NovelToon NovelToon

Please, Be My Husband

1. Gadis Banyak Hutang

"Pergi brengsek!" desis seorang gadis yang masih memakai piyama tidur bergambar princess.

Sebenarnya usianya sudah tidak layak memakai pakaian yang serba princess atau kartun anak-anak lainnya tapi siapa yang tahu bahwa di lemari usang dalam rumahnya terdapat banyak sekali koleksi piyama dan baju tidur lainnya yang bergambar kartun-kartun anak dan semua baju itu memiliki ukuran untuk orang dewasa. Tepatnya seukuran tubuh gadis bernama Embun, gadis yang sepagi ini harus berhadapan dengan tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dan berbadan besar.

Embun teramat sangat kesal karena ternyata yang sudah mengganggu waktu tidurnya adalah tiga laki-laki yang hanya ingin mengincar uangnya. Bahkan sepagi ini mereka sudah datang ke rumah Embun dan kembali menagih uang lagi, sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Ini sudah minggu kedua sejak kau berjanji akan membayarnya tepat waktu dan sampai sekarang kau masih belum membayarnya! Sebenarnya janjimu itu sungguh-sungguh atau tidak?!" bentak salah satu dari laki-laki itu.

"Bisakah kau kecilkan suaramu sedikit, Roy? Aku masih punya tetangga yang tentunya tidak ingin terganggu seperti aku yang terganggu oleh kedatanganmu."

"Kalau begitu cepat serahkan uangnya lalu kami akan pergi."

"Ck! Tidak bisakah kalian berhenti menagih uang padaku? Aku sudah muak melihat wajah kalian semua!" tukas Embun sambil menggeram kecil.

Embun mencengkeram piyamanya saat ketiga pria di hadapannya itu malah tertawa dengan nada meledek. J

"Kami berhak menagih uang kami jadi cepat bayar jika kau sudah muak melihat aku mendatangi rumahmu. Bayar sebelum aku menghancurkan rumahmu," tegas Roy.

Embun pun memijit pelipisnya. Ia keburu pusing dan tak bisa membayangkan bagaimana jika seandainya Roy benar-benar menghancurkan isi rumahnya. Roy dan dua anak buahnya itu memiliki badan yang besar. Sudah bisa dipastikan mereka bahkan bisa mematahkan tulang-tulang Embun apalagi hanya benda-benda rapuh yang ada di rumahnya.

Ayolah, Embun bahkan baru membereskan kekacauan yang terjadi kemarin tadi malam hingga mengharuskan Embun begadang demi membuat rumahnya rapi kembali.

"Tidak puas kah kalian sudah mengacak-acak rumahku kemarin sore? Dan sekarang kau akan melakukannya lagi? Kalian kejam sekali."

"Kemarin hanya mengacak-acak, bagaimana jika sekarang aku hancurkan barang-barangmu?" Roy tersenyum sinis.

Embun mendengus. Jelas kemarin pun ada beberapa barang Embun yang rusak karena Roy banting. Sial. Dan beberapa di antaranya adalah barang yang cukup berharga bagi Embun.

"Cepatlah bayar selagi aku bersikap baik." Roy kembali bersuara.

Embun mengacak rambutnya frustasi. Embun benar-benar sudah lelah berurusan dengan Roy dan para anak buahnya itu. Roy tidak akan pernah membuat hidupnya tenang sampai Embun membayar hutangnya.

"Baiklah baiklah, aku janji akan membayarnya besok atau lusa. Puas?" ujar Embun sambil menatap Roy.

Roy tersenyum miring. "Tidak. Kau sudah mengatakan hal itu sejak dua minggu yang lalu. Bahkan itu kalimat yang sama dalam lima bulan terakhir ini. Aku bosan mendengarnya, Embun." Tangan Roy pun tiba-tiba terulur menyentuh pipi mulus Embun.

Sang empunya pipi langsung menepis kasar tangan Roy yang berusaha mengelus pipinya. Tangan kotor Roy tidak berhak menyentuhnya.

"Kali ini aku memohon. Bahkan aku berani—"

"Tidak usah pakai cara murahan lagi. Cepat bayar hutangmu!" potong Roy sambil kembali membentak.

Roy sudah muak dengan omongan manis Embun yang hanya sekedar manis di mulut. Yang Roy mau hanyalah uangnya kembali. Selama lima bulan terakhir ini Embun lah yang menahan semua uang Roy dalam jumlah besar. Jadi tidak salah kan jika Roy menagihnya?

Tapi seolah tak berdosa, Embun malah selalu bersikap galak dan terlihat tidak terima jika sedang ditagih. Bisa dibilang, Embun termasuk orang yang tidak tahu diri dan Roy muak dengan wajah polos Embun yang selalu memohon janji.

"Kali ini aku memohon," lirih Embun.

"Tidak! Aku sudah bosan mendengar permohonanmu, Embun. Itu hanya akting."

Roy tetap pada pendiriannya. Kaki pria itu hendak melangkah masuk ke dalam rumah Embun. Sontak Embun langsung merasa panik dan takut Roy akan benar-benar menghancurkan isi rumahnya. Embun langsung menahan langkah Roy dan berlutut di depannya. Embun mendongak, menatap Roy dengan tatapan memohon.

"Aku bersungguh-sungguh dengan janjiku kali ini. Aku lelah membereskan rumahku lagi, Roy."

Roy tersenyum sinis. "Itu bukan urusanku."

"Aku sungguh berjanji akan membayarnya lusa."

Roy tidak bergeming dan tetap melangkah masuk ke dalam rumah. Tidak mempedulikan Embun yang masih berlutut di sana. Embun kehabisan ide. Tapi dengan segala keputusasaannya Embun pun kembali menghampiri Roy yang sudah sampai ambang pintu. Embun menarik tangan kekar Roy dan menggenggamnya.

Roy berdecak. "Apalagi yang mau kau taruhkan, Embun? Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Seharusnya aku tidak perlu meminjamkan uangku padamu."

Embun menghela napas. "Jika aku ingkar lagi maka kau bisa miliki aku dan perlakuan aku sepuasnya. Bahkan .. hingga aku mati. Bagaimana?"

Roy mengerjap dan menatap takjub sosok gadis yang kembali berlutut di hadapannya itu. Roy sempat tercengang apa yang baru saja Embun katakan. Tidak disangka-sangka jika Embun yang Roy tahu adalah gadis kasar dan tidak tahu diri, bisa berlutut di hadapannya seperti sekarang. Bahkan wajah polos milik Embun pun semakin mendukung aksi permohonannya. Roy lalu beralih menatap kedua anak buahnya secara bergantian.

