NovelToon NovelToon

My Only LOVE

Bab 1

Di bawah langit pagi yang cerah, Shafana mengangkat tangan menutupi wajahnya dengan kelima jari tangannya yang lentik.

Wajah pucat nya semakin terlihat jelas saat cahaya yang menyilaukan itu berusaha menerobos ruas-ruas jari yang terbuka.

Tatapannya begitu sendu, namun senyumnya begitu hangat, sehangat udara di pagi itu.

Seorang wanita memanggil namanya dengan suara lembut.

"Ana, kamu sedang apa?"

Gadis cantik itu menoleh menatap dengan senyuman yang lembut.

"Sedang melihat langit"

"Ada apa di sana?"

"Apa orang mati tempatnya di langit?"

Gadis itu balik bertanya, membuat sang pendengar merasakan hantaman hebat di dalam hatinya.

Wanita itu berjongkok meraih tangan halus Shafana yang sedang duduk di kursi roda, wajahnya menatap ke luar jendela rumah sakit, tempat gadis itu menghabiskan hari-harinya.

"Ana, jangan bicara gitu, kamu pasti akan sembuh"

"Iya, Ma. Ana tau"

Ana mencoba tegar dan tabah, meski ia tau kata-kata itu hanya penghibur baginya sebagai seorang pasien.

Tiba-tiba Ana merasakan sesak di dadanya, ia kesulitan bernafas.

Dewi yang melihat keadaan Ana buru-buru menekan bel gawat darurat untuk memanggil para suster atau pun Dokter, agar segera menangani Ana.

******

Dua tahun yang lalu....

Seorang Gadis pemilik senyuman manis melangkah dengan pasti melewati kerumunan orang-orang yang memakai seragam yang sama dengannya,

Mata jernihnya mencari seorang Gadis cantik yang rambutnya di kuncir seperti ekor kuda,

Setelah mendapati Gadis yang sudah setia menjadi sahabatnya dalam suka maupun duka, ia menghampiri Gadis itu sambil mengejutkannya.

"Daaarrrr...."

Sontak Gadis itu melompat, karena terkejut.

"Anaaaa!!!"

Teriaknya dengan nada yang tinggi.

"Temani Aku dong ke perpustakaan, ada buku yang mau Aku pinjam"

"Perpustakaan lagi, kenapa sih kamu suka banget ketempat membosankan itu, sekali-kali ajak Aku ke mall kenapa sih"

"Iya, deh, nanti setelah dari perpustakaan kita jalan-jalan ke mall, gimana kamu senang kan?"

Keduanya berjalan sambil bergandeng tangan ke perpustakaan yang memang tak jauh dari sekolah mereka.

Shafana menelusuri rak-rak buku yang berbaris sehingga menyisakan jalan yang hanya bisa dilewati satu orang saja, saat ia meraih buku yang ia cari menyisakan sebuah lubang kecil pada rak itu.

Shafana tak sengaja melihat gumpalan asap dari celah rak buku yang kosong, rasa penasaran memaksanya untuk mengintip dari celah rak buku, ia menyaksikan sebuah tangan besar yang sedang memegang sepuntung rokok, ternyata itulah sumber asap yang Shafana lihat.

Shafana yang kesal pun bergumam.

"Ada ya, manusia yang nggak tau aturan, bisa-bisanya merokok di tempat umum"

Suara Shafana yang tak terlalu kuat juga tak terlalu pelan dapat di dengar orang yang ada dibalik rak buku itu, buru-buru membuang puntungan rokok itu ke lantai dan menginjaknya dengan sepatu sekolahnya.

Sebelum pergi orang itu sempat mengucapkan maaf kemudian meninggalkan tempat itu.

Shafana tak menghiraukan ucapan orang yang berada di balik rak buku itu, karena ia terlanjur kesal pada orang itu.

Setelah mendapatkan buku yang ia inginkan, Ana menghampiri sahabatnya yang bernama Gladis, gadis cantik itu terlihat bersahaja saat duduk di ruang baca sambil mendengar musik dari handphonenya dengan memakai handset di kedua telinganya.

Ana menepuk pundak gadis itu memberi isyarat kalau ia sudah selesai.

