NovelToon NovelToon

Suami Orang

Aroma Tanah Selepas Hujan

Kantin sepi hari ini, mungkin karena hari sabtu tidak banyak mahasiswa yang datang ke kampus. Aku melongok ke luar jendela, terlihat bunga-bunga di taman yang basah sehabis terkena air hujan. Aroma tanah menyeruak, terhirup di antara sela napasku. Aku suka suasana seperti ini, diiringi musik lembut dari sebuah speaker yang terletak tidak jauh dari meja kami serasa semua menyatu dengan jiwaku.

Aroma tanah yang jarang tersiram hujan akibat kemarau panjang, entah kenapa menjadi momen yang sangat kunanti setiap tahunnya.

"Kamu kemarin S-3 pakai beasiswa ya Wii?," suara seseorang bertanya padaku.

Aku kembali menatap meja di hadapanku.

"Iya, S-2 biaya sendiri, S-3 baru dapat beasiswa," jawabku.

"Kenapa S-2nya tidak kejar beasiswa saja?," dia bertanya lagi.

"IPK S-1ku tidak cumlaude Citra," jawabku mengingatkan.

"Oh iya, aku lupa," dia bergumam.

"Aku dulu kan tidak termasuk geng kalian," aku berbicara sembari tersenyum.

"Hei, kamu sendiri yang keluar, ingat tidak?," matanya melotot kepadaku.

"Hahaha, iya. Bagaimana aku tidak keluar, kalian semua IP-nya diatas 3.5 lama-lama aku minder," jawabku setengah tertawa.

"Itu karena kamu kurang serius aja, kenapa sih kamu dulu itu? dua tahun terakhir seperti kehilangan fokus," dia malah bertanya lagi.

"Hmm, aku yang dulu begitu bodoh," aku cuma bergumam.

"Bukan bodoh Wii, kurang serius aja," dia menyela.

"Yayaya, begitulah," jawabku sambil mengangguk.

Kami kembali menyeruput kopi. Pukul setengah satu setelah makan siang, memang waktu yang terbaik untuk minum kopi. Mengusir rasa ngantuk dan mengembalikan lagi semangat.

Di hadapanku ini seorang wanita, teman lamaku bernama Citra. Dia seusia denganku, empat puluh tahun. Kami berteman sejak sama-sama berkuliah S-1 di Bandung 22 tahun yang lalu. Kami kuliah di jurusan yang sama yaitu Ilmu Geografi.

Kami dulu cukup dekat, baik di kampus maupun di luar kampus, seperti menghabiskan waktu ke mall, bioskop dan tempat hiburan lainnya. Bukan hanya dengan Citra, ada empat orang wanita lainnya yang juga sering bersamaku dulu di Bandung. Tetapi itu hanya berlangsung selama kurang lebih tiga tahun, tahun terakhir aku memisahkan diri dari mereka karena satu dan lain hal.

Kami tetap bertegur sapa ketika berpapasan, tetapi aku tidak lagi sering ngumpul bersama mereka, untuk mengerjakan tugas sekalipun. Aku yang menjauh.

"Kenapa dulu kamu tidak mau ku ajak S-2 bareng waktu di Bandung?," Citra kembali membuka obrolan.

"Saat itu, aku tidak ada lagi niat lanjut kuliah Cii, sudah capek belajar," jawabku diikuti senyuman yang sengaja di buat-buat.

"Hmm, tapi mending sih. Kalau tidak, mungkin kamu juga bakal terjebak disini sepertiku sekarang, tak bisa lagi kemana-mana," Citra bernada mengeluh.

"Kata siapa kamu sudah tidak bisa kemana-mana lagi?, kamu bisa Citra, kamu hanya belum mau," aku menanggapi.

"Sudah terlambat sekarang Wii, gimana nasib anakku kalau aku pergi kuliah lagi," Citra kembali mengeluh.

"Selalu ada jalan, asal kamu punya niat," kataku menenangkan.

"Aku sekarang belum bisa full fokus study lagi, pikiranku terbagi," Citra terlihat seperti memiliki banyak beban pikiran.

