NovelToon NovelToon

TERLANJUR TERLUKA

1

Aku menutup lembaran buku yang ada diatas nakas. Memeluknya cukup erat tanpa air mata sebagai pengiring. Hari ini aku sudah menemukan takdirku, penghujung hubungan yang tak pernah bisa bahagia, titik lelah menjadi seorang istri yang terbuang. 

"Aku menyerah, Mas." lirihku, meremas ujung baju guna mengurangi rasa sesak.

Ponsel yang ada di sampingku ku raih, menekan tombol panggilan pada sosok yang saat ini bergelut pada kesenangan. Walaupun terluka, aku hanya ingin mendengar suaranya beberapa saat. Aku tau ini memang bodoh.

[Mau apa lagi sih Maya? Aku sibuk, malam ini aku gak pulang lagi, jangan menelponku dulu, kamu ngerti kan! Aku tutup teleponnya]

"Aku suka buku deary pemberianmu, dulu kamu pernah bilang untuk menjadikan buku ini tempat keluh kesah saat kamu gak ada. Dan ternyata itu berguna, kapan ya terakhir kali aku curhat sama kamu. Aku lupa, Mas."

[Aku gak ada waktu mendengar omong kosongmu itu, aku sibuk. Jangan menelponku jika bukan sesuatu yang penting, lagipula kamu bukan anak kecil lagi, gak ada gunanya membahas masalah gak berguna---]

"Bukunya sudah penuh, Mas. Tapi kamu masih belum pulang. Sekarang aku gak tau mau cerita ke siapa lagi kalau bukan buku ini, kamu juga menjauh dariku." potongku, menahan sesak dengan air mata yang perlahan turun.

[Aku sibuk]

"Aku tau, aku hanya butuh 5 menit. Setelah itu aku gak akan mengganggumu. Aku janji, Mas."

[Hmm]

"Mama memintaku memberikan kalung pemberianmu pada Naya. Kalung dengan liontin bintang, hadiah pernikahan yang kamu berikan padaku saat awal-awal kita menikah."

[Itu hanya kalung, gak perlu ribut-ribut. Aku bisa memberikan yang lebih, keadaan Naya gak sesehat kamu. Lagipula dia adikmu, jadi berikan saja kalung itu padanya kalau dia mau]

"Baiklah, Mas."

[Sekarang apa lagi? Cepat katakan, aku gak bisa mendengarkan keluhanmu terus menerus]

"Mama memintaku membantu Naya lagi, tadi Naya drop jadi Mama memintaku mendonorkan darahku untuknya."

[Itu wajar, lakukan saja. Lagipula hanya sedikit darah. Dan sedikit darah itu sangat penting bagi Naya. Kamu gak mungkin perhitungan pada adikmu sendiri, apalagi ini menyangkut nyawa dia. Jadi lakukan saja, Naya sudah cukup menderita dengan penyakitnya]

"Baiklah, Mas."

[Kita hanya melihat perjuangan dia untuk hidup, tapi kita gak tau bagaimana rasanya menjadi dia. Jadi selagi bisa membantu maka lakukan saja, hanya kamu yang bisa membantu dia karena kamu adalah kakaknya]

"Aku mengerti, besok aku akan kerumah sakit mendonorkan yang Naya butuhkan."

[Hmm]

Tik.

Aku memejamkan mata beberapa saat, bulir bening berlomba-lomba keluar. Sekarang aku mengerti, dan bulat akan tekadku yang sudah di fikirkan secara matang. Besok adalah waktunya, membantu adikku untuk bertahan hidup seperti yang suamiku katakan.

Sebuah pesan aku kirimkan pada seseorang di seberang. Sosok yang memiliki kehidupan pelik sama sepertiku. Kehidupan yang menyiksa.

'Aku ikut dengan jalanmu.'

Sebuah foto pernikahan aku raih, menatapnya dengan lamat kemudian merobek sebelah sisinya. Menyisakan satu foto yang tampak tersenyum lebar, sisi yang robek aku tempelkan foto baru. Melengkapi pemandangan yang justru terlihat lebih cocok dari sebelumnya. Mereka memang serasi.

"Sekarang kalian bisa bersama, Mas. Naya..." 

...***...

POV RANGGA

"Kamu lebih baik pulang, Mas. Aku gak apa-apa di sini. Kasihan kak Maya sendiri di Rumah, lagipula aku masih ada Suster yang jaga. Ini juga sudah larut malam. Kamu pasti capek menjagaku setiap pulang dari Kantor."