Seperti janji Ana, mereka pergi berjalan-jalan ke sebuah mall di pusat kota, kedua gadis itu mencari tempat untuk makan siang di sebuah restoran ayam goreng kesukaan Gladis.

Saat mereka sedang menikmati hidangan yang sudah tersaji di meja mereka, tiba-tiba handphone Gadis berdering, sehingga menghentikan kegiatan makan mereka, terdengar Gladis menjawab panggilan itu

"Iya, Ma, Iya Gladis segera pulang"

Kedua gadis itu saling bertatapan, setelah Gladis menutup panggilan telepon, ia pun mulai bicara pada Shafana.

"Ana, maaf ya, Aku pulang duluan, soalnya Mama mau pergi, nggak ada yang jagain adik Aku di rumah"

"Makanannya gimana?"

"Kamu habisin sendiri aja, kan kamu yang bayar"

Gadis itu nyengir dan buru-buru meninggalkan Shafana.

"Dasar sahabat durhakaaaaa!!!!"

Akhirnya Shafana beneran menghabiskan dua porsi Ayam goreng, sehingga membuatnya merasa kekenyangan.

Setelah selesai Shafana akan mencuci tangan di wastafel, saat berjalan ia tak sengaja menabrak seseorang yang berbadan tinggi kedua tangannya yang kotor tak sengaja menyentuh bagian depan orang itu sehingga mengotori pakaian putih yang ia kenakan.

Shafana masih belum melihat wajah orang yang ada di hadapannya itu, ia hanya berpikir bagaimana jika orang ini akan memarahinya karena sudah mengotori baju seragam putih itu, dengan cepat Shafana menarik tangannya dari dada pemuda itu dan buru-buru mengambil tissue di mejanya mencoba membersihkan kotoran yang menempel di baju putih itu, namun usahanya sama sekali tak berhasil karena noda di baju itu adalah noda saos yang menempel di tangan Shafana.

Dengan kasar orang itu menghempas tangan Shafana yang mencoba membersihkan seragam sekolahnya, sehingga menarik perhatian Shafana untuk melihat wajah orang itu, Shafana sedikit mendongak untuk melihat wajah orang itu, karena orang yang ada di hadapan Shafana memang lebih tinggi dari dirinya, bahkan ukuran tubuhnya hanya sebatas bahu orang itu.

Mata tajam Pemuda itu menembus tatapan Shafana yang merasa bersalah, beberapa detik saling menatap akhirnya Shafana mengeluarkan kalimat ajaibnya yaitu

"Maaf, Aku nggak sengaja"

Pemuda itu mendorong tubuh Shafana agar menyingkir dari jalannya, sambil bergumam.

"Sial"

Shafana hanya bisa mengelus dada saat orang itu sudah pergi meninggalkannya dan bergegas menuju wastafel untuk membersihkan tangannya yang sebenarnya sudah tak terlalu kotor karena tadi dia sudah mengelap tangannya di baju Pemuda sombong itu.

Saat di Sekolah....

Shafana baru saja masuk ke dalam kelas, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada kerumunan teman-temannya yang menutupi kursi paling belakang bahkan Gladis juga berada di dalam kerumunan itu, namun hal itu sama sekali tak membuat Shafana penasaran dia mengira mungkin ada salah seorang temannya yang sedang menjual aksesoris seperti waktu itu.

kerumunan itu berlahan membubarkan diri ketika Guru bahasa Indonesia memasuki kelas.

"Anak-anak kembali kemeja masing-masing, sekarang waktunya belajar"

Bu Winda mendapati seorang siswa yang terlihat asing di kelasnya, siswa laki-laki yang duduk di kursi paling belakang.

"Kamu Siswa baru ya, Nak?"

Bu Winda bertanya dengan lembut sambil memanggilnya untuk maju ke depan kelas.

Dengan langkah tegas Pemuda berbadan tinggi dan berkulit putih itu melangkah dengan tatapan yang lurus, membuat orang yang menatapnya merasa kagum terutama kaum hawa yang ada di kelas itu, semua berpendapat bahwa Pemuda itu sangat tampan, kecuali satu orang yang merasa dia pernah melihat Pemuda itu tapi dia lupa bertemunya dimana.

