Di dalam sebuah gedung besar yang menjadi tempat berdirinya perusahaan bernama SKY BLUE, perusahaan yang menyediakan jasa pengawalan bagi para petinggi di dalam mau pun luar kota.
Sky Blue, nama yang sudah tidak asing lagi bagi para masyarakat dan juga orang-orang penting dari kalangan atas. Hampir semua perusahaan menggunakan jasa mereka, di balik gemilangnya nama Sky Blue tersimpan para orang-orang berharga yang memiliki keahlian bela diri tingkat tinggi.
Termasuk seorang gadis muda berusia 20 tahun, bernama Ava Claire. Ia menjadi salah satu dari sekian banyaknya anggota bodyguard milik perusahaan tersebut, Ava termasuk gadis yang cuek dan tenang. Ia jarang menunjukan amarahnya dan tidak perduli pada perkataan orang-orang yang sering mencemoohnya, karena ia menjadi anggota termuda sekaligus wanita pertama yang berhasil menduduki posisi pertama anggota terbaik milik Sky Blue.
Tak jarang pula ia mendapat tatapan sinis dari para rekan-rekan setim yang berada di bawah bimbingannya, mereka tidak terima mendapat ketua muda yang mampu melampaui kinerja mereka.
Seperti saat ini, Ava yang tengah duduk di kantin seketika terkejut saat meja di depannya terbalik. Ia melihat segerombolan pria tengah tertawa di depannya.
"Haha, kasihan jadi nggak bisa makan deh," ejek salah satu pria yang menjadi pemimpin gerombolan tersebut.
Ava tak ingin memancing keributan di sana, ia memilih berdiri dari kursi dan berniat pergi. Namun pria itu tak melepaskannya begitu saja, ia terus mencemooh dan mengejek Ava yang sudah yatim piatu sejak kecil.
"Tahan, Va! Kamu nggak boleh bikin masalah pagi-pagi di sini," gumam gadis itu mencoba mengabaikan para gerombolan tersebut.
Namun kali ini perkataan pria itu sudah sangat keterlaluan, mereka menuduh Ava sudah menyerahkan tubuhnya pada pemimpin perusahaan hingga ia bisa meraih predikat anggota terbaik selama tiga tahun berturut-turut.
"Dia pasti menjajakan tubuhnya yang murahan itu pada pemimpin, gadis biasa sepertinya nggak mungkin bisa meraih predikat itu kalau hanya mengandalkan fisik," ejek pria itu seraya menatap remeh ke arah Ava.
"Kau benar, pasti dia merasa bangga sudah berhasil menghasut pemimpin haha,"
Semakin di dengarkan maka perkataan itu tak kunjung usai, Ava melirik sekilas ke arah meja anggota yang lain. Mereka tampak ikut tertawa lirih, Ava sudah terbiasa melihat sikap tidak tahu malu dari mereka dan biasanya ia akan pergi begitu saja tanpa meladeni cemoohan itu, tapi sepertinya kali ini sedikit berbeda tanpa ada yang menduga Ava berbalik dan langsung menyerang pria tersebut.
BUUAGH.
BRAK.
Tubuh pria itu terpental hingga menabrak meja, semua orang yang menyaksikan hal itu tak bisa berkata-kata lagi. Mereka tiba-tiba merasa takut melihat raut dingin yang terpajang di wajah gadis itu.
"Kau bilang apa barusan? Aku menjajakan tubuhku, bukannya itu kau, Samuel! apa kau lupa dengan uang sogokan yang di berikan orang tuamu pada perusahaan ini hm,"
Sontak semua orang menunjukan raut terkejut, sedangkan Samuel? Ia terlihat mulai panik ketika melihat semua orang menatap curiga ke arahnya.
"Jaga mulutmu jala**! sebelum aku membunuhmu!" bentak Samuel menatap nyalang pada gadis itu.
"Kalau kau begitu takut rahasia mu terkuak, harusnya kau jaga mulut kotor mu itu! Aku nggak pernah mengusik mu, Sam. Kalau kau iri sebaiknya kau tingkatkan kinerjamu, bukan mencari ribut sana sini."
Setelah mengatakan itu, Ava pergi dari kantin meninggalkan bisik-bisik para anggota yang lain terhadap Samuel. Pria itu nampak sangat kesal di permalukan di depan umum, ia memang iri karena Ava begitu cerdas dan cepat tanggap dalam menjalani pekerjaannya.