"Tidak Naya, aku khawatir kalau meninggalkanmu. Soal Maya kamu gak perlu fikirkan, aku juga sudah izin gak pulang malam ini. Kondisimu yang harus di perhatikan, bukan Maya yang mungkin sudah tidur nyenyak."

"Tapi aku khawatir dengan kak Maya---"

"Aku justru lebih mengkhawatirkanmu, soal Maya kamu gak perlu khawatir. Dia sangat sehat, gak perlu cemas seperti ini. Jangan membuat kondisimu drop karena dia."

Aku menggenggam tangan adik istriku, mengelusnya pelan dengan pandangan penuh kekhawatiran. Hubunganku dan Naya bukan sekedar kakak dan adik ipar lagi, kami berdua menjalin hubungan terlarang di belakang semua orang. Sikap lembut dan wajah polosnya membuatku terpesona, bahkan berhasil mengikis cinta untuk istriku sendiri, aku benar-benar mencintai adik iparku ini.

"Aku sebenarnya juga ingin Mas Rangga tetap di sini. Tapi aku khawatir dengan Kak Maya, gak seharusnya Mas Rangga membiarkan istri Mas sendiri di rumah. Mas pulang ya?"

"Ini yang membuatku semakin mencintaimu. Kamu sangat perhatian dengan kakakmu, bahkan lebih mementingkan kondisinya padahal kamu sendiri perlu di khawatirkan. Sangat berbeda dengan Maya yang cuek pada sekitar. Bahkan ingin membantumu saja dia berfikir ribuan kali. Padahal kamu adik kandungnya. Bahkan menjagamu pun tidak."

"Jangan bicara begitu, mungkin Kak Maya lelah mengalah. Aku sadar selama ini dia banyak berkorban untukku, bahkan rela memberikan miliknya padaku. Kak Maya orang baik."

"Itu wajar, kamu adiknya. Jadi apa yang dia punya berhak kamu miliki, gak perlu merasa bersalah begini. Kalian wajar berbagi."

"Termasuk memiliki kamu, Mas?" 

Ucapan tiba-tiba itu membuatku tersentak. Aku segera bangkit pada tempatku, menoleh pada istriku yang kini berdiri di ambang pintu. Kedatangannya cukup membuatku syok, tapi dengan cepat aku berusaha menetralkan raut wajah. Bersikap tenang seolah tak terjadi apapun antara aku dan adiknya.

"Kak Maya..." cicit Naya.

"Apa kamu baik-baik saja? Maaf kakak baru menjengukmu malam ini. Kakak sibuk tidur di Rumah jadi lupa menjengukmu Naya."

Aku terdiam menyaksikan kedatangan istriku, bahkan bibir pun terasa keluh. Belum lagi kemungkinan tentang perselingkuhan yang aku lakukan, terlebih dengan adiknya sendiri, itu pasti melukai hatinya.

"Mas..." panggilnya.

"Ya."

"Terimakasih sudah menemani Naya, aku fikir kamu sesibuk itu. Tapi ternyata kamu memiliki waktu luang menjaga adikku, sampai rela gak pulang untuk tidur karena menjaganya."

Deg.

"Aku----"

"Apa Mas masih mencintaiku?" tanyanya tiba-tiba, aku cukup terkejut mendengar Kalimat itu. Belum sempat membuka suara lagi-lagi Maya memotong ucapanku.

"Mas mencintai Naya?"

Deg.

"Kak..." lirih Naya.

Tubuhku membeku, membatu menyaksikan pandangan nanar itu. Mulutku tak bisa mengutarakan semuanya, aku juga tak bisa menolak kebenaran perasaanku. Tapi mengutarakan secara langsung pasti terlalu menyakitkan baginya. Ada rasa yang mengganjal melihat bola matanya.

"Aku mengerti, gak perlu kamu jelaskan. Tolong jaga Naya baik-baik, aku pergi dulu, kalian bisa berdua karena aku mengizinkan sepenuh hati."

"A--aku akan mengantarmu pulang." 

"Tidak perlu, Mas. Aku sudah terbiasa sendiri. Lebih baik kamu menjaga Naya, aku bukan wanita penyakitan yang butuh perhatian darimu seperti Naya---"

"MAYAAA." Aku tak terima mendengar ucapan kasar dari mulutnya. Terlebih untuk Naya, aku dengan jelas menyaksikan perjuangan Naya untuk hidup, dan dengan gampangnya dia mengucapkan kata yang pasti melukai hati Naya. Ucapannya keterlaluan.

