Bagaimana seharusnya acara pernikahan itu terlihat? Sepasang mempelai berdiri berdampingan, sang wanita menggandeng mesra lengan si pria dengan senyum sedikit terpaksa. Ah, benar. Setelah mendapat sedikit cubitan, mempelai wanita tersadar jika senyum tadi memudar. Dia segera menarik kembali kedua sudut bibir hingga memperlihatkan lesung pipit di kedua pipi. Namun, terasa belum cukup bagi sang mempelai pria. Kini dia menyikut pinggang si istri sambil berbisik lirih.
“Hey, yang benar saja. Lekas perbaiki senyumanmu!” Kalimat bisikan penuh tekanan dari si pria tanpa melonggarkan senyum di wajah.
“Jangan berisik, hadap depan!” Si wanita tak ingin mengalah, sambil mempertahankan posisi senyuman.
Keduanya saling beradu perintah. Sedangkan yang lain sibuk mengambil posisi untuk foto bersejarah dalam pernikahan sakral kawan mereka. Setelah aba-aba dari fotografer terdengar, sejurus kemudian lampu kilat menyala dan kamera telah mengabadikan momen sekali seumur hidup bagi pasangan tersebut. Pernikahan yang berlangsung terkesan khidmat dan damai. Meski dua insan utama yang terlibat dalam gemuruh hati masing-masing. Tak ada yang menyangka, mereka berakhir di pelaminan. Mengingat hubungan kedua mempelai bak air dan minyak sejak masa sekolah.
“Ciye, beneran hater to lover. Selamat ya, kalian.” Seorang perempuan muda, terlihat seumuran menyalami dua mempelai bergantian.
Beberapa orang lain juga ikut menyeletuk dan menggoda. Ada yang bahkan, mencubit hingga memukul pelan mempelai pria. Bagaimanapun ini adalah hari yang bahagia, seharusnya.
Terlihat raut wajah cerah di wajah orang tua mempelai wanita tentu saja, begitupun sang kakek dari mempelai pria yang terasa telah menggenapi tugas setelah menyaksikan cucu kedua kini memiliki pasangan. Hampir semua orang di dalam gedung tengah bersukacita, menyisakan dua hati yang sedang saling melempar tatapan pedas dengan gerutuan tiada henti. Seperti biasa.
***
“Ayah hanya ingin melihatmu menikah, agar yakin. Ada seorang yang menjaga putri berharga Ayah setelah Ayah tiada.” Suara ayah mempelai wanita terdengar serak, tengah berbaring di ranjang rumah sakit kala itu.
“Ayah, jangan bilang begitu! Jadi, sembuh dan berumurlah panjang agar bisa menyaksikan pernikahanku. Mengerti?” Delilah Atmaja—sang putri tunggal—menggenggam erat jemari sang Ayah dengan air menggantung di ujung mata.
Kalimat bujukan yang berhasil menjebak putri tunggal pasangan Dion Atmaja dan Abigail Wijaya untuk mengiyakan tawaran terakhir. Setelah banyak penolakan sang putri dari sekian calon yang hendak meminangnya. Permintaan terakhir si Ayah yang tengah sakit keras membuat dia tak bisa menghindar dan bersedia bertemu calon suami yang telah disepakati. Namun, betapa terkejut saat dia menemukan pria yang begitu dia benci berada di nomor meja tempat mereka membuat janji temu.
“Hai, Delilah. Masih ingat padaku?” Suara berat si pria menyedot atensi Delilah.
“Tentu, bagaimana bisa aku melupakanmu? Tapi, tunggu. Sedang apa kau di sini?” Delilah masih berusaha menggali informasi, berharap ini hanya kesalahan.
“Menunggumu, tentu saja. Duduk dan mari tetapkan tanggalnya.” Senyuman memikat dari si pria tentu saja sangat mempesona, sayang sekali Delilah tak tertarik.