...***...
Sehari berlalu, kini terlihat Ava sedang memilih senjata yang akan ia bawa. Hari ini ia mendapat tugas mengawal salah satu petinggi perusahaan yang sudah bekerja sama dengan Sky Blue, kunjungan rekan bisnis Sky Blue selalu menjadi agenda utama bagi Ava setiap sebulan sekali.
Pemiliki perusahaan Sky Blue sudah mempercayakan keselamatan rekan kerjanya pada gadis itu, bayaran yang di terima Ava bahkan sangat luar biasa besar. Tapi gadis itu tidak pernah menyombongkan diri mengenai status dan kekayaan yang ia miliki.
"Ava,"
Mendengar namanya di sebut, Ava pun menoleh. Ia menaikan satu alisnya saat melihat seorang pemuda berambut ikal serta bermata sipit sedang berlari ke arahnya sambil menenteng satu pistol di tangan kanan.
"Kenapa, Wil?" tanya Ava begitu pemuda itu sampai di depannya.
"Ini senjata cadangan untukmu, perasaanku sejak tadi tidak enak. Aku takut kamu kenapa-napa, Va," jelas William, sahabat Ava sekaligus orang yang paling Ava percaya.
Melihat kepanikan di wajah William, gadis itu pun menepuk lembut pundak William. Ia tersenyum tipis, Ava tak tahu mengapa ia sendiri pun merasakan hal yang sama. Namun Ava mencoba menepis perasaan tersebut, ia harus fokus pada tugasnya kali ini.
"Aku bakalan baik-baik aja, Wil. Kamu nggak perlu cemas," ucap Ava sama sekali tak melunturkan senyuman di bibir tipisnya.
"Kamu harus kembali dalam kondisi sehat, mengerti, Va!"
Ava mengangguk patuh, ia memasukan pistol ke dalam saku seragamnya. Setelah itu Ava meraih ponsel dan juga earphone, sekali lagi Ava kembali menatap William.
"Aku pasti kembali, Wil."
William memeluk tubuh gadis itu sangat erat, "Kalau saja aku nggak dapat tugas lain, aku pasti ikut denganmu, Va,"
"Sudahlah, jangan banyak menggerutu nanti aku traktir kamu kopi setelah tugas kita selesai,"
William mengangguk, mereka melepas pelukan secara bersamaan. Ava melambaikan tangan saat ia mulai menjauh dari ruangan tersebut.
...***...
Menit demi menit telah berlalu, tanpa terasa pengawalan pada rekan kerja Sky Blue telah usai. Kini Ava berniat kembali ke rumah, seluruh tubuhnya terasa sakit. Terlebih ia merasa lapar karena ia hanya makan sekali itu pun sebelum berangkat tadi pagi.
Ava mengendarai motor sport berwarna putih kesayangannya menyusuri jalan raya, motor itu merupakan motor pertama yang berhasil ia beli dengan kerja kerasnya. Meski sekarang ia bisa membeli lebih dari dua, namun Ava merasa sayang jika menghambur-hamburkan uang seperti itu.
Semilir angin malam mengenai wajah gadis itu yang tidak tertutup kaca helm, Ava menikmati suasana tenang tersebut sambil bernyanyi sesekali.
Hingga di tengah perjalanan, tiba-tiba Ava mendengar suara deru knalpot motor dari belakangnya. Gadis itu pun menoleh, ia melihat dua pengendara motor sedang mengejarnya.
"Sialan," umpat gadis itu.
Ia membawa motornya menepi, Ava melepas helm full face dari kepalanya. Tak berselang lama para motor yang mengejar tadi pun ikut berhenti, Ava mengernyit heran ketika melihat wajah mereka yang nampak tidak asing.
"Apa mau kalian?" tanya Ava dengan nada dingin.
Tanpa menjawab mereka langsung menyerang gadis itu, hingga perkelahian tak bisa di elakan.
Bugh.
Tubuh Ava terhuyung, saat ia mendapat tendangan di bagian punggung. Jumlah mereka empat orang, tapi keahlian mereka bukan sembarangan.
"Menyerah lah, Nona, kau tidak mungkin bisa melawan kami berempat!" ucap pria berbadan besar.
"Apa yang kalian inginkan dariku?"