"Gak apa-apa, Mas. Kak Maya benar. Aku hanya wanita penyakitan yang gak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Aku sadar kondisiku."

"Tidak, kamu gak boleh bicara seperti itu. Minta maaf ke Naya Maya, cepat lakukan!!" 

Bukannya meminta maaf Maya malah tersenyum tipis, menatapku cukup dalam kemudian menghilang dari balik pintu. Melihat itu aku berusaha tenang, menetralkan deru nafas kemudian beralih pada Naya yang terlihat terluka dengan wajah pucatnya. Aku tak tega melihatnya seperti ini.

"Jangan difikirkan."

"Tapi---"

"Melihat perlakukan Maya padamu membuatku yakin untuk melepasnya. Aku akan mengurus surat perceraianku. Setelah itu aku bisa bersamamu tanpa sembunyi-sembunyi lagi, saat kondisimu membaik kita akan menikah. Kamu mau kan sayang?"

"Tapi, Mas..."

"Aku akan bertanggung jawab untuk semuanya. Bahkan menjelaskan pada orang tua kalian, lagipula cintaku untuk Maya sudah lenyap. Kami juga gak memiliki keturunan, jadi gak ada yang bisa dipertahankan."

"Baiklah, tapi Mas Rangga bicara baik-baik dengan Kak Maya. Jangan terlalu kasar padanya, Mas. Bagaimana pun dia kakakku."

"Iya sayang."

Walaupun ini salah, tapi aku merasa jauh lebih hidup bersama Naya. Perselingkuhan ini malah membuatku bahagia, mungkin karena aku terlalu mencintainya. Membuatku hilang akal dan melanjutkan tindakan salah yang pasti menjadi bahan cemoohan semua orang.

Tapi apa peduliku, aku hanya ingin hidup bahagia dengan kekasihku. Tentang bagaimana pandangan orang aku bisa tutup telinga, ini hidupku. Bagaimana akhirnya hanya aku yang menentukan, dan keputusanku adalah untuk bersama Naya. Bukan lagi bersama Maya sesuai janjiku di masa lalu, hatiku tak lagi untuknya. Sekarang hanya ada Naya.

POV RANGGA END

Instagram: siswantiputri3

Facebook: Siswanti putri

2

Melihat perhatian suamiku pada Naya, aku semakin sadar posisiku sudah digantikan. Tak ada lagi cinta untukku, mungkin lebih baik aku menghilang, membiarkan mereka bersatu dalam ikatan pernikahan. Sekarang aku hanya memiliki dua pilihan. Menceraikan atau menunggu diceraikan. Dan harusnya aku tau apa yang harus ku ambil sekarang ini.

Cklek!

"Mama?"

"Akhirnya kamu pulang, Mama sudah menunggumu sejak tadi. Ada hal penting yang ingin Mama sampaikan, tapi sebelum itu Mama membawakan makanan untukmu, setelahnya baru kita membahas hal lain."

Aku cukup terkejut mendapatkan perhatian itu. Setelah sekian lama, akhirnya kehangatan ini kembali kurasakan. Hanya saja aku merasa ini bukanlah sesuatu  yang membahagiakan. Entah kenapa kedatangan Mama malah membuatku cemas tak berarti, apa tujuannya?

"Mama sendiri?"

"Iya, Papamu sibuk jadi Mama datang ke sini menjengukmu sendirian. Oh iya, suamimu mana? Beberapa bulan ini mama gak pernah lihat dia. Kalian baik-baik saja kan?"

"Mas Rangga sibuk."

"Jadi begitu, tapi itu wajar, dia juga bekerja untuk menafkahimu. Papa juga sama sibuknya, makanya Mama tau kondisimu saat ini. Mama lebih dulu merasakan pahit manisnya sebuah pernikahan. Apalagi ditinggal sendirian di Rumah karena pekerjaan Kantor."

Aku hanya mampu tersenyum tipis. Nyatanya, kesibukan Mas Rangga adalah menjaga kesehatan adikku, Seseorang yang telah menempati hatinya sekarang ini. Bahkan aku ragu dia masih menyimpan cinta padaku, mungkin pernikahan ini bertahan hanya karena rasa kasihan. Selebihnya tak ada alasan lain. Dari dulu aku memang selalu kalah.

