Aren berjalan dengan tenang menyusuri jalan yang lengang di senja hari. Ia baru saja pulang dari sekolah, seragam SMPnya sudah kusut, dan tasnya penuh dengan buku pelajaran yang tebal. Namun, saat melewati tikungan, ia melihat sekelompok murid SMA sedang berkumpul. Mereka tampak kasar dan bermaksud tidak baik. Aren mencoba untuk menghindar, tapi sudah terlambat.
Tapi Aren melihat seorang perempuan yang dia kenal disana. Tiba-tiba kedua kelopak mata Aren menatap sinis.
"Hei, kamu! Mau kemana?" teriak salah satu dari mereka, seorang anak yang lebih tinggi dan besar dari Aren.
Aren menghentikan langkahnya dan menatap mereka dengan tenang. "Aku cuma mau pulang," jawabnya singkat.
"Anak SMP sepertimu seharusnya tahu diri, jangan sok jago di depan wanita!" Anak SMA itu menunjuk seorang gadis yang berdiri di belakang mereka, tampak cemas dan tak berdaya.
Tanpa diduga, salah satu anak SMA itu melayangkan pukulan ke arah Aren. Namun, dengan refleks yang cepat, Aren menghindar.
Aren mendecih meremehkan serangan mereka yang gagal.
Pukulan itu hanya mengenai udara kosong. Anak SMA itu semakin marah dan melancarkan serangan bertubi-tubi, tapi Aren terus mengelak dengan gesit.
"Apa hanya ini yang bisa kalian lakukan?" tantang Aren sambil tersenyum tipis. Dia tahu bahwa melawan mereka secara langsung bukanlah ide yang baik, jadi dia memilih untuk bermain defensif, mengandalkan kecepatan dan ketangkasannya.
Murid-murid SMA itu semakin frustasi. Mereka tidak menyangka bahwa seorang anak SMP bisa menghindari serangan mereka dengan mudah. Salah satu dari mereka mencoba menjatuhkan Aren dengan menendang kaki, tapi Aren melompat ke belakang dan langsung mengambil posisi bertahan lagi.
"Kenapa kalian tidak menyerah saja? Kalian tidak akan bisa mengalahkanku," kata Aren dengan suara tenang. Dia tidak berniat menyombongkan diri, tapi dia tahu bahwa dia harus menunjukkan keberanian untuk melindungi dirinya sendiri dan gadis itu.
Gadis yang dari tadi diam saja akhirnya bersuara, "Tolong hentikan!"
Namun, para murid SMA itu tidak mendengarkan. Mereka semakin marah dan melancarkan serangan yang lebih brutal.
Salah satu dari mereka mencoba meninju wajah Aren, tapi Aren menunduk dan dengan cepat menghindar ke samping. Serangan itu justru mengenai salah satu teman mereka sendiri, membuat keadaan semakin kacau.
Aren melihat celah dan segera memanfaatkan kesempatan itu. Dia berlari mendekati gadis tersebut dan menariknya menjauh dari kerumunan. "Ayo, kita pergi dari sini!" kata Aren sambil terus berlari, menggenggam tangan gadis itu erat-erat.
Murid-murid SMA itu mencoba mengejar, tapi mereka terlalu lambat. Aren dan gadis itu berhasil melarikan diri dan masuk ke dalam gang sempit yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Setelah merasa cukup jauh dari bahaya, mereka berhenti untuk mengatur napas.
"Maaf Aren, aku selalu merepotkanmu, meskipun begitu kamu selalu menyelamatkanku," kata gadis itu dengan suara yang masih gemetar.
"Tidak apa-apa maria," jawabnya sambil tersenyum.
Mereka berdua duduk di pinggir jalan, menunggu sampai benar-benar aman untuk pulang. Aren merasakan adrenalin yang masih mengalir di tubuhnya, tapi dia lega karena berhasil menyelamatkan Maria tanpa terjadi hal yang lebih buruk. Dia tahu bahwa ini bukan akhir dari masalahnya dengan murid-murid SMA itu, tapi setidaknya untuk saat ini, mereka berdua aman.