Meminta saran melalui tatapannya. Jika dipikir-pikir, tawaran Embun sangatlah di luar dugaan. Jujur, Roy sangat tergiur dengan tawaran itu. Roy bisa miliki Embun dan perlakukan gadis itu sepuasnya. Bukankah itu tawaran yang sangat.. menggiurkan? Apalagi sudah sejak lama Roy diam-diam mengagumi sosok Embun yang cantik berkulit putih dan mulus. Setiap pria pasti mengagumi paras Embun yang sempurna. Tentunya itu juga berlaku Roy yang bahkan sudah lama ingin menyentuh setiap inci tubuh Embun yang sangat menarik untuk orang maniak perempuan seperti Roy. Jika Embun berhasil melanggar janjinya, maka Roy bisa menggunakan Embun sesuka hati.

Ah, membayangkannya membuat Roy ingin Embun tidak membayar hutangnya saja.

Embun memang memiliki visual yang diinginkan semua pria. Tapi sayangnya, sifat gadis itu sangat jauh dengan wajahnya yang kelewat polos. bahkan Roy beberapa kali ingin menampar Embun karena tingkahnya yang brengsek. Embun pandai berbicara dan dia sangat lincah. Karena itu Roy bisa tertipu oleh janji-janji manisnya selama lima bulan ini. Tapi sepertinya janji Embun kali ini bukan sekedar pemanis. Karena jika wanita itu ingkar, maka Roy yang akan menang.

Roy tersenyum samar kemudian menunduk, menatap gadis yang masih berlutut di kakinya.

"Bangun!" titah Roy.

"Tidak sampai kau setuju dengan janjiku."

"Aku setuju. Cepat bangun!" ujar Roy tidak sabaran.

Embun pun menurut. Ia langsung berdiri di depan Roy sambil menunduk.

"Bagaimana jika kau sampai melanggar lagi?" tanya Roy yang ingin memastikan.

Embun berdecak. "Bukankah sudah aku bilang apa konsekuensinya jika aku melanggar."

Roy menghela napasnya. Embun terlihat terpercaya sekarang tapi entah bagaimana nantinya. Tapi jika gadis itu ingkar janji pun Roy tetap akan mendapat keuntungan yaitu menjadi pria pertama yang menyentuh Embun. Walau Embun itu kasar dan menyebalkan, tapi Roy tahu jika gadis itu belum pernah tersentuh siapa pun. Embun tetap menjaga kehormatan dirinya.

"Baiklah, aku pegang janjimu. Ingatlah, tubuhmu menjadi jaminannya," sahut Roy.

Embun menelan salivanya. Bahkan Embun langsung merinding saat mendengar jika tubuhnya lah sebagai jaminan. Mungkin ia bodoh karena sudah sembarangan menawarkan tubuhnya sebagai jaminan.

"B-Bagaimana kalau tiga hari? Beri aku waktu tiga hari."

"Aku sudah cukup memberi banyak keringanan untukmu selama ini. Besok atau lusa. Kau mengerti?"

Embun terdiam. Lalu dengan berat hati Embun mengangguk. Roy pun pergi bersama anak buahnya. Embun menatap kepergian Roy dengan tatapan nanar. Bagaimana bisa ia mendapatkan uang banyak hanya dalam hitungan jam? Bahkan jika Embun punya pekerjaan pun gaji nya selama setahun tidak akan cukup untuk melunasi semua hutang-hutangnya pada Roy.

Astaga! Rasanya Embun merasa menyesal karena sudah memberikan tubuhnya sebagai jaminan. Sekarang Embun merasa takut membayangkan tubuhnya disentuh oleh para pria brengsek sejenis Roy. Bahkan anak-anak buah Roy juga akan menikmati tubuhnya jika sampai Embun tidak bisa membayar dalam waktu dua hari ini.

Sekarang Embun harus segera mencari jalan keluarnya. Tapi .. bagaimana? Dimana Embun bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dua hari?

...* * *...

"Bisakah kau pinjamkan aku uang, Carrel?"

Gadis bernama Carrel yang duduk di balik meja kasir itu pun menghela napas. Carrel meletakkan cangkir tehnya di atas meja lalu menatap Embun dengan kening berkerut.

"Kau mendatangiku pagi-pagi sekali hanya untuk meminjam uang? Embun, ke mana tas bermerek yang aku pinjamkan padamu minggu lalu? Kau tidak menjualnya kan?" tanya Carrel yang menaruh curiga.

Mata Carrel memicing. Embun hanya mampu tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-gigi putihnya. Seharusnya Carrel sudah tahu bagaimana tabiat Embun itu.

"Maaf, Carrel. Aku sudah menjualnya sejak pertama kali kau meminjamkannya padaku. Sebenarnya aku meminjamnya untuk aku jual."

Carrel langsung melebarkan matanya. "Apa?! Kau gila, Embun! Aku mendapatkan tas itu susah payah di Eropa karena tas itu hanya ada lima buah di dunia! Kau benar-benar gila!" pekik Carrel yang terlihat marah.

Embun hanya bisa tertawa kikuk. Embun juga tahu kalau Carrel itu adalah seorang maniak barang bermerek. Ke belahan dunia mana pun Carrel akan mengejar barang bermerek yang ia incar. Dan tentunya Embun merasa sangat bersalah karena harus menjual barang milik Carrel yang sangat berharga. Tapi mau bagaimana lagi, Embun juga tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk hidupnya yang sebatang kara.

"Maafkan aku, Carrel. Aku berjanji akan menggantinya dengan tas yang hanya ada satu-satunya di dunia. Tapi nanti saat aku sudah menjadi kaya raya," ujar Embun terdengar pasrah.

Carrel tersenyum sinis. "Memang kapan kau akan kaya raya? Sampai aku mati pun kau tidak akan kaya raya jika hidupmu seperti itu terus , Embun."

"Ayolah, Carrel... kau punya cafe sebesar ini. Hanya kau satu-satunya teman yang dapat membantuku."

Carrel berdecak. Tidak mungkin jika Carrel enggan membantu sahabatnya sendiri tapi masalahnya Embun selalu saja seperti ini. Carrel pun membuka dompetnya sambil berdecak kesal.

"Ck. Kau butuh berapa?"

Embun langsung tersenyum. Ia suka Carrel. Walaupun awalnya memaki dan terlihat tidak menyukai Embun, Carrel tetap satu-satunya orang yang selalu bersedia membantu Embun tak peduli seberapa jahatnya tingkah laku Embun hingga menjual tas limited edition miliknya.

"Aku pinjam seratus lima puluh juta."

"Apa?! Kau gila?!" Carrel berteriak.

Embun meringis. "Ya, aku gila. Bahkan rasanya aku mau mati saja. Roy menagih lagi dan kali ini jaminannya adalah tubuhku. Bagaimana ini..." Embun nyaris menangis.