Pemuda itu kini berdiri di depan kelas menghadap teman-teman sekelasnya.

Mata tajamnya tertuju pada seorang Gadis yang sedang sibuk membalik lembaran buku yang ada dihadapannya.

"Perkenalkan diri kamu pada teman-teman mu, Nak"

Ucap Bu Winda padanya.

"Ehmmm...Perkenalkan nama Saya Daffa Arzaka Zayan, usia saya 15 tahun, saya murid pindahan dari Sekolah SMA Juara Gemilang"

Shafana sama sekali tak perduli dengan orang yang sedang memperkenalkan dirinya di depan kelas itu, dia malah sibuk membaca buku yang ada di hadapannya, membuat Daffa semakin tertantang untuk mengetahui siapa sebenarnya Gadis sombong yang tak terpesona dengan ketampanannya, berbeda sekali dengan teman yang duduk di sampingnya, Gadis cantik itu menatapnya sambil berpangku tangan dengan kedua bola mata yang berbinar-binar.

"Ah....Gantengnya cowok itu"

Gumam Galdis sambil masih memperhatikan wajah Pemuda yang masih berdiri di depan kelas itu.

"Daffa, sebelum kembali ke meja mu, seragam kamu tolong di rapikan ya"

Ucap Bu Winda.

"Iya, Bu"

Tapi dia sama sekali tak berniat memasukkan baju ke dalam celananya, karena itu sama sekali tak terlihat keren baginya, Daffa malah mengusap-usap bajunya dengan tangan seolah sedang membersihkan kotoran dari seragam Sekolahnya, tindakannya itu tak sengaja Shafana lihat, sehingga Shafana menyadari dia adalah orang yang semalam Shafana kotori seragamnya.

Daffa akan kembali kemejanya dengan melewati sisi dimana tempat Shafana duduk dan dengan sengaja membuang buku yang menumpuk di meja Shafana, seolah dia tak sengaja menyenggol buku itu, Shafana tau Pemuda itu memang sengaja melakukannya untuk membalas dendam padanya.

Hai...Hai....

Jangan Lupa mampir ya di karya terbaruku

Cerita Cinta Shafana dan Daffa yang mengharu biru.

mohon dukungannya🙂🙂🙂

Bab 2

Shafana memungut bukunya yang terjatuh dan melirik kepergian Pemuda itu dengan gayanya yang sombong.

Setelah mengetahui Pemuda yang bernama Daffa itu seorang pendendam Shafana sebisa mungkin tak berurusan dengannya.

Seperti kata pepatah kalau jodoh tak akan kemana, entah mereka berjodoh atau hanya kebetulan saja.

Di siang yang begitu terik, Shafana sedang berdiri di halte bus, menunggu kendaraan itu untuk mengantarnya pulang, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang cukup keras sehingga menarik perhatian para pengguna jalanan , mereka berbondong-bondong berlari menuju sumber suara dentuman itu, Shafana ingin ikut melihat, tapi ia merasa takut jika nanti yang ia lihat adalah sebuah kecelakaan, karena memang dia sedikit takut melihat orang yang kecelakaan.

Beberapa menit kerumunan itu bukannya semakin berkurang malah semakin bertambah, seseorang yang baru saja melihat kejadian itu menghampiri Shafana, seorang wanita yang memakai seragam satpam memperhatikan seragam sekolah Shafana.

"Dek, itu teman kamu ya?"

wanita itu mengisyaratkan dimana orang-orang sedang berkerumun.

Shafana yang bingung hanya tersenyum tipis, dia tak mengerti ucapan wanita itu.

"Seragam kalian sama, berarti anak itu satu Sekolah dengan kamu, kasihan juga anak itu dia habis tertabrak, tapi dia bersikeras tak mau di bawa ke rumah sakit, polisi juga belum datang, kelihatannya dia bingung sekali"

Ucapan wanita itu membuat Shafana jadi penasaran, kalau benar orang itu satu Sekolah dengannya dia harus menolongnya, dengan ragu Shafana mendekati kerumunan orang-orang, betapa terkejutnya ia melihat Seorang Pemuda yang sedang duduk di jalan, celana panjang birunya sudah sobek akibat gesekan aspal jalanan dan ada darah yang terus mengalir dari dalam celana itu.

