NovelToon NovelToon

Aku Dan Takdirku

Draft

Tok... Tok...

"Masuk!".

Ceklek

"Dokter?" seorang pria berpakaian hitam putih berjalan menghampiri mereka dengan senyum mengembang diwajahnya. "Dok, apa ini anak kami?".

"Iya, selamat atas kelahiran putrinya" jawab sang dokter melihat si perawat memberikan putri mungil tersebut ditangan kedua orang tuanya. "Hanya saja...

Sepasang suami istri itu langsung melihat kepadanya, "Ada apa dok?" tanya si istri dengan mimik wajah khawatir melihat si dokter seperti sedang ingin memberitahu sesuatu yang membuat hati dan pikirannya terganggu. "Ada apa dok? Ada apa dengan putri kami? Dia baik-baik saja kan dok?".

Tersenyum, namun setelah itu sang dokter berjalan mendekati kedua pasutri tersebut. Kemudian melirik bayi mungil mereka, "Dengan berat hati saya harus memberitahu kepada ibu dan bapak, kalau bayi ini...

"Kenapa dok? Tolong jangan buat kami khawatir".

"Seperti yang saya lihat, bayi ini mengalami gagal jantung".

Duuuaaarrrrrr

Bagaikan disambar petir, sepasang suami istri tersebut langsung menangis histeris begitu mereka mendengar perkataan sang dokter kalau keadaan putri mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Tapi ini masih prediksi saya" ucap sang dokter itu kembali. "Saya harap ibu dan bapak tidak perlu khawatir dan juga banyak-banyak berdoa, agar bayi mungil ini tidak kenapa-kenapa. Untuk lebih memastikan, silahkan ibu dan bapak membawa anak ini setelah 3 bulan kemudian" ia mencoba menenangkan mereka. "Kalau begitu, kami permisi".

Tidak lama begitu mereka keluar, "Sayang, aku tidak mau anak ini. Aku tidak mau menerima anak ini" ucap sang istri dengan air mata yang terus menerus berderai. "Bagaimana kalau sampai kedua orang tua kamu tau, bahwa anak ini mengalami gagal jantung? Mereka pasti akan sangat marah besar sayang? Mereka pasti akan mengutukku dan mengatai aku menantu tidak berguna hiks.. Hiks..".

"Lalu apa yang harus kita lakukan sayang? Bayi ini tidak berdosa, dia sama sekali tidak tau apa-apa".

"Pokoknya aku tidak mau tau sayang, aku tidak mau menerima kenyataan ini. Aku tidak mau papa dan mama kam... Aarrrkkhhh, kenapa harus seperti ini? Kenapa ini harus terjadi kepada ku aarrrkkhhh.. Apa salah ku? Dosa apa yang sudah aku lakukan sehingga aku harus menerima kenyataan ini hiks..".

"Sayang!" dengan erat sang suami memeluk istrinya. "Mau bagaimana pun anak ini anak kita, anak yang selama ini kita nanti-nantikan. Aku tidak akan perduli dengan kedua orang tua ku. Aku berjanji sayang kalau aku akan berjuang untuk mempertahankan putri kita".

"Sayang...

"Sshhhuuttt... Kamu tidak usah berpikir sampai sejauh itu sayang. Tugas kita saat ini hanyalah banyak berdoa semoga anak ini...

"Tidak sayang! Kamu dengar sendiri kan apa kata dokter tadi? Anak kita.. Anak kita mengalami bocor jantung. Terus, begitu kabar ini sampai ditelinga papa dan mama kamu. Semua akan berakhir, mereka pasti akan sangat membenciku, bahkan mereka akan memaksa mu untuk menceraikan aku sayang aarrrkkhhh hiks.. hiks..".

"Terus mau kamu sekarang apa?" dengan berat hati sambil menarik nafas dalam-dalam sang suami bertanya kepada istrinya.

"Aku mau kamu mengganti anak ini".

"Apa?".

"Tidak ada jalan lain, kamu harus mengganti bayi ini dengan bayi yang sempurna. Aku mohon, tolong dengarkan aku sekali ini saja, aku tidak mau menerima bayi ini. Apapun yang terjadi, kamu harus mengganti bayi ini sebelum papa sama mama tiba di Indonesia".

"Baiklah kalau itu mau kamu, aku harap kamu tidak akan menyesalinya".

Tersenyum, "Terima kasih sayang, terima kasih banyak".

