Di dalam hutan yang sunyi, seorang wanita berlari dengan cepat, napasnya terengah-engah di udara yang dingin. Langkah-langkahnya terdengar tergesa-gesa di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Di kejauhan, suara tembakan menggelegar, menciptakan getaran di udara yang menakutkan. Wajahnya terlihat tegang, ekspresinya penuh kekesalan karena tidak dapat membalas serangan musuh yang tidak terlihat.
Dengan mata yang waspada, Naya melihat ke kiri dan kanan, menangkap dua sosok yang mengejarnya dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
"Sial," gumamnya, napasnya terengah-engah. Tanpa ragu, Naya meraih pistolnya dengan gerakan cepat dan menembak ke arah kiri, memastikan tembakannya mengenai target dengan akurasi yang mematikan.
Namun, sebelum dia bisa bernapas lega, serangan datang dari arah kanan saat musuh melemparkan pisau. Dengan refleks yang cepat, Naya mampu menghindar, meskipun tangannya tergores sedikit oleh serangan itu.
Naya, wanita berusia 27 tahun, menonjol di antara kerumunan dengan kecantikan yang memukau. Wajahnya yang cantik dihiasi oleh rambut panjang berwarna hitam yang mengalir anggun di sepanjang punggungnya. Kulitnya putih berseri, menonjolkan pesonanya dengan lebih kuat lagi.
Namun, di balik kecantikannya terdapat bekas luka yang mengisyaratkan kisah yang gelap dan penuh dengan kekerasan. Bekas luka di lehernya dan di tangan menunjukkan bahwa dia bukanlah seseorang yang asing dengan pertarungan dan konflik. Mata yang tajam dan penuh perhitungan, serta sikapnya yang teguh, mengungkapkan bahwa Naya adalah seorang anggota mafia yang tidak boleh dianggap remeh.
Naya menghentikan langkahnya mendadak, napasnya berat dalam ketegangan. Dia menyadari bahwa dia telah terkepung oleh dua puluh musuhnya, yang berdiri mengelilinginya, Naya dengan cepat mengeluarkan sebilah pisau dari sabuknya, memegangnya dengan kuat di kedua tangannya.
Seorang pria menghampiri Naya sambil bertepuk tangan dengan nada yang merendahkan. "Naya... Naya... Naya... Jika kamu mau bekerjasama, aku akan membiarkanmu hidup," ucapnya dengan nada tawar-menawar.
Naya menatap pria tersebut dengan tatapan tajam. "Bekerjasama dengan pria jelek seperti mu... Maaf saja ya, aku masih waras," balas Naya dengan tegas.
Pria itu tersenyum sinis. "Mulutmu sama tajamnya dengan keahlianmu," katanya, mencoba menyindir.
"Terima kasih atas pujianmu, tapi sayangnya aku tidak punya waktu untuk membalas pujian menjijikanmu itu," jawab Naya tanpa ragu.
"Padahal, kamu tipeku," kata pria itu sambil menjilat bibirnya, memandang tubuh Naya dengan mata yang licik.
Naya menggelengkan kepala dengan ekspresi jijik. "Menjijikan," ucapnya dengan nada tegas.
"Berikan flashdisk itu, maka kamu akan kubiarkan pergi," desak pria tersebut.
"Tidak akan pernah," sahut Naya dengan cepat.
"Baiklah, jika itu keputusanmu, habisi dia," ujar pria itu kepada anak buahnya dengan dingin.
Dalam sekejap, situasi berubah menjadi kekacauan. Dua puluh musuh Naya menyerang dengan ganas, mencoba menghentikannya dengan segala cara yang mereka miliki. Namun, Naya tidak gentar. Dengan keahliannya yang luar biasa, dia melawan dengan penuh determinasi.
Dengan gerakan yang lincah dan refleks yang cepat, Naya menggunakan pisau-pisau yang dimilikinya sebagai senjata utama. Dia melompat, berputar, dan menghindari serangan-serangan musuh dengan kecepatan yang memukau. Setiap gerakan yang dilakukannya mengandung kekuatan dan ketepatan yang menakjubkan.
