
Pak Andi mulai membicarakan tentang maksud kedatangan mereka, meski ini adalah keinginan ustadz Subkhi juga. Menitipkan kelima anak yang dibawanya itu. “Anak-anak ini, mendapat beasiswa di universitas Gading di kota ini. Sesuai rencana, kami akan menitipkan mereka pada Pak ustadz, agar mereka juga bisa membantu Pak Ustadz dan ustadzah menjaga adik-adik di yayasan Uswatun Hasanah.”
“Baik Mas Andi, itu juga keinginan kami. Kebetulan yayasan Uswatun Hasanah sangat membutuhkan bantuan tenaga pengajar, utamanya anak-anak TPQ. Karena semenjak kami membuka Taman pendidikan Alquran setahun yang lalu, siswi yang mendaftar semakin lama semakin banyak. Kalau untuk guru sekolah pagi, insya Allah sudah cukup. Guru Tpq yang membantu istri saya ini yang masih kurang,” jawab ustadz Subkhi setelah menunjuk istrinya yang tersenyum ramah.
“Iya Pak Ustadz, insya Allah mereka dikasih tugas apa saja sudah bisa. Ustadzah mau dibantu masak, bersih-bersih juga bisa ini mbak Kia sama mbak Shella. Kalau benerin genteng atau yang berurusan kerjaan lelaki insya Allah tiga jagoan SMAHI ini juga mampu,” canda pak Andi lagi, berhasil mencairkan suasana hingga seisi ruang tertawa oleh ucapannya.
“Tenang saja mas Andi, kami akan menjaga adik-adik yang cantik dan ganteng ini di desa kami, di jamin mereka akan betah di desa Gondowangi. Siapa tau bisa dapat jodoh orang sini juga, ya kan? kayak ustadz Subkhi yang kecantol Neng Aisyah,” timpal bapak Kepala desa membuat kelima remaja ini tampak malu-malu.
Apalagi saat Pak Andi mengaminkannya, Evan mendorong pundak Ijan dan membuat lelaki bertubuh sedikit berisi itu terhuyung ke depan. Untung saja ia mampu menahan beban tubuhnya, kalau tidak bisa saja ia jatuh diatas tumpukan kue talam di dalam piring.
Ditengah riuhnya suasana dalam ruangan, hawa dingin dan kencangnya angin dari kipas angin yang sengaja diletakkan disetiap sudut ruangan membuat Kia ingin buang air. Ia merasa sungkan jika harus meminta izin saat percakapan masih berlangsung. “Shel, aku pengen pipis. Gimana nih? dimana ya letak toiletnya?”
“Kayaknya aku tadi sempat lihat deh Ki, di samping pos satpam ada tulisan toilet, di pintu masuk Ki. Mau kuantar?” Shella menatap temannya yang mulai meringis menahan keinginan buang hajat.
“Nggak usah deh, biar aku berangkat sendiri,” jawab Kia. Ia hanya tak ingin menarik perhatian banyak orang jika harus pergi dengan Shella. Jika sendiri, dengan tubuhnya yang mungil mudah baginya menyelinap di antara para guru yang duduk di samping pintu.
“Mau kemana?” tanya Husin tatkala melihat Kia beringsut meninggalkan ruangan. Kia hanya melirik, ia masih kesal lantaran sepanjang perjalanan Husin bersikap seolah tak mengenalnya. Lelaki itu hanya diam memejamkan mata, bahkan saat Kia mengajaknya berbincang, Husin dengan sengaja tak menjawab pertanyaannya. Evan dan Ijan lah yang aktif mengajak dirinya dan Shella berbincang.
“Hah, ternyata kamu punya mulut juga,” ketus Kia dengan suara lirih yang masih mampu didengar Husin. Lelaki itu tampak heran, tapi tak berniat memberikan jawaban lagi. Ia membiarkan Kia melewatinya dan menghilang di balik pintu.
Kia pun berangkat seorang diri dan berhasil sampai di depan toilet, ia berhenti sejenak sebab mendengar suara gaduh dari dalam toilet yang terletak dipojok bangunan itu. Suasana sangat sepi, sebab semua orang berkumpul di dalam ruangan, bahkan para satpam dan tukang kebun menyimak jalannya acara perkenalan dari luar ruangan. Sesekali mereka tertawa bersama, mungkin candaan Pak Andi, Ustadz Subkhi dan juga pak Kades membuat perut mereka tergelitik.
BUGH! BUGH!
Kia terkesiap, ia mendengar seperti suara adu jotos diantara dua orang di dalam sana, Kia melupakan keinginan buang air, ia mencoba mengintip dan keluarlah seorang lelaki berkulit gelap dengan bulu-bulu tipis yang tumbuh rapi di atas bibirnya. Lelaki itu tersenyum melihat Kia. “Mau ke toilet Neng?”