*

3 hari kemudian di sebuah pantai asuhan, tiba-tiba seorang wanita paruh baya melihat bayi mungil yang begitu sangat menggemaskan tergeletak diatas meja dengan pakaian hangat membuat ia langsung melihat sekelilingnya.

"Astaga! Siapa yang sudah menaruh bayi ini disini?" ia masih mencoba mencari sosok yang sudah menaruh bayi tersebut disana. Namun ia tak kunjung menemukan, hingga akhirnya ia membawa bayi tersebut masuk ke dalam rumah.

"Ibu? Itu apa yang ibu bawa?".

"Iya Bu, itu apa?".

Wanita paruh baya tersebut tersenyum yang tak lain adalah Sabrina, ibu si pemilik panti asuhan.

"Bayi" jawabnya melihat mereka.

"Apa? Bayi?" mereka sedikit kaget. "Bayi siapa Bu? Lalu dimana orang tua bayi itu?".

"Ibu tidak tau. Ibu hanya menemukan bayi ini tergeletak diatas meja yang ada di taman".

Dengan raut wajah sedih mereka melihat si bayi mungil tersebut, "Kasihan sekali, kenapa bayi mungil ini harus merasakan kesedihan yang kita rasakan Bu. Bahkan, disaat dia dewasa nanti, dia tidak akan mengetahui siapa orang tuanya".

Sabrina tersenyum, "Begitulah takdir manusia! Tidak semua orang bisa merasakan kehangatan kedua orang tuanya. Kalian juga jangan terus menerus berkecil hati, sebab kalian semua begitu sangat sempurna dimata Tuhan".

Mereka tertawa, "Ibu Sabrina bisa saja menghibur kami. Terus, ibu akan memberinya nama siapa?".

"Miraya, ibu akan memberikan nama itu. Nama yang begitu sangat indah bukan?".

"Iya bu, Miraya nama yang begitu sangat indah".

"Mmmm, semoga nama itu akan selalu melindungi dia sampai dewasa nanti".

"Amin".

*

20 tahu kemudian..

"Mira! Mira! Kamu dimana?" Diana mencoba mencari sang pemilik nama tersebut. "Ya ampun, anak itu ada dimana sih? Udah tau ini sudah hampir jam 8 pagi, tapi dia belum juga...

"Diana! Aku disini" dengan wajah sedikit tertawa Miraya melambaikan tangan kepada Diana yang sudah kesal menunggu dirinya.

"Ya ampun Mira, kamu dari mana saja sih? Kamu enggak lihat...

"Aku tau dan aku minta maaf hehehehe.. Tadi aku ada urusan sebentar".

"Urusan apa?".

"Nanti aku cerita, sekarang ayo kita berangkat sebelum kita berdua benar-benar akan terlambat".

"Tapi tunggu sebentar".

"Apa?".

"Ibu Shabrina" jawab Diana melihat sekeliling mereka. "Tadi ibu Shabrina begitu sangat buru-buru sekali, tapi aku tidak tau ibu itu mau pergi kemana".

"Oh, paling ibu Shabrina mau pergi ke pasar atau tidak ibu itu mau bertemu keluarga atau teman-temannya gitu".

"Mmmm, mungkin saja kali yah. Ya sudah, ayo kita pergi".

"Ayo".

Tidak lama begitu kedua orang itu tiba di kampus, mereka pun langsung berpisah menuju ruangan mereka masing-masing. Namun Miraya bukannya memasuki kelas, ia malah berjalan menuju kantin, sebab ia tiba-tiba merasa lapar.

"Sebentar saja Mira, kamu harus mengisi perut dulu sebelum masuk ke dalam ruangan itu" ucapnya dalam hati.

Kemudian Miraya mengambil salah satu kursi yang berada di bagian pojok kantin, lalu ia memesan makanan dan minuman yang selalu ia pesan setiap kali ia memasuki kantin tersebut.

"Oh iya Bu, Mira minta tolong yah pesanan Mira sedikit di percepat hihihihi" dengan wajah tidak enak ia menunjukkan gigi ratanya.

"Iya Mira, tidak apa-apa. Ibu akan segera membuat pesanan kamu".

"Hehehehe.. Terima kasih Bu".

Lalu si pelayan kantin pergi meninggalkan Mira, kemudian Miraya mencoba mengeluarkan ponselnya dari dalam tas sembari melihat kearah sekeliling kantin dengan wajah linglung hingga berselang 10 menit kemudian.

