NovelToon NovelToon

HANYA INGIN KAU TAU

PRIA TAMPAN ITU

Hujan semalam masih menyisakan jejaknya, terutama di sela-sela jalan berbatu yang kini tampak basah dan licin. Bau tanah yang bercampur dengan udara pagi membuat suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Aku duduk di dalam mobil, menatap keluar dengan tatapan kosong, sementara pikiranku sibuk menggerutu.

"Hari-hari yang membosankan... Kenapa sih setiap hari harus bangun pagi buat ke kampus? Ugh!"

Aku menghela napas panjang. Rasanya malas sekali harus menghadapi rutinitas yang sama setiap hari. Bangun pagi, kuliah, tugas, pulang, tidur, lalu mengulanginya lagi esok hari. Aku butuh sesuatu yang berbeda!

Di sampingku, duduk seorang cowok pendiam yang sejak tadi tak bersuara sedikit pun. Kakakku, Victor.

Ya, dia kakakku, meskipun secara akademik, kami berada di tingkat yang sama. Victor sempat berhenti sekolah selama dua tahun karena mama melarangnya melanjutkan pendidikan saat SMP. Aku tidak tahu pasti alasannya, dan setiap kali kutanyakan, mama selalu menghindar. Akhirnya, setelah sekian lama, dia melanjutkan sekolah, dan sekarang kami satu kampus.

Mama bilang, lebih baik Victor berada di kampus yang sama denganku supaya aku bisa "memantaunya." Aku tidak tahu dari apa, tapi kupikir itu hanya alasan mama saja.

Aku meliriknya sekilas. Dia masih diam, menatap keluar jendela dengan ekspresi datarnya.

"Heh, Kak. Ngomong, dong! Jangan diam aja!"

Aku mencoba memancing reaksi, memastikan dia masih bernapas. Serius, dia orang paling jarang bicara yang pernah kutemui.

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin seseorang bisa sependiam itu?

"Apa," jawabnya singkat, tanpa menoleh sedikit pun. Tatapannya tetap fokus ke luar jendela.

"Apa?! Sekalinya ngomong cuma gitu doang? Nggak ada kata-kata lain yang lebih panjang?"

Aku mendecak kesal.

"Misalnya, ‘Iya, ada apa, Kesy?’" ucapku menirukan nada yang lebih panjang dan ramah.

Tidak ada jawaban. Nihil.

Aku hanya bisa menghela napas. Ah, kakakku ini memang misterius.

...****************...

Tidak lama kamipun telah tiba di kampus.

"Pak Yanto, tinggal aja ya. Nanti jemput lagi seperti biasa. Makasih ya, Pak," ucapku sambil turun dari mobil.

"Baik, Mbak Kesy," balas Pak Yanto, supir keluarga kami yang sudah bekerja bertahun-tahun.

Saat aku hendak melangkah pergi, suara berat yang jarang terdengar itu akhirnya muncul lagi.

"Terima kasih, Pak," ujar Victor sambil membuka pintu mobil dan berjalan melewatiku.

Aku menatapnya, setengah tak percaya.

"Wow, akhirnya ngomong lebih dari satu kata juga!" gumamku pelan, tapi cukup keras untuk didengar.

"Sama-sama, Mas Victor," balas Pak Yanto dengan nada hormat sebelum mobil berlalu pergi.

Aku buru-buru menyusul Victor yang berjalan cepat di depan. "Whoii, Kak! Tunggu napa! Lupa ya, ada adikmu di belakang?" Aku berlari kecil dan mencoba menggandeng tangannya.

Dia langsung menepis tanganku.

"Apaan sih, Kes?" gumamnya kesal.

Aku tertawa, lalu menjulurkan lidah.

"Weeekkk!" Aku pun berlari mendahuluinya, menaiki tangga menuju kelasku.

...****************...

Di depan kelas...

Begitu sampai di lantai dua, aku langsung disambut oleh suara heboh dari teman-temanku.

"Hai, Kes... Uuuuuuu!"

Aku tertawa kecil melihat mereka sudah berkumpul di depan kelas, seperti biasa. Kami saling berpelukan sebentar, lalu mulai mengobrol.

Tiba-tiba, Leni, sahabatku yang paling kepo, berbisik penuh antusias.

