Di sebuah lantai rumah sakit yang sudah mulai sepi karena memang hari sudah malam. Deru napas seorang wanita beriringan dengan langkah kakinya yang berlari dengan cepat. Berlari melewati pintu demi pintu untuk mencari ruangan yang menjadi tujuannya.
Tadinya semua terasa indah. Bahkan pagi tadi ia masih sempat bercanda dengan anak dan sang suami. Namun siapa yang menyangka ketika malam tiba ia harus datang ke tempat seperti ini? Bukan untuk berobat melainkan bertemu dengan sang suami yang dikabarkan mengalami kecelakaan mobil saat diperjalanan pulang dari kantor.
Ellina menahan tangisnya. Pikirannya sudah melanglang buana. Berbagai bayangan sang suami yang terkapar di ranjang rumah sakit mulai berseliweran di kepalanya.
Tidak! Tidak! Dia tidak boleh berpikiran yang macam-macam! Suaminya pasti tidak apa-apa. Mungkin hanya luka kecil saja dan malam itu juga sang suami akan diperbolehkan untuk pulang.
BRAKK!
Ellina langsung saja membuka sebuah pintu ruangan yang memang dicarinya. Membuka satu per satu tirai di dalam sana untuk mencari sosok sang suami. Hingga pada tirai yang terakhir, dia berhasil menemukannya.
"Sayang," lirihnya. Ellina tak mampu berkata-kata karena melihat sang suami dengan banyak lebam di tubuhnya. Kedua mata pria itu tertutup rapat. Seolah tertidur seperti biasanya.
"David, bangun!" Ellina seolah tidak puas hanya dengan melihatnya. Dia ingin memastikan bahwa David baik-baik saja dengan berbicara langsung dengannya.
"Aa!" Ellina memekik ketika ada sebuah tangan yang menarik pergelangan tangannya.
"Carlson?"
Carlson tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia langsung menarik lengan Ellina untuk keluar dari ruangan itu.
"Lepas! Kau ingin membawaku kemana?" tanya Ellina seraya mencoba melepaskan cengkraman Carlson di tangannya.
"Kau menganggunya beristirahat. Dia butuh beristirahat!" seru Carlson ketika sudah berada di depan ruangan itu. Kemudian ia sadar bahwa telah menyakiti Ellina. Melepaskan tangan wanita itu dan kemudian meminta maaf.
"Ada apa? Kenapa bisa sampai seperti ini? Bukankah David pulang bersamamu? Kenapa bisa ia sampai menyetir? Kakinya, kan, sedang sakit. Seharusnya-"
"Cukup! Kau tenang dulu! Biar kujelaskan!" seru Carlson memotong berbagai kalimat tanya yang diucapkan Ellina.
"Hari ini memang kami tidak pulang bersama. Aku dan istriku memiliki rencana yang lain. Aku pun sudah meminta seorang supir untuk mengantar David, tapi mungkin David menjadi tidak sabar dan ingin cepat-cepat pulang. Makanya dia yang belum sembuh langsung mengendarai mobilnya."
Ya Tuhan! Ellina tidak habis pikir apa yang ada di kepala David saat itu. Suaminya itu habis patah tulang setelah cedera bermain sepak bola bersama teman-temannya. Kakinya belum sembuh dan masih butuh beberapa minggu lagi untuk ia bisa kembali menyetir.
"Menurut saksi, mobil yang dikendarai David melaju dengan kecepatan tinggi. Di saat bersamaan, ketika ia hendak melewati lampu merah, mendadak lampu yang tadinya hijau berubah merah. David tidak bisa mengendalikannya. Kaki David yang cedera sepertinya susah untuk menginjak rem. Kemudian terjadilah kecelakaan itu."
Wajah Carlson berubah sedih ketika kalimat terakhir ia ucapkan. Rasanya dia sangat marah pada sang adik yang tidak berpikir panjang. Pria itu selalu saja tidak sabaran dan ingin semuanya selesai lebih cepat. Namun, lihat! Semuanya malah menjadi seperti ini dan dia jadi harus masuk ke rumah sakit.