"Ekh, tuan muda!" dengan senyuman, wanita yang biasa duduk di kursi kasir begitu sangat manis menyambut pria yang baru saja memasuki kantin tersebut. "Silahkan duduk tuan! Mau pesan apa? Pelayan kami akan segera membawa pesanan tuan".

"Tuan?" Miraya bergumam dalam hati. "Siapa pria itu? Kenapa dia memanggilnya dengan sebutan tuan?".

Bab 2

DDDDRRRTTTTT... DDDDRRRTTTTT...

"Nona, ponselnya bergetar".

"Astaga!" Miraya melonjak kaget melihat si pegawai kantin membawa pesanannya tadi. "Ya ampun bu, aku bahkan tidak menyadari kalau ibu sudah datang. Terima kasih ya bu".

"Mmmm".

Kemudian Miraya mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu melihat 1 panggilan tak terjawab dari ibu Shabrina.

"Ibu?" tidak lama setelah itu, ia pun segera menghubungi nomor itu kembali, namun sayangnya, nomor tersebut malah berada diluar jangkauan. "Ada apa? Kenapa nomor ibu Shabrina malah tidak aktif yah?".

Sambil bergumam dalam hati, lagi-lagi Miraya mengingat pria itu, pria yang sudah membuat hati Miraya tersentuh. Entah itu sekedar mengagumi ataupun cinta pada pandangan pertama.

"Loh, kemana perginya dia?" sayangnya ia tidak melihat pria itu lagi berada disana. Dan dengan sedikit perasaan kecewa, "Hhhmm, siapa pria itu? Sepertinya dia bukanlah seorang mahasiswa di kampus ini dan juga dia bukanlah Dosen. Terus, siapa pria itu?".

Tidak lama setelah Miraya selesai menikmati sarapan, ia pun segera pergi meninggalkan kantin menuju ruangan. Lalu ia melihat di dalam kelas tersebut, semua para mahasiswa terlihat begitu sangat tertib, bahkan diantara mereka tidak satupun orang mengeluarkan suara.

"Tumben, ada apa dengan mereka? Tidak seperti biasa ruangan ini begitu sangat...

"Kamu!".

Deng!

Suara yang baru saja menegurnya membuat Miraya menghentikan langkah kaki, lalu melirik kearah sumber suara dengan raut wajah kaget dan juga penasaran.

"Nama kamu siapa?".

"Ya ampun, pria ini" Miraya langsung mengingat pria yang tadi ia lihat di kantin. "Sedang apa dia disini? Dan juga.. Jangan bilang dia...

"Kamu tidak mendengarkan saya?".

Suara itu terdengar semakin begitu sangat ketus hingga Miraya semakin dibuat tidak berkutik sama halnya dengan mahasiswa lainnya.

"Ma-maaf pak" jawab Miraya menunduk.

"Kamu ini tuli?".

"Tidak pak".

"Kalau begitu, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan saya kalau kamu tidak tuli?".

"Sekali lagi saya minta maaf pak".

Pria tersebut langsung mendengus dengan nada kesal, lalu melihat mereka semua sambil bertanya siapa nama wanita yang berada di hadapannya itu.

"Miraya pak" jawab mereka.

"Miraya?" lalu ia kembali menatap Miraya. "Miraya! Apa itu benar nama mu?".

"Iya pak, itu nama saya".

"Lalu kenapa dari tadi saya bertanya nama kamu siapa...

"Maaf pak! Saya minta maaf karna saya sedikit kaget" ucap Miraya memotong perkataan si pria tersebut tanpa Miraya sadari kalau saja si pria yang berada dihadapannya itu sedang menatap wajahnya dengan sangar. Sedangkan mereka yang menyadari tatapan maut si pria itu, tidak bisa berkata-kata selain berkata dalam hati.

"Astaga Miraya! Kamu terlalu berani sekali memotong pembicaraan pria itu. Tidakkah kamu merasa takut sama sekali? Astaga!".

Kemudian si pria tersebut berjalan mendekati Miraya, lalu menarik dagunya sembari menatap kedua bola mata Miraya yang begitu sangat indah. Namun selang beberapa menit, pria itu melepaskan tangannya dari dagu Miraya dan menyuruh Miraya bergabung dengan yang lainnya.

"Ya Tuhan, rasanya jantung ini hampir saja berhenti berdetak. Dia sangat menakutkan sekali" ia lalu duduk diatas kursi. "Kuharap aku tidak akan pernah bertemu pria itu lagi".

Hingga kelas itu kembali hening, kemudian pria itu memperkenalkan dirinya kepada mereka sembari menatap mereka satu persatu dengan cara saksama.