Kemudian, Maria dan Aren duduk sejenak di pinggir jalan yang sepi, mengatur napas setelah insiden menegangkan barusan. Maria memandang Aren dengan rasa syukur yang mendalam.
"Aren, terima kasih banyak. Kamu selalu datang tepat waktu untuk menyelamatkanku. Aku merasa beruntung mengenalmu," kata Maria dengan suara yang lembut, matanya berbinar.
Aren hanya tersenyum malu-malu. "Tidak apa-apa, Maria. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar."
Maria tersenyum kembali, merasa terkesan dengan kerendahan hati Aren. "Kamu masih SMP, tapi sikapmu sangat dewasa. Kamu sangat sopan dan berani."
Aren mengangguk pelan. "Aku hanya tidak suka melihat orang yang lemah ditindas, apalagi jika itu adalah seorang teman."
Maria merasa terharu mendengar kata-kata itu. "Aren, setelah lulus SMP, apakah kau ingin masuk ke SMA Bekasi?" tanyanya dengan penuh harap.
Aren berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku belum memikirkan hal itu, tapi jika aku masuk ke SMA Bekasi, mungkin Maria bakalan jadi kakak kelasku dong?" ujarnya sambil tersenyum.
Maria tertawa kecil. "Aku akan sangat senang jika itu terjadi."
"Maria, aku sangat menantikan kehidupan di SMA nanti." Ucap Aren menampilkan wajah ceria.
Setelah itu, mereka berdua memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka berjalan berdampingan sampai tiba di persimpangan jalan, di mana mereka harus berpisah.
"Jaga dirimu baik-baik, Maria," kata Aren sebelum berpisah.
"Kamu juga, Aren. Sampai jumpa lagi," jawab Maria dengan senyum manis di wajahnya.
...Aku pikir warna SMA itu menyenangkan.....
...Ternyata sangat membosankan....
Hari itu langit di atas SMA Bekasi begitu cerah, awan putih menggantung di langit biru. Aren berbaring di atas atap sekolah, tempat favoritnya untuk merenung. Sinar matahari menerpa wajahnya yang kini terlihat lebih dewasa. Waktu telah berlalu sejak pertemuan pertama kali dengan Maria, dan kini dia telah menjadi siswa SMA Bekasi.
Namun, hidup di SMA tidak seperti yang dia bayangkan. Setiap hari hanya dipenuhi dengan keributan, perselisihan antar geng, dan drama yang seolah tak ada habisnya. Semua itu membuatnya merasa bosan dan lelah.
"Apa sebenarnya tujuan dari semua ini?" pikir Aren dalam hati, memandang langit yang luas. Dia merindukan masa-masa SMP yang lebih sederhana, meskipun penuh tantangan. Dulu, setiap harinya diisi dengan pelajaran dan petualangan bersama teman-temannya.
Tiba-tiba suara pintu atap yang berderit mengalihkan perhatiannya. Maria muncul dari balik pintu, membawa dua kaleng minuman dingin. "Hei, kamu masih di sini?" sapa Maria sambil tersenyum.
Aren tersenyum melihatnya. "Hei, Maria. Sepertinya kamu selalu tahu di mana harus mencariku."
Maria duduk di sampingnya dan memberikan satu kaleng minuman. "Kamu selalu suka bersembunyi di sini, sih. Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Aren membuka kaleng minumannya dan menghela napas. "Hidup di SMA ini tidak seperti yang aku bayangkan. Rasanya begitu membosankan dengan semua keributan dan masalah setiap hari."
Maria mengangguk, seolah memahami perasaan Aren. "Memang, SMA bisa jadi sangat melelahkan. Tapi, bukankah kamu pernah bilang kepadaku dulu saat kamu ingin menantikan kehidupan di SMA?"
Aren tersenyum samar. "Ya, aku memang pernah bilang begitu. Tapi kadang rasanya sulit untuk tetap semangat di tengah semua ini."
Maria menatapnya dengan lembut. "Aren, kamu selalu punya semangat yang luar biasa. Jangan biarkan keributan ini membuatmu menyerah. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuat perubahan, sekecil apapun itu."