Seorang wanita membujuk Pemuda itu agar mau di bawa ke rumah sakit, namun pemuda itu menolak dengan tegas dia tak mau pergi ke rumah sakit dan seperti berusaha menghubungi seseorang menggunakan ponselnya, namun sepertinya orang yang di hubungi nya sama sekali tak menjawab panggilannya, sehingga membuatnya kesal dan menggerutu

"Brengsek, dasar sial"

Ucapnya sambil membanting hp nya di jalanan, membuat orang-orang yang berkerumun menjadi tambah kesal melihat kelakuannya.

Shafana geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

Cih, dasar aneh, sikapnya itu benar-benar tidak tau terimakasih, padahal orang-orang ingin membantunya.

Shafana merasa tak perlu membantu orang sombong seperti Daffa, tapi dia tak tega meninggalkan Pemuda itu sendirian di jalanan.

Shafana mendekati Pemuda itu, berjongkok sambil mengeluarkan saputangan dari dalam tas ranselnya, mengikatkan saputangan untuk menghentikan darah yang mengalir dari pergelangan kaki pemuda itu.

"Hei...ngapain kamu, nggak usah sok-sok an mau menolongku, pergi kamu dari sini"

Bukannya berterimakasih Pemuda itu malah menghempaskan tangan Shafana agar menjauh darinya.

Orang-orang yang tadinya kasihan padanya mendadak menghujatnya.

"Dasar berandal, sudah di tolong bukannya berterimakasih, tinggalkan saja dia, biar sekalian mati di jalanan"

Ucap seorang Bapak-bapak.

Berlahan mereka pun meninggalkan Daffa, yang berusaha untuk berdiri namun selalu saja terjatuh, karena kakinya terluka parah.

"Sini biar Aku bantu berdiri"

Shafana masih berbaik hati menolong Pemuda itu, meski tadi dia sudah di permalukan di depan orang banyak, tapi jika kali ini Daffa tetap sombong, Shafana bersumpah akan meninggalkannya, benar kata Bapak-bapak tadi, biar sekalian dia mati di jalanan ini.

"Nggak perlu"

Daffa masih tetap sombong, sehingga membuat Shafana geram dan benar-benar kehabisan kesabaran.

"Baiklah, Aku pergi, tunggu saja Polisi yang menolong mu"

Ucap Shafana sambil berdiri dan membersihkan rok sekolahnya yang kotor akibat di dorong Daffa saat mengikatkan saputangan di pergelangan kakinya.

mendengar kata Polisi, Daffa jadi berpikir dua kali untuk tidak meminta bantuan Shafana,

Rumah sakit dan Polisi sesuatu yang membuatnya trauma, dia sama sekali tak ingin berurusan dengan keduanya.

"Tunggu!"

Ucapannya menghentikan langkah Shafana dan kembali berbalik menatap Pemuda sombong itu.

"Apa lagi!!!"

Teriak Shafana.

"Bantu Aku berjalan"

Shafana menarik tangan Daffa dengan kuat, sebab ia terlanjur kesal pada Pemuda sombong itu.

Dengan kaki kirinya yang terseok-seok Daffa berusaha berjalan menggunakan kekuatan kaki kanannya di bantu Shafana yang membopong tubuhnya menuju halte bus, Shafana mendudukkan Daffa di halte.

"Kenapa kamu nggak mau di bawa ke rumah sakit?"

"Di bilang nggak mau, ya nggak mau, kenapa maksa sih"

"Gimana dengan kaki mu, apa bisa sembuh sendiri kalau nggak di obati, atau kamu nggak punya uang untuk bayar perobatan di rumah sakit, kalau itu alasan kamu, biar Aku yang bayar"

"Hei...kau pikir Aku pengemis, sembarangan bilang Aku nggak punya uang untuk berobat, rumah sakit itu pun bisa ku beli, Aku nggak suka ke rumah sakit, biasanya Dokter yang datang ke rumah untuk mengobati ku"

Ucapnya, tak terima dengan pernyataan Shafana yang merendahkan keuangannya.