Meskipun jumlah musuhnya banyak, Naya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Dia terus melawan dengan penuh semangat dan keberanian, menyerang dan bertahan dengan keterampilan yang luar biasa. Darah dan keringat membasahi tubuhnya, tetapi dia tidak membiarkan hal itu menghalangi tujuannya.
Pertarungan itu menjadi semakin sengit, dengan suara benturan pisau dan teriakan yang menggema di hutan. Naya terus bertahan, tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan yang dihadapinya. Dengan kekuatan dan keahliannya, dia berjuang untuk keluar dari situasi yang sulit tersebut, menunjukkan bahwa dia adalah lawan yang tangguh bagi siapapun yang berani menantangnya.
Naya terus melawan dengan gigih, tetapi tidak bisa menghindari semua serangan musuhnya. Saat dia sedang berusaha menghindari satu pukulan, pukulan lainnya berhasil menyerangnya dengan keras. Tubuhnya terhuyung mundur oleh kekuatan pukulan tersebut, membuatnya terhempas ke belakang.
Rasa sakit menusuk tubuhnya saat ia jatuh ke tanah, tetapi Naya tidak membiarkan itu menghentikannya. Dengan tekad yang kuat, dia bangkit kembali, wajahnya dipenuhi dengan keteguhan dan keinginan untuk terus melawan.
Dengan gerakan yang lincah dan penuh keberanian, Naya berhasil membunuh beberapa musuhnya dengan keahlian yang mematikan. Pisau-pisau yang dipegangnya menjadi senjata yang mematikan, memotong dan menusuk dengan presisi yang memukau. Setiap serangan yang dilancarkan oleh Naya menghantam sasaran dengan akurasi yang mematikan, membuat musuh-musuhnya terjatuh satu per satu.
Namun, kesuksesan tersebut tidak datang tanpa korban. Saat Naya berhasil mengalahkan satu musuh lagi dengan gerakan yang cepat, sebuah tusukan tiba-tiba menancap di perutnya. Rasa sakit menusuk tubuhnya, membuatnya terengah-engah saat dia terjatuh ke belakang.
Dengan tubuh yang terluka dan penuh dengan rasa sakit, Naya terus berjuang dalam pertempuran yang sengit. Namun, saat dia berusaha bangkit kembali, serentetan tembakan tiba-tiba menghujani punggungnya. Setiap peluru yang menembus tubuhnya menyebabkan rasa sakit yang tak terbayangkan, membuatnya terhuyung ke depan.
Naya menahan rasa sakitnya, tetapi tidak bisa menahan darah yang mengalir deras dari luka-lukanya. Dari bibirnya yang pucat. Darah membanjiri mulutnya saat dia memuntahkan darah, menunjukkan betapa parahnya luka yang dia derita.
Dengan tubuh yang terasa semakin lemah, Naya terjatuh ke tanah dengan napas yang terengah-engah. Matanya hampir tertutup ketika dia melihat kekasihnya mendekat, tersenyum manis sambil mengambil flashdisk yang telah dia jaga dengan begitu berharga, bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
"Pengkhianat," gumam Naya dengan suara yang lemah, tetapi penuh dengan kekecewaan.
Pria itu mengangkat pistolnya, menodongkannya tepat ke arah kepala Naya. Ekspresinya dingin, tanpa belas kasihan. Tanpa sepatah kata pun, dia menarik pelatuknya.
Dengan tembakan yang menggelegar, kehidupan Naya berakhir di tengah hutan yang sunyi. Tubuhnya terbujur kaku di tanah, matanya yang dulunya penuh dengan keberanian, kini telah terpejam dalam kedamaian yang tak tergoyahkan. Itulah akhir dari perjuangan seorang wanita yang tangguh, yang bahkan di saat-saat terakhirnya, dia masih mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
Naya merasakan jatuh ke dalam kegelapan yang dalam, seperti terjerembab ke dalam jurang tak berdasar. Matanya terpejam erat, tak mampu membuka sedikit pun hingga samar-samar ia merasakan adanya setitik cahaya yang menerangi wajahnya.
Perlahan-lahan, Naya merasa mampu membuka matanya. Saat pandangannya menembus kegelapan, dia melihat sekelilingnya dipenuhi oleh kegelapan gulita, kecuali untuk sinar cahaya yang menerangi wajahnya sendiri.