Aren merenung sejenak. Kata-kata Maria mengingatkannya pada semangatnya dulu, saat dia selalu berusaha melindungi dan membantu orang lain. "Kamu benar, Maria. Mungkin aku perlu mencari cara untuk membuat perbedaan, meskipun hanya sedikit."
Maria tersenyum lebar. "Itu dia semangat yang aku kenal. Ayo, kita mulai dengan hal-hal kecil. Siapa tahu, kita bisa membawa perubahan yang lebih besar."
Aren merasa semangatnya kembali bangkit. Bersama Maria, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Meski SMA Bekasi penuh dengan tantangan, dia siap menghadapi semuanya dengan tekad baru. Bersama mereka bisa membuat perubahan, satu langkah kecil demi satu langkah kecil. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, mereka bisa membuat sekolah ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.
Di atas atap sekolah, Aren menikmati kesunyian yang jarang ia temui di tengah hiruk pikuk kegiatan sekolah. Dari sana, dia bisa melihat pemandangan indah kota yang terbentang luas di kejauhan. Sambil duduk di pinggir atap, dia merenungkan banyak hal.
Namun, kesendirian itu terganggu ketika langkah ringan seorang gadis mendekatinya. Gadis itu adalah Maria, kakak kelas yang terkenal cantik dan ramah di sekolah itu. "Hai, Aren!" sapanya sambil tersenyum manis.
Aren terkejut melihat Maria di sana. Dia tidak terbiasa diajak berinteraksi, apalagi oleh seorang kakak kelas sepopuler Maria. "Hai, Maria. Ada apa?" tanya Aren, mencoba menyembunyikan kebingungannya.
Maria duduk di sampingnya, memandang jauh ke horizon yang sama dengan Aren. "Aku lihat kamu selalu sendirian di sini. Aku pikir, mungkin kamu butuh teman untuk makan siang. Yuk, apakah kau ingin makan siang bersamaku dikantin?"
Aren ragu. Dia tidak terlalu suka keramaian dan kebisingan yang biasanya terjadi di kantin. "Maaf, Maria. Aku lebih suka sendirian di sini. Terima kasih sudah mengajak, tapi aku ingin tetap di sini saja," jawab Aren dengan sopan.
Maria mengangguk mengerti, meskipun dia tampak sedikit kecewa. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Tapi jika suatu saat kamu merasa bosan atau butuh teman, aku akan di sana untukmu," ucap Maria sambil tersenyum ramah.
"Terima kasih, Maria."
Aren tersenyum balasan. Meskipun dia menolak tawaran Maria.
Saat Aren ingin menikmati kesunyian, matanya mendadak berpaling kearah pintu. Tatapan Aren begitu sinis.
Tiba-tiba langkah tergesa-gesa terdengar dari tangga menuju atap. Dewi, teman Maria, muncul dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya terlihat cemas dan sedikit panik.
"Maria! Kamu harus segera ke kantin!" seru Dewi dengan nada mendesak.
Maria berdiri dengan cepat, raut wajahnya berubah menjadi serius. "Ada apa, Dewi?"
Dewi menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Anjani, sahabatmu, sedang dibully oleh Yuni dan teman temannya. Kejadiannya baru saja dimulai. Kamu harus segera ke sana!"
Maria langsung bergerak tanpa ragu, tapi kemudian berhenti sejenak, menatap Aren. "Aren, aku harus pergi. Ini penting sekali."
Aren berpikir sambil menatap datar. "Penting? pasti merepotkan."
Aren mengangguk, merasakan panggilan dalam dirinya untuk membantu. "Aku ikut," katanya tanpa ragu.
Mendengar jawaban Aren, Maria menjadi sedikit tenang untuk menghadapi Yuni.
Ketiganya berlari menuruni tangga menuju kantin. Di sana, keributan sudah mulai menarik perhatian siswa lain. Di tengah kerumunan, terlihat Anjani dipojokkan oleh sekelompok siswa. Yuni, seorang gadis yang dikenal suka mencari masalah, tampak memimpin intimidasi tersebut.
"Hei, hentikan!" teriak Maria dengan suara tegas saat mereka mendekati kerumunan.