"Sesuatu yang hanya di miliki olehmu, apa kau ingat?" sahut pria tersebut.
Gadis itu terdiam sesaat, ia mencoba mengingat apa yang di maksud pria tersebut. Sesaat kemudian Ava menarik sudut bibirnya ke atas hingga membentuk seringai, ia ingat apa yang mereka incar.
"Ah, sekarang aku ingat kalian dari kelompok itu, kan! Sayangnya benda itu sudah tidak ada padaku!"
"Pembohong! Kau kira kami bodoh hah? dengar, Nona, kalau kau menyerahkan benda itu sekarang kau akan selamat!" ancam pria tersebut.
Ava tersenyum simpul, ia menyusupkan tangan ke dalam saku kantong celananya. Gadis itu menarik pisau lipat dari saku celana, pistol yang tadi ia bawa sudah ia simpan kembali di gedung Sky Blue, karena perusahaan itu melarang para anggotanya membawa senjata keluar kecuali saat menjalankan misi.
"Sebelum itu aku ingin tahu, untuk apa kalian menginginkan benda tersebut?" tanya Ava.
"Kau tak perlu banyak tanya! Lebih baik berikan benda itu sekarang jika kau masih sayang nyawa!"
"Sayangnya aku tidak mau~"
Selepas gadis itu menjawab, ia langsung mengarahkan pisau itu ke arah pria tersebut. Dalam sekali lemparan pisau itu berhasil mengenai mata sebelah kanan milik pria tersebut.
Jleeb.
"Aaarrghh, mataku!" teriakan pria itu membuat para rekannya panik.
Ketiga teman pria itu bergegas menghajar Ava kembali, hingga akhirnya pertarungan sengit kembali terjadi. Ava berusaha mempertahankan diri, ia berhasil menangkis beberapa pukulan yang mengarah padanya. Akan tetapi tanpa ia sadari, pria tadi sudah mencabut pisau kecil tersebut dari matanya.
Ia menatap benci pada sosok gadis yang tengah bertarung dengan para rekannya, pria itu berdiri ia menggenggam erat pisau perak itu.
"Jala** sialan, kau harus mati!" geram pria tersebut.
Ia berlari ke arah Ava tanpa sepengetahuan gadis itu, selang beberapa detik pisau perak itu menancap sempurna di perut Ava.
Jleb.
"Ugh," Ava menunduk, ia melihat darah mulai keluar dari balik bajunya.
"Bunuh gadis itu, tidak usah pikirkan benda yang kita cari! Kematian gadis itu lebih penting," perintah pria tersebut tak terbantahkan.
Para rekan pria itu mengangguk, mereka kembali menghajar Ava tanpa ampun. Di tengah rasa sakit yang gadis itu rasakan, ia berusaha terus melawan hingga ia berhasil menumbangkan dua orang.
Keringat mulai turun di kening Ava, darah kian banyak yang keluar dari area perutnya. Ava mulai merasa pusing, dan juga lemas.
'Sialan, apa aku kabur saja?' batin Ava bimbang.
Kondisinya saat ini sangat buruk, ia belum makan dan baru saja pulang bekerja. Ava merasa tenaganya sudah habis terkuras, tak punya pilihan lain Ava memilih kabur masuk ke dalam hutan yang gelap gulita. Ia mencoba mencari tempat bersembunyi, namun para pria itu tak membiarkan dirinya bernafas meski hanya sebentar.
"Bajingan! Mereka sungguh ingin membunuhku di sini," gumam gadis itu di sela-sela pelariannya.
Sambil memegangi perutnya yang terus mengeluarkan cairan berwarna merah, Ava berlari tak tentu arah. Sesekali ia menoleh ke belakang memastikan bahwa pria itu masih berjarak cukup jauh darinya.
Namun sayang, jalan yang gadis itu ambil menuju ke arah jurang. Baru saja ia berniat balik arah, tiba-tiba para pria itu sudah berdiri di depannya.
"Kau mau lari kemana lagi heh, kemarilah aku akan membunuh mu tanpa rasa sakit, Nona!" ejek pria yang terkena tusukan pisau tadi.
"Kau pikir aku takut kematian hm, dari pada aku mati di tangan kalian lebih baik aku jatuh dari sini," sahut Ava pedas.
