NovelToon NovelToon

Rahasia Pesugihan Pamanku

1. Apalagi Ini ... ?

Sore itu tawa terdengar menggema dari rumah sepasang suami istri yang biasa dipanggil kek Mustafa dan nek Yasmi. Semua tetangga tahu kedua kakek nenek itu sedang dikunjungi anak, menantu dan cucunya.

Kek Mustafa dan nek Yasmi memiliki tiga orang anak laki-laki yang semuanya sudah menikah.

Anak pertama bernama Murad, menikah dengan Eli dan memiliki tiga anak yaitu Majid, Mila dan Mieke.

Anak kedua bernama Yasin, menikah dengan Nia dan memiliki dua anak yaitu Yudistira dan Ruci.

Sedangkan Anak ketiga bernama Dirga, menikah dengan Eva. Mereka memiliki empat anak yaitu Desi, Erman, Diki dan Eza.

Diantara ketiga anak kek Mustafa, kehidupan rumah tangga Dirga lah yang paling memprihatinkan.

Setelah dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja, kini Dirga menjadi pengangguran. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya Dirga pun terpaksa kerja serabutan. Istri Dirga hanya ibu rumah tangga biasa. Karena baru saja melahirkan anak keempat, maka Dirga melarangnya bekerja meski untuk membantu meringankan bebannya.

Meski kehidupan Dirga tak seberuntung kedua kakaknya, tapi kek Mustafa dan nek Yasmi tetap menyayanginya. Mereka tak membedakan kasih sayang terhadap anak, menantu dan cucu. Semua mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama. Itu lah yang membuat Dirga dan Eva nyaman berada di tengah keluarga mereka.

Tapi berbeda dengan sebelumnya, perasaan nyaman itu perlahan sirna dari hati Dirga. Apalagi saat dia mengetahui ketiga anak Murad hampir mendulang sukses di usia muda.

Majid kini bekerja di sebuah Bank swasta dengan gaji besar, Mila yang baru saja lulus kuliah akan menikah dengan pria mapan dan kaya raya, sedangkan Mieke ditunjuk mewakili Indonesia dalam pertukaran pelajar dengan negara tetangga.

Mendengar cerita Eli tentang kehebatan ketiga anaknya tadi membuat Dirga tersenyum kecut. Meski pun Murad tak bicara apa-apa, tapi di wajahnya tersirat jelas kebanggaan yang serupa dengan istrinya itu. Karena tak nyaman, Dirga pun memilih keluar lalu duduk di teras sambil merokok.

Melihat wajah Dirga yang berubah murung, Yasin pun iba. Dia menghampiri sang adik lalu menepuk punggungnya perlahan hingga membuat Dirga menoleh.

"Apa Bang?" tanya Dirga.

"Gapapa, cuma iseng aja. Udah lama kan aku ga jailin kamu," sahut Yasin sambil tersenyum.

"Apaan sih Bang. Kaya anak kecil aja," kata Dirga sambil mendorong tubuh sang kakak dengan tubuhnya hingga Yasin terjengkang ke belakang.

Beruntung Nia yang kebetulan melintas usai buang sampah pun sigap menahan tubuh sang suami hingga Yasin tak harus menanggung malu karena jatuh dari atas kursi.

"Hati-hati dong Yah," tegur Nia sambil melotot.

Melihat sikap istrinya, Yasin pun tertawa lepas diikuti Dirga.

"Marahnya kak Nia mirip mamak kalo lagi marahin kita ya Bang," kata Dirga di sela tawanya.

"Iya," sahut Yasin sambil tertawa.

Ucapan Dirga membuat wajah Nia merona. Dia pun segera menyingkir dari hadapan suami dan adik iparnya itu.

"Ga usah masukin ke hati ucapan kak Eli tadi. Maklum lah perempuan. Kalo ga nyombong rasanya ga enak. Yaa ... kaya ada yang kurang, mirip sayur kurang garem gitu lah," kata Yasin setelah tawanya mereda.