Mata Naya melebar kaget ketika dia melihat seorang gadis mendekatinya, kemudian memeluk tubuhnya erat-erat.
"Jadilah aku, penyelamatan ku," kata sosok misterius itu dengan suara lembut yang menggema di keheningan gelap.
Naya merasa campuran antara keterkejutan, kebingungan, dan kelegaan melanda dirinya. Dia tidak tahu siapa gadis itu atau darimana dia berasal, tetapi dalam kegelapan yang melingkupinya, Naya merasa bahwa kehadirannya adalah suatu bentuk penyelamatan yang tak terduga.
Di lapangan basket yang ramai, suasana hiruk pikuk terasa begitu menyelimuti. Murid-murid berkumpul, mata mereka tertuju pada seorang cewek cantik berambut pirang dengan bola mata coklat yang sedang tertunduk, air mata mengalir di pipinya. Di depannya, seorang cowok tampak berdiri dengan ekspresi datar. Sorakan penonton terdengar gemuruh, menciptakan atmosfer tegang di udara.
Tangan cewek itu gemetar saat meraih tangan cowok di depannya,namun, reaksinya bertemu dengan keheningan dingin dari cowok itu yang menatapnya tanpa ekspresi apapun.
"Aku... Aku... Aku..." desis cewek itu dengan suara gemetar, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
Cewek itu mendongak, mengangkat kepalanya perlahan-lahan, matanya yang dihiasi air mata bertemu dengan tatapan dingin cowok di depannya. Namun tatapan matanya terlihat penuh kebingungan, seakan mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terucap.
"Aku dimana? Dimana ini?" desis cewek itu dengan suara lemah, kebingungannya semakin terpancar jelas dari ekspresi wajahnya yang penuh dengan pertanyaan.
Cowok itu tersenyum mengejek, melihat tingkah cewek yang terlihat kebingungan. Senyumnya tidak membawa kehangatan, melainkan sindiran yang terasa menusuk.
"Apa sekarang kamu sedang berakting kebingungan," kata cowok itu dengan nada yang mengejek, suaranya menusuk di antara kerumunan yang memenuhi lapangan.
Cewek itu menatap tajam cowok di depannya, api kemarahan membara di balik bola matanya yang berkaca-kaca.
"Apa maksud perkataanmu, akting? Apa aku terlihat sedang berakting di depanmu?" desisnya, suaranya penuh dengan ketidaksenangan.
"Hahahaha, apa ini cara terbaru yang kamu lakukan untuk mendapatkan perhatian dariku?" kata cowok itu sambil tertawa dengan nada sinis.
Cewek itu terlihat kesal dengan tawa sinis si cowok, Matanya menyipit, mencoba menahan emosi yang membara di dalam dirinya. Bibirnya bergetar, tetapi dia memaksakan diri untuk tetap tenang.
"Hah! Perhatian? Kamu pikir aku membutuhkan perhatian dari cowok brengsek seperti mu," kata cewek itu dengan nada tajam.
"Sekarang kamu mengganti cara untuk menggoda aku ya," kata cowok itu dengan nada sinis, senyum mengejek terukir di wajahnya.
"Menggoda? Ouchh, perkataanmu benar-benar membuatku marah. Apa kamu pikir kamu sangat tampan hingga aku menggoda untuk menarik perhatianmu? Maaf saja ya, kamu bukan tipeku, wajah pas-pasan saja belagunya minta ampun," kata cewek itu dengan nada tajam.
"Wajah pas-pasan katamu! Wahhhh, kamu benar-benar bekerja keras untuk menarik perhatianku hingga kamu berani menghina ku. Wajahku ini sangat amat tampan, tidak seperti kamu. Wajahmu memang cantik, tapi sikapmu seperti pelacur rendahan," kata cowok dengan nada penuh pengejekan dan keangkuhan.