"Eh, liat deh! Cowok pakai kaos merah itu... Anak baru? Ganteng banget! Kok aku belum pernah lihat sih?"

Aku mengikuti arah tatapan mereka.

"Iyaaa, cakep banget!" seru Putri.

"Eh, beneran! Keren banget," Mira ikut menyahut.

Aku menahan tawa melihat mereka bertiga menatap Victor tanpa berkedip, seolah melihat aktor terkenal yang baru turun dari mobil mewah.

"Namanya Victor," ucapku santai.

Leni menoleh cepat.

"Victor? Kok kamu tahu? Kenal?"

Aku mengangkat bahu.

"Yaiyalah. Kenal banget malah. Dia itu kakakku. Masa kalian nggak lihat muka kami mirip?"

Serempak, mereka menoleh padaku, lalu kembali menatap Victor.

"Gak mirip, tuh," kata Mira.

"Iya, beda banget," tambah Putri.

Aku hanya tertawa.

Saat itu, Victor berjalan mendekat dan berdiri di depanku.

"Kenapa masih di sini?" tanyanya dengan ekspresi datarnya yang khas.

Aku menyeringai.

"Ini, temen-temen aku mau nungguin Kakak, hehe."

"Cubitin dia!" bisik Putri ke Mira.

"Kesy!" Mira langsung mencubit lenganku.

Victor hanya menghela napas.

"Ada-ada aja..." katanya, lalu berjalan melewati kami begitu saja.

Akupun berbalik dan mengikuti langkah kakak ku memasuki kelas.

Kami sudah duduk di kelas, menunggu dosen datang.

Dari tempatku di belakang, aku memandangi punggung Victor. Aku selalu memilih duduk di belakang karena sering mengantuk saat kuliah, sedangkan Victor lebih suka duduk di depan. Dia memang berbeda. Pintar, cerdas, dan selalu menjadi bintang akademik.

Namun, tiba-tiba, sebuah kenangan lama muncul di benakku...

Aku teringat punggung itu—punggung yang sama yang sering kulihat saat kecil. Bedanya, dulu punggung itu memiliki banyak bekas luka. Luka-luka yang entah berasal dari mana.

Aku ingat pernah melihatnya secara tidak sengaja saat Victor sedang mengganti baju di kamarnya. Saat itu, aku masih kecil dan belum mengerti apa-apa. Aku hanya bertanya..

"Kakak kenapa?"

Namun, Victor hanya tersenyum tipis dan berkata..

"Aku baik baik aja." jawabnya kala itu.

Tapi aku tahu, sesuatu terjadi pada kakakku di masa lalu. Sesuatu yang tidak pernah ingin dia ceritakan.

Air mataku menetes tanpa kusadari.

Aku segera menyekanya sebelum ada yang melihat.

Pria tampan itu adalah kakakku.

Pria hebat itu adalah kakakku.

Victor.

......................

Bersambung...

CHAT DARI SESEORANG

#BAB 2 CHAT DARI SESEORANG

...****************...

Kelas yang terasa panjang akhirnya selesai. Pak Nico baru saja meninggalkan ruangan, dan aku langsung menghela napas panjang.

"Akhirnya selesai juga... Aduh, lapar!" gerutuku, meski entah kepada siapa aku mengeluh.

Mataku melirik sekilas ke arah pria yang duduk beberapa bangku di depan. Kakakku, Victor. Dia tetap diam seperti biasa, masih fokus pada ponselnya, sesekali memutar-mutar pulpen di tangannya.

Tiba-tiba, langkah kaki mendekat, dan suara yang sudah sangat kukenal menyapa.

"Ayo, Kes! Makan di mana kita? Tadi pagi aku nggak sempat sarapan. Kangen banget masakan Bu Rina di kantin," ujar Putri dengan antusias.

Aku mengangguk, mulai membereskan buku-buku di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas.

"Iya, ayo! Aku juga sudah lapar dari tadi," sahutku.

Putri mendekat, lalu berbisik pelan.

"Eh, kakak kamu nggak kamu ajak sekalian? Lumayan, kan, bisa ganti suasana. Nggak melulu sama Leni dan Mira. Sesekali makan bareng cowok ganteng."