Ucapan Yasin membuat Dirga tersentuh. Yasin adalah orang yang bijaksana. Meski pun anak kedua, tapi Yasin justru terlihat lebih dewasa dibanding Murad. Dan Dirga memang lebih nyaman bersamanya daripada Murad. Mungkin karena jeda umur keduanya yang hanya selisih dua tahun saja. Sedangkan selisih Dirga dan Murad adalah sepuluh tahun.

"Iya, aku tau. Tapi kak Eli emang berubah banget sekarang," kata Dirga sedih.

"Maksudmu berubah gimana Dir?" tanya Yasin tak mengerti.

"Kalo ngomong tuh ga disaring dulu, nada bicaranya juga ga diatur dan nyindir-nyindir terus. Bikin emosi aja," sahut Dirga sambil melengos.

"Nyindir gimana maksud kamu Dir?" tanya Yasin lagi.

"Ck, masa masih harus aku ulangin lagi sih Bang. Males banget," sahut Dirga.

"Tapi emang aku ga ngerti bagian mana yang bikin kamu tersindir Dirga," kata Yasin.

"Kak Eli bilang kalo dia sama bang Murad emang sejak awal milih pendidikan terbaik untuk Anak-anaknya. Jadi wajar kalo sekarang mereka tinggal metik hasilnya. Kita semua tau dimana anak-anak itu sekolah dan berapa biaya yang harus bang Murad keluarin tiap bulannya. Dan gara-gara itu juga bang Murad jadi sering absen ngasih uang sama mamak dan bapak, kan ?. Tapi anehnya kak Eli kaya ga punya rasa bersalah gitu ya. Atau dia sengaja nyekolahin anaknya di tempat yang mahal biar bang Murad ga ngasih uang ke mamak," kata Dirga berapi-api.

"Sabar Dir. Mamak sama bapak kan emang ga pernah nuntut kita buat ngasih uang. Itu kesadaran kita aja sebagai anak," kata Yasin mengingatkan.

"Iya tau. Tapi mereka juga jangan seenaknya gitu dong, ga ngasih uang tapi nuntut dibikinin ini itu kalo dateng ke sini. Kasian kan mamak. Lagian ga usah diajarin semua orangtua juga pasti melakukan hal yang sama Bang. Siapa pun mau nyekolahin anak di tempat bergengsi, yang bobot pendidikannya bagus. Cuma masalahnya, uangnya ada atau ga buat biayain pendidikan terbaik yang harganya selangit itu. Apalagi buat aku yang pengangguran sekarang. Dan asal Abang tau ya, uang jajan yang kak Eli kasih ke Mieke aja sama besarnya sama uang yang aku keluarin buat makan keluargaku satu hari Bang. Ironis banget, kan?!" sahut Dirga kesal.

Yasin pun terdiam. Dia tahu tak mungkin meredam kemarahan Dirga dengan terus membujuknya. Yang ada Dirga pasti makin ngamuk. Satu-satunya cara membungkam Dirga ya hanya diam. Dan ternyata cara itu cukup ampuh.

Wajah Dirga yang semula menegang itu perlahan mulai mengendur. Nafasnya yang semula memburu pun mulai terlihat teratur. Dan saat senyum tercetak samar di bibirnya, Yasin pun ikut tersenyum. Sesaat kemudian Yasin nampak menepuk pundak Dirga beberapa kali.

"Maaf Bang. Aku ga bermaksud marah sama Abang tadi," kata Dirga lirih.

"Aku tau. Gimana perasaan kamu setelah uneg-unegnya keluar?" tanya Yasin.

"Lega," sahut Dirga sambil tersenyum.

Interaksi Yasin dan Dirga diamati dengan seksama oleh Ruci dari ambang pintu. Gadis remaja itu pun ikut tersenyum. Setelahnya Ruci membalikkan tubuhnya karena ingin pergi ke samping rumah. Tapi di saat yang sama tak sengaja dia menabrak Desi, anak sulung Dirga.

Kerasnya tabrakan membuat Ruci dan Desi sama-sama menjerit tertahan. Dan suara mereka membuat Yasin dan Dirga menoleh.