"Mama gak makan?"

"Sudah, kamu makan saja. Mama membuatkan sate kambing itu khusus untukmu. Itu makanan kesukaanmu kan, Mama sengaja membuatnya sebelum datang ke sini."

"Ini makanan kesukaan Naya." 

"Oh--eh, Mama juga membawakan sop hangat dengan isian udang, kamu suka ini kan?" 

"Aku alergi udang." ucapku, tersenyum masam melihat ekspresi salah tingkah darinya. Aku memang anaknya, tapi rasa dan perlakukannya seolah kami adalah orang asing yang hanya mengenal beberapa hari.

Seluruh atensinya terpusat pada Naya, hingga lagi-lagi aku tersingkir dari jangkauan keluarga ini. Padahal dulu aku merasa beruntung terlahir dari rahimnya, tapi setelah Naya divonis gagal ginjal akut! Semuanya mengabur. Tak ada lagi kehangatan untukku, mungkin hanya sekedar basa-basi karena status kami yang masih lah Ibu dan anak. Tak ada hal lain.

"Jadi Mama mau bicara apa?"

"Begini, kamu tau kan adikmu sakit parah. Bahkan kondisinya bisa drop kapan saja, selama ini Mama dan Papa sudah memberikan pengobatan terbaik untuknya, tapi titik terendah selalu ada dan membuat Mama khawatir dengan kondisi adikmu Naya."

"Mama mau mengatakan apa? Langsung saja, aku capek dan ingin istirahat. Katakan apa yang Mama inginkan. Aku penuhi kalau bisa."

Ada jeda beberapa saat, aku bisa melihat kegundahan di wajah itu. Tapi sampai sekarang aku tak bisa menerka apa yang akan di ucapkan Mama mengenai kondisi Naya. Hanya saja apapun itu, aku yakin tak baik untukku. Setiap kali pembahasan mengarah pada Naya, pasti akulah salah satu orang yang akan dirugikan pada akhirnya. Rasanya menyesakkan.

Dan semua itu terbukti selama hidupku.

"Kamu mau kan besok ke Rumah sakit mendonorkan---"

"Iya, itu sebabnya aku ingin cepat beristirahat. Supaya besok aku bisa mendonorkan darahku untuk Naya. Mama tenang saja, aku gak ingkar janji untuk ucapanku. Hanya itu kan, Ma?"

"Bukan itu tapi... Naya membutuhkan donor ginjal, kamu tau kan kondisi ginjal adikmu bermasalah. Dan sekarang adikmu sudah sampai pada batasnya, ginjal dia gak bisa dipertahankan lagi, Dokter yang mengatakan itu."

Aku terhenyak, membisu tak tau harus menanggapi apa. Selama ini aku sudah cukup mengalah, dan sekarang ginjal? Apa hidupku tak berarti bagi Mama sampai ginjal pun---

"Nak!"

"Sampai kapan aku berkorban?" lirihku, mencoba mencari kekhawatiran di mata itu. Aku menghela nafas pelan melihat pancaran penuh permohonan darinya, sekarang aku tau kasih sayangnya. Jika aku menghilang tampaknya itu tak berpengaruh apa-apa bagi semua orang. Bahkan dari orang tuaku sendiri. 

"Mama tau ini terdengar jahat, tapi kedua ginjal adikmu bermasalah. Mama juga sulit sebenarnya, tapi kita gak punya pilihan---"

Aku terkekeh pelan. "Sulit apa, Ma? Di sini Mama hanya menyampaikan apa yang menjadi keinginan Mama. Sedangkan aku lagi-lagi berkorban untuk Naya. Anak kesayangan."

"Mama mohon, tolong adikmu. Kamu hanya mengorbankan salah satu ginjalmu buat dia. Kamu gak akan kenapa-napa jika mengorbankan salah satu ginjalmu. Tapi Naya akan pergi jika kita gak memberikan dia ginjal karena kedua ginjalnya sudah rusak."

Nafasku tercekat, memejamkan mata sesaat merasakan kekhawatiran itu. Sampai kapan aku hidup dalam lingkaran ini, bahkan bernafas pun terasa sesak karena terbelenggu masalah yang seharusnya tak menjadi masalahku. Aku benar-benar tertekan.

"Satu ginjal untuk adikmu gak akan membuatmu... kamu pasti selamat, Nak. Gak akan terjadi apa-apa padamu. Setelah itu Mama gak minta apapun lagi, ini permintaan terakhir Mama. Tolong adikmu, dia butuh ginjal itu."