Cewek itu mengepalkan tangannya dengan kuat karena emosi yang meluap, keinginannya untuk menahan diri semakin memudar. Tanpa aba-aba, cewek itu melontarkan tinjunya dengan kekuatan penuh langsung ke wajah cowok, hantaman yang begitu kuat sehingga membuat cowok itu terjatuh dengan keras. Suara benturan tinju dan tubuh yang terjatuh menggetarkan kerumunan yang memadati lapangan, darah mulai mengalir dari hidungnya yang terpukul.
Cowok itu terkejut saat ia melap hidungnya yang mulai mengeluarkan darah. Wajahnya memancarkan kebingungan dan kejutan, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Apa... Apa-apaan ini, Reka? Kamu melukai ku!" ujarnya dengan suara yang terengah-engah.
Reka tidak mendengarkan perkataan dari cowok itu, matanya terfokus pada kepalan tangannya yang gemetar. Dalam kebingungannya, dia memperhatikan dengan keheranan, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Apa-apaan ini, kenapa dia masih sadar? Seharusnya dia sudah pingsan. Kenapa tinjuku tiba-tiba lemah seperti ini," batin Reka.
Teman cowok itu menghampiri dengan langkah cepat, tangannya mengulurkan bantuannya untuk membantu cowok itu berdiri.
"Gazef, lo nggak apa-apa kan?" kata salah satu temannya dengan suara cemas.
Gazef berdiri dengan mantap, memandang Reka dengan tatapan yang sangat tajam, seolah mencoba menembus kedalaman hatinya. "Bukankah kamu sudah kelewatan, cepat minta maaf sekarang," desak Gazef dengan suara yang tenang namun penuh amarah.
Reka menatap malas Gazef, melihat Gazef yang bersikap narsis.
"Lalu perkataanmu tadi yang menyebutku sebagai pelacur rendahan, apakah tidak kelewatan? Sebelum menyalahkan orang lain, berpikirlah dahulu. Gunakan otakmu dengan baik. Apa kamu kira aku orang yang sabar dan mentoleransi sikapmu itu," kata Reka dengan suara yang tajam.
Reka berbalik, tanpa berkata sepatah kata pun, dia berjalan pergi meninggalkan Gazef bersama teman-temannya di belakang.
Gazef terdiam, matanya menatap kepergian Reka dengan mulut yang sedikit terbuka. Ekspresinya terlihat kebingungan dengan perubahan sikap Reka yang sangat tiba-tiba.
"Sepertinya Reka kemasukan arwah hantu gentayangan deh, sikapnya sangat amat aneh," kata teman Gazef dengan nada candaan, mencoba mengalihkan suasana tegang dengan humor.
"Kemasukan setan apanya, yang ada setannya kabur duluan melihat kelakuannya. Dia bersikap aneh seperti hanya untuk mendapatkan perhatian dari ku," ujar Gazef dengan nada sinis.
"Sttt... Tapikan sikap Reka kali ini benar-benar aneh. Bahkan jika perkataanmu benar, Reka hanya ingin mendapatkan perhatianmu, apakah dia akan senekat itu hingga meninjau wajahmu? Seperti yang semua orang tahu, Reka itu sangat amat menyukaimu. Melihat kamu terluka sedikit saja, dia langsung panik seakan-akan kamu akan mati," kata teman Gazef yang lain dengan suara yang tenang.
"Ahhh, sudahlah, kita pergi saja dari sini," kata Gazef sembari menepuk kedua bahu temannya.
Saat Gazef berjalan, para siswi menatapnya penuh kagum. Mata mereka bersinar terpesona, dan senyuman tipis terukir di wajah mereka saat melihat sosoknya melintas di antara mereka. Beberapa dari mereka bahkan berbisik-bisik antara satu sama lain, tersenyum dengan penuh kekaguman.
Wajah Gazef yang sangat tampan dengan garis rahang yang tegas, hidung yang mancung, dan bentuk mata yang indah menarik pandangan setiap orang yang melintasinya. Bibirnya yang merah alami memberikan sentuhan keanggunan tambahan pada wajahnya yang gagah. Setiap gerakan mata dan senyumannya menggambarkan kepercayaan diri dan pesona yang tak terbantahkan. Tubuhnya yang tinggi dan gagah membuatnya menonjol di antara kerumunan, menambah aura kekar dan pesona yang melekat padanya. Membuatnya menjadi salah satu cowok tertampan disekolahnya.