Benar saja setelah ia mengatakan hal tersebut, Ava menjatuhkan dirinya ke dalam jurang. Bersamaan dengan itu muncul sebuah cahaya berwarna merah dari saku jaket gadis itu.
...***...
Suara bising mulai mengganggu indra pendengaran milik seorang gadis yang sedang terbaring di atas karpet kusam dan bau, perlahan kedua netra gadis itu mulai terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan yang catnya sudah terkelupas.
"Ssstt, aku dimana?" desis gadis itu ketika rasa sakit mendera kepalanya.
Ia menoleh ke arah kiri, seketika kening gadis itu mengkerut. Di depannya sedang berkumpul para wanita yang mengenakan baju berwarna oranye bertuliskan TAHANAN.
Gadis itu perlahan bangun dari tidurannya di lantai, ia memegangi bagian belakang kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Kamu sudah bangun, Va?" pertanyaan itu terlontar dari seorang perempuan paruh baya yang memiliki badan sedikit gemuk.
"Y-ya? Anda memanggil saya?" ujar Ava menunjuk dirinya sendiri.
Perempuan itu mengangguk, "Kamu pingsan setelah jatuh di kamar mandi, apa kepalamu baik-baik saja?"
'Pantas saja bagian belakang kepalaku sangat sakit,' batin Ava.
Tanpa sengaja ia melihat wajahnya di cermin yang tergeletak di dinding, wajahnya sangat berbeda. Wajah itu terlihat sangat mulus dan kulitnya terlihat putih seperti porselen.
"Itu siapa?" tanya Ava menunjuk ke arah cermin.
Para perempuan yang ada di sana mengikuti arah pandang Ava, "Itu kamu, Va. Masa kamu nggak kenal sama wajahmu sendiri?" ujar salah satu perempuan tersebut.
"Sebentar, siapa namaku?"
"Nama kamu Ava Claire, kamu masuk ke dalam sel ini sudah seminggu yang lalu, jangan bilang kamu beneran amnesia?" sahut perempuan itu lagi.
"A-apa?" Ava benar-benar di buat bingung saat ini.
Ia masih ingat dengan jelas, bahwa ia baru saja meninggal setelah menjatuhkan diri ke dalam jurang. Tapi sekarang, ia justru mendekam di penjara dan itu sudah seminggu.
Ava tak habis pikir dengan kejadian yang ia alami, bahkan lebih anehnya nama tubuh yang ia tempati sama persis seperti namanya. Apa semua itu hanya sebuh kebetulan semata?
"Apa kalian tahu kenapa aku di tahan di sini?" tanya Ava penasaran, ia tidak mungkin masuk ke dalam sel penjara hanya karena ingin mencicipi menjadi tahanan bukan.
"Kami tidak tahu pastinya, tapi beberapa waktu lalu kami dengar kamu berniat menghabisi sepupumu sendiri,"
Sontak Ava tak bisa lagi menyembunyikan raut terkejutnya, ia memijit pelipisnya pelan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, kejutan yang ia dapat benar-benar luar biasa bahkan sulit di terima logikanya.
'Jadi aku transmigrasi, dan jiwaku masuk ke dalam tubuh gadis yang mendekam di penjara?'
"Sialan, apa ini efek dari benda pemberian ketua dulu?" gumam Ava.
Benda berbentuk cincin yang memiliki hiasan berlian berwarna ruby, di berikan oleh pemimpin Sky Blue yang telah wafat empat tahun yang lalu, benda yang sangat di sayangi oleh mendiang pemimpin perusahaan itu. Sekaligus benda yang harus ia jaga hingga rela mengorbankan nyawanya.
"Jika itu benar, kenapa aku harus masuk ke dalam tubuh narapidana seperti ini? Bukankah biasanya orang yang bertransmigrasi masuknya ke dalam tubuh orang yang sedang sekarat? Tapi kenapa aku berbeda?" gumam Ava tak habis pikir.
Ava masih termenung di atas karpet lusuh itu, ia belum bisa mencerna kejadian yang menimpa dirinya saat ini. Selama ia menjalani pekerjaan sebagai bodyguard, ia belum pernah masuk ke dalam penjara. Tapi sekarang? Ia bahkan tidak tahu kesalahannya secara pasti tapi ia sudah mendekam di sana seminggu.
Sesaat kemudian, lamunan gadis itu buyar ketika melihat seorang polisi menghampiri sel miliknya.
