Seorang gadis muda cantik mungil berjilbab sedang asyik membaca sebuah buku di perpustakaan kampus. Tiba-tiba seorang pria duduk di hadapannya dan memperkenalkan dirinya tanpa basa-basi.
“Hai, perkenalkan nama saya Anthony Ahmad Hanafi.” Seorang laki-laki berambut pirang setinggi lebih dari 180 cm menyapanya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Gadis muda itu terkejut melihat sosok laki-laki yang menyapanya. Berwajah bule tapi ada nama lokal yang menyertai nama kebarat-baratannya. Nama Ahmad Hanafi, mirip dengan nama keluarganya.
“Apakah saya mengenal Anda?” tanya gadis muda itu.
“Saya mengetahui nama Anda. Aisyah, kan?”
“Bagaimana Anda mengetahui nama saya?” tanya Aisyah terkejut.
“Saya sedang menelusuri jejak kakek buyut saya. Dari pencarian itulah saya menemukan keluarga kakek buyut saya yang berada di Indonesia. Dari penyelidikan yang saya lakukan dalam waktu hampir dua tahun, akhirnya saya menemukan keluraga Anda,” ungkap Anthony.
“Apakah Anda berkesimpulan jika saya ada hubungannya dengan kakek buyut Anda?”
“Ya. Setelah hampir dua tahun mencari, akhirnya saya menemukan bahwa Anda mungkin salah satu dari keturunan kakek buyut saya. Bisa dikatakan jika kita berdua berasal dari keturunan yang sama.”
Aisyah ternganga mendengar penjelasan dari laki-laki di hadapannya. Ia tidak pernah menyangka kalau ada hubungan kekerabatan antara dirinya dan laki-laki itu.
“Bagaimana Anda yakin jika kita memiliki hubungan kekerabatan?” tanya Aisyah masih belum yakin dengan perkataan Anthony kendati laki-laki itu sudah memberikan sedikit penjelasan.
Tentu saja Aisyah belum yakin kalau laki-laki itu kerabat jauhnya. Toh, laki-laki yang mengaku bernama Anthony itu tidak terlalu detail dalam menjelaskan. Dia hanya memberitahukan nama lengkapnya. Bisa saja dia berbohong.
“Sudah saya katakan nama lengkap saya Anthony Ahmad Hanafi. Apa Anda tidak yakin dengan nama Ahmad Hanafi yang ada dalam nama saya?” tanya Anthony sedikit frustasi.
“Anda hanya menyebutkan nama saja tanpa bukti. Bagaimana saya bisa percaya?”
Anthony mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecil yang tersampir di depan dadanya.
“Ini paspor saya. Silahkan Anda lihat apakah saya berbohong atau tidak.”
Aisyah mengambil paspor dari tangan Anthony dan meneliti isinya. Ia melihat nama Anthony Ahmad Hanafi terpampang jelas di dalam paspornya.
“Nama Anda memang Anthony Ahmad Hanafi, tetapi bagaimana saya yakin kalau Anda adalah keturunan dari kakek buyut saya?”
“Sudah saya katakan kalau kakek buyut Anda adalah kakek buyut saya juga.”
“Tapi Anda tidak seperti saya. Maksud saya Anda bukan orang Indonesia. Paspor Anda adalah paspor Belanda.”
“Kakek buyut Anda menikah dengan nenek buyut saya.”
“Oh…”
Akhirnya Aisyah menyadari bahwa mereka memiliki kakek buyut yang sama tetapi tidak memiliki nenek buyut yang sama. Ia meyakini kalau kakek buyutnya menikahi dua orang perempuan berbeda bangsa. Nenek buyut Anthony sudah pasti berkebangsaan Belanda dan nenek buyutnya adalah pribumi sejati karena ia tidak melihat ada kerabatnya yang berwajah bule.
“Sepertinya kita memiliki kakek buyut yang sama tetapi tidak dengan nenek buyut kita. Saya menduga kalau kakek buyut kita menikahi dua perempuan, yang satu nenek buyut Anda dan yang satunya lagi nenek buyut saya.”
“Itu yang saya coba jelaskan pada Anda sejak tadi.”
“Hm… Apa yang Anda inginkan dari saya?”
“Saya ingin menelusuri akar dari mana saya berasal,” ungkap Anthony.
“Untuk apa?”