"Kalian ngapain di situ. Lagi nguping ya?" tanya Yasin sambil menatap Ruci dan Desi bergantian.

"Ish, sembarangan. Aku ga nguping ya Yah!" sahut Ruci tak terima.

"Aku juga ga Pakde !" sela Desi tak mau kalah.

"Terus ngapain di situ?" tanya Yasin.

"Aku mau ambil sandal Yah, abis itu mau main ayunan di samping rumah," sahut Ruci sambil memperlihatkan sandal yang dibawanya.

"Kalo aku ... aku mau ikut Kak Ruci," kata Desi sambil garuk-garuk kepala.

"Ngapain ngikutin aku?" tanya Ruci.

"Mau ...," Desi sengaja menggantung ucapannya karena tak nyaman mengatakannya di depan Yasin dan Dirga.

"Oh, ya udah. Ayo Kita omongin di sana," ajak Ruci sambil menggamit tangan Desi lalu membawanya ke pintu samping.

Melihat aksi Ruci dan Desi membuat Yasin dan Dirga tersenyum.

"Makin besar makin cantik. Apa Ruci udah punya pacar Bang?" tanya Dirga.

"Jangan bahas itu Dir. Aku ga suka," sahut Yasin sambil menggeleng cepat.

"Lho kenapa Bang. Bukannya wajar ya?. Ruci kan udah tujuh belas tahun. Pasti banyak cowok yang naksir sama dia," kata Dirga sambil tertawa.

"Jangan sekarang. Aku ga siap kehilangan sikap manjanya. Biarin dia jomblo dulu, ntar umur dua puluhan baru boleh pacaran," sahut Yasin.

"Tapi kalo ada yang maksa ngelamar sebelum Ruci umur dua puluh tahun gimana Bang?" tanya Dirga penasaran.

"Ditolak," sahut Yasin sambil menyilangkan dua lengan di depan wajahnya.

"Kalo yang ngelamar itu Anaknya pejabat atau orang kaya?" goda Dirga.

"Tetap ditolak!" sahut Yasin tegas.

"Kalo Ustadz, masih muda, ganteng, pinter. Gimana Bang?" kejar Dirga lagi.

"Oh, kalo itu beda. Aku pasti langsung Ok," sahut Yasin sambil mengangguk.

"Lho, kok gitu?" tanya Dirga tak mengerti.

"Karena dia bakal membimbing Ruci supaya masuk surga. Dan sebagai Ayahnya, mau ga mau aku pasti kecipratan pahala dari amal yang Ruci lakukan. Iya kan," sahut Dirga sambil tersenyum.

Jawaban Yasin membuat Dirga tertawa. Dan tawa Dirga juga terdengar hingga ke dalam rumah. Eli yang duduk di samping Murad pun nampak berusaha memprovokasi suaminya itu.

"Adik-adikmu itu ga sopan banget sih Pa. Masa ngobrol berdua aja tanpa kamu," bisik Eli.

"Mereka kan emang deket dari kecil. Apalagi udah lama ga ketemu pasti kangen lah," sahut Murad sambil terus mengetik pesan di ponselnya.

"Tapi Pa," ucapan Eli terputus karena Murad bangkit dari duduknya.

"Cukup Ma. Aku temuin mereka dan tanya apa yang mereka omongin biar Kamu puas," kata Murad sambil berlalu.

Eli pun tersenyum melihat suaminya mendekati dua adik iparnya itu. Tanpa Eli sadari, Eva dan Nia juga sedang menatap tak suka kearahnya.

"Apalagi sih maunya kak Eli," bisik Eva.

"Tenang aja Va, ada mas Yasin di sana. Bang Murad ga bakal berani macam-macam sama suamimu," kata Nia setengah berbisik.

"Bukan gitu Mbak. Aku capek ngeliatin bang Murad sama bang Dirga berdebat. Soalnya apa yang didebatin itu pasti kebawa ke rumah dan bikin bang Dirga uring-uringan. Kasian kan anak-anak. Ga tau apa-apa tapi ikut kena omel," sahut Eva gusar.