Pintu ruangan itu terbuka. Membuat kedua orang yang tengah berbicara, menolehkan kepala ke asal suara. Nampak seorang pria dengan jas putih dan sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya tengah melihat mereka berdua.
"Tuan David Lee kehilangan kesadarannya. Kita harus segera melakukan operasi untuk bisa menolongnya."
Seperti sebuah ledakan yang memekakan telinga. Ellina mendadak kehilangan pendengarannya. Dipikirnya David sudah tidak apa-apa lagi. Namun ternyata kecelakaan yang dialami sang suami bisa sampai membuatnya harus masuk meja operasi.
Ellina langsung berlari masuk ke dalam ruangan dimana David terbaring. Tak peduli dengan suara Carlson yang memanggilnya berulang kali. Dia hanya ingin bertemu David, sang suami.
"David," panggilnya lirih.
"Kamu harus selamat. Kamu harus kembali bersamaku dan Kevin. Anak kita membutuhkanmu. Dia menanyai keberadaanmu yang belum sampai ke rumah. Aku mohon, tolong selamatlah!"
"Maaf, Nyonya, Tuan David harus secepatnya kita pindahkan ke ruang operasi," ujar seorang petugas yang menghampiri Ellina.
Dan di sinilah Ellina. Menyaksikan suaminya yang tengah dibedah dari balik kaca transparan yang memisahkan dirinya dengan raga sang suami yang terbaring lemah.
Berulang kali ia mengatakan pada diri bahwa ia harus kuat melihat berbagai macam pisau, gunting atau benda apa pun itu yang entah bernama apa, menyentuh bagian kepala David yang bermandi darah.
Dadanya sudah sesak namun ia harus kuat. Demi suami yang dia cinta. Ellina yakin, jika ia kuat di hadapan David, maka suaminya itu juga akan berjuang untuk melewati masa kritisnya.
Menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Entar sudah tetesan ke berapa dari air mata yang mengalir membasahi wajahnya.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Mengusapnya seolah memberikan kekuatan serta keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Terlihat Carlson yang tersenyum sendu padanya. Pria itu juga sama terkejutnya. Ketika ia sedang makan malam bersama dengan sang istri, tiba-tiba saja ada seseorang yang mengabarinya bahwa David mengalami kecelakaan. Membuat rencana makan malam mereka berantakan.
Untung saja Amanda mengerti kondisi tersebut. Dengan sigap ia pulang ke rumah untuk menjaga Kevin, anak dari adik iparnya sedangkan Carlson mengurus segala sesuatunya di rumah sakit.
Saat lampu ruangan operasi masih menyala, kedua orang tua mereka tiba. Keduanya langsung menanyai Carlson tentang kejadian yang sebenarnya.
Robert dan Elisabeth tentu saja terkejut. Sikap gegabah yang dimiliki putranya ternyata bisa berefek fatal untuknya. Elisabeth langsung menangis dengan tersedu di pelukan sang putra.
"Sayang, kamu harus selamat," gumam Ellina sembari terus memerhatikan sang suami.
Tiba-tiba terjadi kehebohan di dalam ruang operasi. Dan hal itu terlihat jelas oleh kedua pasang mata Ellina. Dia melihat seseorang yang menempelkan alat kejut jantung pada dada sang suami. Sembari terus memerhatikan garis datar yang berada di layar monitor di sebelahnya. Beberapa orang lainnya sibuk dengan tugas masing-masing.
Dada Ellina langsung bergemuruh hebat bagai sedang ada badai besar yang menghampiri. Dia takut. Takut sesuatu yang sejak tadi ada dalam benaknya benar-benar terjadi. Apa yang harus dilakukannya jika hal itu sampai terjadi?