"Selalu ada waktu untuk itu, kalau kamu memang mau dan berusaha," aku memberinya motivasi.

"Iya, aku tahu itu." Citra mengangguk setuju.

"Nah, gitu dong," aku memberinya senyuman terbaikku hari ini.

Temanku ini sepertinya sedang ada masalah, dia perlu banyak motivasi. Dia berbeda dari Citra yang pernah kukenal dulu. Citra yang dulu selalu terlihat optimis dan ceria, tahu apa yang mau dia lakukan dan percaya bahwa dia akan berhasil akan apa yang sedang dia usahakan.

Entah dia punya masalah apa, aku rasa belum saatnya untuk aku tanyakan. Sejujurnya aku berharap, dia mau menceritakan sendiri tanpa aku bertanya terlebih dahulu.

Jam dinding menunjukkan, sepuluh menit lagi kami masuk kelas. Perkuliahan terakhir untuk hari ini, hingga pukul tiga sore nanti.

Aku senang ketika punya jam istirahat yang sama dengan Citra, setidaknya ada teman ngobrol di kantin. Biar tidak seperti anak yang hilang, kemana-mana sendiri.

Aku baru dua bulan di kampus ini, belum punya teman dosen yang dekat denganku selain Citra.

"Cii, kamu masuk di kelas apa?"

"Di semester satu, kamu?"

"Aku masuk di semester tiga. Oke, ayo,"

"Yuk,"

Aku dan Citra segera berdiri dari kursi dan pergi bayar di kasir, keluar dari kantin menuju ruang dosen untuk mengambil tas bawaan kami, kemudian kami terpisah ke ruang kuliah masing-masing.

Aku bekerja di sebuah kampus swasta di pinggiran kota Surabaya. Salah satu kampus swasta favorit di Indonesia, selain karena gedung dan fasilitas perkuliahan yang sangat memadai, staf pengajar di kampus ini juga merupakan dosen-dosen berprestasi yang sering mengadakan proyek penelitian untuk memperbaharui pengetahuan dari waktu ke waktu.

Aku merasa, aku akan betah disini.

Pertemuan Kembali

Senin pagi.

"Wii, kamu ngajar dimana?"

"Semester satu, kamu?"

"Aku di semester lima"

"Oh, ya udah, sampai jumpa jam istirahat yaa"

"Oke,"

Aku berpapasan dengan Citra di lorong gedung dosen, dia baru saja tiba di kampus.

Benar, dia sudah banyak berubah. Citra yang dulu adalah orang yang selalu datang lebih awal ke kampus, sekarang dia selalu datang mepet jam masuk kelas.

Dulu, selain aktif mengikuti perkuliahan di kampus, Citra juga mengikuti berbagai organisasi mahasiswa baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Semua jadwal kegiatannya tersusun dengan baik, tidak ada satupun yang keteteran. Aku dulu termasuk salah satu orang yang begitu mengagumi gairah dan semangatnya sebagai mahasiswa.

Mungkin karena banyaknya peran yang dia jalani sekarang, selain sebagai dosen dia seorang istri dan ibu satu orang anak.

Hmm, pekerjaan ibu rumah tangga itu memang banyak yaa, apalagi untuk Citra yang sambil berkarir. Gumamku dalam hati.

Aku tiba di ruang kuliah. Selama dua jam ke depan, aku akan memberikan kuliah Geologi Umum yang membahas tentang bumi dan berbagai peristiwa pembentukannya, termasuk berbagai komponen yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Dua jam setelahnya aku mengajar di semester tujuh, mengenai Geografi Energi yang membahas tentang pengembangan energi di bumi, pola penggunaannya serta pengaruhnya terhadap bumi.

Baru dua bulan aku menjalani profesi dosen dan ternyata aku sangat menikmatinya.

Kenapa tidak sejak dulu aku memilih profesi ini? kenapa baru sekarang?, aku membatin.

Pukul setengah dua belas siang aku dan Citra ketemuan lagi di kantin kampus.

Hari senin, kamis dan sabtu kami memiliki jam istirahat yang sama. Sebisa mungkin kami melaluinya berdua, sekedar bertukar cerita tak jarang kami hanya mengungkit kenangan bersama ketika masih jadi mahasiswa di Bandung.