“Tiga tahun lalu, tanpa sengaja saya membaca surat-surat nenek buyut saya yang ditujukan pada seseorang di Indonesia. Awalnya saya tidak memahami apa yang ditulis nenek buyut saya dalam suratnya. Setelah saya mencoba untuk mempelajarinya, saya menemukan bahwa nenek buyut saya menulis surat yang ditujukan pada orang terkasihnya. Saya memang sudah mengetahui bahwa ada darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh saya sebelumnya dan kami semua tahu kalau kami berasal dari buyut yang berasal dari Indonesia.”
“Lalu?”
“Setelah membaca surat-surat nenek buyut, saya sangat penasaran dengan apa yang nenek buyut saya tulis dalam suratnya. Walaupun ada darah Indonesia yang mengalir di keluarga kami, tetapi tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia selain kakek saya. Saya mencoba belajar bahasa Indonesia selama satu tahun dan akhirnya saya paham dengan isi surat nenek buyut. Surat-surat itu berisi curahan cinta nenek buyut pada kakek buyut. Walaupun kebanyakan surat nenek buyut tidak pernah tersampaikan pada kakek buyut, tapi saya yakin kalau mereka saling mencintai. Saya pun menemukan surat kakek buyut yang ditujukan pada nenek buyut. Saya menduga mereka tidak pernah mengirimkan surat-surat mereka karena saya tidak melihat jejak pengiriman di dalamnya.”
“Apakah surat-surat itu masih ada pada Anda?”
“Tentu saja,” jawab Anthony.
“Anda membawanya?”
Anthony mengangguk.
“Boleh saya membaca surat-surat itu?” tanya Aisyah.
Setelah mendengar cerita Anthony mengenai surat-surat cinta kakek dan nenek buyut Anthony, Aisyah sangat penasaran dengan kisah cinta yang dialami oleh kakek buyutnya dengan seorang perempuan berkebangsaan Belanda. Ia yakin kisah cinta kakek buyutnya dan nenek buyut Anthony berlangsung saat Indonesia masih dalam kondisi dijajah oleh Belanda.
“Anda yakin ingin membacanya?” tanya Anthony
“Tentu saja!”
“Kenapa?”
“Saya tertarik dengan kisah cinta antara kakek buyut saya dengan nenek buyut Anda. Saya yakin kisah cinta mereka terjalin saat negara Anda masih menjajah bangsa saya.”
“Saya meminta maaf atas hal itu,” ucap Anthony dengan nada penyesalan.
“Bukan salah Anda. Kenapa Anda harus meminta maaf?”
“Karena negara saya menjajah negara Anda, seluruh bangsa Indonesia mengalami penderitaan yang panjang. Oleh karena itu saya meminta maaf.”
“Saat itu Anda belum lahir dan saya pun belum lahir. Biarlah itu menjadi sejarah.”
Anthony tersenyum mendengar ucapan Aisyah yang walaupun sedikit ketus tetapi tidak menyalahkan.
“Mana surat-surat itu?” tagih Aisyah. Ia sudah tidak sabar ingin membacanya.
**********
to be continued...
Tahun 1915
Seorang gadis cantik berusia 19 tahun mengarungi samudra melintasi lautan demi menjejakkan kakinya di tanah yang kata orang-orang di negaranya indah. Rosanne Wilemina Van Dijk, sebentar lagi akan tiba di tanah jajahan negaranya.
Dua hari lagi perjalanan yang melelahkan akhirnya akan berakhir. Rosanne sudah tidak sabar menjejakkan kaki di tanah pendudukan yang diberi nama Hindia Belanda. Ia semakin bergairah saat membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan menginjak daratan setelah hampir dua bulan mengarungi lautan. Tidak mudah bagi gadis muda sepertinya mengarungi lautan selama itu. Seringkali badai menyerang membuatnya hampir putus asa untuk bisa sampai ke tempat tujuannya.
Entah berapa puluh kali juga, Rosanne terserang demam akibat cuaca laut yang tidak menentu. Semuanya ia lakoni demi melihat tempat indah yang sering digambarkan kakak laki-lakinya lewat surat. Pernah juga kakak laki-lakinya mengirimkan foto-foto pemandangan tanah jajahan mereka. Ia jatuh cinta dengan apa yang ia lihat lewat foto-foto tersebut.
Saking jatuh cintanya dengan tempat bernama Hindia Belanda, ia mempelajari bahasa yang digunakan di tanah jajahan tersebut pada orang-orang di negaranya yang pernah tinggal lama di Hindia Belanda, termasuk belajar pada pamannya. Salah satu pamannya pernah menjadi gubernur di Hindia Belanda dan sekarang kakak laki-lakinya mengikuti jejak paman mereka.