Setelah dilakukan proses kejut jantung, layar yang berada di samping itu tetap menunjukkan garis datar yang lurus. Ellina sebenarnya tidak tahu menahu tentang peralatan rumah sakit. Namun dia tidak cukup bodoh untuk mengetahui bahwa hal yang ditakutkannya benar-benar terjadi.
"Tidak! Kamu harus selamat, David! Kamu tidak boleh meninggalkanku!" Ellina menjerit ketika melihat itu.
Seketika Robert, Elisabeth serta Carlson langsung melihat ke arah kaca transparan yang menghadap langsung ke ruangan operasi. Carlson yang mengerti langsung memeluk sang ibu. Sedangkan Robert sudah tak mampu berkata-kata.
Mereka tahu bahwa hal buruk telah terjadi. David sudah pergi dan tidak akan pernah kembali.
***
Bersambung~~
Ellina berdiam diri di dalam kamar yang menjadi saksi kisah cintanya dengan David. Padahal baru kemarin dia merasakan hangatnya rengkuhan sang suami yang memeluknya mesra. Namun, kini dia harus rela hanya memeluk selimut yang tiap malam menghangatkan tubuh suaminya itu.
Ellina menolehkan kepalanya ke arah sang putra yang baru saja terlelap. Tidak mudah menghadapi semuanya terlebih sudah tidak ada lagi sosok David yang selalu menjadi penyemangat untuknya.
"Mengapa kamu tega sekali meninggalkanku, David?" tanya Ellina yang sudah pasti tak berbalas.
"Aku membutuhkanmu!" lirihnya. Ellina menolehkan kepala ke arah Kevin yang tertidur pulas, mengusap lembut kepalanya yang berambut lebat seperti sang ayah. "Putramu juga membutuhkanmu. Sangat!"
Selain David, dia sudah tidak memiliki siapapun lagi. Sekarang dia harus apa? Sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di rumah sebesar ini. Ellina tidak memiliki siapapun untuk dijadikan tempat bernaung.
"Aku harus kemana, David?" lirihnya.
Ellina kembali merengkuh tubuhnya. Memeluk lutut dan menundukkan kepala. Menangis sepuasnya sampai dia lelah dan tertidur pulas karena kelelahan.
Di sisi lain rumah itu, terdapat Robert, Elisabeth juga Carlson serta Amanda tengah duduk di ruang keluarga. Membahas kelanjutan masa depan Ellina dan Kevin untuk ke depannya.
"Mama tidak ingin dipisahkan dari Kevin. Lagipula Kevin itu adalah anak kandung David. Jadi, dia harus tetap tinggal di sini bersama dengan kakek dan neneknya!" ujar Elisabeth dengan tegas tak terbantahkan.
"Ya sudah, kita minta saja Ellina untuk tinggal di rumah kita. Apa susahnya?" ujar Robert.
"Tapi, apa Ellina masih mau tinggal di sini? Sedangkan sifat Ellina saja tidak ingin bergantung pada orang lain," ucapan Amanda membuat pikiran Ayah dan ibu mertuanya terbuka.
"Dia harus tinggal di sini. Kevin harus tetap bersama kita. Mama tidak ingin Ellina membawa cucu mama pergi. Mama takut kalau ...." Elisabeth menggantungkan kalimatnya. Dia merasa takut jika pemikirannya suatu saat akan benar-benar terjadi.
"Takut apa, Ma?" tanya Carlson penasaran.
"Mama juga takut jika Ellina menikah lagi dan akan membawa Kevin pergi. Mama tidak ingin cucu mama pergi." Kemudian Elisabeth menatap Carlson dengan tatapan memohon.
"Carlson, mama mohon menikahlah dengan Ellina. Demi menjaga Kevin. Lagi pula ...," Elisabeth melirik Amanda yang menatapnya terkejut, kemudian kembali menatap putra sulungnya itu dan berkata, "Istri kamu, kan, juga tidak bisa memberikan keturunan. Mama juga memikirkan kamu, Nak. Mama tidak ingin seumur hidup kamu tidak memiliki anak. Jika dengan Ellina, mama yakin kamu bisa mendapat keturunan. Tolong, Nak, mama mohon!"