Melihat mata Embun yang berkaca-kaca membuat Carrel semakin tidak tega. Walau menyebalkan, Embun tetaplah sahabatnya. Tapi Carrel bingung harus membantu dengan cara apa. Carrel tidak punya simpanan uang sebanyak itu tentunya. Ratusan juta, gila saja. Bahkan uang tabungannya saat saja hanya puluhan juta. Itu pun Carrel masih harus merenovasi sebagian bangunan cafe miliknya.

Carrel mengusap bahu Embun. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Saat ini aku tidak punya uang sebanyak itu, Embun."

Embun menghela napas. "Mungkin terpaksa aku harus memberikan tubuhku saja pada mereka."

"Tidak. Kau tidak boleh menyerah begitu saja, Embun. Ingatlah prinsip hidupmu. Meskipun kau gadis liar tapi kau tetap hanya akan memberikan tubuhmu pada suamimu nanti bukan?"

Embun termenung. Ya, ia ingat prinsip hidupnya sejak dulu. Bergaul bebas dengan siapa saja bahkan ke club malam Embun jalani asalkan satu, kehormatannya sebagai seorang perempuan tetap dijaga untuk pria yang benar-benar menjadi suaminya kelak. Kenapa Embun harus memberikan jaminan tubuhnya segala jika prinsip hidupnya dari dulu seperti itu?

Seketika Embun langsung merasa bodoh. Dia telah ceroboh.

"Embun, sepertinya aku punya saran untukmu," sahut Carrel.

"Apa? Kau mau aku mengemis?" ujar Embun dengan lesu.

Carrel justru terlihat bersemangat. "Bukan. Kau cari saja pria yang mau menjadi suamimu. Tapi pria itu harus kaya raya agar bisa melunasi semua hutangmu."

"Kau gila, Carrel. Kekasih saja aku tidak punya jadi bagaimana bisa aku mendapatkan seorang suami secepat kilat."

"Kau harus rela jadi gila demi melunasi semua hutangmu, Embun. Tubuhmu sangat berharga untuk orang seperti Roy. Aku yakin banyak pria yang tertarik padamu. Kau itu cantik, Embun."

Carrel berkata jujur. Embun itu cantik dan manis. Kekurangan Embun hanyalah dalam sikap saja. Tapi walau punya paras cantik, Embun tidak yakin akan mendapatkan suami dalam waktu sehari. Carrel benar-benar asal bicara. Embun saja tidak sedang dekat dengan pria mana pun. Selama ini hidup Embun hanya soal kebebasan. Tidak ada pria yang pernah terikat dengan Embun sebelumnya. Jadi kemana Embun harus menemukan suaminya?

"Kau cari saja pria kaya di jalanan." Sahut Carrel yang seolah mengerti raut kebingungan Embun.

"Ck. Kau pikir mencari suami itu seperti mencari seorang kucing jalanan?"

"Berhentilah mengomel dan cepat cari saja sana. Hari akan segera berlalu dengan cepat jadi jangan sampai waktu Roy untuk mengambil tubuhmu itu tiba."

Embun berdecak. Dia benar-benar frustasi. Ditambah perkataan Carrel yang seolah menambah beban pikirannya.

"Menyingkir lah, aku harus melayani pelangganku," tukas Carrel.

Embun langsung menyingkir ketika beberapa orang datang ke kasir untuk memesan. Carrel mulai sibuk melayani para pelanggannya. Embun duduk termenung, memikirkan perkataan Carrel.

Mencari seorang suami? Embun pikir Carrel sudah gila memberi saran seperti itu. Embun tidak punya kekasih atau pria yang sedang dekat dengannya. Embun juga tidak punya pria yang ia sukai. Bahkan Embun juga tidak pernah memikirkan soal pernikahan. Tapi saran dari Carrel cukup masuk akal.

Embun pun bergegas bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan melewati Carrel di meja kasir.

"Carrel aku pergi dulu."

"Kau mau ke mana?"

"Pergi mencari suami."

2. Mencari Suami

Seorang pria berpakaian kasual dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya itu turun dari mobil hitam mewahnya. Kakinya langsung melangkah masuk ke dalam rumah besar yang menjadi istana kesayangannya. Rumah itu bahkan ia bangun sendiri dengan usaha dan kerja kerasnya. Meskipun orang tuanya sangat mampu memberikannya rumah secara cuma-cuma, tapi pria itu tetap bersikeras ingin berusaha diatas kakinya sendiri.

Begitu masuk pria itu langsung pria itu langsung disambut hangat oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak ia masih remaja.

"Selamat pagi, Tuan Ezar. Anda sudah kembali dari luar kota dengan cepat."

Pria bernama Ezar itu tersenyum kecil.

"Aku membawakan oleh-oleh untuk Bi Lasri. Minta tolong ambilkan saja pada pak Remon di bagasi, Bi."

Bi Lasri tersenyum. Setiap pulang dari luar kota atau luar negeri Ezar selalu membelikan oleh-oleh untuk para pekerja di rumahnya. Meskipun di luar sana Ezar terkenal arogan tapi sebenarnya pria itu masih punya hati yang sangat baik dan selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

"Terima kasih banyak, Tuan. Anda selalu tak pernah lupa membelikan saya oleh-oleh."

Ezar mengangguk kecil. "Kalau begitu aku mau membersihkan diri dulu. Hari ini aku harus kembali ke kantor."

Bi Lasri pun mengerjap. "Tapi anda baru saja kembali dari perjalanan jauh, Tuan. Apa tidak sebaiknya anda beristirahat dulu?"

"Tidak apa-apa lagipula hanya sebentar."

Bi Lasri hanya mengangguk pasrah. Ezar itu selalu bekerja keras sampai tidak kenal lelah. Bi Lasri lah yang selalu mengingatkan Ezar jika pria itu sudah terlalu banyak bekerja. Bi Lasri sudah seperti ibu pengganti bagi Ezar karena itu bi Lasri selalu khawatir jika Ezar tak memiliki waktu untuk istirahat.

Lihatlah sekarang bahkan di wajah pria itu terlihat jelas raut lelah akibat perjananan jauh. Tapi Ezar tetap ingin memaksakan diri ke kantor. Apakah perjalanan selama keluar kota kemarin itu belum cukup untuk mengurus pekerjaannya?

"Tuan, Nyonya Marisa dan Tuan Alfred ada di atas," sahut bi Lasri.

Ezar langsung berhenti melangkah ketika mendengar nama orang tuanya.

"Mereka sudah kembali dari Inggris?"

Bi Lasri mengangguk. "Mereka sangat ingin bertemu dengan tuan Ezar. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan."

...* * *...

"Mama, Papa." 