Yuni dan teman-temannya berhenti sejenak, menatap Maria dengan tatapan menantang. "Oh, lihat siapa yang datang. Sang pahlawan Maria," ejek Yuni.
Aren maju ke depan, berdiri di samping Maria. "Apakah kalian hanya bisa melakukan ini kepada mereka yang lemah?" tanya Aren dengan suara tenang tapi tegas.
Yuni tertawa sinis. "Dan siapa kamu? Ini bukan urusanmu."
Aren menyeringai. "Bukan urusanku ya?"
Tiba-tiba pacarnya Yuni bernama Rio melangkah kehadapan Aren. "Bukankah kau ini kelas satu?"
"Benar sekali, Senpai," jawab Aren menyeringai. Berani tanpa menunjukkan rasa takut.
Penonton di sekeliling yang menikmati drama itu mulai bersorak, menunggu aksi seru dari kedua siswa kakak dan adik kelas ini.
Rio, dengan tubuh yang kekar dan penuh otot, melangkah maju dengan niat kuat untuk mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Ia mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, lalu dengan sekuat tenaga, ia melayangkan pukulan keras ke arah Aren.
"Makan ini, bocah!"
Pukulan itu mengarah lurus ke wajah lawannya, mengeluarkan suara angin yang tajam saat mengiris udara.
"Mulai menarik," ucapnya tipis, mulutnya menyeringai.
Namun, Aren, dengan reflek cepatnya, berhasil menundukkan kepala tepat waktu. Pukulan keras Rio hanya mengenai udara kosong. Aren tidak menyia-nyiakan momen ini. Dalam sekejap mata, ia melangkah maju dan memutar tubuhnya, melepaskan sebuah pukulan yang telak ke dagu Rio.
Aren menunjukkan senyuman lebarnya, menunjukkan bahwa dia sudah mendominasi keadaan.
Rio terkejut, matanya melebar ketika merasakan tinju keras Aren menghantam dagunya. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan ia terpental ke belakang, jatuh dengan bunyi gedebuk yang keras di lantai.
Penonton terdiam sesaat, sebelum sorakan meledak dari segala penjuru kantin.
Saat Aren berhasil menghempaskan Rio ke lantai, tiba-tiba Rio bangkit dengan wajah marah dan penuh dendam. "Serang dia!" teriak Rio kepada teman-temannya yang masih berdiri di sekeliling.
Tanpa ragu, beberapa dari teman-teman Rio mulai menyerang Aren secara bersamaan. Maria dan Dewi segera berusaha melindungi Anjani yang ketakutan di sudut kantin, sementara Aren harus menghadapi serangan dari berbagai arah.
Meskipun terdesak, Aren tidak mundur. Dia menggunakan segala kemampuannya untuk menangkis dan menghindari serangan mereka. Beberapa kali dia berhasil menjatuhkan satu atau dua dari mereka, tetapi jumlah lawan yang lebih banyak membuatnya kewalahan.
Ketika Aren mulai kewalahan menghadapi serangan teman-teman Rio yang mengerumuninya, tiba-tiba suara lantang terdengar di seluruh kantin, menghentikan semua orang di tempat mereka. "Cukup!" seru suara itu dengan tegas.
Semua mata segera beralih ke arah sumber suara tersebut. Sosok siswa kelas satu yang dikenal sebagai Ash berdiri di sana, tampak gagah dengan rambut orange kecoklatannya yang mencolok, tinggi dan tegap, hampir menyerupai Aren dalam hal postur tubuh.
Rio dan teman-temannya tampak ketakutan dan segera mundur, menyadari siapa yang baru saja datang. Ash terkenal di sekolah sebagai siswa yang tidak hanya tampan tetapi juga memiliki reputasi sebagai petarung yang tangguh dan tidak mudah ditakuti.
Ash berjalan menuju Aren, yang masih berdiri dengan napas yang tersengal-sengal, memar mulai terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Dengan senyum tipis di wajahnya, Ash menepuk bahu Aren. "Siapa namamu?"
Aren menatap sinis menyingkirkan tangan Ash. "Apa pedulimu?"