Dan apa yang dikhawatirkan Eva pun terjadi. Tak lama kemudian Dirga bangkit dari duduknya lalu bersiap meninju Murad. Beruntung ada Yasin di tengah mereka hingga perkelahian keduanya bisa dicegah.

Kek Mustafa dan nek Yasmi pun nampak menggelengkan kepala melihat aksi ketiga anaknya itu. Seolah mengerti siapa biang keladi dari perkelahian yang hampir terjadi, keduanya pun sama-sama menoleh kearah Eli.

"Eli ... !" panggil nek Yasmi lantang.

Suara lantang nek Yasmi mengejutkan semua orang terutama cucu-cucunya. Bahkan anak bungsu Dirga yang berusia dua bulan pun menangis saking terkejutnya.

\=\=\=\=\=

2. Ulah Istri Murad

Eli pun tak kalah terkejut mendengar suara lantang nek Yasmi. Dengan gugup Eli berdiri untuk menyambut sang mertua yang mendekat kearahnya.

"I-iya Mak, ada apa ?. Teriak-teriak segala, sampe kaget Saya," kata Eli tanpa rasa bersalah.

"Kamu tuh ya. Apa sih yang Kamu bilang sama Murad?. Bisa-bisanya dia nyamperin Yasin dan Dirga sambil nuduh yang aneh-aneh?!" tanya nek Yasmi galak.

"Nuduh aneh-aneh gimana sih Mak. Lagian Saya ga ngomong apa-apa kok sama Bang Murad. Iya kan Pa?" tanya Eli sambil melirik kearah suaminya seolah meminta pembelaan.

Sayangnya Murad hanya membisu. Dia pura-pura tak mendengar pertanyaan istrinya karena tak ingin menambah masalah. Sikap Murad tentu saja membuat Eli malu.

"Jangan bohong kamu. Saya liat semuanya normal dan biasa-biasa aja tadi. Tapi setelah kamu bisik-bisik sama Murad, semuanya berubah jadi kacau!" kata Mak Yasmi sambil menatap marah kearah Eli.

"Sabar Mak," sela Abah Mustafa dari ambang pintu.

"Ga bisa Bah!. Menantumu yang satu ini udah keterlaluan. Bisa-bisanya ngadu domba suami sama adik iparnya!" kata Mak Yasmi.

"Saya ga ngadu domba Mak. Saya cuma bilang, kok Yasin sama Dirga ngobrolnya berdua aja tanpa bang Murad. Jujur Saya tersinggung apalagi mereka ketawa terus daritadi. Saya curiga, jangan-jangan mereka lagi ngetawain saya sama bang Murad," sahut Eli sambil menunduk.

"Ngetawain gimana maksud Kamu El?" tanya kek Mustafa tak mengerti.

"Ngetawain ... itu Pak. Kan tadi Saya cerita tentang anak-anak saya. Keliatannya Dirga ga suka denger cerita saya. Mungkin iri, makanya mukanya sampe bete gitu. Dia pasti curhat sama Yasin dan mereka sepakat untuk membenci saya dan nyari-nyari kesalahan saya," sahut Eli.

Ucapan Eli membuat semua orang menggelengkan kepala karena tak mengerti dengan cara berpikirnya.

"Ga usah negatif thinking gitu lah Kak. Saya sama Dirga ga ngomongin keluarga Kakak. Kami lagi ngebahas masa kecil kami kok tadi, Nia saksinya. Walau dia juga jadi bahan ketawaan kami gara-gara marahnya mirip sama marahnya mamak, tapi Nia ga marah tuh," kata Yasin dengan santai.

Nia pun mengangguk mengiyakan ucapan suaminya.

"Jelas aja Nia belain kamu. Dia kan Istri kamu," gerutu Eli.

"Sudah lah, ga usah ribut lagi. Kalian kan sudah tua, masa masih ribut kaya anak kecil. Ayo baikan!" titah kek Mustafa sambil melotot.

Murad, Yasin dan Dirga pun bergegas saling mendekat untuk meminta maaf. Setelahnya ketiganya berpelukan lalu tertawa. Melihat sikap ketiga anaknya membuat Abah Mustafa dan Mak Yasmi ikut tertawa.