Carlson terkejut mendengar kalimat panjang yang diucapkan sang mama. Menolehkan kepalanya ke samping dan melihat sang istri yang juga sama terkejutnya dengan dia. Dia sangat mencintai istrinya. Tidak mungkin dia mendua.
Tersenyum lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Saya mencintai Amanda, Ma. Tidak mungkin saya menikah dengan Ellina. Dan Ellina juga belum tentu mau menikah dengan saya."
Semua orang terdiam mendengar perkataan Carlson. Terlebih Amanda yang kini menjadi sakit hati karena ucapan sang ibu mertua. Dia tidak menyangka kekurangannya akan disebut-sebut sebagai alasan untuk membuat Carlson menikahi Ellina.
"Jika Ellina tidak mau tinggal di sini, ya sudah, biarkan saja! Tapi jangan membawa Kevin! Biarkan Kevin di sini dan tinggal bersama kita," ujar Elisabeth memaksa kehendaknya.
"Ma, Kevin masih terlalu kecil untuk tinggal terpisah dengan ibunya. Dia sangat membutuhkan Ellina. Lagipula apa mama tega memisahkan seorang ibu dengan putranya? Mama, kan, sudah kehilangan David, pasti mama mengerti bagaimana rasanya," ucap Carlson menjelaskan
"Tapi ... tapi ... mama hanya tidak ingin jauh dari darah daging mama. Kevin adalah satu-satunya peninggalan David, bagi mama Kevin adalah pengganti David," ujar Elisabeth yang tak kuasa menahan tangis.
Amanda yang tadinya suka memberikan saran, kini hanya terdiam seusai perkataan Elisabeth yang menyakitinya. Dia bagai tertohok tepat di tenggorokan hingga tak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Ya sudah nanti kita bicarakan lagi jika Ellina sudah bangun," ujar Robert mengakhiri diskusi keluarga itu ketika dia merasa bahwa diskusi mereka sudah tidak mendapat jalan keluar.
Hari sudah sore ketika Kevin menangis dan membangunkan sang ibu. Kemudian Ellina bangun dan sigap menggendong putranya yang lagi-lagi menangis menanyakan keberadaan sang ayah.
"Ibu, ayah temana, Bu? Epin au ain ama ayah?" tanya Kevin yang mulai pintar berbicara.
Pertanyaan yang dilontarkan Kevin lagi-lagi mengingatkan Ellina tentang kepergian sang suami. Wanita itu hanya bisa mengela napas sembari menenangkan sang putra.
"Sayang, sekarang Ayah sudah tenang di surga. Kevin do'akan Ayah, ya, Nak ... supaya Ayah semakin bahagia di sana, oke?" ucap Ellena memberikan pengertian.
Namun, yang namanya anak kecil tetap saja belum mengerti tentang surga. Hal yang ada di pikirannya hanya ingin bermain dengan sang ayah. Kevin bahkan sampai mengira bahwa surga sama seperti kota.
"Memang tulga itu dimana, Bu? Kita taja yang ketana, yuk, Bu!" ajak Kevin dengan wajah polosnya.
Ellina semakin tak kuasa menahan tangis. Dia tidak tega mengatakan yang sebenarnya. Ellina hanya bisa memeluk sang putra yang kembali menangis ketika dia tak menjawab pertanyaannya.
Anak kecil adalah makhluk mudah menangis, tetapi Kevin adalah anak yang juga mudah untuk ditenangkan. Terbukti dengan anak itu yang kini asyik bermain dengan beberapa mainan yang tersedia di kamar itu.
Ellina tersenyum melihatnya. Kemudian dia berjalan menuju meja rias yang terdapat sebuah foto dirinya dengan sang suami dan juga putra mereka. Mengusap foto itu hingga tak terasa air mata kembali jatuh membasahi wajah.
"Kamu lihat? Anakmu merindukanmu, David!" ujar Ellina meski tahu perkataannya takkan berbalas.