Lalu disinilah mereka sekarang. Sedang menggenapi janji dan kesepakatan yang telah berhasil mereka buat setelah drama panjang. Acara yang digelar cukup megah bagi Delilah yang tak begitu menyukai keramaian. Cukup menguras energi. Seusai acara, dia segera masuk ke kamar ganti dan merapikan diri dengan pakaian yang lebih nyaman. Seharian mengenakan riasan tebal membuat wajah si jelita terasa memakai topeng.
“Hhhh … akhirnya, aku bernapas.” Delilah berkata dengan penuh kelegaan.
“Ck, memang sejak tadi kau menyelam?” Suara pria yang kini berstatus suami itu terdengar sedikit kasar sambil melepas jas yang dikenakan.
Delilah segera menoleh ke sumber suara, “berhenti!” titahnya.
Pria dengan wajah rupawan tadi menghentikan aktivitas dan memandang balik sang istri. Sekian detik manik mereka berjumpa tanpa suara.
“Kau bisa mengganti baju di sana. Kau lupa? Kita hanya berpura-pura. Jadi, ku ingatkan lagi. Jangan melewati batas!” Delilah tak menundukkan pandangan, mata si wanita justru berkilat tajam.
Cih, tunggu sampai di rumah! Tebak, apa kau masih bisa menolak tubuhku? Sang mempelai pria—Ananda Dirgantara—beralih ke ruang kecil di kamar tersebut dengan seringai di wajah.
Masih tak menyangka, sekarang mereka telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Yah, meski hanya diatas kertas. Akan tetapi, tetap saja mereka harus menyelaraskan isi kepala demi peran di atas pentas yang akan disaksikan orang lain. Setidaknya, untuk tiga tahun kedepan begitulah yang harus mereka jalani. Padahal tak ada seharipun pasangan Tom & Jerry itu rukun saat berada di bangku sekolah.
Selesai berbenah dan merapikan diri masing-masing. Dua mempelai jadi-jadian itu meninggalkan ruangan dan menyusul langkah keluarga mereka. Berpamitan pada orang tua mempelai wanita karena hendak langsung dibawa ke kediaman Dirgantara sesuai kesepakatan. Suasana haru mengiringi langkah pertama Delilah sebagai istri dari calon penerus tahta perusahaan. Dia harus rela melepas pekerjaan yang dicintai dan telah membersamai ia sekian tahun. Dia juga berpisah dari orang tua yang telah membesarkan dan menjadikan dia hingga seperti sekarang.
“Baik-baik ya, Nak.” Abigail mengusap lembut wajah sang putri tunggal. Delilah mengangguk sambil menatap sang Bunda.
“Sering-sering berkunjung, kami tentu akan senang.” Suara berat Dion bergetar saat menepuk bahu Nanda, hendak melepas anak gadis kesayangan.
“Tentu, Ayah tak perlu khawatir. Saya akan menjaga Delilah, cukup istirahat dan jaga kesehatan. Bunda juga.” Nanda memandang kedua orang tua Delilah bergantian, tentu dengan senyum tipis khasnya.
“Ehem, jangan lupa segera buatkan kami cucu yang lucu.” Pesan Dion sambil mendekatkan diri pada Nanda dan menepuk punggung si pria.
“Untuk hal itu, biar kami yang membereskan.” Nanda berkelakar, membuat hampir semua orang terkikik kecuali Delilah sang istri.
Bola mata si jelita berputar malas, “Ayah, sudah. Kami pergi kalau begitu, kasihan Kakek menunggu terlalu lama.” Kalimat Delilah terdengar sedikit pedas, meski ada benarnya juga.
Lambaian tangan keluarga Delilah masih nampak. Jemari si wanita berada di cengkraman tangan besar si suami yang membimbing. Langkah Delilah sibuk mengejar kaki jenjang Nanda, sesekali dia masih melihat ke belakang lagi dan lagi. Meski memang tak begitu jauh dia berjarak dengan rumah ayah dan bunda. Akan tetapi, Delilah sama sekali belum pernah terpisah dari mereka. Meski memang benar dia adalah putri yang keras kepala, tetapi tidak bisa juga menghilangkan hawa manja seorang anak tunggal penuh cinta.