Kedua orang tua yang sedang duduk sambil menonton tv itu langsung menoleh. Mama Ezar lah yang paling heboh dan langsung berlari memeluk Ezar ketika melihat putranya sudah tiba. Ezar tertegun karena ia juga sangat merindukan ibunya.

"Astaga, Ezar! Mama rindu sekali denganmu."

Ezar membalas pelukan mamanya. "Ezar juga rindu Mama dan Papa. Kenapa kalian tidak bilang kalau mau pulang hari ini? Mungkin Ezar bisa menjemput kalian di bandara."

Marisa langsung melepaskan pelukannya. Tuan Alfred memberikan tepukan hangat di bahu Ezar. Tentunya sepasang suami istri itu tidak percaya melihat Ezar sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah dan tampan. Tiga tahun berpisah membuat nyonya Marisa dan tuan Alfred merasa pangling dengan anak mereka sendiri.

"Kami sudah tiba sejak semalam lalu Ibumu ingin segera bertemu denganmu. Jadinya kami langsung menginap di sini meskipun kau tidak ada," sahut tuan Alfred.

"Ya, Ezar juga mendengar dari bi Lasri bahwa kalian sangat ingin bertemu denganku. Tapi kenapa tidak menghubungiku dulu? Ini seperti sebuah kejutan padahal aku tidak sedang ulang tahun." Ezar pun terkekeh pelan.

"Katanya kau sedang mengurus proyek di luar kota jadi kami tidak ingin mengganggumu," sahut Marisa.

Ezar menghela napas. "Setidaknya kalau kalian mengabari mungkin aku bisa pulang lebih cepat."

"Tidak perlu, Ezar. Lagipula kepulangan kami kali ini ingin membicarakan sesuatu yang penting," ujar Marisa sambil melirik suaminya.

"Apa yang mau kalian bicarakan?"

"Jadi kami ke sini untuk-"

"Tunggu, Ma! Kalau begitu biarkan Ezar membersihkan diri dulu, Ma." Ezar menyela.

Ezar merasa tubuhnya lengket dan harus segera mandi. Ezar juga merasa tidak betah jadi ia harus langsung membersihkan diri apalagi setelah perjalanan jauh yang ditempuhnya.

"Ezar mandi dulu ya, Ma, Pa."

Ezar baru saja hendak melesat masuk ke kamarnya namun niatnya yang ingin mandi terlebih dahulu itu seperti dilarang oleh Marisa.

"Ezar, tunggu dulu." Nyonya Marisa langsung menahan tangan Ezar yang ingin pergi mandi.

"Ada apa, Ma?" tanya Ezar bingung. Pasalnya wanita itu terlihat menggebu-gebu ingin membahas sesuatu. 

"Sebenarnya Mama dan Papa ingin kau segera menikah, Ezar," tukas Marisa dengan cepat.

"Apa?!" Ezar langsung memekik dan matanya melotot karena terkejut.

Tuan Alfred terlihat menghela napas dan langsung menarik istrinya agar tidak menghalangi jalan Ezar.

"Sudahlah, Sayang. biarkan anak kita mandi dulu. Ini terlalu cepat untuk diberitahu detik ini juga," sahut Alfred pada istrinya.

Marisa pun menghela napas. Mungkin memang benar kata Alfred. Wanita itu terlalu tidak sabar untuk membahas hal ini. Masalahnya sudah sejak lama juga Marisa menginginkan putra semata wayangnya segera menikah jadi jangan aneh kalau di sini Marisa lah yang paling antusias. Sementara Ezar langsung terdiam, masih berusaha mencerna perkataan ibunya. 

Tiba-tiba Sang ayah memeluk bahunya.

"Ezar, kita bicarakan itu nanti. Kau urus saja dirimu dulu. Maafkan Ibumu yang terlalu tidak sabaran ini," bisik pria setengah baya itu.

Ezar menelan salivanya. Dengan ragu Ezar pun mengangguk lalu melenggang masuk menuju kamar pribadinya. Dalam hatinya Ezar berharap semoga saja ibunya itu hanya bergurau barusan.

...* * *...

Lima belas menit cukup untuk Ezar membersihkan dirinya. Ezar sudah kembali rapi dengan kemeja kantornya. Walaupun hari sudah siang dan ia baru kembali dari luar kota, Ezar tetap harus pergi ke kantor untuk mengurus beberapa urusan di sana. Sebenarnya Ezar sedang mengalami kesulitan di perusahaan karena beberapa kendala yang lambat ia selesaikan. Bulan kemarin Ezar terlalu banyak bersantai sehingga sekarang semua pekerjaan jadi menumpuk dan terhambat.

Belum lagi ada beberapa pegawai yang bermasalah. Saat ini Ezar juga sedang mempertimbangkan beberapa pegawai untuk ia pecat. Namun tentu tidaklah mudah melepas pekerja disaat perusahaan sedang membutuhkan bantuan banyak orang. Ezar bahkan tidak bisa tertidur nyenyak beberapa hari ini. Sebisa mungkin Ezar menyelesaikan semuanya dengan tenang.

Ezar langsung menemui orang tuanya di ruang keluarga. Tampaknya kedua orang tuanya pun sudah menunggunya sejak tadi. Terlihat dari Marisa yang langsung antusias melihat kedatangan Ezar.

"Duduklah, Nak," titah Alfred.

Ezar pun langsung duduk di samping ibunya.

"Jadi, apa maksud ucapan Mama tadi?" tanya Ezar tanpa basa-basi.

Kali ini Marisa tidak berniat menjawab dan malah melirik Alfred. Wanita itu ingin suaminya sendiri yang mengatakan semuanya dengan jelas agar Ezar lebih mudah mengerti karena sejak kecil Ezar cenderung lebih mengerti dan menurut jika papanya yang berbicara daripada mamanya. Mungkin karena mereka sesama lelaki.

"Kami ingin kamu segera menikah, Nak. Kamu sudah dewasa dan sudah pantas menikah. Mama dan Papa ingin melihatmu segera menemukan pendamping hidup," jelas Alfred.

Ezar merasa seperti tersambar petir di siang bolong. Ternyata orang tuanya benar-benar serius membicarakan soal pernikahan ini. Ezar sungguh tidak siap membahasnya. Jangankan membahasnya, selama ini Ezar juga belum ada pikiran untuk menikah. Ia hanya sedang menikmati pekerjaannya apalagi kini ia juga sedang dipusingkan oleh masalah kantor. Lalu sekarang kedua orang tuanya malah tiba-tiba menyuruhnya menikah. 

"Apa? Barusan Ezar tidak salah dengar kan, Pa?" 

"Tidak sayang. Papamu benar. Kami ingin kau segera menikah," sahut Marisa.