Kemudian Aren pergi melangkah menuju Atap, dia berjalan dengan memasuki lengannya kesaku yang ada dicelananya. Baginya Atap sekolah adalah tempat yang sunyi.
Ash hanya tersenyum melihat Aren pergi dengan tepukan tangan dari banyak orang.
Kerumunan mulai bergemuruh, beberapa siswa sudah mendukung Maria dan Aren. Yuni mulai kehilangan kendali atas situasi. Melihat dukungan yang semakin banyak, dia akhirnya mundur dengan gengnya.
"Tunggu saja, ini belum selesai," ancam Yuni sebelum pergi.
Maria langsung memeluk Anjani yang tampak terguncang. "Kamu baik-baik saja?" tanya Maria lembut.
Anjani mengangguk, meski matanya masih terlihat berkaca-kaca. "Terima kasih, Maria."
Saat situasi mulai tenang, beberapa guru datang dan mulai menertibkan keadaan. Maria dan Anjani kemudian memutuskan untuk duduk bersama di pojok kantin, jauh dari keramaian.
Hari itu, Aren merasakan sesuatu yang berbeda. Keputusannya untuk turun dari atap dan membantu Maria serta Anjani membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dia belajar bahwa kadang-kadang, kita harus keluar dari zona nyaman kita untuk membuat perbedaan bagi orang lain.
Aren tersenyum sinis saat bersantai diatap, walaupun ada sedikit memar diwajahnya.
Saat jam pulang sekolah tiba, Aren melangkah keluar dari gedung sekolah menuju gerbang dengan tubuh yang masih terasa lelah setelah kejadian di kantin. Ketika melewati gerbang sekolah, dia melihat seseorang berdiri menyender ke tembok dengan tangan di saku, menunggu dengan sikap tenang. Itu adalah Ash.
"Kau memiliki potensi untuk mencapai puncak, namun kau tidak menunjukkan ketertarikan untuk menguasai sekolah ini." sapa Ash dengan suara tenang, namun penuh arti. "Pertunjukanmu di kantin tadi menjadi pusat perhatian semua orang. Apakah kau sudah menyadarinya?"
Aren mengangkat alisnya dan menjawab dengan nada sedikit sinis, "Hah, apa peduliku dengan semua orang? Apakah kau bodoh?"
Ash tersenyum tipis, tampak tidak terpengaruh oleh sikap kasar Aren. "Kau mungkin tidak peduli sekarang, tapi bakat dan keberanianmu tidak bisa diabaikan. Itulah mengapa aku ingin menawarkan sesuatu padamu."
Aren mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan ini. "Apa maksudmu?"
Ash menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku ingin kau bergabung dengan gengku, Black Sacrifice. Kami butuh orang sepertimu yang kuat, berani, dan bisa diandalkan. Bersama kami, kau bisa mencapai apapun yang kau inginkan."
Aren menatap Ash dengan pandangan kosong selama beberapa detik, mencerna kata-katanya. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik bergabung dengan geng manapun," katanya dengan tegas.
Ash mengangkat bahu, tampak tidak terkejut dengan jawaban Aren. "Sudah kuduga, kau adalah serigala penyendiri."
Namun, Aren sudah memutuskan. Dia melangkah pergi tanpa menoleh kembali, mengabaikan Ash yang masih berdiri di sana. "Aku sudah membuat pilihanku dan aku tidak butuh geng untuk menjadi kuat."
Ash menatap punggung Aren yang semakin menjauh dengan ekspresi tak terbaca, sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan tenang.
Meskipun Aren menolak tawaran Ash, dia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menghinggapi dirinya. Mungkin pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Tetapi untuk sekarang, dia hanya ingin fokus pada dirinya sendiri. Bagaimanapun, keberanian Aren sudah terbukti cukup kuat tanpa perlu bergabung dengan geng manapun.
Meskipun begitu, situasi menegangkan yang saat ini datang secara tiba-tiba.
Ash melihat beberapa orang mendekat dari kejauhan. Tidak salah lagi, mereka adalah gengnya Rio, membawa pemukul besbol dan tampak jelas ingin menyergap Aren yang sedang pulang sendirian.