Sebuah rasa syukur yang besar untukku bisa bertemu Citra lagi di usia dewasa kami sekarang.

Dulu kami berpisah dan tidak pernah bertemu lagi setelah wisuda kemudian jarang berkomunikasi sejak itu.

Semakin dewasa, aku semakin merasa tak perlu lagi memiliki teman yang banyak seperti saat usia sekolah. Sekarang lebih baik punya satu, dua teman yang intens bisa cerita apa saja dan saling mendukung dalam hal-hal yang baik, juga bisa diajak berbagi dalam suka dan duka.

Aku tahu Citra akan menjadi salah satu orang tersebut untukku.

Seperti biasa hari ini kami makan siang di kantin dan kemudian memesan segelas kopi, mengobrol menghabiskan waktu satu jam bersama.

"Hai, kalian disini juga," seseorang datang menghampiri.

"Hai," kami serempak menjawab.

"Kalian sudah saling kenal? Wi, ini pak Sammy dosen Statistik, pak Sam ini bu Dewi dosen Geografi yang baru," Citra memperkenalkan aku dengan dosen tersebut.

"Sudah kok, sudah kenal," sahutku.

"Oh sudah kenal, dimana?," Citra rupanya ingin tahu.

"Tadi pagi, di ruang dosen," jawabku santai.

Andai Citra tahu, aku sudah mengenal lelaki ini sejak SMP. Batinku.

"Oh, ya sudah." Citra tidak berkata apa-apa lagi.

Dosen tersebut menempati kursi kosong di sebelah Citra, berhadapan denganku.

Aku merasa sedikit kikuk, tetapi aku berusaha menutupinya.

"Gimana studi bandingnya Pak Sam, lancar?" Citra memulai kembali obrolan, memecah keheningan yang tercipta di antara kami.

"Lancar, tidak ada kendala yang berarti," jawab dosen tersebut.

"Syukurlah," sahut Citra.

Dari obrolan mereka aku jadi tahu bahwa, dua bulan terakhir pak Sam dan tiga puluh orang mahasiswa semester lima melakukan studi banding ke salah satu kampus swasta di Jakarta. Hal tersebut merupakan program tahunan kampus ini, yang dilakukan di berbagai kampus berbeda di tanah air setiap tahunnya.

Rupanya pak Sammy hanya datang memesan kopi untuk dibawa ke ruangannya. Dia beranjak pergi setelah pesanannya sudah jadi.

Aku merasa lega setelah dia sudah pergi.

"Wii, kamu sudah dengar gosip tentang pak Sam?," Citra berbicara ketika pak Sam sudah benar-benar hilang dari pandangan kami.

"Belum. Kamu sekarang melek gosip juga yaa," sahutku.

"Hahaha, namanya juga perempuan," protes Citra.

"Emang dulu kamu bukan perempuan?," aku menyindir bercanda.

"Hmm, mau dengar tidak?," Citra tersenyum dan membuatku penasaran.

"Oke deh, gosip apa?," aku penasaran juga akhirnya.

"Pak Sam sudah pisah ranjang dengan istrinya,"

"Masa?"

"Iya. Katanya istrinya sudah tinggal beda rumah dengan pak Sam"

"Yang benar aja, kamu tahu darimana?"

"Banyak yang tahu, tapi diam-diam aja. Ini sudah jadi rahasia umum di antara para dosen"

"Masa sih, nggak percaya aku"

"Ya sudah, kalau nggak percaya"

"Emang ada masalah apa mereka?"

Pernikahan Mereka

Sammy menikah dua belas tahun lalu dengan seorang wanita yang cantik dan menarik, Tia namanya. Mereka sudah dikaruniai dua orang anak, lelaki dan perempuan.

Sammy dan Tya saling mengenal sejak SMA. Sering dijodoh-jodohkan oleh teman seangkatan mereka karena Tia memang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya terhadap Sammy. Akan tetapi mereka baru jadian ketika kuliah tahun ke-empat di universitas yang sama.