Aku lagi-lagi menghela nafas pelan, detik berikutnya tersenyum masam menanggapi kondisiku saat ini. Aku memang tak merasakan sakit Naya, tapi kenapa penyakitnya membuatku kesulitan bernafas. Tekanan demi tekanan menggerogoti tubuhku tanpa ampun.

"Di sini Naya yang sakit, tapi kenapa akulah yang sekarat, kenapa aku harus berkorban?"

"Mama tau ini keterlaluan, ta--tapi adikmu gak selamat kalau gak mendapatkan donor...."

Apa mungkin aku harus kembali berkorban? Dan apa ini jalannya untukku segera menghilang dari kehidupan mereka. Permintaan ini adalah jalan akhir dalam hidupku, setelah itu aku akan terbebas. Tak ada lagi perselingkuhan dari suami, pilih kasih dari orang tua dan tekanan batin yang terjadi.

"Baiklah."

...***...

POV RANGGA

Pekerjaanku akhirnya selesai, pagi ini aku akan kembali menjenguk Naya di Rumah sakit. Tak dirasa perasaanku pada Naya cukup dalam, aku bisa meluangkan waktu satu minggu untuknya tapi untuk pulang menemui istriku malah tak bisa. Aku malas bertemu dengan Maya.

Aku mengusap wajah pelan, jauh dilubuk hati ada perasaan mengganjal. Tapi setiap bertemu adik istriku perasaan itu tergantikan asmara yang memuncak. Ini kedua kalinya aku merasakan hal tersebut, pertama bersama Maya, dan sekarang bersama adiknya-Naya.

"Maaf Maya, tapi aku rasa perasaanku pada Naya bukanlah perasaan sesaat. Dan maaf juga cintaku untukmu telah memudar, bahkan mungkin menghilang tak tersisa."

"Mas?!"

Tubuhku tersentak, bunga yang ada di genggamanku ku sembunyikan dari balik punggung. Pertemuan dengan istriku di koridor Rumah sakit tak ku prediksi sebelumnya. Aku fikir hanya menghindari orang tua mereka, tapi ternyata kali ini istriku ada di sini juga.

Tapi untuk apa?

Biasanya dia abai mengenai kondisi adiknya. Tapi kali ini datang seolah menjadi kakak yang baik. Benar-benar membuatku muak, dia pandai bersandiwara untuk mengelabuiku.

"Kamu sekhawatir itu dengan adikku ya? Bahkan sampai meluangkan waktu ke sini, membawa bunga juga. Kamu ternyata benar-benar romantis untuk selingkuhanmu."

"Jaga ucapanmu." sentakku.

"Ucapan yang mana?"

Aku berdecak melihat wajahnya, mungkin hanya aku yang muak melihat istriku sendiri. Tak adanya rasa simpati dari Maya membuatku menyesal pernah mencintai orang seperti dia. Hatinya hitam, dan aku benci akan hal itu. Aku benci pernah mencintainya cukup dalam.

"Aku dan adikmu gak ada hubungan apapun, aku di sini hanya menjenguknya. Jadi berhenti mengeluarkan presepsi kalau aku dan Naya memiliki hubungan. Hentikan otak kotormu."

"Aku gak butuh pembenaran Mas, yang ku lihat lebih jujur dari pada ucapan dari mulut yang muda berdusta. Aku bukan orang bodoh."

Deg.

Apa Maya mengetahui kalau aku dan adiknya menjalin hubungan? Tapi itu tidak mungkin.

"Terserah, lagipula untuk apa kamu di sini. Aku cukup sadar kalau kamu gak pernah peduli dengan adikmu sendiri. Mau menjadi kakak yang baik heh? Harusnya kamu melakukannya sejak dulu, bukan setelah kondisinya bertambah buruk hingga seperti sekarang."

"Seburuk apapun kondisi Naya, itu gak akan berpengaruh apapun. Dia tetap selamat sampai akhir, dan mungkin setelah ini kamu akan bebas bersamanya, tanpa takut ada yang mengetahuinya. Aku pergi dulu."

Apa maksud istriku?

POV RANGGA END

Bersambung

Instagram: siswantiputri3

Facebook: Siswantiputri3

3

"Bagaimana, Dok. Anak saya bisa mendonorkan ginjal untuk adiknya kan? Golongan darah mereka sama. Jadi pasti kecocokan ginjal lebih besar jika diambil darinya. Itu bisa membuat kondisi Naya akan jauh lebih baik."