Menyaksikan tiga bersaudara itu telah kembali akur, Eli pun gusar. Dia segera meraih tas dari sofa lalu bergegas pamit. Kek Mustafa dan nek Yasmi tak bisa berbuat apa-apa. Keduanya terpaksa merelakan Murad pergi bersama Eli.

Tak lama kemudian deru mobil Murad terdengar meninggalkan halaman rumah. Kek Mustafa dan nek Yasmi nampak menatap kepergian Murad dengan sedih.

"Makin ke sini tingkah kak Eli makin menyebalkan. Udah sombong, perhitungan, pelit lagi. Iya kan Mak?" tanya Dirga tiba-tiba.

"Hush, jangan sembarangan ngatain orang. Gitu-gitu kan dia istri abangmu," kata nek Yasmi.

"Aku tau Mak. Tapi seharusnya sebagai istri kakak tertua, dia bisa membawa diri. Kalo ga bisa jadi panutan ya lebih baik diem. Daripada banyak ngomong tapi isinya cuma pamer dan ngerendahin orang lain. Kalo ga mandang bang Murad, rasanya udah pengen Aku sumpel aja mulutnya pake kaos kakiku yang bau ini," sahut Dirga kesal.

Kalimat terakhir Dirga membuat semua orang yang mendengarnya tertawa.

"Untung anak-anaknya bang Murad ga ikut hari ini. Mereka pasti malu ngeliat tingkah ibunya kaya gitu," kata Yasin sesaat kemudian.

"Betul. Jadi inget tragedi di acara keluarga di rumah mang Darma tahun lalu," sahut Nia.

"Emangnya ada apa di sana Mbak?" tanya Eva yang memang tak bisa hadir karena keluhan di awal kehamilannya.

"Di sana kak Eli kan ngatain cucunya mang Darma tuh. Bercanda sih katanya. Tapi ga nyangka menantunya mang Darma marah. Dia ga terima Anaknya dikatain mirip anak keterbelakangan mental. Ya, lagian mana ada orangtua yang terima anaknya dijelek-jelekin begitu. Setelahnya rame deh, ribut besar dan saling maki. Anaknya bang Murad yang awalnya belain Ibunya juga jadi malu setelah tau duduk persoalannya. Bahkan Mila juga marahin ibunya itu di depan kita semua lho," sahut Nia sambil tersenyum.

"Oh ya. Wah pasti mukanya kak Eli udah kaya pelangi ya Mbak," gurau Eva disambut tawa semua orang.

"Pastinya. Bang Murad aja ga bisa ngomong apa-apa saking malunya. Setelah minta maaf bang Murad buru-buru ngajak anak istrinya pulang. Waktu itu Mila sempet nitip uang sama aku buat cucunya mang Darma. Dia minta maaf karena udah bikin keributan dan ga sopan sama keluarga mang Darma. Untungnya mang Darma ga marah. Beliau maklum dan maafin keluarga bang Murad," kata Nia.

"Kamu tau ga berapa jumlahnya Bund?" tanya Yasin tiba-tiba.

"Kalo ga salah delapan ratus ribu-an Yah. Mungkin tadinya mau ngasih satu juta, tapi karena ga ada uang cash, makanya Mila cuma ngasih segitu," sahut Nia.

"Delapan ratus ribu, gede juga Mbak," kata Dirga.

"Iya. Tapi itu ga sebanding sama kesalahan yang dibuat kak Eli, Dir," sahut Nia yang diangguki Dirga.

"Untungnya anak-anak Murad punya sifat dan karakter yang beda sama Eli. Jadi ada yang ngingetin dia kalo lagi kumat," kata kek Mustafa sambil tersenyum.

Ucapan kek Mustafa membuat semua orang tertawa. Setelahnya mereka kembali ke dalam rumah dan melanjutkan obrolan mereka hingga malam hari.

Sementara itu Murad tampak sedang memarahi Eli di sepanjang perjalanan menuju ke rumah.

"Udah dong Pa. Ga capek ya ngomel terus daritadi. Udah hampir sampe rumah kok masih ngomel aja," protes Eli.