Mereka segera beralih ke mobil yang telah tersedia dan melaju menuju kediaman Dirgantara bersama sang Kakek—Wisnu Dirgantara—pemilik perusahaan yang hendak diwariskan pada sang cucu. Delilah memilih hening menatap ke luar kaca mobil yang sedang melaju.
“Kau tak apa, Delilah?” tanya Wisnu setelah mengamati cucu menantu yang hening.
“Ah, saya baik-baik saja, Kek.” Delilah sedikit gugup.
“Kurasa dia hanya sedikit lelah, benar?” Nanda menatap Delilah dari samping.
“Ya, tentu. Sedikit.” Delilah kembali menatap jalanan, mengalihkan semua rasa yang sedang berkecamuk di pikiran.
Setelah berkutat cukup lama di jalanan padat. Mobil mereka memasuki kawasan elite tempat kediaman Dirgantara berada. Tak butuh lama untuk sampai di halaman luas dengan banyak pepohonan berbunga warna-warni. Wisnu sangat suka berkebun akhir-akhir ini, menyiapkan masa pensiun di depan mata. Selesai mobil terparkir, dua pengantin baru tersebut menuju kamar mereka.
BRAK!
“Ayolah, Nanda! Sejak kapan kau menjadi pengecut begini?” Suara si Kakak—Rakanda Dirgantara—kian menyudutkan.
“Kau gila, bagaimana bisa aku … argh!” Nanda meremas rambut frustasi sambil mondar-mandir tak bisa tenang.
Di saat sang Kakek memutuskan untuk segera menyudahi peran dalam perusahaan keluarga yang susah payah didirikan. Malah dua cucu penerus sedang ribut. Bukan, mereka tak sedang memperebutkan tahta. Justru sebaliknya, saling melempar kekuasaan penuh. Jika diluar sana, banyak yang rela saling menyikut demi menjadi pemimpin. Berbeda dengan dua kakak-beradik di sini. Raka tak ingin menambah kesibukan, dia lebih suka mendampingi sang istri yang tengah mengandung dengan kondisi lemah. Sedangkan, Ananda—sang adik—terus merasa tak layak.
“Nanda, percayalah padaku. Kau layak!” Raka masih berusaha meyakinkan sang adik tercinta.
“Hhhh … tidak.” Nanda berlalu pergi meninggalkan Raka yang masih terus menyerukan nama si adik berulang kali.
***
Pintu kamar tertutup tiba-tiba. Delilah terjingkat karena terkejut, ia segera menengok dan mendapati Nanda sibuk meletakkan barang bawaan mereka. Ah, dia lupa tak membantu si suami. Sedikit kerepotan membawa barang, membuat Nanda tak bisa menahan laju pintu kamar yang menutup hingga menimbulkan suara keras. Terdengar decakan dan helaan lalu hembusan napas kasar dari si pria.
“Kau bilang akan menjagaku. Jadi jangan mengeluh begitu.” Delilah kini memandangi Nanda dari tempat dia duduk di sisi kasur.
Sekilas Nanda menelan ludah kasar dan berjalan cepat ke arah Delilah. Si jelita terkesiap kala wajah rupawan Nanda sudah berada tepat di depan dan tubuh si pria rupawan telah mengungkung dia penuh. Akan tetapi, di urungkan niat untuk memundurkan diri. Dia bergeming dan menatap balik mata lapar di depan.
“Kau ingin aku benar-benar menjagamu?” Seringai menghiasi wajah Nanda dengan apik.
“Sayang sekali, kukira kau tak ‘kan mampu. Aku menyukai kebebasan, jadi tak perlu terlalu repot.” Delilah mengakhiri lomba adu tatap dan menepis lengan Nanda kemudian beringsut pergi meninggalkan si pria sendirian.