Aku tertegun melihat keantusiasan Mama, baru kali ini aku melihat seorang Ibu terlihat tak sabar mengorbankan anak yang satu demi anak yang lainnya. Aku merasa anak kandung yang di anak tirikan, bahkan sekarang memendam kekecewaan melihat sikap tenangnya yang lebih mengkhawatirkan Naya.

Apa dia benar-benar Ibu kandungku? Tapi jika bukan, kenapa aku dan Naya memiliki banyak kesamaan? Wajah kami pun hampir mirip.

"Anak pertama saya sudah bisa kan mendonorkan ginjal untuk adiknya? Dia sudah di atas 20 tahun. Dan setau saya seseorang bisa mendonorkan ginjalnya jika umurnya di atas 18 tahun, kalau begitu tolong am---"

"Ma." potongku, terdiam beberapa saat kemudian kembali bersuara mengeluarkan kegundahan yang sejak tadi menyiksa. Aku tak bisa mengorbankan diriku lagi untuk Naya.

"Ada apa?"

"Aku punya pilihan kan? Dan ini hakku, jadi aku rasa mendonorkan ginjal untuk Naya gak bisa ku lakukan. Maaf mengecewakan Mama."

"Jangan mengingkari ucapan yang sudah kamu setujui. Sebelumnya kamu mau, tapi kenapa sekarang menolak! Kamu mau melihat adikmu menderita? Kamu senang melihat dia sengsara Maya? Kamu tega melihatnya kesakitan hah?"

"Aku minta maaf untuk sikap plin-planku, tapi sekarang aku sadar. Mendonorkan ginjal untuk Naya bukanlah kewajibanku. Bahkan jika dia adikku sendiri. Aku minta maaf, Ma."

"Cukup." potong Mama.

"Maaf, Bu. Jika anak anda tidak bisa mendonorkan ginjalnya jangan memaksa. Saya di sini juga tidak bisa mengambil ginjal seseorang tanpa adanya persetujuan. Itu melanggar kebijakan Rumah sakit, bahkan bisa terjerat pidana kalau bersikeras melakukan."

"Tapi kami sudah membicarakan ini sebelumnya. Dia juga sudah setuju, tapi entah kenapa berubah fikiran. Mungkin anak saya takut, itu sebabnya menolak mendonorkan ginjalnya. Dokter tenang saja, ini hanya ketakutan sesaat, dia tidak mungkin tega membiarkan adiknya sekarat di Rumah sakit."

Aku terdiam mendengar ucapan itu. Ternyata sebegitu kukuhnya perjuangan Mama untuk adikku, takut salah satu anaknya menderita, hingga tak sadar sudah mengorbankan anak yang lainnya. Aku kecewa padanya.

Jika aku diposisi Naya, apa dia juga melakukan hal yang sama? Apa kegigihan ini dia lakukan untukku juga dan mengorbankan Naya?

"Saya mengerti, tapi sebelum mendonorkan ginjal kita harus memeriksakan kesehatannya. Kemudian menandatangani persetujuan untuk mendonorkan ginjal anak anda. Setelah itu baru saya bisa mengambil tindakan untuk melakukan operasi." jelas Dokter.

"Maaf memotong, tapi saya berubah fikiran. Saya tidak bisa mendonorkan ginjal untuk adik saya. Kalau begitu saya permisi dulu, maaf mengganggu waktu Dokter."

Aku sadar, tak seharusnya menyelamatkan nyawa seseorang sedangkan diriku saja butuh diselamatkan. Keluarga toxic yang hanya memperdulikan salah satu anaknya tak seharusnya aku bantu, walaupun mereka adalah keluarga kandungku sendiri. 

Sekali-kali aku hanya ingin egois demi mempertahankan kewarasanku. Tak ingin mengalah lagi untuk saat ini.

"Apa maksudmu Amayana?" 

Pergerakanku terhenti, menoleh sesaat sebelum kembali keluar dari ruangan itu. Aku tau keputusanku akan semakin meregangkan hubungan kami. Hanya saja akal sehatku menolak melakukan ini, walaupun sebenarnya ada rasa iba dan khawatir pada Naya.