Kemudian dia menaruh kembali foto itu dan mulai membereskan barang-barang. Memasukkan pakaiannya dan sang putra serta barang-barang penting lainnya ke dalam sebuah tas besar.
Wanita itu sadar diri, bahwa dia sudah tidak lagi memiliki hak untuk tetap tinggal di rumah ini. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk pergi dan mencari tempat tinggal yang lain. Berbekal tabungan yang dia miliki bersama mendiang sang suami. Ellina bertekad untuk keluar dari rumah itu dan membesarkan putranya seorang diri.
Namun, Ellina tidak bisa langsung pergi begitu saja. Jadi, dia akan pamit terlebih dahulu pada orang tua mendiang sang suami. Setelah itu barulah besok Ellina pergi dan mencari tempat tinggal baru untuk dia tinggali bersama Kevin
Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Ellina mengajak sang anak untuk turun ke bawah. Sudah waktunya makan malam ternyata. Kevin sudah merengek meminta makan.
Dengan menggendong si kecil Kevin, Ellina berjalan menuruni anak tangga. Setelah sampai di anak tangga terakhir, dia langsung menuju ruang makan.
Ternyata sudah ada keluarga besar mendiang sang suami di sana. Otomatis Kevin langsung turun dari gendongannya dan menghampiri sang kakek dan nenek.
"Kakek!" teriakan si kecil Kevin terdengar ke seluruh ruangan. Membuat semua orang yang berada di sana menjadi tersenyum.
Memang benar, rumah sebesar apa pun akan terasa hampa jika tidak ada anak kecil di dalamnya.
"Ellina, sini makan," ajak sang ibu mertua.
Ellina pun tersenyum dan bergabung dengan mereka. Makan malam bersama saat itu adalah yang pertama bagi mereka setelah kepergian David. Hal itu membuat Ellina tersiksa karena hanya bisa melihat kursi kosong yang berada di sebelahnya.
Setelah selesai makan, Robert meminta mereka untuk berkumpul di ruang keluarga. Sedangkan Kevin kembali bermain dengan beberapa asisten rumah tangga.
"Ellina, kami ingin membicarakan suatu hal sama kamu," ucap Robert membuka pembicaraan mereka.
Ellina terdiam mendengarkan. Dia seolah tahu bahwa saat ini keluarga sang suami pasti akan mengusirnya. Dia merasakan sesak di dada ketika pemikiran itu terlintas di benaknya.
'David, terimakasih karena sudah memberikanku keluarga,' batinnya berucap.
Robert melihat Ellina yang masih menatap seolah meminta dia untuk melanjutkan ucapannya. "Demi masa depan Kevin yang terjamin. Kami memutuskan untuk ...."
Bersambung~~
Ellina menunggu dengan harap dan cemas. Setidaknya dia ingin agar putranya nanti mendapat pendidikan yang layak. Jadi, dia hanya tinggal membesarkan sang putra dengan baik.
"... Menikahkan kamu dengan Carlson."
Deg!
Kedua mata Ellina terbuka lebar saking terkejut. Dia tidak salah dengar, kan?
"Ma-maksud—”
"Ya, Ellina. Kami ingin kamu menjadi istri kedua Carlson," ujar Robert menjelaskan.
"Saya tidak bisa!" tegasnya menolak. Dia tidak mencintai Carlson. Meski sang suami sudah tiada, dia tetap mencintainya. Bahkan Ellina sudah bertekad untuk tidak akan pernah menikah lagi.
"Kalau seperti itu, Kevin harus tinggal dengan kami dan kamu tidak boleh sekali pun melihatnya lagi!" kali ini yang berbicara adalah Elisabeth.
"Tidak! Kevin adalah anak kandung saya! Saya yang lebih berhak untuk menjaga dan merawatnya. Lagipula Kevin masih terlalu kecil. Dia masih sangat membutuhkan saya ... ibunya!" ucapnya tegas.