Siapa yang menyangka respon tubuh Delilah tak sejalan dengan ekspresi yang ditunjukkan? Beruntung Nanda tak sempat mendengar degup gaduh yang berasal dari organ di dada kiri Delilah. Dia sedang bersandar di balik pintu kamar mandi dan perlahan memerosotkan diri. Topangan kaki lemas seketika setelah sekian menit tertahan.
Hhhh, jantung sialan, hardik hati Delilah.
Ketimbang melanjutkan kekalutan barusan. Delilah memilih mendinginkan kepala dan mendamaikan hati dengan mengguyur tubuh di bawah siraman air shower. Sekalian membersihkan diri yang sudah terasa lengket. Setelah segar kembali, dia baru menyadari sesuatu. Sial sekali, tak ada handuk di dalam kamar mandi mewah tersebut. Tak mungkin, ‘kan? Dia mengendap keluar dengan kondisi basah begini? Beberapa kali dia menyerukan nama sang suami. Akan tetapi, tak ada jawaban. Bahkan, tak terdengar suara di luar. Dia memberanikan diri mengintip.sedikit sebelum memutuskan berjingkat keluar dari dalam kamar mandi.
Terpaksa, Delilah mengambil lagi baju yang tadi dia kenakan lalu keluar dengan banyak tetesan air. Kamar sedang kosong, dia tak menemukan Nanda di sana. Entah dimana si suami berada. Tak begitu peduli, lekas tangan mungil Delilah menggeledah tas dan menemukan handuk kecil di dalamnya. Bersamaan pintu terbuka dan Nanda masuk membawa nampan berisi camilan untuk penghuni baru. Namun, hari sial memang tak pernah tercetak di kalender.
“Ahh!”.
BRUK
Posisi yang menguntungkan bagi Nanda, jika kewarasan tak segera mengambil alih pikiran. Dia menindih Delilah, tentu tubuh mungil sang istri pasrah tertimpa si pria. Nanda terpeleset tetesan air sehingga kehilangan keseimbangan.
“B-bisakah kau segera menyingkir? Berat.” Delilah akhirnya bersuara.
Telinga Nanda terasa terbakar, dia merasakan sesuatu, “D-Delilah, kemana pakaian dalammu?” polos sekali pertanyaan yang keluar barusan.
“Eh, hng?” Delilah menyadari tangan Nanda berada di tempat yang tepat.
Spontan si jelita menampar keras pipi sang suami hingga mengaduh. Setelah membereskan kekacauan, beruntung toples camilan tak terbuat dari kaca sehingga tidak pecah, hanya berantakan isi dalam berhamburan. Sekarang mereka duduk berseberangan. Delilah menutupi bagian dada dengan dua lengan. Menatap tajam pria di depan.
“Hey, ayolah. Kau tau itu tidak sengaja, lagipula aku adalah suamimu.” Nanda masih merayu Delilah yang marah.
“Di atas materai, kau lupa?” Tatapan si jelita tak melunak, begitupun nada suara.
“Ck, tidak. Kau mengingatkan sepuluh kali hari ini.” Nanda membuang tatapan malas.
“Cukup rajin, kau menghitungnya. Tidur di sofa, jangan pernah naik ke ranjang dan menyentuhku! Paham!” Suara si istri terdengar tegas sambil menekan tiap kata.
“Apa tidak keliru, ini rumahku.” Sang suami tak mau kalah.
“Milik kakekmu.” Kalimat yang tak bisa dimenangkan Nanda.
“Ah, sial!” Si pria menyandarkan penuh tubuh ke sofa. “Hhhh, sudah. Tidur dan beristirahatlah. Malam ini akan kubiarkan kau menang.” Nanda melipat kedua lengan sambil menatap Delilah dari kejauhan.