**********
“Hanafi, malam ini kita akan melakukan pertemuan untuk membahas pembentukan organisasi perjuangan kemerdekaan. Bung Malik besok tiba dari negara Belanda dan akan langsung bergabung dengan kita. Apakah kamu bisa menjemput beliau?” Ramli meminta Hanafi untuk menjemput tokoh perjuangan yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Belanda.
“Baik. Saya akan menjemput beliau. Pukul berapa kapal beliau sampai di pelabuhan?”
“Menurut kabar dari pihak pelabuhan, kapal akan sampai pukul dua siang,” jawab Ramli.
Tepat pukul dua siang, Hanafi sudah sampai di pelabuhan untuk menjemput Malik. Baru saja ia hendak mendudukkan bokong di kursi pelabuhan, seorang pemuda tanggung menabraknya. Keduanya terjatuh.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Hanafi. Pemuda tersebut langsung bangun dan kembali berlari.
“Hei! Hentikan pemuda itu!” seru Rosanne dengan bahasa Indonesia yang lancar.
“Ada apa, Nona?” tanya Hanafi saat Rosanne sudah mendekat.
“Dia mencuri tas saya.”
“Ah, dia hanya mencuri tas kecil Anda tetapi negara Anda mencuri kebebasan dan tanah kami,” ucap Hanafi sinis.
“Oh…” Rosanne tercengang mendengar jawaban Hanafi. Ia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban menohok dari pemuda yang baru pertama kali ditemuinya. Sosok pria dengan tubuh tegap tetapi tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki di negaranya.
“Ini tas Anda.” Hanafi menyerahkan tas kecil milik Rosanne yang tadi sempat ia ambil kembali dari tangan si pencuri.
“Terima kasih, Tuan… hm, siapa nama Anda?” tanya Rosanne. Ia tertarik dengan pria sinis yang ada di hadapannya dan ingin mengenalnya lebih jauh lagi.
“Tidak penting bagi Anda mengetahui nama saya,” jawab Hanafi dingin.
“Nama saya Rosanne Wilemina Van Dijk. Anda boleh memanggil saya Anne.”
Hanafi tidak menanggapi perkenalan Rosanne dan langsung beranjak meninggalkannya untuk mencari Malik. Sepertinya Malik menumpangi kapal yang sama dengan nona Belanda yang mengganggunya itu.
“Eh, Tuan… tunggu! Bisakah Anda menyebutkan nama? Saya hanya ingin berterima kasih,” teriak Rosanne sambil berusaha untuk mengejar Hanafi.
Hanafi berjalan cepat untuk menghindari nona Belanda itu. Ia tidak suka dengan orang-orang yang berasal dari negara yang sama dengan negara yang sudah menjajah tanah airnya, tidak terkecuali dengan nona muda cantik yang sedang berusaha mengejarnya dengan gaun panjang khas bangsawan Eropa.
Dari kejauhan, Hanafi melihat sosok laki-laki berperawakan pendek, langsing dan berkacamata. Dialah Malik, seorang tokoh yang akan segera bergabung dengan gerakan kemerdekaan yang diinisiasi oleh para pemuda.
********
to be continued...
Satu minggu kemudian, Hanafi ditugaskan untuk menemui seorang gubernur Hindia Belanda di kediamannya. Seharusnya Hanafi ditemani Ramli tetapi Ramli ditugaskan ke tempat lain. Tanpa gentar, Hanafi datang sendiri mendatangi kandang singa. Ia sama sekali tidak takut walau menghadapi para penjajah itu sendirian. Nyawanya sudah ia persembahkan demi kemerdekaan tanah airnya.
“Hai, kita bertemu lagi,” sapa seorang gadis cantik saat Hanafi memasuki gerbang kediaman Gubernur Hindia Belanda bernama Edward Van Dijk.
Hanafi berusaha tidak menanggapi sapaan Rosanne.
“Untuk keperluan apa Anda datang kemari? Apakah untuk menemuiku?”
“Saya tidak ada urusan dengan Anda. Saya hendak bertemu Tuan Edward Van Dijk.”
“Dia adalah kakak laki-laki saya. Mari saya antar Anda menemuinya. Dia baru saja tiba.”
“Terima kasih,” ucap Hanafi berusaha sopan. Ia mengikuti langkah Rosanne memasuki bangunan yang sebenarnya tidak ingin ia datangi.