"Saudara Ava Claire, anda sudah bisa bebas hari ini." Ujar sang polisi.
"S-saya, Pak?" tanya Ava meminta kepastian.
Polisi itu mengangguk, ia membuka gembok lalu menyuruh Ava keluar dari ruangan tersebut. Ia di arahkan menuju ruang tunggu, begitu tiba di sana Ava melihat seorang pemuda sedang duduk sambil bermain ponsel.
Pemuda itu menoleh saat menyadari seseorang berdiri di sampingnya, ia menaikan satu alisnya ketika melihat pakaian Ava yang sangat lusuh. Pemuda itu berdiri dan memberikan paper bag berwarna coklat pada gadis itu.
"Ganti baju sana, jangan lama-lama!" perintah pemuda itu datar.
"Kamu siapa?" cetus Ava tiba-tiba.
Raut pemuda itu nampak terkejut, di lihat dari kerutan di kening yang samar. Tak lama pemuda itu kembali duduk di kursi mengabaikan pertanyaan Ava, lantas gadis itu pun bertanya pada polisi di sampingnya.
"Dia siapa, Pak?" bisik Ava.
"Dia Kakak anda, Nona. Namanya Marvel Leonardo,"
"K-Kakak? Dia?" tunjuk Ava pada pemuda yang sedang duduk.
Polisi itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan mereka berdua, polisi itu membiarkan Kakak beradik tersebut berbicara, melihat adiknya termenung Marvel menegurnya dengan dingin.
"Va, ganti baju sekarang! Jangan membuatku menunggu lebih lama,"
Ava memutar kedua bola matanya malas, ia membawa paper bag coklat itu menuju toilet. Lima menit kemudian Ava kembali dengan setelan yang sudah berubah, gadis itu mendekat ke arah Marvel.
Pemuda itu berdiri, tanpa banyak kata ia meraih pergelangan tangan Ava lalu mengajaknya keluar dari kantor kepolisian. Sesampainya di depan mobil, Marvel membukakan pintu untuk adiknya.
"Masuk, keburu malem kalo kamu bengong mulu!" sindir pemuda itu tajam.
Ava masuk dan Marvel menutup pintu lalu berlari kecil menuju kursi kemudi. Mereka berdua mulai menjauh dari halaman kantor polisi, selama dalam perjalanan Marvel merasa adiknya menjadi lebih pendiam dari biasanya. Ia mengira jika hal itu karena adiknya masih syok setelah mendekam di penjara selama seminggu.
"Ava, jangan bikin ulah lagi! Kali ini kamu bisa selamat tapi nggak tahu nanti kalo kamu berani melawan Papah lagi," tegur Marvel dingin.
Gadis itu menoleh, wajah Marvel nampak acuh tak acuh tapi setiap kata yang ia keluarkan menyiratkan rasa khawatir hanya saja ia nampak gengsi untuk mengakuinya.
"Makasih, Bang,"
Sontak Marvel melongo, satu tangannya terangkat. Ia menyentuh kening Ava sebentar.
"Kamu nggak panas, tumben kamu manggil aku Abang?"
"Salah?" tanya balik gadis itu.
Marvel menggeleng, ia semakin yakin jika adiknya mengalami gangguan mental. Terlebih sikap Ava yang begitu tenang, bahkan tidak ada raut marah yang terlihat di wajah gadis itu, Marvel kembali fokus menyetir.
"Bukan salah, Va. Hanya saja itu terasa aneh,"
"Kenapa?"
"Karena kamu membenciku," sahut Marvel, nampak senyum getir di wajah pemuda tersebut.
Ava kembali menatap lurus ke depan, beberapa kali ada mobil yang mulai menyalip kendaraan mereka. Ava belum tahu alasan di balik kebenciannya terhadap Marvel, ia hanya bisa menjawab sekedarnya untuk saat ini.
"Aku rasa sebagian ingatanku hilang. Aku bahkan nggak tahu siapa kamu dan keluargaku,"
"Apa!" sentak Marvel lantang.
Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan, tangan pemuda itu meraih pundak Ava dan mengguncangnya cukup kencang.
"Jangan bercanda, Va!"
Ava menggeleng pelan, saat ini ia hanya bisa berbohong demi mengetahui lebih banyak mengenai tubuh baru yang ia tempati. Karena ia tidak mendapat ingatan apa pun dari pemilik tubuh itu.