"Jadi soal ini yang kalian bilang sangat penting itu?" tanya Ezar dengan sedikit tak percaya.

"Benar, Ezar. Dalam sebulan kedepan kami ingin kau harus segera menikah." Marisa tersenyum penuh arti.

"Tapi kenapa? Ezar belum siap bahkan Ezar sedang harus fokus mengurus perusahaan. Ezar tidak setuju," bantah Ezar dengan tegas.

"Ezar!"

"Ezar tidak mau menikah, Ma." Ezar terus membantah.

"Kau seorang pria yang sukses jadi sudah seharusnya kau memiliki pendamping hidup yang akan mengurusmu, Ezar." 

"Ezar bisa mengurus diri sendiri, Ma. Selama ini pun Ezar sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri."

Marisa dan suaminya itu saling bertukar pandang kemudian menghela napas. 

"Kalau begitu kau harus mau menikah dengan kekasihmu sendiri atau dengan perempuan pilihan kami," tegas Marisa.

Ezar mendengus lalu berdecak kesal. Ezar tidak suka dipaksa soal pernikahan karena pernikahan bagi Ezar adalah sesuatu yang sakral dan sangat bersejarah dalam hidup. Untuk sesuatu yang sangat bersejarah dan sakral, Ezar tidak ingin ada unsur keterpaksaan di dalamnya. Jadi bagaimana bisa pernikahannya ada secara sangat mendadak seperti ini? Semua harus punya persiapan yang sangat matang bukan? Andai orang tuanya mengerti akan hal itu.

"Sudahlah, Ma. Ezar harus ke kantor. Pokoknya Ezar belum siap menikah." 

Kemudian Ezar langsung beranjak dan bersiap berangkat ke kantor. Alfred pun menatap tajam putranya.

"Ezar, apa kau tidak kasihan pada kami? Di usia Papa dan Mama sekarang ini sudah sepantasnya kami sudah memiliki cucu darimu," sahut Alfred.

Ezar menatap papanya dengan dingin. Setelah tiga tahun jarak antara Indonesia dan Inggris memisahkan mereka, Ezar sudah bisa bersikap dingin pada orang tuanya sendiri. Masa bodo. Ezar tetap tidak ingin menikah.

"Ezar! Jangan menatap Papamu seperti itu!" bentak Marisa.

"Terserah. Ezar hanya tidak ingin dipaksa menikah."

...* * *...

Kini Embun berada di area sekitar mall besar dan mewah. Area yang ramai dan pas untuk Embun mencari tujuannya apalagi Embun tahu jika orang yang datang ke mall itu rata-rata orang-orang berdompet tebal dan memakai pakaian berbandrol harga tinggi. Embun tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari pria kaya raya di sana.

Matanya mulai mencari dan melihat-lihat pria yang berlalu lalang di sekitarnya. Untungnya mata Embun sudah hafal dan berpengalaman mengetahui ciri-ciri luar mana pria yang kaya dan mana pria yang hanya kaya tampilan saja. Kaya tampilan saja itu sama dengan Embun. Selama ini Embun memakai dan membeli barang-barang mewah dari teman-temannya. Mana mungkin Embun sanggup membeli baju baju dan tas mahal jika pekerjaan Embun hanyalah pegawai di cafe kecil milik Carrel.

Embun pun mulai kesulitan sendiri memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan pria kaya untuk menjadi suaminya.

"Bukan main-main. Pria di sekitar sini hampir semuanya berdompet tebal," gumam Embun.

Seketika ia langsung mendapatkan semangatnya setelah mengamati pria-pria yang berlalu lalang itu. Benar-benar kawasan elit dengan penghuni yang juga elit. Embun langsung memulainya dengan pria yang lewat di depannya.

"Ekhem. Permisi Tuan."

Berhasil. Pria itu pun menoleh.

"Ya?"

"Itu .. apakah kau sedang mencari seorang istri?" tanya Embun dengan malu-malu.

Pria itu lantas tertawa. "Tidak. Aku seorang gay, Nona."

Lalu pria itu pun pergi. Embun langsung terdiam di tempatnya. Tubuhnya langsung membeku sekaligus merinding. Apa benar bahwa ia baru saja bertemu dengan seorang gay? Sangat disayangkan. Embun baru saja bertemu dengan pria gay. Astaga. Padahal pria barusan itu sangat tampan dan Embun yakin dompetnya juga sangat tebal.

"Baiklah. Pria pertama adalah seorang gay. Masih banyak pria lain yang normal kan. Tidak mungkin semua pria di sini adalah gay."

Embun pun mulai dengan pria kedua yang memakai jas berwarna navy.

"Permisi, Tuan."

"Oh, hai Nona. Ada yang bisa kubantu?"

Bagus. Pria kedua ini terlihat sangat ramah.

"Namaku Embun. Aku--"

"Halo Embun. Aku Aldo," balas pria itu dengan cepat.

Embun merasa senang karena pria itu benar-benar bersikap ramah padanya dan langsung membuka dirinya pada Embun.

Semoga saja dia pria normal.

"Apa kau berniat mencari seorang istri?" tanya Embun dengan hati-hati.

Aldo tampak berpikir sejenak lalu tersenyum. "Ya, aku berencana menikah tapi tidak dalam waktu dekat ini karena aku ingin bosku harus menikah duluan. Sebagai teman dan rekan yang baik aku tidak ingin mendahuluinya menikah." 

"Ah, begitu. Bagaimana kalau saat menikah nanti, aku yang menjadi istrimu, Aldo?"

Aldo langsung tertawa melihat kepolosan mata Embun saat mengatakan itu padanya. Menurutnya Embun seperti tidak memiliki beban sama sekali mengajak seorang pria asing menikah. Embun pun bingung dengan reaksi yang ditunjukkan Aldo. Apakah kalimatnya terlalu lucu untuk Aldo?

"Maaf, Nona Embun tapi aku sudah punya kekasih. Kami sudah bersama sejak masa sekolah."

Perkataan Aldo membuat Embun kecewa.

"Ah, begitu ya."

Embun langsung menunduk malu. Poin kedua adalah ia juga harus memikirkan pria yang sudah punya kekasih. Tidak mungkin kan Embun mengajak menikah pria yang sudah memiliki pasangan. Embun juga memikirkan perasaan kekasihnya itu. Tapi bagaimana Embun bisa tahu mana pria yang melajang dan mana yang sudah menjalin hubungan.

"Embun, jangan sedih. Mungkin aku bisa merekomendasikanmu pada bosku. Dia lajang dan membutuhkan kasih sayang." 

Embun tersenyum. "Terima kasih, Aldo. Kau cukup menghiburku."

"Kalau begitu sampai jumpa lagi, Embun. Aku benar-benar akan merekomendasikanmu padanya."