Delilah hanya menatap sang suami, kemudian perlahan menggulung diri ke dalam selimut sambil tetap menatap pria itu waspada. Takut dia disergap secara tiba-tiba. Namun, si jelita rupanya lelah dan terlelap tak lama kemudian. Nanda masih mengamati tubuh sang istri dari jauh. Bahu si wanita bergerak naik turun sesuai tempo napas dengan teratur. Terlihat tentram meski sebelum terlelap mata tajam si wanita sadis mengawasinya.
Si pria berjalan perlahan, dia sedikit berjingkat agar tak menimbulkan suara. Mematikan lampu utama dan mengganti dengan lampu tidur agar tak silau. Dia bahkan semat mengatur suhu pendingin di kamar sebelum beringsut mendekat dan membenahi selimut yang menutupi tubuh Delilah. Pria itu tertegun sejenak memandang wajah wanita yang mendengkur halus.
“Siapa yang mengira, kita akan berakhir di sini, Delilah.” Nanda menjeda bisikan lirih, menyelipkan rambut yang mengganggu pemandangan wajah jelita si wanita, “tidurlah, aku akan menjagamu.” Nanda kemudian pergi meninggalkan kamar dan beralih ke lantai bawah.
Mbok Yem—pengasuh kakak beradik itu—membawa satu cangkir yang masih mengepulkan asap beserta dengan teko putih di dalam nampan. Melangkah perlahan ke tempat pria dewasa yang dulu dia jaga sepenuh hati. Hingga sekarang pun, hubungan mereka lebih terlihat seperti ibu dan anak. Apalagi setelah kepergian suami si Mbok, padahal mereka belum sempat memiliki keturunan.
“Pengantin baru kok duduk di sini sendirian, Mas.” Mbok Yem meletakkan bawaan di meja dekat Nanda.
“Kalau begitu, mau temani saya, Mbok?” Nanda menggerakkan alis naik turun dengan senyum menggoda.
“Waduh, berat sekali tugas malam ini.” Simbok tak mau kalah jenaka mengedipkan sebelah mata.
Mereka terkekeh bersama, sebelum suara deheman dari belakang membubarkan candaan. Mbok Yem memilih berpamitan, kembali ke pos jaga. Barangkali, jasa simbok masih dibutuhkan nanti.
“Nanda, apa kau kurang berolahraga?” Wisnu bertanya dengan suara serak.
“Apa yang Kakek maksud, hm?” Nanda memamerkan otot perut yang sempurna pada sang Kakek.
“Hahaha, kau kira itu saja cukup? Buktinya, kau sudah berada disini jam segini. Terlalu banyak memegang pisau di meja bedah, membuat senjatamu sendiri lemah? Cih!” Wisnu mengejek si pengantin baru, kemudian berlalu dari sana dengan segera.
“Tenang saja, Kek. Aku usahakan mencetak sebelas anggota lagi. Biar harta Kakek habis diserobot cucu!” Suara Nanda menggema di lorong, terdengar kekehan dari sang Kakek tanpa menoleh dan terus melanjutkan langkah menuju kamar.
Sungguh, malam hari yang menguji kekuatan iman dan hati si mempelai pria baru sejenak dia merasakan damai. Sudah terdengar lagi nama indah milik si pria diserukan dari arah belakang.
“Nanda.” Seseorang memanggil.
Ah, jangan bilang ada godaan lain, batin Nanda sebelum menengok ke sumber suara.
Sosok pemanggil tadi kini duduk bersebelahan dengan sang pemilik nama. Mereka bersitatap sejenak tanpa ada suara, tetapi tepukan di paha Nanda terasa sedikit pedas.
“Ku mohon, jangan kau juga!” Nanda mengeluarkan kalimat yang membuat Raka mengernyitkan kening tak paham, “tadi sudah Mbok Yem dan Kakek meledekku,” jelas Nanda.
Raka tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. Padahal, memang itu tujuannya kemari. Sedang apa si pengantin baru malah berada di sana sendirian dan tak bersama sang istri.