Dua jam Hanafi berada dalam ruangan pribadi Edward Van Dijk. Sepertinya tidak ada titik temu dalam diskusi mereka. Ia pulang dengan menahan emosi. Seperti yang sudah ia duga, pembicaraan dengan gubernur itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Sebelumnya dia sudah mendebat Ramli untuk tidak membicarakan keinginan mereka untuk membentuk sebuah organisasi pada sang gubernur tetapi usulnya tidak diterima oleh Ramli sehingga dengan terpaksa ia berhadapan dengan orang yang tidak ingin ia temui dalam hidupnya selama lebih dari dua jam.
“Apakah Anda sudah selesai menemui kakak laki-laki saya?” tanya Rosanne sesaat setelah Hanafi keluar dari ruangan kerja Edward.
Hanafi sedikit mengangguk dan langsung meninggalkan Rosanne yang masih berdiri mematung.
“Tunggu, Tuan! Saya belum mengetahui nama Anda.” Rosanne menangkap lengan Hanafi menahan supaya tidak pergi.
“Bisakah Anda melepaskan lengan saya? Tidak pantas seorang gadis bersikap seperti yang Anda lakukan sekarang.” Hanafi menatap tajam tepat pada manik Rosanne.
“Maafkan saya. Saya hanya ingin mengetahui nama Tuan.”
“Mengetahui nama saya bukanlah masalah yang penting. Tidak ada gunanya mengetahui nama saya.”
“Penting bagi saya!” ucap Rosanne tegas.
“Selamat tinggal. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi.” Hanafi menghentakkan lengannya.
Rosanne terkejut dengan gerakan tiba-tiba dari Hanafi. Ia tidak akan menyangka jika niat baiknya untuk berteman ditolak mentah-mentah oleh laki-laki yang telah menarik perhatiannya sejak kali pertama bertemu.
**************
Dua hari kemudian, Rosanne berdiri di depan sebuah rumah tua yang terletak di pinggiran kota. Setelah bertanya kesana kemari, ia akhirnya menemukan tempat tinggal Hanafi. Entah kenapa sejak pertama kali melihat Hanafi, jantungnya berdegup tidak normal. Dia tertarik dan ingin mengenal lebih jauh sosok pemuda yang selalu bersikap dingin kepadanya. Setelah kepergian Hanafi dari rumahnya dua hari yang lalu, ia langsung bertanya pada kakak laki-lakinya perihal nama pemuda yang tadi menemui kakaknya.
“Ada keperluan apa Nona cantik seperti Anda berkunjung ke rumah orang rendahan seperti saya?” tanya Hanafi sinis.
“Terima kasih karena Anda berpikiran kalau saya cantik.”
“Untuk apa Anda datang ke rumah saya?” tanya Hanafi tanpa merubah nada suara sinisnya.
“Saya ingin mengenal Anda lebih jauh. Hm, saya suka tempat tinggal Anda.” Rosanne mengambil kipas lipat berenda yang cukup besar lalu mengipasi wajahnya dengan kipas tersebut. Sebuah sikap khas dari para gadis bangsawan Eropa.
“Oh, jadi kalau Anda menyukai sesuatu, Anda akan mengatakan suka dan setelahnya mengambilnya sesuka hati seperti negara kalian yang mengambil tanah kami?”
“Tidak. Bukan begitu maksud saya. Saya suka alam pemandangan di sekitar rumah Anda. Saya tidak bermaksud mengambil rumah Anda.”
Rosanne melihat kelompok anak-anak berusia sekitar 8 hingga 10 tahun berkumpul di teras rumah Hanafi.
“Apa yang Anda lakukan bersama anak-anak itu?” tanya Rosanne penasaran.
“Saya mengajar mereka mengaji,” jawab Hanafi. Nada suaranya sudah tidak sekeras sebelumnya.
“Apa itu mengaji?”
“Membaca Al-Quran. Kitab suci agama Islam.”
“Oh, boleh saya ikut bergabung?”
Entah kenapa Hanafi tidak lagi marah pada Rosanne. Ia mengangguk mendengar permintaan Rosanne.
Rosanne memerhatikan Hanafi yang mengajarkan Al-Quran dari awal hingga akhir. Ia terpana mendengar suara Hanafi yang merdu saat membaca ayat suci Al-Quran.
“Suara kamu merdu,” puji Roasanne setelah Hanafi selesai mengajar anak-anak mengaji.
“Hm, saya tidak membutuhkan pujian dari Anda.”
“Memuji atau tidak memuji adalah hak saya. Seharusnya Anda tidak berhak untuk melarang saya memuji kemerduan suara Anda.”
Hanafi tidak berniat untuk membalas perdebatan yang ditawarkan Rosanne. Untuk menghindari perempuan cantik yang terus mengganggunya sejak mereka bertemu, Hanafi bergegas menuju belakang rumah untuk mengecek hewan-hewan ternaknya.