Darimana aku tahu cerita ini?

Jawabanku, aku tahu saja. Aku tahu banyak hal tentang Sammy.

Sejak kelas tiga SMP, dia adalah titik fokusku. Aku selalu mencari tahu banyak informasi tentang dia. Bahkan terkadang informasi tersebut datang sendiri, tanpa aku mengulik.

Aku baru berhenti memperhatikan Sammy ketika dia sudah menikah. Entah kenapa aku merasa sudah cukup. Lama-lama aku merasa risih juga akhirnya.

Hari ini, aku dengar lagi informasi tentang dia. Setelah sekian lama, tanpa aku mencari tahu.

Yang kutahu setelah menikah dia punya dua orang anak, itu saja selebihnya aku sudah tidak peduli lagi.

"Istri pak Sam sudah keluar dari rumah mereka," bisik Citra. Kali ini dia pindah duduk persis di sampingku.

"Apa iya?," tanyaku setengah percaya.

"Iya. Pak Sam tinggal dengan ayah dan ibunya beserta satu anak mereka, sedangkan anak satunya lagi ikut ibunya."

"Masa sih. Kasihan," sahutku.

"Yaa, kasihan anak jadi korban kelakuan orang tua," sela Citra.

"Mereka ada masalah apa emang?"

"Nggak tahu lagi, katanya Pak Sam itu anak mami banget"

"Apa iya?"

"Katanya gitu, dia dikendalikan ibunya. Keputusan apa-apa tergantung ibunya,"

"Lha, kok gitu?"

"Yaa, memang ada rumah tangga yang seperti itu Wii"

"Sayang yaa, emang mereka tinggal serumah dengan orang tua?"

"Iya. Istrinya pak Sam mau mereka mandiri dan pergi dari rumah itu"

"Aku lebih dukung istrinya sih,"

"Benar. Aku juga."

Lama kami terdiam.

Bagaimana perasaanku?, apakah aku senang mendengarkan kabar ini?

Tidak juga. Aku rasa setiap rumah tangga memang punya masalahnya sendiri-sendiri, tinggal bagaimana sepasang suami-isteri berusaha mempertahankannya atau tidak.

"Ayo ah, kita kembali ke ruangan. Aku pusing memikirkan masalah orang lain, padahal aku sendiri juga punya masalah," aku tersenyum kecut dan bangkit dari kursi.

"Hahaha, sama. Ayo," Citra tertawa kecil dan bangkit berdiri juga.

Kami berdua segera meminum tegukan kopi terakhir kemudian beranjak keluar dari kantin.

"Ada satu info lagi," bisik Citra mendekat ke telingaku ketika kami kini berjalan menuju ruangan dosen melewati taman yang panjang.

"Apa lagi sih Cii,?

"Katanya pak Sam itu juga masih terbayang-bayang mantannya,"

"Masa sih,"

"Iya. Gosip yang beredar"

"Halaa, paling cuma gosip"

"Nggak tau lagi ya, katanya gitu."

Aku tidak berkomentar apa-apa. Sudah cukup rasanya informasi tentang dia hari ini, aku tidak mau tahu lagi.

Akan tetapi, informasi yang terakhir ini rupanya cukup menggangguku. Aku terus memikirkan mengenai hal tersebut. Sampai-sampai aku hampir terjatuh ketika menaiki anak tangga ke ruang dosen. Untung saja Citra dengan cepat memegang lenganku.

"Kamu tidak apa-apa kan?," tanya Citra bernada khawatir.

"Tidak apa-apa," aku berusaha biasa saja.

"Kamu pusing jangan-jangan?," Citra masih terus memperhatikanku.

""Tidak apa-apa Cii, aku ngantuk mungkin yaa," jawabku asal.

"Masa ngantuk? baru juga minum kopi," tanya Citra lagi.

"Hehe, iya," aku cuma tertawa kecil. Aku sendiripun tidak masuk akal dengan jawabanku.

Sejujurnya, aku masih terkejut dengan informasi terakhir tentang Sammy barusan.

Apa iya, Sammy masih terbayang-bayang mantannya?

Mantannya yang mana?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!