Di tempat lain, Reka berjalan menyusuri taman sekolah dengan langkah yang pelan. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang pirang, menciptakan permainan indah dengan cahaya matahari yang menyinari wajahnya. Namun, dalam keheningan taman, Reka tiba-tiba menghentikan langkahnya, ekspresinya terlihat serius.
"Dimana aku, kenapa aku ada di sini? Bukankah seharusnya aku sudah mati," desis Reka, yang tak lain adalah Naya, ekspresinya terlihat kebingungan atas situasi yang tak dapat dimengertinya.
Reka a. k. a Naya, memandang sekelilingnya dengan tatapan bingungan. Matanya melihat ke sekeliling tempat yang asing baginya, mencoba memahami di mana dia berada. Kemudian, dengan perasaan aneh yang melingkupi dirinya, Reka melihat kedua tangan dan kakinya dengan tatapan bingung, seolah tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
Reka a.k.a Naya meraba-raba wajahnya dengan perasaan yang panik. rambut pirangnya yang kini terasa begitu asing baginya.
"Apa-apaan ini, ini bukan wajahku," kata Reka alias Naya dengan suara gemetar, matanya memancarkan kebingungan dan kecemasan yang mendalam. "Kenapa rambut hitamku berubah menjadi pirang!" tambahnya, suaranya hampir terputus karena kecemasan yang melanda.
Seorang cewek tiba-tiba melambaikan tangan kepada Reka, lalu dengan cepat berlari menghampirinya. Wajahnya dipenuhi dengan senyuman ramah, dan matanya bersinar penuh antusiasme.
" Reka... Reka... Reka, kamu akan segera menjadi bintang," kata teman cewek Reka dengan suara yang penuh.
"Kamu jadi tranding topik karena berani meninju wajah Gazef, tunanganmu," kata teman Reka dengan suara ceria.
"Aku.... Reka?" Kata Reka a.k.a Naya dengan suara terbata-bata.
Reka terdiam membeku, matanya terbelalak kaget, bibirnya terkatup rapat. Ketidakpercayaan dan kejutan tergambar jelas di wajahnya, seolah dunia di sekitarnya tiba-tiba berhenti berputar. Teman Reka, yang baru saja berbicara dengan penuh semangat, kini terlihat bingung melihat Reka yang terdiam membeku di tempatnya. Kebingungan dan kecemasan mulai mengisi ekspresi wajah temannya, tidak mengerti apa yang terjadi pada Reka dan mengapa reaksi yang tak terduga ini muncul.
"Reka... Reka... Hei, kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir... Kenapa kamu terdiam?" kata teman reka, suaranya gemetar
Teman Reka memegang pundaknya lalu menggoyangkan tubuhnya dengan lembut, mencoba membangunkan Reka dari keterdiamannya. "Hei, kamu kenapa diam? Apa kepalamu sakit karena benturan bola basket tadi?" kata teman Reka dengan nada cemas, matanya menatap dalam-dalam ke mata Reka yang kosong.
Reka mengerjapkan matanya, tatapannya perlahan kembali fokus saat menatap temannya. "Aku Reka!..." kata Reka dengan suara yang masih diliputi kebingungan.
"Iya, kamu Reka, aku Felly," balas Felly dengan lembut, mencoba menenangkan temannya yang tampak tersesat dalam pikirannya sendiri.
"Reka, kamu kenapa sih?" tanya Felly, suaranya penuh kekhawatiran. Dia menatap Reka dengan cemas.
"Arghh," Reka tiba-tiba berteriak dengan kencang, suaranya menggema di taman yang tenang, membuat burung-burung terbang ketakutan dari dahan pohon terdekat. Felly terkejut, mundur selangkah dengan mata terbelalak, hatinya berdegup kencang.
"Aaaa... Kenapa, kamu kenapa tiba-tiba berteriak?" tanya Felly dengan suara yang bergetar, cemas melihat sahabatnya yang tampak sangat terguncang.