Dia terkikik kecil, matanya melirik ke arah Victor.

Aku hanya mendesah pelan, lalu menoleh ke kanan dan kiri, mencari dua sahabatku yang lain.

"Loh, Leni dan Mira ke mana? Tumben nggak ikut kita ke kantin?" tanyaku.

"Tadi mereka mau ke toilet dulu. Katanya nanti nyusul," jawab Putri cepat.

"Ayo, ah! Udah laper banget!"

"Yaudah, ayo."

Kini tasku sudah berada di punggung, dan kami mulai berjalan menuju pintu kelas. Saat melewati Victor, aku berhenti sejenak.

"Kak! Ayo makan ke kantin," ajakku sambil menepuk lengannya pelan.

Victor menoleh, sekilas menatapku.

"Duluan aja," jawabnya singkat.

Aku mendengus. Sudah kuduga jawabannya bakal seperti itu. Tangannya masih sibuk dengan ponselnya, seolah tidak ada hal lain yang lebih menarik di dunia ini.

"Ayo, ah!" Aku langsung menarik lengannya, mencoba memaksanya berdiri.

"Kesy! Apaan sih?!" gerutunya, tapi kini dia sudah berdiri tepat di sebelahku.

Aku mendongak, menatap wajahnya yang sekarang berjarak sangat dekat denganku. Dengan tinggi 183 cm, dia jelas jauh lebih besar dibanding aku. Tatapannya dingin, seperti biasanya—seakan siap menerkamku kapan saja.

"Hehe... Ayo, lah, Kak! Aku traktir!" kataku dengan senyum penuh harapan.

Victor masih diam, tapi akhirnya mengalah.

...****************...

Di Kantin

Hampir semua meja di kantin sudah terisi. Beberapa mahasiswa melirik ke arah kami yang baru saja masuk. Aku tidak tahu apakah mereka sedang melihatku, Putri, atau... Victor.

Saat kami berjalan menuju meja kosong, aku bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan kakakku. Ya, dia memang punya aura yang sulit diabaikan.

Srekk...

"Aku di sini aja, Kes," ujar Victor lirih sambil menarik kursi di dekatnya.

Aku ikut duduk, lalu menoleh ke arahnya.

"Mau makan apa, Kak?"

Victor tidak menjawab. Dia hanya diam, masih sibuk dengan ponselnya.

Putri yang duduk di sebelahku ikut melirik ke arahnya, lalu terkikik kecil.

"Eh, kakak kamu kok pendiam banget, sih? Hehe."

Aku mendelik ke arah Putri.

"Kenapa sih senyum-senyum gitu? Nggak jelas. Denger ya, dia itu kakakku. Dan aku nggak mau punya kakak ipar kayak kamu. Huh!"

"Ih, kamu jahat!" protes Putri sambil manyun.

Aku tertawa kecil sebelum akhirnya berjalan menuju ibu kantin untuk memesan makanan.

"Kak Nurul, dua nasi sayur lauk ikan nila goreng, ya. Minumnya es teh dua," pesanku.

"Oke, ditunggu ya, Kesy," jawab Kak Nurul sambil mencatat pesanan.

"Aku nasi telur dadar aja, dikasih kuah pedas. Minumnya es jeruk satu," tambah Putri.

Setelah menerima nomor meja, kami kembali ke tempat duduk. Saat sampai, aku terkejut melihat Mira dan Leni sudah duduk di sana, berhadapan langsung dengan Victor.

"Eh? Kalian udah di sini? Kok nggak pesan makan?" tanyaku heran.

"Gak makan. Udah kenyang di rumah," jawab Mira santai, tapi matanya tetap fokus menatap Victor.

Aku langsung menangkap sesuatu. Mereka jelas bukan sekadar duduk di sini karena ingin menemani kami. Mereka duduk di sini karena ingin mendekati Victor.

Victor, di sisi lain, terlihat tidak nyaman. Dia hanya menunduk, memainkan ponselnya tanpa peduli dengan keadaan sekitar.

Kami berlima duduk melingkar, menunggu makanan datang. Suasana sedikit canggung, apalagi karena dua temanku masih sibuk mencuri-curi pandang ke arah Victor.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Sejak tadi, Victor terus-menerus melihat ponselnya, menggeser layar ke atas dan ke bawah, membaca sesuatu berulang kali.