"Ya ini kan gara-gara kamu!" sahut Murad kesal.

"Aku kan cuma bilang apa adanya. Kamu aja yang gampang kepancing. Ga tanya dulu main labrak aja. Yang salah siapa kalo gitu," kata Eli tak mau kalah.

Murad pun terdiam. Dia menyadari kelemahannya yang memang mudah dihasut orang bahkan oleh istrinya sendiri. Murad pun menghela nafas panjang sambil melirik kearah Eli.

"Apa?!" tanya Eli sambil melotot.

"Gapapa. Lain kali Kamu juga jangan kaya gitu Ma. Amati betul-betul sebelum nuduh, biar ga jadi salah paham lagi kaya tadi. Aku malu Ma. Masa ribut cuma gara-gara hal sepele," kata Murad dengan suara sedikit lunak.

Eli menghela nafas panjang lalu mengangguk.

"Iya," sahut Eli dengan enggan.

"Dan ga usah kebanyakan cerita lagi tentang keberhasilan anak-anak kita sama mereka," pinta Murad.

"Lho kenapa emangnya?" tanya Eli tak mengerti.

"Ga enak sama Yasin dan Dirga. Kita kan juga pernah ada di posisi mereka dulu, masa Mama ga paham sih," sahut Murad.

"Justru itu aku cerita supaya mereka termotivasi Pa. Kita juga pernah susah kaya mereka, tapi karena kita berusaha, makanya Kita bisa bangkit dan hidup enak kaya sekarang," kata Eli ketus.

"Iya. Tapi ga usah terlalu diumbar lah. Yang ada bukan jadi termotivasi malah jadi benci nanti," kata Murad mengingatkan.

"Iya iya. Kenapa sekarang Papa jadi bawel sih. Banyak banget larangannya!" sahut Eli sambil mendengus kesal.

Murad pun tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar jawaban sang istri. Setelahnya Murad kembali fokus mengendarai mobilnya karena hampir tiba di rumah.

\=\=\=\=\=

3. Pembaca Nasib

Setelah mengantar anak dan istrinya pulang ke rumah, Dirga pamit untuk pergi. Tentu saja Eva keberatan.

"Ini udah malem Pak. Kita semua capek dan butuh istirahat, kamu juga. Masa mau pergi lagi," kata Eva dengan suara rendah.

"Sebentar aja Bu. Bapak pusing," sahut Dirga sambil memijit keningnya.

"Tuh kan, kalo pusing ya tidur bukan malah keluyuran. Kalo tambah sakit gimana?" tanya Eva cemas.

Dirga tersenyum lalu menarik Eva ke dalam pelukannya.

"Pusingku bukan karena sakit Bu. Tapi pusing gara-gara denger ocehannya kak Eli tadi. Ga tau kenapa kesel aja ngingetnya," kata Dirga sambil mengurai pelukannya.

"Kak Eli emang keterlaluan. Aku juga kesel Pak. Bukannya bantuin malah ngatain. Aku sih lebih suka sama Mbak Nia ya, ga banyak omong tau-tau ngasih. Nih, buktinya aku dikasih uang tiga ratus ribu tadi," sahut Eva sambil memperlihatkan amplop berisi uang di tangannya.

"Alhamdulillah," kata Dirga sambil tersenyum.

"Makanya Bapak ga usah pusing lagi. Uang ini cukup buat bayar bukunya Desi sama Erman. Sisanya masih bisa dipake buat beli beras, lauk dan jajan anak-anak," kata Eva sambil menyentuh wajah Dirga.

Dirga pun balas mengusap jemari Eva dengan lembut.

"Syukur lah. Tapi Bapak masih butuh udara segar Bu. Sebentar aja. Ga sampe jam dua belas Bapak udah di rumah kok," janji Dirga.

Eva pun mengangguk pasrah karena tahu tak bisa mencegah Dirga pergi. Setelah mengecup kening istrinya, Dirga pun keluar dari rumah.