"Cih, dasar sombong, Aku nggak bermaksud mengatakan kamu miskin, Aku cuma penasaran kenapa kamu nggak mau di bawa ke rumah sakit"

"Jangan banyak bicara, pinjamkan Aku hp mu, Aku mau menghubungi seseorang"

Shafana mengambil hp nya di saku rok Sekolahnya dan memberikan benda pipih itu pada Daffa.

Setelah berbicara Daffa mengembalikan hp itu pada Shafana.

Lima belas menit kemudian sebuah mobil berhenti di depan mereka, Daffa menyuruh orang yang ada di dalam mobil itu keluar untuk membantunya masuk ke dalam.

Shafana hanya duduk sambil memperhatikan mereka sampai Daffa masuk ke dalam mobil.

"Terimakasih nona"

Ucap Pria tua yang tadi membantu Daffa masuk ke dalam mobil.

Shafana hanya tersenyum, setelah mobil itu pergi dia baru menggerutu.

"Dasar manusia nggak ada akhlak, udah di tolongin, bukannya terimakasih atau pamit, malah pergi begitu aja, mulai hari ini kalau ketemu dia, nggak akan Aku anggap dia manusia, dia lebih cocok jadi kecoa, Aku injak biar mati sekalian"

Shafana sampai berucap karena kesal dia sudah bicara jahat, padahal dia adalah gadis yang bertutur lemah lembut dan penyayang,

Shafana mengelus dadanya sambil berucap

"Sabar Shafana, di dunia ini kita tak selalu bertemu dengan orang baik, dengan bertemu orang seperti Daffa adalah ujian untuk melatih kesabaran"

Shafana tak jadi pulang dengan bus, dia menghubungi saudara laki-lakinya untuk menjemputnya.

****

Seorang Pemuda tampan dengan rambut sedikit gondrong, mata tajam dengan bola mata berwana coklat, persis seperti mata Shafana kini sedang membuka helmnya setelah itu mengibas-ngibaskan rambutnya, seperti seorang model iklan shampo.

Mata tajam itu sedang melirik gadis yang sedang duduk di halte bus, wajah Shafana terlihat malas melihatnya yang sedang menebarkan pesonanya pada pengguna jalanan, terutama beberapa karyawan perusahaan yang sedang melintas.

"Cih, sok ke gantengan"

Gumam Shafana pada Daren, kakak laki-lakinya itu.

"Adik, cepatan naik"

Saat Shafana berdiri Daren melihat ada noda darah di seragam sekolah Shafana, Daren langsung khawatir dan bertanya apa yang terjadi pada Shafana, Shafana pun menjelaskan pada Daren kalau dia tadi membantu temannya yang kecelakaan, sehingga dia ketinggalan bus, dan memutuskan menghubungi Daren yang sedang kuliah.

Mendengar penjelasan Shafana hati Daren sedikit tenang, ternyata Adiknya tidak mengalami hal buruk, sebab jika terjadi sesuatu pada anak kesayangan Mamanya ini hidup Daren juga akan ikut sulit akibat di omelin sama Mamanya, karena tak becus menjaga sang tuan putri.

Daren pun melajukan sepeda motornya, setelah beberapa menit mereka pun akhirnya sampai ke rumah mereka.

Bab 3

Shafana dan Daren mendapati rumah sedang kosong,

Karena penasaran Shafana bertanya kepada Bibi yang biasa membantu pekerjaan rumah mereka yaitu Bi Minah

Bibi mengatakan Tuan dan Nyonya yang merupakan orang tua mereka sedang pergi Dinas di luar kota,

Orang Tua Shafana dan Daren adalah seorang PNS di kantor Gubernur, Ayahnya sendiri adalah seorang Wakil Gubernur dan Ibunya Seorang Guru SMP.

Biasanya kalau kedua orang tuanya sedang Dinas pasti pulangnya sekitar dua mingguan atau bisa jadi lebih lama.

Shafana akan merasa kesepian saat orang tuanya tak ada di rumah berbeda dengan Daren yang bahagia, karena dia bisa bebas saat tak ada orang tuanya.