Aku mulai penasaran.

Apa yang sedang dia baca?

Dari yang aku tahu, kakakku selalu menghindari wanita yang menyukainya. Sejauh ini, dia masih sendiri. Jadi... apakah sekarang ada seseorang yang diam-diam dia sukai?

Aku mencoba mengintip layar ponselnya dari sudut mataku. Pelan-pelan, aku berhasil menangkap nama kontak di bagian atas chat yang dia baca berkali-kali.

"Kak Chairin..."

Deg!

Nama itu terasa familiar. Aku pernah mendengarnya sebelumnya, tapi dari mana?

Aku mencoba mengingat-ingat.

Tiba-tiba, ingatanku kembali ke masa lalu—sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, aku masih SMA, dan Victor sedang dalam masa sulit setelah dilarang sekolah oleh Mama.

Saat itulah aku pertama kali mendengar nama Chairin.

Seingatku, dia adalah salah satu senior di sekolah kakakku dulu. Gadis yang cukup populer, pintar, dan juga... dekat dengan Victor.

Aku menoleh ke arah kakakku yang masih serius menatap layar ponselnya. Sekilas, ada ekspresi yang berbeda di wajahnya.

Bukan ekspresi dingin dan tanpa emosi seperti biasanya.

Tapi lebih seperti... rindu.

Aku menelan ludah. Apa mungkin... kakakku menyukai seseorang diam-diam selama ini?

......................

Bersambung...

GADIS ITU BERNAMA CHAIRIN

Ternyata sejak tadi, Kak Victor terus membaca ulang isi chat dari seseorang.

Ya! Gadis itu bernama Chairin Stevani.

Aku terus menatap layar ponsel yang Kak Victor pegang, memastikan kalau aku tidak salah lihat nama di atas chat itu.

Hingga tanpa sadar, tatapan tajamnya kini tertuju padaku. Seketika, layar ponselnya langsung ia matikan.

Aku terkejut setengah mati. Jantungku seakan mencelos, sementara pria berwajah putih dengan rambut lurus sedikit acak itu masih menatapku lekat-lekat. Tatapannya seperti pisau yang menusuk hingga ke dalam.

"Eh… e-emm… anu, Kak… Makanannya kok belum datang ya? Aku lapar, hehe," kataku gugup, berbicara asal dengan senyum canggung yang kupaksa melebar di bibirku.

Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura melihat ke arah teman-temanku yang duduk di seberang.

Angin berembus lembut, tapi tubuhku justru terasa seperti cacing kepanasan. Aku bergerak ke sana kemari tanpa arah, berusaha menenangkan detak jantungku yang masih berdebar kencang.

"Kesy! Kenapa sih? Kok ekspresinya aneh banget?" tanya Mira keheranan, menatapku dengan alis berkerut.

Aku hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala, sesekali melirik ke arah Kak Victor.

Tak lama kemudian, Kak Nurul, anak pemilik kantin, datang membawa pesanan kami. Dengan cekatan, ia meletakkan satu per satu makanan di atas meja.

"Nasi sayur dan ikannya, Kak. Ini nasi telur, kuah pedas ya?" katanya sambil menyodorkan pesanan kami.

"Eh, mahasiswa baru ya? Kok belum pernah lihat makan di sini?" tanyanya lagi, kali ini menunjuk pria di sebelahku.

"Jangan genit, Kak Nurul. Dia Kakaknya Kesy," potong Leni, menunjuk ke arah kantin yang sedang ramai.

"Udah tuh, banyak pesanan lain yang belum diantar."

Aku tersenyum kecil, sementara Kak Victor tetap diam. Aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

"Wah, ternyata Kesy punya kakak ganteng, ya! Pantes nggak pernah diajak ke sini," celetuk Kak Nurul sambil tersenyum lebar.

"Halo, aku Nurul. Anak Bu Rina, pemilik kantin ini. Salam kenal! Kalau makan di sini, bilang aja, aku pasti bantu."

Sambil mengulurkan tangan, Kak Nurul masih tersenyum manis, berharap mendapatkan balasan. Tapi, Victor tetap diam.