Embun menghela napas. Ternyata tidak semudah itu mencari seorang pria lajang yang mau menikah apalagi menikahi Embun. Baru dua pria yang Embun temui dan mereka sama-sama sudah membuat Embun frustasi di awal. Apakah Embun harus menyerah begitu saja?

Tidak.

Embun tidak ingin menyerah begitu saja. Bagaimana bisa ia menggugurkan prinsip yang selama ini ia pegang teguh dalam hidupnya hanya untuk pria seperti Roy? Sangat konyol.

Baiklah, mulai sekarang Embun akan mencoba lebih agresif dan berusaha lebih keras lagi.

3. Tuan Tunanetra

Ezar fokus pada kemudinya. Ia baru saja akan kembali ke kantor setelah meninjau lokasi pembangunan proyek terbarunya di dekat pantai. Padahal hari sudah mulai sore namun Ezar belum makan apa pun sejak pulang dari luar kota tadi. Tapi Ezar tidak ada waktu untuk mengisi perutnya sejenak dan tetap harus kembali ke kantor saat ini juga karena ada beberapa berkas penting yang harus Ezar tinjau lebih lanjut. Akhir-akhir ini Ezar benar-benar tidak boleh lengah sedikit pun. Ezar tidak ingin proyek yang tengah dibangunnya gagal ditengah jalan hanya karena kelalaian Ezar.

Ponsel Ezar pun tiba-tiba berdering menandakan panggilan masuk. Ezar langsung mengangkatnya tanpa melihat siapa yang meneleponnya. Sebisa mungkin Ezar menyetir dengan fokus walau satu tangannya ia gunakan untuk memegang ponsel.

"Halo."

"Ezar, kau di mana?"

Ezar menjauhkan sebentar layar ponselnya untuk melihat nama pemanggil.

"Mama," gumam Ezar. Kemudian Ezar kembali menempelkan layar ponsel ke telinganya. "Ada apa, Ma?"

"Jadi kapan kau akan membawa menantu Mama ke rumah, Ezar?"

Ezar menghela napas kasar. sudah ia duga, mamanya menelepon hanya untuk membahas pernikahannya. seharusnya tadi Ezar tidak perlu menjawab telepon dari mamanya. Saat ini Ezar sedang banyak beban pikiran karena pekerjaan di kantor menumpuk ditambah lagi orang tuanya yang baru pulang dari tugas di Inggris sudah menagih calon istri Ezar bahkan juga berniat menikahkan Ezar dalam waktu dekat.

Oh, ayolah kawan. Ezar tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Ezar lebih memilih menghabiskan waktunya di kantor daripada keluar bersenang-senang dengan wanita. Ya, itu prinsip hidupnya sejak lama. Pekerjaan lebih penting.

Ezar memijit pelipisnya. Ia mulai pusing dengan mamanya yang rewel soal pernikahan.

"Ma, aku sedang fokus menyetir sebaiknya kita bicarakan hal itu lain waktu," tukasnya.

"Lain waktu bagaimana Ezar.. Mama dan papa sudah tidak sabar ingin menggendong seorang cucu. Kau anak satu-satunya harapan kami, kau juga sudah dewasa, sudah cukup untuk menikah."

Ezar kembali menghela napas lalu menepikan mobilnya sebentar. Ezar tidak mau mengambil resiko menyetir dengan kepalanya yang pusing mendengar ocehan mamanya. Kalau sudah begini mungkin tidak ada cara lain selain mengiyakan ucapan mamanya agak pembicaraan ini cepat selesai.

"Baiklah, Ma, nanti lagi ya sekarang Ezar harus kembali ke kantor secepatnya."

Ezar mendengar suara helaan napas di seberang sana.

"Memangnya tidak ada gadis yang sudah kau tiduri? kau sudah dewasa pasti kau sering bermain dengan gadis-gadis di hotel kan? coba bawa gadis yang kau tiduri ke rumah."

UHUK

Ezar tersedak ludahnya sendiri. Rasanya sangat terkejut. Bagaimana bisa mamanya berbicara sefrontal itu padanya? Dan apakah Ezar baru saja dituding sebagai pria hidung belang atau sugar daddy oleh mamanya sendiri?

"Ma, walau pun melajang Ezar masih menjadi bujangan yang terhormat dan suci. Tolong jangan katakan yang macam-macam!" tegas Ezar dengan kesal.

"Jika tidak ada satu pun gadis yang kau bawa ke rumah besok Mama akan menikahkanmu dengan gadis pilihan Mama. Mama tutup ya teleponnya."

Ezar langsung melempar ponselnya ke kursi penumpang dengan asal begitu sambungan telepon terputus. Sungguh Ezar sangat lelah dengan keinginan orang tuanya. Tidakkah mereka mengerti dengan pekerjaan Ezar?  Dan.. bagaimana bisa Ezar menikah dengan wanita asing pilihan mamanya? Itu gila! Tidak pernah terpikirkan oleh Ezar sebelumnya jika dirinya sendiri akan dijodohkan.

Baiklah. Ezar tidak mau perjodohan. Setelah dipaksa untuk menikah sekarang Ezar bahkan tidak diberi waktu untuk mencari dan memilih sendiri pasangannya. Apakah Ezar harus mencari seorang gadis hari ini juga? Kalau pun Ezar menemukan gadis cantik sesuai tipenya, belum tentu gadis itu mau ketika Ezar mengajaknya menikah saat itu juga.

Ezar jadi frustasi sendiri. Daripada menikah dengan pilihan mamanya yang belum tentu termasuk tipe Ezar, bukankah lebih baik Ezar mencari sendiri gadis yang sekiranya membuat Ezar tertarik?

Mungkin Ezar harus mencarinya hari ini juga.

Tapi ke mana dan di mana?

Ezar membuka sedikit kaca jendelanya untuk menghirup udara luar lalu memejamkan matanya sejenak. Banyak beban di pikirannya sekarang. Ezar butuh menenangkan diri sebelum kembali bekerja dan berusaha mencari calon istri pilihannya sendiri.

"Tuan, kumohon jadilah suamiku."

Kening Ezar berkerut samar. Matanya masih tertutup. Mungkinkah ia berharap ada seorang gadis yang mengatakan kalimat itu kepadanya sampai-sampai dirinya harus terbawa halusinasi suara? Itu gila.

"Jadilah suamiku ya? Kumohon."

Ezar langsung membuka matanya detik itu juga. Ternyata itu bukanlah bayangan halusinasinya tapi memang benar ada seseorang di luar sana yang mengatakan kalimat itu secara langsung dan terdengar oleh Ezar.