“Stop! Akan kujelaskan sebelum kau bertanya. Dia kelelahan dan sekarang sedang tidur, jelas? Iya, aku diabaikan. Memang, tak apa. Aku masih sabar.” Kalimat Nanda dalam satu tarikan napas membuat Raka tergelak sekarang.
Meski aslinya, sangat lapar, sial, Nanda menggerutu dalam hati.
Hiburan untuk Raka, tawa si Kakak tak kunjung mereda. Sedikit kesal Nanda memutar bola mata sambil berdecak.
“Kau sendiri, kenapa tidak menemani istrimu?” Intonasi suara Nanda terdengar kesal.
“Hei, apa kau marah karena kami tak datang? Maafkan aku, oke? Kau tau, kami juga tak ingin begini. Kuharap kau mau mengerti, hm?” Raka menatap sang adik dengan mata memelas sambil memohon ampunan.
Dia terpaksa tak jadi ikut dalam pernikahan sakral yang terjadi satu kali seumur hidup sang adik. Sebelum berangkat, tiba-tiba saja Felicia—istri Raka—merasakan perut buncitnya menegang, kram. Raka tak ingin mengambil resiko, kemudian dia meminta izin dengan berat hati pada Nanda. Beruntung sang adik begitu pengertian dan meloloskan permintaan si Kakak.
“Tak masalah, istri dan calon bayimu lebih penting.” Kalimat Nanda menentramkan Raka tadi.
“Nanda, sungguh? Aku akan menyusul jika sempat.” Raka masih tak nyaman, meski sudah jelas diizinkan.
“Tidak perlu, istrimu lebih membutuhkanmu saat ini. Aku pergi dulu.” Nanda meninggalkan rumah bersama sang Kakek dan yang lain.
Sekarang, Raka seolah menagih janji sang adik yang tadi mengizinkan dia tetap berada di sisi Feli. Sudah menjadi rahasia umum, jika Raka adalah sosok lembut dan penyayang. Mungkin saja, dia tak tega untuk menginjak seekor semut pun. Beruntung berjumpa dengan Felicia, seorang yang mirip seperti Raka versi wanita. Mereka sangat cocok bersama.
“Ck, tentu. Aku bisa sangat memaklumi, hanya saja cukup banyak yang menanyakan keberadaan kalian tadi.” Nanda menjelaskan sambil menatap lurus ke depan.
Seolah sedang mengenang sesuatu yang tak mampu terucap oleh bibir sendiri. Dia memilih menelan sendiri kenangan sekilas tadi.
“Cukup menguntungkan memiliki seorang dokter hebat di keluarga ini, ya? Dia bisa sangat pengertian tentang kesehatan.” Raka memuji sang adik sambil menepuk bangga bahu Nanda.
“Huh, pembual!” Nanda justru sedang melirik pedas sang Kakak.
Tak lama selesai berbincang, Raka berpamitan kembali ke kamar. Dia tak rela meninggalkan istri tercinta sendirian terlalu lama. Dia kemari karena mendengar suara lantang sang adik yang masih terbangun. Bermaksud mengucapkan selamat dan meminta maaf. Berhasil juga dilakukan meski melalui diselingi obrolan ringan. Tak lupa dia menyuruh sang adik segera kembali ke kamar juga. Nanda tak punya pilihan, dia melangkah gontai dan masuk perlahan ke dalam kamar.
***
“Delilah, mau sampai kapan kamu tetap sendirian begini?” Suara Dion terdengar.
Ah, apakah aku sedang bermimpi? Oh, tidak. Ingatan itu datang lagi, hati Delilah sibuk berbisik.
“Ayah sudah menyiapkan calon untukmu, kali ini Ayah mohon. Barangkali tak sempat, Ayah akan sangat menyesal telah meninggalkanmu sendirian di dunia.” Kalimat yang kian menyudutkan Delilah kala itu.
“Cobalah membuka hati, dia pria yang baik.” Abigail ikut menambah kalimat sambil menggenggam erat jemari sang putri tunggal.