Kebetulan malam itu Gladis sedang menginap di rumah Shafana untuk menemani gadis itu agar tak terlalu kesepian.

Shafana dan Gladis sedang menonton TV di ruang tamu, tiba-tiba Daren keluar dari dalam kamarnya dengan bertelanjang dada, Gladis yang melihat itu merasa terkejut dan berteriak.

"Kak Dareeennnn, jangan menodai mataku yang masih suci ini"

"Kak, ngapain sih, keluar nggak pakai baju?"

Daren tak menghiraukan protes kedua gadis itu, dia malah mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah sehingga memercikkan air dan mengenai mereka.

Shafana memutar bola matanya, malas menanggapi kakaknya yang sudah terkena sindrom sok ganteng.

"Nggak usah di lihatin dong, gitu aja kok repot"

"Gimana nggak di lihatin, kakak melintas di hadapan kami"

Ucap Gladis dengan sebal, tapi masih menatap tubuh Daren yang menggoda.

"Eh, anak kecil, kok kamu lihatnya bernafsu gitu, Aku jadi takut di perkosa sama kamu"

Canda Daren pada sahabat adiknya itu.

"Kak, mending kakak pergi deh, sebelum Aku lempar remote TV"

Ancam Shafana.

"Ok...Ok...Bahaya kalau tuan putri ngambek"

Daren kembali masuk ke dalam kamarnya, dia memang suka menjahili adiknya itu.

***

Keesokan harinya....

Shafana dan Gladis pergi ke sekolah bersama, seperti biasa mereka pergi ke sekolah dengan menaiki Bus.

Di kelas Shafana melirik meja tempat Daffa duduk, dia tak melihat Pemuda itu dan berpikir mungkin Pemuda itu masih sakit, apalagi semalam keadaan kakinya terlihat cukup parah.

Shafana melewati harinya seperti biasa, sampai saat pulang sekolah tiba, kali ini Gladis tak bisa menginap di rumah Shafana, karena Mamanya akan pergi ke rumah salah satu saudara mereka yang baru lahiran dan Gladis harus menemani adiknya di rumah.

"Maaf ya, Ana, Aku nggak bisa nginap di rumah mu hari ini, soalnya Mama suruh Aku jagain adik"

"Ya, udah nggak masalah, kamu hati-hati ya pulangnya"

mereka berpisah di halte Bus, karena Bus yang di naiki Gladis berbeda dengan Bus yang di naiki Shafana.

Saat sedang menunggu di halte Shafana terpana melihat mobil yang berhenti tepat di hadapannya, kaca jendela mobil itu terbuka, Shafana dapat melihat orang yang duduk di kursi belakang mobil itu dia seorang wanita cantik dengan pakaian rapi dan modis, kacamata hitam menghiasi wajahnya yang imut dan cantik.

Sang supir keluar dari mobil dan menghampiri Shafana.

Shafana mengenal wajah supir itu dia adalah orang yang sama saat menjemput Daffa semalam.

"Nona, silahkan masuk ke mobil, Nona muda ingin bicara sebentar sama Nona"

Ucap lelaki tua itu.

Shafana ragu-ragu, tapi tiba-tiba pintu mobil itu sedang di buka dari dalam.

Shafana melamun, tapi wanita itu mengisyaratkan agar Shafana masuk kedalam mobil.

Shafana mendekat tapi ia tak sampai masuk kedalam mobil.

"Maaf, ada apa ya?"

Wanita itu pindah posisi agar lebih mendekat dengan Shafana.

"Kamu satu kelas dengan Daffa?"

"Iya, emangnya kenapa?"

"Kamu bisa nggak ikut ke rumah saya untuk menjenguk Daffa"

Shafana merasa ada yang aneh, kenapa tiba-tiba dia di suruh menjenguk Daffa, sepengetahuannya dia sama sekali tak berteman dengan Daffa, bahkan mereka terkesan seperti musuh.

"Dia ingin di jenguk seseorang, kata Pak supir kamu temannya Daffa"

Kemarin di rumah Daffa...