Di balik kacamata hitamnya Ezar bisa melihat seorang gadis memakai kaos putih kebesaran dan hotpants yang menampilkan setengah paha mulusnya itu berdiri di trotoar sambil berbicara pada orang-orang yang lewat. Gadis itu tidak sekedar berbicara, ia menawarkan dirinya sendiri kepada setiap laki-laki yang lewat.

Ezar pun kembali menurunkan kaca mobilnya lebar-lebar lalu menajamkan pendengarannya. Ia penasaran apa yang dilakukan gadis gila itu disekitar Mall milik Ezar. Jadi maksudnya gadis itu sedang menawarkan dirinya ke orang-orang?

"Tuan, jadilah suamiku. Aku akan memuaskan mu sebagai seorang istri." Gadis itu memohon pada seorang pria yang lewat di hadapannya.

"Ck. Kalau mau memuaskan orang pergi saja ke club malam. Dasar gadis gila!"

Pria itu malah menolak dengan cara kasar lalu mendorong gadis itu hingga terjungkal. Ezar meremat rambutnya. Bisa-bisanya ada pria sekasar itu kepada gadis yang baru ia temui dijalan. Entah kenapa mendengar seorang pria memaki seorang gadis hatinya terasa panas. Rasanya tidak pantas seorang gadis dimaki-maki bukanya dihormati. Walau Ezar melajang dan tidak pernah tertarik dekat dengan wanita, Ezar masih punya etika terhadap perempuan. Ezar langsung memperhatikan ekspresi gadis itu yang langsung berubah menjadi murung.

Tapi tak berapa lama kemudian gadis itu bangkit dan malah memaki balik pria tadi. Sepertinya ada rasa kesal dan emosi yang ingin meledak. Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan oleh Ezar.

"Kau yang gila, Tuan! Kau tidak tahu bagaimana nasib hidupku! Aku sedang mati-matian mencari suami tau!" Teriak gadis itu yang semakin mengundang perhatian orang-orang.

Jadi gadis itu sedang mencari seorang suami?

Ezar menghela nafas. Hah.. apa lagi ini? Kenapa wanita sangat obsesi sekali terhadap sebuah pernikahan? Bahkan mama Ezar sendiri sangat terobsesi ingin Ezar segera menikah. Dan sekarang lihatlah gadis itu bahkan rela mengorbankan harga dirinya demi bisa menikah. Sebenarnya apa yang disukai wanita tentang pernikahan? Ezar tidak mengerti hal itu.

Tapi Ezar malah tertarik untuk turun dari mobil dan mendekati gadis itu.

...* * *...

Embun menghela napas kasar kemudian mendongak ke atas untuk menatap langit. Hari sudah mulai gelap dan ia belum mendapatkan satu pun pria yang mau menjadi suaminya. Embun sudah lelah berdiri di sekitar mall besar dan mewah yang ada di pusat kota hanya untuk mencari pria kaya yang mau menjadi suaminya. Target Embun adalah mencari pria kaya raya yang dapat dan mau melunasi hutang-hutangnya.

Namun yang Embun dapat seharian ini hanyalah makian orang-orang. Mungkin saat ini pria-pria yang tadi bertemu Embun sedang membicarakan Embun sebagai gadis gila. Tak apa, mereka tidak tahu bagaimana nasib kehidupan Embun yang sebenarnya dan mungkin Embun memang harus segera menyerahkan tubuhnya pada preman itu besok. Embun pasrah. Mencari suami tentunya tidak semudah itu. Embun sudah ingin menyerah.

Embun pun menguncir rambutnya dengan asal dan berantakan hanya untuk mengurangi rasa gerah. Tubuhnya sudah berkeringat dan penampilannya sudah berantakan. Lantas siapa yang mau meliriknya jika penampilannya sudah tidak segar lagi.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Embun dari belakang. Embun langsung berbalik badan untuk melihat siapa yang berani menepuk bahunya. Mungkin saja salah satu pria kaya mendatanginya tapi seketika raut wajah Embun langsung berubah masam. Kenyataan memang tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Tangannya pun terkepal melihat sosok lelaki cupu berkacamata dan berkerah atas berdiri di hadapannya dengan tubuh gemetar seperti orang yang sedang gugup.

"Apa?!" tanya Embun sedikit membentak.

"K-Kau sedang mencari seorang suami bukan?" tanya pria itu dengan gugup. Suaranya sampai ikut bergetar.

Berhadapan dengan gadis secantik Embun tentunya membuat pria itu gugup.

"Ya. Apa masalahmu? Apa kau akan mengatakan aku gila seperti orang-orang?"

"Bukan. A-Aku bersedia menjadi suamimu."

Embun sempat terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya berdecak.

"Ck! Aku mencari suami yang kaya raya dan tampan. Maaf tapi kau tidak termasuk ke dalam tipe yang aku cari, Tuan. Kau bahkan jauh dari kata tampan dan aku juga tidak yakin dengan isi dompetmu," tukas Embun dengan sinis.

Pria itu terperanjat dan langsung pergi setelah Embun menolaknya mentah-mentah. Tentunya pria itu merasa sangat malu karena Embun seperti sudah mempermalukannya. 

"Apa ku mencari suami sepertiku, Nona?"

Suara bariton membuat Embun kembali menoleh ke belakang. Kali ini seorang pria berkacamata hitam dan berjas rapi. Embun mendengus.

"Tidakkah ada pria normal yang aku incar mendatangiku? Tadi pria jelek dan miskin sekarang malah pria buta yang datang." Embun menggerutu sendiri.

Setelah mengabaikan pria berkacamata itu selama beberapa saat, Embun pun kembali melirik pria itu.

"Lupakanlah, Tuan tunanetra. Aku tidak tertarik pada pria buta yang bahkan tidak dapat melihat nominal uang sepertimu. Kau hanya akan menyusahkanku," desis gadis itu.

Embun bergegas pergi meninggalkan Ezar yang tertawa entah karena apa. Embun semakin yakin jika pria itu benar-benar gila. Namun Ezar tiba-tiba maju dan menghadang jalannya. Ezar pun langsung membuka kacamata hitamnya sehingga memperlihatkan bagaimana karisma yang tersembunyi di balik kacamata hitam tadi. Embun sampai menahan napasnya melihat mata tajam yang penuh kuasa itu.

Apakah pria ini benar-benar buta?

"Aku tidak buta, Nona gila!" desis Ezar dengan sarkas.

Embun mengerjap. "Apa katamu?!"

"Ya, bukankah orang-orang mengataimu gila? Ternyata kau memang benar-benar gila. Memaki orang seenaknya. Bagaimana jika aku benar-benar orang buta yang kau maksud? Aku pasti akan sangat sakit hati." Ezar menyentuh dada kirinya.

"Hei!"