Kondisi yang tengah terlihat semakin mendesak si jelita untuk mengangguk, sang Ayah terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dia menuju tempat janji temu dan langsung menemui calon suami. Betapa hampir terlepas bola mata si jelita kala mendapati Nanda—rival masa SMA—berada di sana.
Mana ada lelaki baik selain ayah di dunia ini? teriakan hati Delilah saat pertama jumpa dengan si musuh bebuyutan kembali.
Seketika netra si jelita yang tengah terlelap tadi terbuka. Kemudian dia berteriak saking terkejut, wajah orang yang dibenci tengah berada di depannya dan berjarak sangat dekat. Tak pelak, spontan Delilah mendorong tubuh Nanda menjauh. Naas, si pria berguling tanpa pertahanan dan jatuh ke lantai. Lebih parah lagi kondisi mereka saat ini karena Delilah tersadar jika pria yang sedang mengaduh tadi tak terlihat mengenakan pakaian.
“Akh! Kenapa kau di sini? Dimana bajumu!” Delilah sibuk melempar bantal pada Nanda tanpa henti.
“Aw, akh!” Nanda memekik.
“Berhenti mendesah!” Delilah semakin panik.
Hei, ayolah. Otak mesum sialan, itu bukan desahan, rutuk hati Delilah sendiri.
Nanda bahkan, belum sempat mengumpulkan nyawa. Dia mengerjap-ngerjapkan mata dan membuka perlahan sebelah mata terlebih dahulu. Kemudian, bangkit berdiri sambil menggaruk kepala yang terasa gatal. Tentu saja, Delilah heboh kembali berusaha menutupi wajah dengan kedua tangan.
“Delilah, hei, lihat aku. Apa yang kau harapkan, hah?” Nanda berdiri sambil memaksa si istri membuka tangkuban tangan di wajah.
Memang benar, Nanda sedang bertelanjang dada. Akan tetapi, dia masih cukup bermoral mengenakan celana pendek di bagian bawah. Semalam, Nanda sudah terjatuh berulang kali saat tidur di sofa. Sehingga dia memutuskan mengendap berpindah ke sisi lain kasur perlahan dan tertidur pulas. Si pria sama sekali tak bermaksud menyentuh Delilah tanpa izin. Sekalipun mereka telah menikah, tetapi Nanda memegang prinsip cukup kuat atas perjanjian yang mereka sepakati.
Lagi-lagi Nanda harus membereskan kamar karena ulah Delilah. Si wanita sudah melarikan diri ke kamar mandi. Mentari bahkan masih berwarna kemerahan, cahaya mengintip di balik jendela. Nanda padahal masih ingin menikmati hari libur yang jarang terjadi di hidupnya. Menjadi seorang dokter bedah jantung, membuat dia penuh kesibukan. Seperti kata sang kakek, pisau bedah adalah senjata si pria kala di meja operasi.
Beberapa saat kemudian, Delilah muncul dari kamar mandi dan melempar handuk pada pria yang masih berbaring malas di kasur. Raut kesal tak bisa disembunyikan oleh Nanda.
“Mandi, sana.” Delilah memerintah tanpa ragu, kemudian beralih ke meja rias.
Bukan Nanda namanya, jika menurut begitu saja. Dia melangkah ke arah Delilah dan berbisik selembut mungkin.
“Jika aku tidak mau. Apa kau akan memandikanku, Nyonya Atmaja?” Seringai tercetak jelas di wajah pria dengan hidung bangir dan alis tebal serta bibir kemerahan serta manik legam menatap kuat pada Delilah.
Susah payah Delilah menelan ludah. Bisikan tepat di sebelah telinga si jelita membuat bulu kuduknya meremang. Dia sangat benci ditantang, apalagi oleh seorang menyebalkan yang kerap meremehkan seperti Nanda sekarang.
Sekian detik hening, Delilah menatap balik secara langsung pemilik wajah rupawan yang terus menggoda sejak kemarin. Tentu membuat manik mereka berjumpa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!