"Selamat pagi semuanya!".

"Pagi pak!".

"Baik, terima kasih. Saya akan memperkenalkan diri kepada kalian. Namun sebelum itu, diantara kalian, ada yang mengenal saya?" pria itu menatap mereka dengan serius. "Tidak ada?".

"Tidak pak".

"Baiklah" ia lalu menulis sebuah tulisan di papan tulis tersebut yang tak lain adalah nama pria itu sendiri. "Nama saya Alexander Graham Lemos. Kalian bisa memanggil saya pak Alex".

"Mmmmm" gumam mereka dengan wajah menegangkan itu lagi.

"Dan kehadiran saya disini bukan untuk membawakan mata kuliah seperti Dosen lainnya, tapi saya disini ingin memberitahu kalian semua para mahasiswa. Bahwa saya sudah menjadi bagian dari ketua universitas ini".

"Loh, kenapa?" tanya mereka dalam hati.

"Kenapa? Ada yang ingin bertanya?".

"Saya pak" jawab salah satu dari mahasiswa tersebut. "Lalu kemana... Lalu bagaimana dengan kepala direktorat kampus ini sebelumnya pak? Kenapa tiba-tiba.. Kenapa tiba-tiba digantikan oleh pak Alex?" ia terlihat sedikit takut.

"Saya memecatnya".

"Apa?".

Mereka mengeluarkan suara secara bersamaan. Lalu kemudian mereka meminta maaf.

"Astaga! Kenapa dia harus menakutkan seperti itu sih?" batin Miraya. "Dia sangat tampan, gagah, tinggi, dan juga.. Mata elangnya begitu sangat menggoda sehingga ia terlihat begitu sangat sempurna".

Tok.. Tok..

"Masuk!".

Ceklek!

"Maaf tuan menganggu waktunya. Ini sudah saatnya kita berangkat, meeting 25 menit lagi akan segera berlangsung" ucap wanita cantik yang berdiri diambang pintu dengan sangat anggun.

"Baiklah".

Tampa aba-aba, Alex segera pergi meninggalkan ruangan mereka dan saat itu juga ruangan tersebut kembali seperti semula dan mereka tidak lupa mengelus dada mereka masih-masing.

"OMG! OMG! OMG! Aku hampir saja mau mati hanya karna dia".

"Aku juga, dia begitu sangat menakutkan sekali".

"Hhhmmm.. Percuma tampan kalau dia seperti ingin menerkam kita semua".

"Iya, benar sekali. Untung saja wanita itu segera memanggilnya dan membawanya pergi dari ruangan kita".

.

"Mita, dimana dokumen yang tadi aku minta?" suara bass milik Alexander membuat wanita itu segera memberikan dokumen tersebut dihadapan Alex. "Berapa menit lagi?".

"Sekitar 7 menit lagi tuan".

"Mereka sudah berada di dalam ruangan?".

"Sudah tuan, saya baru saja mendapatkan informasi dari David".

Namun sebelum Alex memasuki ruangan meeting, ia tampak sedang membaca sebuah buka, dan itu sudah menjadi kebiasaan Alex yang ia lakukan.

"Kamu boleh pergi Mita, saya akan segera menyusul".

"Baik tuan" tampa banyak bertanya, Mita keluar dari dalam ruangan Alexander Graham Lemos menuju ruangan meeting hingga acara tersebut sudah dimulai. "Mohon perhatian! Tuan Alex akan segera ti-ba" ucap Mita melihat Alex tiba diambang pintu membuat ia berhenti. Lalu ia berjalan menghampiri Alex, "Apa yang harus saya lakukan tuan?".

Tidak menjawab pertanyaan Mita, Alex memilih duduk diatas kursi kebesarannya sembari menatap para anggota dewan yang sedang menatap kearahnya.

"Maaf jika saya membuat kalian semua menunggu".

"Tidak apa-apa".

"Terima kasih! Lalu bagaimana dengan pembahasan kita mengenai minggu lalu? Apakah kalian sudah memikirkan mengenai proyek tersebut? Saya mau, proyek itu harus segera dilaksanakan. Saya tidak suka membuang-buang waktu tak jelas seperti ini".

"Kami sudah memikirkan itu tuan Alex" jawab salah satu anggota dewan yang tak lain adalah Akbar. "Hanya saja, untuk saat ini kita sedang mengalami kendala di bagian izin pembangunan".