Dirga melangkah tanpa arah dan tujuan. Rasa marah dan sakit hati yang bercokol di hatinya serasa ingin meledak. Dan Dirga mencari tempat untuk melampiaskan semuanya.

Akhirnya langkah kaki Dirga membawanya ke warung kopi yang buka 24 jam. Di sana kerap berkumpul pria-pria dengan profesi dan latar belakang kehidupan yang beragam. Jika boleh jujur, Dirga tak terlalu menyukai kopi di warung itu. Karena menurutnya rasa kopi di sana getir dan tak seenak buatan Eva. Tapi suasana warung membuat Dirga betah. Karena di sana lah dia bisa tertawa tanpa beban bersama rekan-rekannya. Selain itu Dirga juga tak perlu membayar kopi yang diminumnya. Karena itu adalah 'imbalan tetap' yang diberikan pemilik warung kepada Dirga setelah membantunya mengusir musuhnya dulu.

Ya, Dirga memang berhasil memukul mundur musuh pemilik kedai kopi yang bernama Amran itu.

Saat itu Dirga yang sedang kalut pikiran mampir ke warung untuk minum kopi. Saat sedang menunggu pesanannya diantar, tiba-tiba musuh Amran dan antek-anteknya datang mengacau. Dirga pun melampiaskan kemarahannya yang tertahan sejak tadi kepada musuh Amran. Dalam waktu singkat musuh Amran terkapar di lantai warung dalam kondisi babak belur.

Amran pun menggunakan kesempatan itu untuk mengancam musuhnya. Setelahnya mereka pergi. Sesekali mereka masih datang ke warung tapi urung masuk saat melihat Dirga. Belakangan Dirga tahu Amran pernah terlibat jual beli tanah secara ilegal. Dan musuh Amran mengira kegagalannya mendapat 'proyek' karena Amran telah menyerobot haknya.

Dirga menghentikan langkahnya. Dia ragu untuk masuk saat melihat kondisi warung yang ramai. Dia pun memilih duduk di kursi panjang yang ada di luar warung. Amran yang kebetulan melihatnya pun datang menghampiri.

"Kenapa ga masuk?" sapa Amran.

"Gapapa. Lagi pengen di luar aja, enak kena angin," sahut Dirga.

"Apa ada masalah?" tanya Amran.

"Biasa lah," sahut Dirga sambil tersenyum kecut.

Amran pun ikut tersenyum karena paham masalah yang dimaksud Dirga.

Tak lama kemudian sekelompok pria datang lalu duduk di hadapan Dirga dan Amran. Dari cara berpakaian dan tas yang mereka bawa, Dirga menduga mereka adalah para pendaki gunung. Namun karena usia mereka yang tak lagi muda membuat Dirga juga sedikit bingung sekaligus kagum.

Di samping Dirga terlihat Amran yang sigap menyambut lalu mencatat pesanan para pria berpakaian serba gelap itu.

"Mau mendaki kemana Pak?" tanya Dirga basa-basi.

Para pria berpakaian gelap itu menoleh lalu tersenyum.

"Apa kami keliatan kaya orang yang mau naik gunung Mas?" tanya salah seorang pria sambil tersenyum.

"Lho, emangnya bukan ya. Maaf kalo gitu," kata Dirga.

"Gapapa. Bukan Mas aja yang ngira kami pendaki gunung," sahut pria itu.

Tak lama kemudian Amran dan karyawannya datang membawakan pesanan para pria itu termasuk kopi dan rokok untuk Dirga.

"Kopi hitam dan mie rebus. Hidangan paling mantap di malam dingin kaya gini. Bukan begitu Mas?" tanya salah seorang pria.

"Betul Pak," sahut Dirga sambil tersenyum.

"Kalo gitu kami makan dulu ya Mas," kata pria itu dengan ramah.

"Silakan Pak," sahut Dirga sambil bangkit dari duduknya.

"Eh, mau kemana. Di sini aja," kata pria itu sambil menahan tangan Dirga.

"Saya mau ngopi di sana aja Pak. Saya khawatir Bapak-bapak ga nyaman kalo ada saya di sini," sahut Dirga.