Ash menyipitkan matanya dan melontarkan senyuman sinis. "Ah, lihat, para kelinci ingin berburu serigala," gumamnya meremehkan mereka.
Meskipun begitu, Ash tetap tenang dan tampak tidak peduli, seolah-olah menghiraukan mereka. Namun, dalam hatinya, dia yakin dengan kemampuan Aren untuk menghadapi situasi ini. Ash menyeringai dan hanya memperhatikan geng itu dari jauh.
"Ini semakin menjadi menarik!" Ash menyeringai.
Saat Aren berjalan sendirian melalui jalanan yang sepi, dengan toko-toko di sekitarnya yang sudah tutup, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki yang cepat mendekat.
"Orang-orang itu, bukankah mereka yang ada dikantin itu?! Gawat, sepertinya mereka ingin menghabisiku!"
Dia menoleh dan terkejut melihat segerombolan geng Rio mengejarnya dengan membawa pemukul besbol. Tanpa berpikir panjang, Aren berlari dengan cepat, mencoba mencari tempat untuk melarikan diri.
"Ah, Sialan! Aku benci melarikan diri!"
Aren dengan rambut hitam pendeknya yang berkilauan di bawah sinar matahari sore berlari secepat kilat. Terdengar langkah-langkah berat dan teriakan dari belakangnya. Geng Rio, yang terkenal di kalangan remaja sebagai kelompok paling berbahaya, sedang mengejarnya. Mereka mengacungkan pemukul besbol, bertekad untuk menangkap Aren.
Aren berlari melewati jalan-jalan sempit. Setiap belokan yang diambilnya tampak sia-sia karena Geng Rio selalu berhasil mengejar. Hingga akhirnya, Aren menemukan dirinya di sebuah gang sempit dengan tembok tinggi yang menghadang di depannya. Jalan buntu.
Aren menatap tajam, "Ah Sialan, kurang hoki!"
Seketika, adrenalin memuncak dalam dirinya. Dengan gerakan yang mulus, Aren memanfaatkan teknik parkour yang telah ia kuasai. Ia berlari ke arah tembok, mengambil ancang-ancang, dan dengan lompatan sempurna, ia menapakkan kakinya di dinding. Berpacu dengan gravitasi, Aren berlari naik sepanjang tembok, menggunakan celah-celah kecil sebagai pegangan, dan akhirnya melompati puncak tembok tersebut.
Dari atas tembok, Aren melihat geng Rio berhenti, terengah-engah di bawah. Dengan penuh kepuasan, ia menjulurkan lidah dan melotot ke arah mereka, menantang mereka untuk mengejarnya lebih jauh. Tapi sepertinya. Mereka mulai mencari jalan alternatif, berusaha menemukan cara lain untuk mengejar Aren.
Namun, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Aren. Begitu mereka mulai berpencar, Aren melompat turun dari sisi lain tembok dan langsung berlari lagi, menyusuri gang-gang kecil dengan kecepatan penuh. Ia tahu bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri sepenuhnya dari kejaran geng tersebut.
Dengan napas yang terengah-engah, Aren melanjutkan lariannya tanpa ragu. Namun, saat ia berputar di sudut jalan, dia mendapati dirinya dihadapkan langsung oleh beberapa anggota geng Rio yang mengepungnya.
Mereka semua menyeringai seolah akan mendapatkan Aren!
Sambil menambah kecepatan lariannya. Aren menatap tajam kearah mereka. "Ah, Sialan! mereka banyak banget!"
Meskipun begitu, Aren tidak gentar. Dengan keberanian yang membara di dadanya, dia terus melaju maju.
Dengan gerakan yang lincah dan keahlian bertarung yang luar biasa, Aren melompat ke udara dengan tendangan memutar yang menghantam sasaran dengan kekuatan dahsyat.
Mereka yang awalnya menyeringai berubah menjadi mati terkejut saat mendapat hadiah serangan dari Aren.
Tubuh-tubuh musuh yang menghalangi Aren terhempas dengan keras, memberinya sedikit waktu untuk melanjutkan lariannya.