Alex menatapnya dengan serius, "Katakan, kendala yang seperti apa kamu maksud?".

Bab 3

DDDDRRRTTTTT.. DDDDRRRTTTTT..

"Diana, kamu dimana?".

"Oh iya Mira, aku lupa memberitahu mu kalau aku sedang berada dirumah sakit".

"Rumah sakit? Sedang apa kamu disana? Bukannya tadi kamu?".

"Iya, saat aku memasuki kelas, ibu Shabrina tiba-tiba menelpon memberitahu kalau ibu berada di rumah sakit".

"Astaga! Lalu bagaimana dengan keadaan ibu?".

"Ibu Shabrina baik-baik saja. Beliau hanya kelelahan".

"Baiklah, aku akan kesana".

"Mmmmm".

Tidak lama setelah Miraya mematikan ponselnya, ia segera berlari menuju halte bus, hingga beberapa menit kemudian, bus tersebut tak kunjung tiba disana dan pada akhirnya Miraya memutuskan menggunakan taksi.

"Pak taksi" lalu ia masuk ke dalam dan tak lupa memberitahu sang supir untuk membawa ia kesebuah rumah sakit yang berada dijalan xx. "Ya Tuhan, aku tidak tau apa yang terjadi, tapi aku sangat berharap kalau Bu Shabrina baik-baik saja. Aku tidak mau kehilangan sosok ibu yang begitu sangat baik seperti dia".

Beberapa menit kemudian, akhirnya Miraya tiba di rumah sakit tersebut, lalu ia berlari menuju ruangan, hingga ia tiba disana langsung melihat Shabrina sedang terbaring lemas diatas ranjang rumah sakit.

"Kamu sudah datang Mira?" Diana melihatnya dengan tatapan sendu.

Lalu Miraya menjawabnya dengan anggukan sembari berjalan mendekati Shabrina yang sedang menutup kedua matanya.

"Ibu Shabrina juga menelpon ku".

"Kepan Mira?".

"Setelah kita berpisah, tapi sayangnya aku malah tidak menjawab panggilannya" Miraya meneteskan air mata. "Maafkan aku bu, aku tidak tau kalau...

"Jangan menangis seperti itu Mira, dokter bilang ibu Shabrina hanya kelelahan saja" ia memeluk Miraya dengan lembut. "Ibu Shabrina juga tidak akan suka kalau beliau melihat mu menangis seperti ini".

"Tapi aku.. Aku merasa sangat bersalah Diana, aku merasa kalau...

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" ucap Shabrina menghentikan kedua orang itu. "Ibu sedang butuh istirahat, kalau kalian ingin berdebat, pergilah keluar dari ruangan ini".

Namun kedua orang itu bukannya pergi keluar, mereka malah tersenyum secara bersamaan sambil memeluk Shabrina dengan penuh kebahagiaan.

"Ya Tuhan, aku tidak mau wanita kuat ini jatuh sakit, biar aku saja yang merasakannya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya" Miraya semakin erat memeluk tubuh Shabrina.

"Apa yang kamu bicarakan ini gadis nakal? Kamu...

"Sshhhuuttt... Ibu jangan banyak bicara dulu" kemudian mereka tertawa bersama. "Oh iya Bu...

"Sudah.. Sudah Mira, sebaiknya kalian berdua pergi saja. Ibu sangat butuh istirahat".

"Hhhmmm" kedua gadis itu langsung cemberut seperti sedang menunjukan kekesalan mereka. "Baiklah kalau begitu, semoga ibu cepat pulih".

"Iya, kalian pulanglah".

Tidak lama begitu kedua gadis itu pergi meninggalkan ruangan Shabrina, ia pun kembali istirahat.

.

Jam 21:35 Alex tiba dikediaman keluarga Ramos.

"Alex, kamu baru pulang nak?" wanita itu adalah ibunya Alex. "Kenapa kamu terlihat begitu sangat lelah sekali? Kamu baik-baik saja sayang?".

"Mmmm, aku baik-baik saja ma".

"Tapi kenapa wajah kamu..

"Aku baik-baik saja ma" Alex memotong perkataan Lestari. "Sudah ya ma, aku mau istirahat".

"Tunggu sebentar Alex".

"Apa lagi ma?".

"Ada hal penting mau mama bicarakan dengan mu sama papa".

"Perjodohan lagi?".