Elisabeth menegakkan punggungnya. Mengangkat dagu dan berbicara lantang dengan tatapan lurus yang mengarah ke Ellina. "Kamu yang memutuskan. Bersedia untuk menikah dengan Carlson atau hidup secara terpisah dengan Kevin."
Kening Ellina berkerut tidak suka. Apa ini? Dia sedang diancam? Ellina baru saja kehilangan sang suami. Kenapa dia harus dihadapkan pada pilihan yang sulit?
Menatap satu per satu wajah orang yang berada di sana. Kemudian tatapannya jatuh pada Amanda dan Carlson yang hanya duduk berdampingan dengan tatapan yang menunduk.
"Amanda," panggil Ellina, membuat Amanda langsung mengangkat kepala dan menatap langsung tepat di kedua mata. Terheran karena tidak biasanya Amanda terdiam seperti itu.
"Saya tidak bisa menikah dengan Carlson," ucap Ellina dengan tegas tak terbantahkan. Kemudian dia berdiri dan pergi menuju kamarnya.
"Kalau kamu tetap tidak mau menikah dengan Carlson, maka saya akan mengajukan gugatan hak asuh atas Kevin ke pengadilan. Saya yakin hakim tidak akan memberikan hak asuh Kevin padamu. Karena kamu sama sekali tidak memiliki apapun untuk menjamin kehidupan Kevin," ujar Elisabeth dengan nada santai.
Ellina yang saat itu sudah sampai pada anak tangga ketiga langsung memberhentikan langkahnya. Dia berbalik dan melihat Elisabeth yang tersenyum licik padanya.
Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ellina mencoba mengatur emosi karena dia berpikir bahwa Elisabeth adalah ibu kandung dari mendiang sang suami yang harus dia hormati.
Ellina ingin menolak tetapi dia juga tidak bisa hidup secara terpisah dengan Kevin. Ellina sadar bahwa dia tidak memiliki apa-apa. Dia pasti akan kalah di pengadilan.
"Baik," ucap Ellina. Dia menundukkan kepala kemudian menatap sang ibu mertua dengan tatapan tajam lalu berkata, "Saya akan menuruti keinginan Anda."
Ellina bisa melihat ekspresi wajah kebahagiaan milik Elisabeth. Seketika dia merasa dijebak oleh wanita paruh baya itu.
Akhirnya pernikahan itu benar-benar dilaksanakan. Demi sang anak, Ellina akan berbuat apapun termasuk menggadaikan kebahagiaannya. Termasuk, menjadi istri kedua dari sang kakak ipar.
Upacara pernikahan dilakukan dengan sederhana. Hanya keluarga inti dan keluarga dekat saja yang menghadirinya. Bahkan acara pernikahan itu hanya dilakukan di rumah ibadah saja. Resepsinya pun tidak sampai malam.
Ellina sedang beristirahat bersama sang putra setelah hari yang melelahkan sehabis acara pernikahannya tadi. Wanita itu baru saja memejamkan kedua mata saat tiba-tiba pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok tegap Carlson yang berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang tertuju lurus padanya. Seketika Ellina tidak bisa bernapas seperti biasa. Rasa takut langsung menghinggapi hatinya.
Wanita itu langsung bangun dan terkesiap. Dia takut jika Carlson meminta haknya malam ini. Ellina belum siap jika hal itu harus terjadi. Dia sangat mencintai David. Bahkan pernikahannya ini —meskipun terjadi secara paksa— tetap saja membuat dia merasa telah mengkhianati mendiang sang sang suami.
Perlahan Carlson berjalan mendekatinya. Menutup pintu kamar dan mengunci rapat. Membuat pandangan Ellina menjadi semakin takut terhadapnya.
"Mau apa kamu?" tanya Ellina dengan nada suara yang dia buat setenang mungkin.
Carlson tak menjawab. Pria itu malah semakin melangkah mendekati wanita itu dengan tatapan lurus mengarahnya.
"Diam di situ! Jangan mendekat!" seru Ellina memerintah.