"Kau mencari suami kaya tapi kau sendiri berkata seenaknya pada orang asing. Apa kau berpikir akan ada pria yang mau menerimamu jika dirimu saja seperti itu?"

Embun hanya diam sambil fokus mengamati penampilan Ezar. Tampaknya pria di depannya ini seorang kaya raya. Matanya menelisik penampilan Ezar dari atas ke bawah. Berjas, berpakaian kantoran, dan sangat berkarisma. Jangan lupakan wajahnya yang tampan dan terlihat jelas berdarah campuran luar. Apakah ada pria buta seperti ini? Oke. Sepertinya Embun baru saja mengalami suatu kebodohan. Rasanya Embun tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata untuk menilai pria di depannya dengan cepat.

Tampan dan kaya raya. Sosok suami yang dicari Embun.

Lalu haruskah Embun meminta pria itu menjadi suaminya? Tapi Embun merasa malu karena sudah menuduh lelaki itu buta. Ayolah, Embun. Kau baru saja mengatai orang kaya itu buta. Rasa penyesalan memang selalu datang di akhir.

"Kenapa melamun? Sedang menyesali perkataanmu ya?" sahut Ezar.

"A-Apa? Tidak."

"Matamu tak berhenti mengamati semua yang ada padaku ini."

Lalu Ezar balas mengamati penampilan Embun. Keningnya mengerut samar. Tiba-tiba tangan Ezar menarik ikat rambut Embun tanpa izin. Rambut Embun pun langsung tergerai bebas dan berantakan. Ah, Ezar sudah salah langkah sepertinya. Ezar berharap dapat melihat Embun mengibaskan rambutnya yang halus seperti di iklan shampo.

"Tuan, kau-"

"Kau pikir akan ada orang yang tertarik menikah denganmu jika pakaianmu seperti itu? Kau bahkan tidak cukup pandai berdandan," ujar Ezar sambil sedikit meledek.

"Apa? Tapi ini pakaian yang nyaman untukku dan memang seperti ini penampilanku." 

"Kau terlihat seperti gadis tomboy. Meski wajahnya memang sedikit menarik, tapi siapa yang mau menikahi gadis tomboy? Bahkan kau terlalu terlihat sederhana." Ezar tertawa kecil.

"Tapi tidak perlu melepas ikat rambutku juga kan?! Aku baru saja selesai menguncirnya dengan susah payah!" Embun mendengus sebal.

"Tapi ternyata kau terlihat lumayan seksi dengan rambut berantakan seperti itu." 

Mata Embun membulat. Ia menatap Ezar dengan pipi yang merona. Ezar hanya tersenyum kecil ke arahnya. Segera Embun merapikan rambutnya yang kusut untuk menepis rasa salah tingkah yang ia rasakan. Setelah selesai merapikan rambutnya kini Embun berdiri dengan perasaan gugup. Matanya melirik Ezar dengan ragu-ragu.

"Ada apa, Nona?"

"K-Kalau begitu apakah kau mau menjadi suamiku, Tuan?" tanya Embun dengan gugup.

Embun tahu ini salah. Dengan tidak tahu malunya dia meminta orang yang baru saja dia bentak untuk menjadi suaminya. Hei, Ezar mengatainya seksi dan bilang wajahnya cukup menarik maka sudah pasti Ezar tertarik padanya kan? Ya. Semoga saja. Ia hanya mencobanya siapa tahu beruntung. 

"Kau sangat menarik tapi kau juga terlihat murahan. Maaf, aku ke sini karena penasaran saja."

Ezar pun langsung bergegas pergi menuju mobilnya setelah mengatakan kalimat yang mungkin membuat gadis itu kecewa. Tapi Ezar tidak ingin berlama-lama dengan gadis gila itu lagi. Ezar sendiri bingung kenapa ia malah menghampiri Embun. Itu hanya membuang waktunya saja dan sekarang Ezar merasa menyesal karena telah membuang waktunya. Ternyata Embun bukanlah gadis yang dicarinya. Ezar salah dan telah melakukan hal bodoh.

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menghalangi Ezar ketika hendak membuka pintu mobil dan tangan itu malah kembali menutup pintu mobilnya dengan kencang. Ezar mengerjap. 

Sekarang mau apa lagi gadis itu?

"Nona, menyingkirlah," ujar Ezar dengan dingin.

"Kau kaya raya dan tampan. Mobilmu juga sangat mewah, Tuan," puji Embun sambil memperhatikan mobil Ezar.

Ezar mengerutkan keningnya. "Lalu?"

"Kumohon, jadilah suamiku, Tuan."

Ezar mendengus lalu kembali membuka pintu mobilnya. Namun lagi-lagi Embun menahan tangannya. Dengan wajah memelas Embun memohon padanya.

"Kumohon Tuan. Nikahi aku."

Mendadak Ezar jadi diam saja. Ezar berdiri membelakangi Embun dan terdiam cukup lama di sana. Gadis itu pun mulai merasa aneh. Embun mencoba melepaskan tangan Ezar barangkali Ezar ingin bergerak tanpa dipegang olehnya atau mungkin Ezar tidak suka disentuh oleh orang asing.

Begitu pegangan tangannya terlepas tubuh Ezar langsung tumbang. Dengan sigap Embun pun menahan tubuh Ezar agar tidak membentur trotoar. Gerakan yang begitu mendadak karena terkejut.

"Tuan!"

Embun langsung panik. Ezar tiba-tiba tak sadarkan diri. Embun tidak tahu harus berbuat apa-apa disaat orang-orang sekitar memperhatikannya dengan aneh. Masalahnya Embun saja tidak kenal dengan Ezar. Tahu namanya saja tidak. Embun melirik orang-orang di sekelilingnya yang juga terkejut dan sedang melihat ke arahnya.

"Hei, cepat bantu aku! Jangan cuma melihat!" bentak Embun pada orang-orang sekitar.

Orang-orang pun mulai membantu Embun menggotong tubuh Ezar masuk ke dalam mobil. Walau begitu, setelahnya Embun bingung tidak tahu harus mengantar pria itu ke mana. Apakah Embun harus membawanya ke rumah sakit?

Tidak. Embun takut ditanya-tanya oleh pihak rumah sakit. Tidak mungkin Embun mengatakan Ezar pingsan setelah dipaksa menikah oleh Embun pada dokter kan. Akan sangat memalukan. Embun tidak tahu apa yang menyebabkan Ezar tiba-tiba pingsan padahal sebelumnya pria itu terlihat baik-baik saja.

"Ya Tuhan seharusnya aku menyerah saja untuk mencari suami. Aku bahkan memaksa hingga membuatnya pingsan," gumam Embun merasa bersalah.

Lalu sekarang ... Embun harus membawa pria ini ke mana?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!