Namun, tidak berselang lama sebelum suara langkah-langkah cepat mengiringi langkah Aren. Ia menoleh ke belakang dan melihat anggota geng Rio mulai mengejarnya dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Dengan hati yang berdebar kencang, Aren mempercepat langkahnya, merasakan tekanan yang semakin meningkat di belakangnya.
Dalam keadaan darurat seperti ini, Aren tahu bahwa ia harus mencari jalan keluar dengan cepat. Dengan ketajaman instingnya yang tak tertandingi, ia memilih jalur yang paling sempit dan sulit dijangkau oleh para pengejar.
Dengan kecepatan yang menakjubkan, ia meluncur melewati gang-gang kecil.
Namun, dengan setiap langkah yang diambilnya, suara langkah-langkah pengejar semakin mendekat.
Kemudian, Aren terus berlari. Meskipun orang-orang itu mulai mendekati Aren dari berbagai arah.
Selanjutnya Aren melompati pagar, menuruni tangga dengan lompatan akrobatik, dan terus berusaha menghindari kejaran mereka. Aren memanfaatkan setiap sudut dan celah untuk melarikan diri, menunjukkan kemampuan parkournya yang luar biasa.
Sementara itu, di atap gedung yang menghadap gang tersebut, Ash berdiri mengamati seluruh kejadian. Dia menyeringai melihat akrobatik yang dilakukan Aren, merasa kagum dengan kemampuan yang dimiliki oleh Aren untuk terus menghindari geng Rio.
"Luar biasa," pikir Ash, melihat dengan bangga bagaimana Aren melompat dari satu atap ke atap lain, menghindari setiap jebakan dan rintangan dengan cekatan.
Namun, situasi semakin memanas ketika geng Rio mulai menyebar dan mencoba mengepung Aren. Mereka tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membalas dendam. Aren, yang sudah mulai merasa lelah, menyadari bahwa dia perlu mencari cara untuk menghentikan pengejaran ini.
Di tengah kepanikan, Aren melihat sebuah pintu darurat di salah satu gedung di depan. Dengan keberanian dan kecepatan yang tersisa, dia melompat dan menendang pintu tersebut terbuka, masuk ke dalam gedung. Dia segera mengunci pintu di belakangnya, berharap ini bisa memberinya sedikit waktu untuk berpikir.
Geng Rio tiba di tempat itu beberapa detik kemudian, berusaha keras membuka pintu yang sudah terkunci. Mereka menggedor dan berteriak, tetapi pintu itu cukup kuat untuk menahan mereka sementara waktu.
Di dalam gedung, Aren mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan mencari jalan keluar. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus berlari selamanya. Tiba-tiba, pintu di sebelahnya terbuka, dan Ash muncul dengan senyum tipis di wajahnya.
"Apa kau menikmati sedikit olahraga sore ini?" tanya Ash dengan nada bercanda.
Aren tersenyum lelah. "Tidak sepertimu. Sedang apa kau disini?"
Ash mengangguk tersenyum. "Apakah kau lelah?"
"Hah? apakah kau bercanda!"
Ash tersenyum. "Kau ingin melarikan diri?"
Aren menatap tajam dengan wajah tersenyum. "Mana mungkin, bego!"
"Menghadapi mereka semua itu mudah!" Imbuh Aren menyeringai.
Ash melebarkan senyumannya. "Kau benar-benar bodoh atau kelewat bodoh, tapi aku menyukai semangatmu!"
Ash tersenyum menunjukkan sedikit giginya, kemudian dia melipatkan kerah lengannya. Seolah ingin menghajar mereka semua.
Aren mau tidak mau harus menunjukkan keberaniannya didepan orang itu.
"Apa rencananya?" tanya Ash menahan semangatnya.
Aren mengusap keringat yang berada disekitar bibirnya lalu menjawab Ash dengan percaya diri, tatapannya tajam. Mulutnya menyeringai lebar. "Tentu saja! menghajar mereka semua sampai mampus!"
Saat pintu terpental terbuka dan mengejutkan mereka semua, Aren dan Ash langsung menerjang ke dalam kerumunan geng Rio, menyerang mereka satu per satu dengan kecepatan dan ketangkasan yang luar biasa. Mereka bergerak dengan sinkronisasi yang hampir sempurna, masing-masing menangkis serangan dan melumpuhkan musuh dengan efisien.