"Aku serius, aku jatuh dari kamar mandi dan kepalaku membentur lantai. Awalnya aku bahkan nggak tahu siapa namaku,"
Penjelasan Ava membuat pemuda itu terguncang, ia kembali memegang stir kemudi lalu melajukan kembali mobil itu. Mereka berdua sama-sama diam selama perjalanan, namun begitu Ava melihat gedung bertuliskan rumah sakit ia menjadi heran.
"Ngapain kita ke rumah sakit?" ujar Ava menoleh ke arah Marvel.
"Periksa, kepala kamu sepertinya bermasalah."
"Tapi, Bang-"
"Turun, jangan buang waktu terus, Va!" tegas Marvel tak terbantahkan.
Ava pun mengikuti keinginan Marvel, mereka mulai memasuki rumah sakit. Selang beberapa saat Ava di ajak menuju ruangan seorang dokter, ia hanya mengikuti Marvel seperti anak ayam di belakangnya.
Sesampainya di ruangan dokter, Ava langsung mendapat pemeriksaan. Dua puluh menit kemudian pemeriksaan itu usai, dokter menulis hal-hal yang ia ketahui.
"Bagaimana kondisi adik saya, Dok?" tanya Marvel.
"Adik anda mengalami amnesia ringan, selain itu adik anda memerlukan waktu istirahat lebih banyak. Kondisinya tidak stabil dan Nona Ava sepertinya mengalami syok berat akhir-akhir ini,"
Marvel termenung, ia merasa bersalah karena telah membiarkan adiknya mendekam di penjara selama seminggu, setelah semua selesai Marvel mengajak Ava kembali ke dalam mobil. Ava tidak banyak bertanya, ia ikut prihatin pada pemilik tubuh yang asli. namun ia lebih kasihan pada dirinya sendiri, Ava masih belum tahu alasan ia masuk ke dalam tubuh itu.
Perjalanan yang cukup memakan waktu akhirnya selesai, mobil itu berhenti di halaman rumah mewah yang baru pertama kali Ava lihat. Marvel turun lebih dulu, ia mengernyit heran saat melihat Ava masih duduk di dalam mobil.
"Va, kamu nggak turun?"
Ava bergegas keluar dari mobil, "Ini rumah siapa, Bang?"
"Rumah kita, nanti kalo ketemu Papah kamu jangan banyak membantah, Va!"
Ava mengangguk, ia mengikuti Marvel memasuki rumah besar itu. Saat pintu terbuka ia terkejut melihat seorang gadis berdiri di depan pintu.
"Astaga, Kakak akhirnya keluar juga dari penjara," ujar gadis itu.
Ava menaikan satu alisnya, ia bisa merasakan nada bicara gadis itu terdengar mengejek dirinya.
"Kita kenal?" tanya Ava dengan polos.
Sontak Marvel yang berdiri di samping adiknya tertawa pelan, ia sepeti melihat sosok baru dari adiknya.
"K-Kakak lupa sama aku?"
"Aku bahkan nggak ingat sama kamu, bisa jelasin kamu siapa?" sahut Ava.
"A-apa?"
Belum sempat Ava bertanya lebih lanjut, dari belakang gadis itu muncul seorang pria paruh baya. Terlihat pria itu menatapnya penuh permusuhan.
"Va, seminggu lagi kamu harus menikah!" titah pria itu tiba-tiba.
Ava masih diam di tempat, berbeda dengan Marvel yang sudah maju menghalangi pandangan gadis itu dan sang ayah.
"Pah, Ava baru saja pulang! kenapa Papah nggak bisa ngasih dia waktu buat istirahat?" sentak Marvel.
"Diam kamu! Ini nggak ada urusannya denganmu, Marvel!"
Kedua tangan Marvel mengepal erat, "Ada! Ava adik aku, Pah!"
Melihat ketegangan yang terjadi di depannya, gadis tadi mendekat ke arah Ava. Ia berbisik di telinga Ava.
"Kamu lihat, kan. Di sini nggak ada satu pun orang yang berada di pihakmu, Kak!" bisik gadis itu.
Ava melirik sekilas ke samping, ia lalu menjawab, "Aku nggak butuh belas kasihan dari siapa pun, karena aku bukan orang yang suka mengemis perhatian dari orang lain!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!