Tanpa sepatah kata pun, pria itu tiba-tiba berdiri dari kursinya, membuka dompet, lalu meletakkan uang dua ratus ribu di atas meja.

"Aku duluan, Kes," ucapnya dingin.

Tanpa menoleh ke arah kami, ia langsung berbalik dan pergi begitu saja.

Kami hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, tubuh tegapnya berjalan dengan langkah yang mantap.

"Loh, kok kakaknya pergi, Kes?" suara Kak Nurul terdengar sedikit panik.

"Duh, apa aku salah bicara ya? Tolong mintakan maafku, Kes. Jangan kapok ke sini lagi, ya. Jadi nggak enak deh..."

"Iya, kenapa sih Kak Victor? Nasinya aja belum dimakan," tambah Mira dengan nada kesal. "Dingin banget jadi cowok."

"It's okay, lah," ujar Leni, malah tersenyum penuh arti.

"Cowok memang harus keren begitu. Jangan gampang deketin cewek-cewek. Ih, aku jadi makin suka, deh, sama Kakak kamu, Kes."

"Udah, udah! Dimakan dulu, Kes. Keburu dingin," timpal Putri.

Aku hanya diam. Pikiranku melayang ke mana-mana.

"Yasudah, aku permisi dulu ya," ujar Kak Nurul akhirnya.

Putri mengangguk sambil tetap asyik menikmati makanannya. Sementara itu, Leni dan Mira masih sibuk mengobrol ngalor-ngidul, sesekali tertawa lebar.

Aku menunduk, mengaduk-aduk makananku tanpa selera.

Kak Chairin… panggilku dalam hati.

Ternyata Kak Victor masih belum bisa menerima ini semua. Sama seperti aku. Hanya saja, mungkin aku lebih bisa mengikhlaskan keadaan ini. Sementara Kak Victor...

Tiba-tiba, suara Leni membuyarkan lamunanku.

"Kes, kenapa tadi kamu tiba-tiba gugup setelah melihat HP Kak Victor? Dia juga jadi berubah setelah itu. Pasti ada sesuatu, ya?" godanya dengan nada menggoda.

"Oooohhh… atau kamu memergoki Kak Victor lagi chat sama pacarnya, ya? Hayo ngaku!"

Aku terdiam sejenak.

Aku tahu, pada akhirnya aku harus menjelaskan ini kepada mereka.

Dengan suara yang sedikit bergetar, aku menjawab,

"Kak Victor masih sendiri. Dia belum punya pacar. Dia tadi sedang membaca ulang chat dari Kak Chairin."

Seketika, semua mata tertuju padaku.

"Chairin? Siapa itu?" tanya Mira penasaran.

Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosiku yang kembali bergejolak.

"Kak Chairin… Dia adalah kakakku. Kakak pertama. Aku tiga bersaudara. Kak Chairin, Kak Victor, dan aku."

"Oh… terus?" Mira masih belum mengerti.

Aku menelan ludah, suara ini terasa berat untuk keluar.

"Bukan karena rindu biasa..." lirihku.

Aku menarik napas panjang sekali lagi sebelum akhirnya melanjutkan,

"Kak Chairin sudah meninggal beberapa tahun lalu. Waktu itu, Kak Victor masih kelas 3 SMP. Kak Chairin baru kelas 2 SMA."

Sejenak, suasana menjadi hening.

"Meninggal…? Karena apa?" tanya Leni, kini lebih serius.

Aku mengedipkan mata berulang kali, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.

"Karena kecelakaan," suaraku nyaris tak terdengar. "Mama sangat terpukul waktu itu. Kak Chairin adalah anak kesayangan Mama. Dia anak yang baik, patuh, dan sangat ceria."

Aku tak bisa lagi menahan diri. Air mataku jatuh, mengalir deras membasahi pipiku. Aku terisak, suara tangisku tertahan di tenggorokan.

Aku merasakan tangan Putri menepuk pundakku pelan, memberikan sedikit kenyamanan. Tapi aku tahu, tak ada yang bisa meredakan rasa sakit ini.

Aku menunduk, menggigit bibir bawahku yang mulai bergetar.

"Kak Victor… Apa kamu baik-baik saja?"

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!