“Anda hendak pergi ke mana? Saya adalah tamu Anda dan tidak sepatutnya Anda membiarkan tamu Anda sendirian.”
“Saya tidak mengundang Anda. Jadi, saya tidak memiliki kewajiban untuk menjamu ataupun menemani Anda.”
“Oh, seharusnya Anda tidak berbicara seperti itu kepada saya?”
“Selain mengambil kebebasan kami, Anda pun menuntut kami untuk menyenangkan Anda? Hah?” hardik Hanafi.
“Bukan begitu maksud saya. Saya…”
“Silahkan Anda pulang. Tidak ada lagi hal penting yang ingin Anda sampaikan kepada saya, kan?”
Hanafi berjalan cepat menuju kendang hewan-hewan ternaknya diikuti oleh Rosanne.
“Untuk apa Anda mengikuti saya?” Hanafi bertanya dengan nada tinggi berharap nyali Rosanne ciut.
“Saya ingin melihat apa yang Anda kerjakan.”
Hanafi mengambil tumpukan rumput untuk dibagikan kepada hewan-hewan ternaknya. Setelah selesai membagikan rumput dan Jerami, ia masuk ke kandang untuk membersihkan kotorannya.
“Anda tidak ikut saya ke dalam sini, huh?” tanya Hanafi sinis saat melihat Rosanne kesulitan dengan gaun panjangnya. Ia terlihat khawatir gaun mahalnya terkena kotoran hewan ternak.
“Saya melihat dari sini saja.” Rosanne menemukan sebuah kursi dan duduk di atasnya sambil melihat Hanafi bekerja.
Hanafi meneruskan pekerjaannya. Keringat mengucur deras membasahi baju yang dipakainya. Ia hendak membuka kaus yang sudah basah oleh keringat seperti yang biasa ia lakukan jika sedang bekerja di kandang ternak.
“Ah…”
Saat ia setengah jalan melepaskan kausnya, terdengar suara Rosanne terkesiap.
Hanafi melirik ke arah Rosanne yang terkejut karena mengira dirinya akan melepaskan pakaian.
“Huh, menyusahkan saja.” Setelah merapihkan kembali kausnya, Hanafi kembali bekerja.
Hanafi selesai membersihkan semua kotoran hewan ternak di kendang. Ia mendorong satu wadah besar berisi kotoran ke sudut kendang. Setelah semua kotoran hewan ternak terkumpul, besok ia akan meneruskan pekerjaannya membuat pupuk kandang dari kotoran hewan.
Hanafi berasal dari keluarga berada walaupun bukan dari kalangan bangsawan. Ayahnya adalah seorang petani besar dan ibunya masih keturunan dari bangsawan. Ia sudah tidak tinggal dengan kedua orangtuanya. Hanafi tinggal sendiri dan menghidupi dirinya dengan menggarap tanah ladang pemberian orangtuanya dan mengelola peternakan dengan beberapa ekor sapi dan kambing.
Sebenarnya ia memiliki beberapa orang pekerja. Hanya saya hari ini semua pekerjanya kompak meminta izin tidak bekerja karena urusan keluarga, seperti istri yang melahirkan, yang sakit, dan juga yang karena orangtuanya sakit.
Walaupun lahir dari keluarga berada dan ada darah bangsawan dari ibunya, Hanafi tidak seperti anak bangsawan lain yang enggan pergi meladang. Dibantu oleh para pekerjanya, Hanafi menggarap sendiri lahan pertanian miliknya yang cukup luas. Ia beruntung karena masih keterunan bangsawan sehingga keluarganya masih memiliki hak untuk memiliki tanah sendiri walaupun proses untuk mendapatkan hal tersebut sangat sulit.
“Sudah selesai pekerjaannya?” tanya Rosanne sambil mengasongkan saputangan berenda miliknya.
“Apa ini?”
“Untuk membersihkan keringat Anda.”
“Tidak perlu.”
Tidak menerima penolakan, Rosanne mengelap keringat Hanafi yang membasahi wajah dengan saputangannya.
“Apa yang Anda lakukan?” Hanafi terkejut dengan tindakan Rosanne yang berani.
“Membersihkan keringat Anda dengan saputangan saya.”
“Sepertinya Anda tidak memahami apa yang telah saya katakan.” Hanafi merebut saputangan dari tangan Rosanne dan mengelap keringatnya sendiri.
Rosanne tersenyum melihat Hanafi yang mengelap keringat dengan saputangan pemberiannya.
**********
to be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!