“Ah, i-iya Pak.”
“Toilet ini sudah tidak berfungsi Neng, kalau Neng mau buang hajat ke sebelah sana saja Neng, itu disamping kantin,” tunjuk lelaki dengan peluh membanjiri wajahnya.
Kia merasa curiga dengan gelagat lelaki di depannya yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. Namun, ia tak mau mencari masalah dihari pertama kedatangannya. Ia mengucapkan terima kasih, mengangguk berpamitan dan segera melangkah pergi menuju toilet disamping kantin, tepat disisi kanan masjid yang ditunjukkan oleh lelaki itu.
Malam pertama di tempat baru, suasana baru dengan teman-teman baru. Entah sudah berapa kali Shella merengek mengatakan jika ia tak betah. Udara di desa Gondowangi terlalu dingin hingga belum genap dua puluh empat jam gadis berkacamata itu sudah mengalami flu, ia terus saja bersin hingga ujung hidungnya memerah. Berlembar-lembar tisu ia gunakan untuk mengelap ingusnya yang terus saja banjir.
“Mau ke kamar mandi bareng nggak?” tanya Devina, teman sekamar mereka. Gadis manis dengan lesung pipi yang setahun lebih dulu menetap di yayasan UH. Gadis bertubuh seksi bak model itu berasal dari pesantren, yang sengaja di minta oleh ustadz Subkhi untuk menjadi guru badal atau pengganti, jika ustadz sedang ada undangan keluar kota.
Ustadz Subkhi memang seorang da’i kondang, lelaki berkharisma itu sering keluar kota meninggalkan yayasan, dan disaat itulah Devina yang bertugas menggantikan beliau mengajar anak-anak.
“Nggak deh Kak, dingin banget aku nggak kuat,” jawab Shella, usia Devina memang setahun lebih tua darinya, jadi Shella dan Kia sengaja memanggil Devi dengan panggilan kakak untuk menghormati gadis itu. “Oh iya Kak, sebelah kamar kita ini rel kereta ya? suaranya berisik sekali, wah mana bisa tidur nih kalau gini caranya.” Shella menghamparkan selimut bulu kesayangan, yang ia bawa dari asrama dulu, selimut andalan yang menurutnya tak akan bisa tidur tanpa selimut itu.
“Ya, tapi ya nggak mepet banget. Kamu bisa lihat sendiri dari jendela, tapi kalau malam gini nggak kelihatan sih, masih minim penerangan di daerah sini. Kalau siang baru deh bisa lihat kereta api beroperasi,” tutur Devi.
“Astaghfirullah, ponselku mana ya Shel? jangan-jangan, tertinggal di taman.” Tiba-tiba saja Kia heboh sendiri, mencari-cari benda pipih yang seingatnya telah disimpan dalam saku jaket. Namun, ternyata nihil. “Aku coba cek deh,” ucap Kia lagi.
“Kita barengan aja Kia, nanti pulangnya sekalian tungguin aku,” usul Devi. Bukan tanpa alasan permintaannya ini, sebab untuk menuju taman Kia memang harus melewati kamar mandi dan kolam, barulah ia akan menjumpai sebuah tempat yang dibangun khusus untuk bersantai tepat di samping taman. Disanalah mereka bertiga tadi berbincang.
“Baiklah Kak, kita berangkat sekarang?”
“Yuk,” jawab Devina, mereka berdua berjalan beriringan keluar kamar.
“Jangan lama-lama ya,” pinta Shella memelas, Devi kembali mengajaknya, tapi gadis berkacamata itu tetap menolak dengan alasan tenggorokannya yang mulai terasa tak nyaman. Ia khawatir akan sakit jika tak segera beristirahat, Shella memang terlalu banyak makan kerupuk makaroni tadi saat acara penyambutan kedatangan mereka, mungkin itulah penyebabnya.
Dua gadis berjalan beriringan sambil terus bercengkrama, lantas berpisah tepat di depan kamar mandi. “Kamu berani kan berangkat sendiri? apa perlu aku temani Kia? Kebetulan ini juga masih antri kamar mandinya." Devina menawarkan diri.
“Tak perlu Kak, Kakak ke kamar mandi aja dulu, mumpung masih rame. Nanti kita ketemu disini lagi.” Kia melempar senyum sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju taman seorang diri.
Kia sedikit merinding saat melewati kolam, ia menyadari keadaan tak lagi sama. Rupanya lampu utama telah dimatikan, berganti dengan lampu taman berwarna kuning yang membuat suasana tampak remang-remang. Kia berjalan pelan, tangan meremas ujung jaket, mata awas menatap sekeliling, khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tak seharusnya dilihat.