"Ga ada yang ga nyaman. Tunggu dan duduk si sini sebentar. Saya punya sesuatu buat kamu. Tapi tolong ijinin saya makan dulu ya, saya lapar banget," pinta pria itu sungguh-sungguh.

Dirga pun mengangguk lalu duduk di tempat semula. Sambil duduk dia menyeruput kopinya perlahan. Sesekali dia mencuri dengar pembicaraan pria di depannya. Sedikit mengerutkan kening karena Dirga tak paham sama sekali dengan apa yang mereka bicarakan.

Sepuluh menit kemudian pria itu selesai dengan makannya.

"Kenalin nama saya Tarmo," kata Tarmo sambil mengulurkan tangannya.

Dirga pun menyambut uluran tangan Tarmo sekaligus menyebut namanya. Sesaat kemudian satu per satu teman Tarmo pun menyingkir seolah ingin memberi ruang kepada Tarmo dan Dirga bicara berdua.

Pada kesempatan itu Tarmo mengaku dirinya sebagai 'orang pintar' yang bisa membaca nasib orang. Dirga pun tersenyum.

"Kenapa, keliatannya kamu ga percaya sama Saya," kata Tarmo.

"Maaf Pak. Tapi ini bukan kali pertama saya ketemu orang kaya Bapak. Saya ga masalah dengan kemampuan yang Bapak miliki. Tapi kalo Bapak mau membaca nasib saya ke depan, saya ga tertarik," sahut Dirga.

"Begitu ya. Jadi kamu udah lupa sama yang kakak iparmu bilang tadi?" tanya Tarmo.

"Kakak ipar saya?" ulang Dirga sambil mengerutkan keningnya.

"Iya. Wanita itu bilang minjemin uang sama orang miskin kaya kamu itu sia-sia karena bakal menguap tanpa pernah kembali," sahut Tarmo sambil tersenyum penuh makna.

Tentu saja ucapan Tarmo membuat Dirga terkejut. Dirga memang mendengar langsung kalimat itu meski pun Eli mengucapkannya dengan lirih tadi. Dan dia tak mengerti bagaimana Tarmo bisa tahu hal itu.

Meski terkejut tapi Dirga masih bisa menguasai diri. Dia pun bangkit dari duduknya karena mulai tak nyaman dengan ucapan Tarmo.

"Ga ada yang mau pinjem uang sama dia. Aku atau Eva juga ga kepikiran sama sekali minjem uang sama orang pelit itu," batin Dirga gusar.

"Jadi gimana Mas Dirga?" tanya Tarmo.

"Apanya yang gimana Pak?" tanya Dirga tak mengerti.

"Apa kamu ga mau balas ucapan kakak iparmu itu ?. Ya ... paling tidak buktikan lah kalo apa yang dia tuduhin itu salah," kata Tarmo.

"Ga perlu. Saya ga suka ribut apalagi sama keluarga sendiri," sahut Dirga tegas sambil melangkah menjauhi Tarmo.

"Begitu ya. Terus gimana sama ucapan temanmu beberapa hari yang lalu. Dia ga cuma nolak ngasih kamu kerjaan, tapi dia juga menghina kamu. Dia bahkan memintamu menyerahkan istrimu jika kamu mau uangnya. Iya kan?" tanya Tarmo sambil menyeringai.

Lagi-lagi ucapan Tarmo membuat Dirga terkejut. Dia menghentikan langkahnya sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Beruntung tak ada siapa pun yang mendengar ucapan Tarmo selain Dirga, karena orang-orang nampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Dirga kembali teringat perkelahiannya dengan mantan sahabatnya. Dirga marah karena pria itu meminta dia menyerahkan Eva untuk menemaninya tidur sebagai imbalan dari uang yang akan dia berikan. Jika tak dilerai, Dirga yakin sudah mendekam di penjara sekarang karena telah membunuh mantan sahabatnya itu.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Dirga sambil menatap Tarmo lekat.

Bukannya menjawab Tarmo hanya tertawa. Suara tawanya terdengar aneh dan membuat bulu kuduk Dirga meremang.

\=\=\=\=\=

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!