Daffa duduk di sofa di bantu Pak supir, dia minta pada pelayan untuk menghubungi Dokter keluarga mereka, Mas Arya.

Marissa yang baru pulang terkejut melihat kaki adiknya terluka penuh darah.

"Ada apa dengan mu, kenapa kaki mu berdarah"

Ucap Marissa panik.

"Cepat hubungi Mas Arya"

Daffa sama sekali tak terlihat seperti orang kesakitan, dia terlihat biasa meski Marissa begitu panik.

"Nggak usah lebay, ini cuma luka kecil"

"Kamu ini kenapa sih?"

"Aku nggak kenapa-kenapa, lagian sejak kapan kamu perduli pada ku, kamu kan wanita karir yang sibuk dan jarang pulang ke rumah"

Mendengar ucapan adiknya itu, Marissa merasa bersalah, tapi apa daya nya, sejak orang tua mereka meninggal, Marissa harus meneruskan usaha keluarganya untuk menggantikan Papa nya, jika tidak harta mereka akan di kuasai adik Papanya dan biaya hidup mereka akan di jatah setiap bulannya, Sejak itu Marissa terjun langsung untuk memimpin perusahaan demi masa depannya dan adiknya Daffa, tapi siapa sangka Daffa jadi membencinya karena tak pernah ada saat masa sulitnya, bahkan saat Daffa merindukan kasih sayang orang tuanya, kakak perempuannya tak pernah menguatkannya, padahal Marissa pun sama kesepiannya seperti Daffa.

"Kamu pikir Aku mau seperti ini, Aku itu kerja untuk masa depan kita, bukan seperti kamu yang bisanya cuma buat ulah"

Daffa tak mau membalas ucapan Marissa.

Sampai ia di obati oleh Mas Arya Daffa hanya diam, sehingga membuat Mas Arya penasaran dan bertanya pada Marissa.

"Ada apa dengannya?"

"Dia marah pada ku, biarkan aja"

"Marissa kamu jangan gitu sama Daffa, dia itu cuma butuh perhatian, kamu nggak lihat dia selalu murung dan kesepian, dia bahkan tak punya teman seperti remaja yang lain, Aku kasihan melihatnya"

"Jadi Aku harus gimana, apa Aku harus terus di sampingnya, bagaimana dengan pekerjaan ku?"

"Dia butuh seorang teman, jika tidak Aku takut akan berpengaruh dengan mentalnya, jangan sampai dia terjerumus dengan hal-hal yang buruk, Aku bahkan menemuka rokok di dalam kamarnya"

"Dasar anak nggak tau diri, bisa-bisanya dia buat masalah lagi, kemarin dia di keluarin dari sekolah akibat memukul teman sekelasnya, sekarang dia merokok, Aku harus memberi pelajaran padanya agar dia sadar"

Saat Marissa akan mendatangi Daffa di kamarnya, langkahnya terhenti saat Pak Karyo bicara.

"Nona Muda, jangan marah pada Tuan Muda, kasihan dia, tadi waktu kecelakaan Tuan Muda di bantu seorang gadis baik hati, sepertinya Tuan Muda menyukai gadis itu, sebab saat di mobil saya sempat melirik Tuan Muda dari kaca mobil, dia tersenyum sambil melihat gadis itu dari kaca jendela, bukankah itu sesuatu yang sangat langkah, Tuan Muda belum pernah tersenyum setelah kecelakaan itu"

Marissa menatap Pak Karyo, dia masih bingung dengan apa tujuan Pak Karyo mengatakan itu padanya.

"Kita minta tolong Nona itu agar mau menjadi teman Tuan muda agar Tuan Muda nggak kesepian lagi"

"Emang gadis itu mau berteman dengan brandal seperti dia?"

"Minta tolong pada gadis itu, mungkin dia bisa membantu"

Marissa berpikir sejenak, mungkin benar kata Pak Karyo, jika Daffa mempunyai seorang teman, mungkin dia tak merasa kesepian.

Itulah sebabnya Marissa ingin bertemu langsung pada Shafana dan minta tolong agar mau menjadi teman adiknya, bahkan ia juga akan memberikan uang pada Shafana jika mau menjadi teman Daffa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!