Namun, bukannya mengikuti keinginan dari sang istri kedua, Carlson malah semakin mendekat hingga kini dia berada tepat di depan istri keduanya itu.
"Ka-kamu mau apa?" tanya Ellina yang tiba-tiba tergugup.
"Kenapa kamu menyetujui pernikahan ini?" tanya Carlson tiba-tiba.
Deg!
Untuk apa Carlson mempertanyakan hal ini padanya? Bukankah sudah jelas saat itu? Dia tidak ingin berpisah dengan putranya. Dia ingin Kevin tetap berada di dekatnya.
"Kenapa kamu menyetujui untuk menikah denganku? Apa kamu memang menginginkan hal ini? Kamu ingin membuat hubunganku dan Amanda menjadi renggang, iya?" tanya Carlson dengan wajah memerah. Bahkan urat di lehernya tampak jelas terlihat. Terlihat jelas bahwa sekarang amarah telah menguasai hati dan pikirannya.
"Aku rasa ... aku tidak perlu menjelaskan alasan mengapa aku mau menikah denganmu. Aku ... tidak ingin jauh ... dari anakku!" serunya berbisik. Rahang Ellina mengeras ketika mengucapkan kalimat itu. Hatinya seolah tertohok karena merasa bahwa Carlson sedang menyalahkannya atas pernikahan yang telah terjadi ini.
"Jika tidak ada lagi, silakan pergi dari kamar ini. Anakku sedang beristirahat," ucap Ellina dengan sinis.
Kemudian Ellina kembali berbaring di ranjang. Membelakangi Carlson yang masih terdiam di tempatnya. Dia sudah tidak peduli tentang apa yang ingin dilakukan pria itu. Hal terpenting adalah dia dan sang putra.
Ellina menarik selimut dan memejamkan kedua mata. Berharap dengan begitu dia bisa lebih cepat tertidur dari biasanya. Sudah tak ada lagi rasa takut untuk Carlson. Karena dia tahu bahwa pria itu tidak akan berbuat jahat denganya.
Ellina terbangun pagi-pagi sekali. Sebenarnya dia juga tidak benar-benar pulas. Berulangkali Ellina terbangun hanya untuk memastikan bahwa Carlson sudah pergi dari kamarnya. Keberadaan pria itu membuat dia tidak nyaman dan menjadi was-was.
Membuka kedua mata dan ternyata Carlson masih berada di kamar ini. Sedang tertidur di sofa yang berada di dekat ranjang yang dia tiduri. Sedikit heran karena Carlson menginap semalaman di kamar ini. Dan bukannya bersama dengan Amanda, istrinya yang lain.
Menggelengkan kepala dan tidak ingin ambil pusing. Ellina langsung membersihkan diri sebelum nanti memandikan Kevin.
Satu jam kemudian Ellina dan Kevin sudah siap. Wanita itu, dengan menggendong Kevin, menuruni anak tangga satu per satu. Kemudian menuju ruang makan rumah itu.
Di sana sudah terdapat Elisabeth, Robert, Carlson dan Amanda. Ellina mengembuskan napas panjang kemudian bergabung dengan keluarga itu.
'David, seandainya ada dirimu,' batinnya mengeluh.
Mereka makan dengan tenang. Hanya ada dentingan sendok dan garpu yang terdengar. Terkadang Kevin bersuara ketika meminta makanan yang dia inginkan.
Semua terasa tenang meski tak ada kenyamanan. Terlebih Ellina selalu merasa mendapat tatapan tajam yang dilayangkan oleh Amanda padanya. Namun, dia tidak terlalu ambil pusing. Wanita itu hanya fokus pada Kevin yang tengah makan dengan lahap.
Hingga tiba-tiba suara gaduh di luar rumah membuat acara makan pagi itu terhenti. Semua mata menolehkan kepala ke arah luar. Dimana terdapat suara teriakan tidak jelas yang menyuruh mereka untuk keluar.
"Robert! Keluar kau! Jangan jadi pengecut!"
***
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!