Lestari langsung tersenyum, "Iya sayang, ini mengenai perjodohan kamu dengan keluarga Tekur. Ayo duduk dulu" sang ibu lalu menarik pergelangan tangan Alex duduk diatas sofa bersama dengan tuan Ramos. "Oh iya, kemarin bukannya papa sudah bicara dengan keluarga Tekur kalau perjodohan ini segera dilaksanakan".

Ramos menatap putranya, "Mmmm.. Papa sudah bicara dengan calon mertua kamu. Mereka sangat ingin sekali kalau pernikahan kamu dengan Tiara segera dilaksanakan".

Dengan nafas berat Alexander menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

"Kenapa Alex? Kamu terlihat sangat gusar sayang? Apa yang membuat mu seperti itu?".

Dan lagi-lagi Alex menarik nafas panjang, setelah itu ia berkata kalau ia akan siap menerima perjodohan tersebut asalkan mereka tidak terus menerus membahas soal perjodohan dihadapannya lagi.

"Aku sangat lelah, aku ingin istirahat".

"Iya sayang, naiklah mmmm..".

Dengan senang hati, Lestari merangkul lengan suaminya. Ia terlihat begitu sangat bahagia, sebab ia akan memiliki menantu dan juga cucu yang akan mewariskan keluarga mereka nanti.

"Oh iya pa, setelah Alex menikah, papa mau cucu laki-laki atau perempuan? Mama mau anak laki-laki. Kalau papa?".

"Sama saja ma, yang penting anak mereka lahir dengan sempurna".

"Iya sih pa, tapi mama mau anak mereka lahir anak laki-laki".

"Mama ada-ada saja".

Sedangkan Alex begitu ia memasuki kamar, ia langsung mendapatkan panggilan dari Tiara yang akan menjadi calon istrinya. Tidak menunggu lama, ia pun menjawab.

"Mmmmm?".

Tersenyum, "Alex, kamu sedang apa? dari suara mu terdengar kamu begitu sangat lelah sekali".

"Mmmmm, aku baru saja pulang dari kantor. Ada apa?".

"Aku ingin memberitahu mu, kalau hari ini aku baru saja tiba di bandara Soekarno-Hatta. Tidakkah kamu berniat untuk menjemput ku?".

Alex lalu menatap wajahnya di depan cermin, "Kenapa tidak dengan supir mu saja?".

Mendengar jawaban Alex, Tiara mendengus kesal membuat Alex langsung menyadari kalau wanita itu pasti kecewa kepadanya.

"Ya sudah kalau begitu, aku tutup dul...

"Tunggu aku disana, aku akan segera menyusul mu" Alex mematikan ponselnya, ia lalu keluar dari dalam kamar, kemudian berkata kepada sepasang suami istri yang sedang menatapnya dengan heran. "Aku ada urusan sebentar".

"Kemana sayang?".

Namun pertanyaan Lestari tidak dijawab oleh putranya itu, lalu ia melihat suaminya seperti sedang mencari jawaban melalui Ramos.

"Papa juga tidak tau ma" jawab ia melanjutkan membaca koran.

"Tapi pa, mama takut Alex kenapa-kenapa dijalan. ini sudah jam 10 malam, bagaimana bisa papa setenang itu".

"Mama, Alex itu bukan anak kecil lagi".

"Tapi pa..

"Sudah ma, sebaiknya mama istirahat saja. Nanti papa akan menyusul".

"Aaiiisss.. Anak sama papa tidak ada bedanya. Kalian berdua itu sama-sama menyebalkan tau" dengan kesal Lestari langsung pergi meninggalkan Ramos yang masih asik dengan korannya.

Hingga beberapa menit kemudian, Alex telah tiba di bandara, ia lalu mencari sosok wanita tersebut hingga kedua tangan Tiara melambai kepadanya sambil tersenyum manis.

"Alex, aku disini!".

Begitu Alex melihat, ia pun segera menghampiri Tiara.

"Aku pikir kamu tidak akan menjemput ku Alex".

"Mmmm, aku tidak mau calon istri ku kenapa-napa".

Dengan senang hati Tiara langsung memeluk tubuh Alex sambil berkata terima kasih dan tidak lupa mencium bibir Alex yang begitu sangat seksi. Namun berbeda halnya dengan Alex, ia malah melepaskan ciuman tersebut, dan berkata kepada Tiara agar wanita itu tidak melakukannya di depan umum.

"Kenapa?" Tiara pura-pura tidak merasa bersalah sambil melihat sekeliling mereka. "Lagian, apa perduli kamu dengan mereka?".

"Ayo, aku akan mengantar mu pulang".

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!