Aren memasuki posisi Barbar. Dia meluncurkan serangan kuat, tendangan memutar yang cepat dan mematikan. Salah satu musuh diantara mereka terjatuh dengan tubuhnya terguling ke samping. Aren tidak memberi mereka kesempatan untuk bernapas, dengan lincahnya dia beralih ke serangan berikutnya.
Pukulan keras terarah ke arah kepala musuh berikutnya, membuatnya terhuyung mundur. Hindaran cepat dan akurat memungkinkan Aren untuk menghindari serangan balasan dengan mudah. Instingnya yang tajam memandu setiap gerakan, memungkinkannya untuk merespons dengan tepat waktu dan presisi yang mematikan.
Tiba-tiba pergelangan kakinya mendarat dengan kekuatan yang luar biasa di wajah musuh berikutnya, membuatnya terjatuh dengan gemetar.
Aren menyeringai dengan puas saat ia melihat mereka satu per satu jatuh di hadapannya. Tidak ada yang bisa menandingi keahliannya walaupun mereka berdua melawan puluhan orang bawahan Rio.
Kemudian. Aren menggunakan kemampuan parkournya untuk melompat dan berputar, menendang dengan presisi yang mematikan. Ash, dengan kekuatan dan ketepatannya, memukul mundur setiap orang yang mencoba mendekat. Mereka berdua adalah paduan sempurna antara kekuatan dan kelincahan.
Namun, di tengah pertempuran sengit, salah satu anggota geng Rio melihat celah dan mencoba melancarkan pukulan besbol ke arah kepala Ash dari belakang. Aren, dengan insting cepatnya, melihat bahaya itu. Tanpa ragu, dia melompat dan melakukan tendangan memutar yang keras, menghempaskan orang tersebut dan menyelamatkan Ash.
Ash menoleh dan memberi anggukan singkat sebagai tanda terima kasih. Tapi tiba-tiba, Ash langsung menghajar ke arah Aren. Aren terkejut dan refleksnya menegang, berpikir bahwa Ash menyerangnya. Namun, saat melihat lebih jelas, dia menyadari bahwa Ash sebenarnya memukul seseorang yang mencoba menyerang Aren dari belakang.
"Bego! Gua pikir lu mau nyerang gua, Asu!" kata Aren dengan napas terengah-engah.
Ash membalas ucapan Aren dengan tawaan khasnya.
Pertarungan berlanjut dengan intens. Aren dan Ash berjuang keras, melawan setiap anggota geng Rio yang mencoba mendekat. Mereka berdua saling melindungi satu sama lain, menunjukkan kerjasama yang luar biasa. Setiap serangan yang dilancarkan oleh geng Rio berhasil ditangkis atau dihindari oleh kedua orang itu. Walaupun mereka berdua masih kelas satu.
Setelah beberapa saat, jumlah lawan mulai berkurang. Aren dan Ash, meskipun lelah, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Mereka terus bertarung, menangkis serangan, dan melancarkan serangan balik dengan presisi.
Akhirnya, setelah pertempuran yang tampak seperti berlangsung selamanya, semua anggota geng Rio tergeletak tak berdaya di tanah. Aren dan Ash berdiri di tengah-tengah mereka, napas mereka terengah-engah dan tubuh mereka dipenuhi luka-luka kecil, tapi semangat mereka tetap membara.
Ash menatap Aren dengan senyum bangga. "Apakah kau lelah?"
Aren mengangguk, merasa lega. "Mana mungkin bego, lu ngeremehin gua mulu, Asu juga lu ya!"
Ash mengangguk. "Apakah kau ingin bergabung dengan Black Sacrifice?"
"Hah? Ogah!"
Ash tersenyum, "Sudah kuduga."
Mereka berdua kemudian berjalan menjauh dari tempat kerusuhan, meninggalkan geng Rio yang tergeletak di belakang mereka. Hari itu, Aren dan Ash tidak hanya memenangkan pertempuran fisik, tetapi juga memperkuat ikatan absolut mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!