Sudah sangat hafal dengan suasana seperti ini, meski sedari kecil ia mengalaminya, tetap saja jantung berdetak kencang dan tubuh gemetar jika dihadapkan dengan keadaan yang sama. Ia tak menyukai kemampuannya bisa mendeteksi keberadaan mahluk tak kasat mata. Ia iri pada mereka yang bisa hidup normal.
Teringat ucapan sang ayah, di malam terakhir sebelum keberangkatan menuju desa Gondowangi. “Putriku, Tazkia Isyfi. Ada yang ingin ayah katakan padamu. Sudah saatnya kamu mengetahui semua, tentang keluarga kita.”
Ayah mengambil duduk di bibir ranjang saat Kia tengah bersiap di depan meja belajar, memilah milah buku apa saja yang harus ia bawa nanti. “Ada apa Ayah?” jawabnya kala itu.
“Duduklah.” Ayah memintanya duduk menyimak, Kia tahu jika ayah sudah mode serius pasti apa yang akan disampaikan bukanlah main-main. Ia pun menuruti perintah satu-satunya orang tua yang tersisa dalam hidupnya, ayah sekaligus ibu baginya.
“Pasti beratkan putriku? Ayah tahu, kamu berbeda dari gadis seusiamu. Kamu punya kemampuan spesial.”
Kia terkejut, sejak kecil sang ayah tak pernah mempercayai ucapannya. Lelaki itu hanya mengatakan jika Kia berhalusinasi, apa yang dilihatnya tak nyata. Kia hanya kecapekan dan perlu beristirahat dan masih banyak lagi alasan yang beliau buat untuk menafikan kemampuan itu.
“T-tapi, kenapa selama ini ayah tak mempercayaiku?” tanya Kia, ada getar dalam suaranya yang terdengar parau, mungkin ia kecewa sebab sang ayah selalu mengabaikan keluhannya bahkan saat ia benar-benar butuh bantuan untuk menghalau rasa takut.
“Karena, itu belum waktunya. Maafkan ayah, ayah hanya ingin kamu berproses sendiri, kamu keturunan terakhir dan tugasmu sangatlah berat.”
“Maksud Ayah? tunggu, Kia nggak paham, apa maksud dari keturunan terakhir?”
BRAK...
Suara keras dari arah gudang yang terletak di samping kolam membuat lamunan Kia tentang percakapannya dengan sang ayah pun terhenti, ia telah menemukan ponselnya yang memang tertinggal di samping taman. Kia melihat ke arah gudang dan bayangan hitam seorang wanita muncul dari balik pintu, wanita itu berlari cepat meninggalkan gudang.
“Siapa wanita itu? kenapa dia keluar dari gudang gelap malam-malam begini?” gumamnya seorang diri. Ponsel di tangan bergetar-getar, Kia melirik layarnya yang terus berkedip. Tiga pesan masuk dari ayah, dan beberapa panggilan tak terjawab juga dari beliau. Kia mengusap layar ponsel dan pesan sang ayah yang menanyakan keberadaannya terpampang jelas di sana.
Kamu dimana putriku?
Kenapa tak dibalas? oh kamu pasti sedang sibuk ya, baiklah… nanti hubungi ayah ketika sudah senggang.
Tazkia!! kenapa tak menerima panggilan ayah? kamu tidak apa-apa kan Nak?
“Astaga, ayah…” Kia tersenyum mendapati sisi lain dari sang ayah yang bagaikan kekasih posesif. Selama ini ayahnya belum pernah seperti ini, Kia hampir seperti domba yang diumbar oleh tuannya, kemanapun ia izin pergi, ayah akan melepasnya dengan suka cita. Tapi, kini ayah berbeda, mungkin karena mereka terpisah jauh kali ini. Ayah Kia juga tak bisa terlalu sering menjenguk karena pekerjaan.
Jari jemarinya mulai lincah mengetik pesan balasan untuk sang ayah saat ekor mata menangkap pergerakan di depan gudang, Kia merapatkan tubuh di balik tanaman bonsai cemara yang tumbuh terawat di taman itu, mengerutkan dahi demi melihat siapakah gerangan lelaki yang baru saja keluar dari dalam gudang gelap itu. “Loh, bukannya itu… aaah, apa mereka pacaran ya?” gumam Kia, ia tersenyum, sadar telah memergoki sepasang kekasih yang baru saja berjumpa secara sembunyi-sembunyi.
Kia keluar dari tempat persembunyian saat dirasa lelaki itu telah pergi jauh dari gudang, ia tersipu malu membayangkan apa yang mungkin dilakukan sepasang kekasih di tempat gelap. Sadar bahwa ia masih berada di taman di tengah malam, Kia bergegas pergi kembali ke kamar mandi untuk menemui Devina. Tepat di depan kolam, ia berjumpa seseorang. “Astaghfirullah, si-siapa kamu?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!