Di samping kebenaran mengenai adik kandungku yang merupakan duri dalam pernikahanku sendiri! Tetap saja dia adalah sosok yang pernah tinggal di rahim yang sama denganku. Perasaan kakak untuk adiknya masih ada. Bahkan aku menyayanginya.

"Berhenti Amayana Ariska." tekan Mama.

Aku menghela nafas pelan.

"Aku minta maaf karena sudah mempermainkan Mama. Tapi aku sadar, aku gak bisa memaksakan diri membantu Naya. Apalagi dia seling... sudahlah, yang jelas aku benar-benar minta maaf. Aku tau ini membuat Mama kecewa, tapi aku benar-benar gak bisa. Maaf untuk semuanya. Aku pulang dulu."

"Kamu tega melihat adikmu menderita? Kamu tega melihat dia kesakitan dan keluar masuk Rumah sakit? Dan apa kamu sanggup melihat dia bersatu di dalam tanah karena keegoisanmu ini? Fikirkan adikmu Maya."

Ucapan itu perlahan melemahkan keputusanku. Tidak! Aku tak boleh mendahulukan perasaan, logika harus diutamakan agar bisa mengambil keputusan yang tepat. Dan aku yakin keputusanku benar.

"Kalau memang itu takdirnya, kita gak bisa melakukan apapun yang menentang sang pencipta. Itu sudah garis takdirnya."

"Omong kosong, gak ada takdir seperti itu. Ucapanmu bukan berdasarkan takdir, tapi kamu sengaja mempercepat kepergian adikmu. Mama kecewa denganmu, kamu gak pantas disebut sebagai seorang kakak, hatimu busuk."

"Apa Mama pantas disebut sebagai Ibu?"

PLAK!

Aku memejamkan mata beberapa saat, memegang pipi kanan yang terasa perih kemudian melanjutkan jeritan hati yang selama ini ingin dikeluarkan.

"Mama memang Ibu terbaik untuk Naya, tapi buatku Mama gak pantas dengan gelar itu."

"Anak durhaka!!" bentaknya.

"Aku minta maaf jika kata-kataku kasar, tapi aku gak bisa mengendalikan diri. Dan sekali lagi, aku gak bisa mendonorkan ginjal untuk Naya. Maaf kalau Mama kecewa padaku."

"Mama benar-benar gak habis fikir denganmu. Mama gak nyangka memiliki anak seegois kamu, padahal Naya adikmu sendiri. Bukan orang lain, kamu mengharapkan dia lenyap? Kamu memang orang yang buruk."

"Kalau itu memang takdirnya aku bisa apa, kalaupun Naya lenyap itu berarti akhir hidupnya memang sampai di situ. Aku gak minta Naya menghilang, tapi kalau dia benar-benar menghilang itu bukan salahku, Ma."

"ITU SALAHMU AMAYANA."

Aku tersentak. 

"Bagaimana bisa itu bukan salahmu sedangkan kamu sendiri yang gak mau mendonorkan ginjal untuk adikmu. Kamu bisa menyelamatkannya tapi kamu memilih membiarkannya. Di mana rasa simpatimu, jika adikmu saja kamu gak mau bantu lalu apa yang terjadi jika itu orang lain. Kamu gak punya perasaan, bahkan lebih keji untuk disebut sebagai seorang kakak. Mama menyesal melahirkan anak egois sepertimu---"

"Kalau begitu Mama saja yang mendonorkan ginjal untuk Naya agar dia tetap hidup."

"Kamu..."

Aku tau ucapanku sangat kasar, raut terkejut itu terlihat jelas dari sosok yang melahirkanku. Mungkin tak menyangka, anak yang biasanya patuh kini menyerukan penolakan begitu lantang. Aku tak bisa menahan lagi.

"Jujur, Ma. Akan lebih baik kalau Naya gak selamat. Saking kecewanya dengan kecenderungan Mama yang selalu ada untuk Naya membuatku berfikir lebih baik kalian gak ada. Mungkin hidupku lebih baik jika kalian berdua menghilang dari hidupku. Aku merasa kehadiran Naya adalah beban buatku, lebih baik dia menyatu dengan tanah saja agar aku gak repot mengalah lagi padanya, aku---"

PLAKKK!

"Pa--pa."

"Sejak kapan hatimu dipenuhi iblis? Papa gak nyangka kamu mengharapkan kepergian adikmu sendiri seperti ini, dimana hati nuranimu sebenarnya Maya." tekannya.

Bersambung.

Instagram: siswantiputri3

Facebook: Siswanti putri

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!