Reka menatap tepat di mata Felly, tatapan matanya penuh dengan kebingungan dan kepanikan yang mendalam. Sebelum Felly sempat bereaksi lebih lanjut, tubuh Reka tiba-tiba melemas dan jatuh ke tanah, pingsan.
"Reka!" teriak Felly dengan suara penuh kepanikan, berlutut di samping sahabatnya. Tangannya dengan cepat meraih tubuh Reka, mencoba membangunkannya kembali.
........................................
Perlahan-lahan, Reka membuka matanya, memandang sekeliling dengan pandangan yang masih kabur. Perasaan pusing dan kebingungan menyelimuti pikirannya, namun seiring waktu, kesadaran mulai kembali menyapanya. Reka tersadar dari pingsannya dan dengan cepat menyadari bahwa dia berada di UKS.
Tiba-tiba, Reka merasakan pelukan erat yang mengelilingi tubuhnya. Ketika ia memalingkan pandangannya, ia melihat Felly, sahabatnya, yang memeluknya dengan erat. Wajah Felly dipenuhi dengan air mata dan tangisannya tersedu-sedu.
"Aku sangat panik saat kamu tiba-tiba pingsan di taman," kata Felly dengan suara yang gemetar, matanya masih berbinar-binar karena air mata yang baru saja dihapus. "Aku mencoba membangunkanmu tapi kamu tidak mau terbangun, untungnya ada Kael. Aku meminta bantuan Kael untuk membawamu ke UKS."
Reka mendengarkan dengan seksama, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya.
Reka aka Naya terdiam di atas tempat tidur UKS, matanya memandang ke langit-langit dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan kebingungan. Dia merasakan kebingungannya merayap di dalam dirinya saat menyadari bahwa dirinya telah masuk ke dalam dunia sebuah novel yang sangat populer, "You're My World, My Love".
Pikirannya melayang-layang, mencoba memahami bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi semuanya terasa seperti mimpi yang kabur.
"You're My World, My Love" adalah novel romansa remaja yang sangat populer di kalangan pembaca muda. Cerita ini mengisahkan tentang percintaan yang penuh drama dan emosi antara dua remaja, memperlihatkan perjalanan mereka dalam menemukan cinta sejati di tengah berbagai rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Pembaca disuguhkan dengan alur cerita yang mengharukan dan penuh dengan twists, membuat mereka terusik emosinya dari awal hingga akhir. Namun, di balik kepopulerannya, akhir cerita novel ini membuat banyak pembaca, termasuk Reka aka Naya, merasa kesal. Mereka menganggap bahwa penulisnya tidak adil terhadap karakter yang telah dibuatnya, terutama terhadap karakter Reka.
Reka aka Naya merasa bahwa penulis tidak memberikan akhir cerita yang pantas bagi karakter Reka, dan merasa bahwa perlakuan terhadapnya tidak adil. Meskipun cerita ini sangat menarik dan menghibur, namun akhir ceritanya menimbulkan perasaan kecewa bagi banyak pembaca, termasuk Reka aka Naya.
Meskipun begitu, popularitas novel ini tetap tidak terbantahkan, dan menjadi pembicaraan hangat di kalangan pembaca remaja. Di tengah kekesalan atas akhir cerita, masih banyak hal yang bisa dipetik dan dipelajari dari kisah cinta yang rumit dan mengharukan.
Dengan penuh frustrasi, Reka menjambak rambutnya sendiri dengan gerakan kasar, ekspresinya dipenuhi dengan kemarahan yang meluap-luap. "Sialaaan!" teriaknya, suaranya bergema di ruang UKS, membuat Felly terkejut dan terkejut.
"Reka, kamu kenapa lagi?" tanya Felly dengan cemas, tatapannya penuh dengan kekhawatiran. Namun, sebelum Reka bisa menjawab, dia sudah berlari keluar dari ruangan UKS dengan langkah cepat.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan memanggil dokter," kata Felly dengan suara gemetar, berusaha menenangkan dirinya sendiri sekaligus mencari bantuan untuk Reka. Dia bergegas menuju pintu keluar, mencari petugas medis yang mungkin bisa membantu menenangkan temannya yang sedang dalam keadaan terdistress tersebut.
"Aku ter isekai.... Hahahahah," kata Reka dengan tawa yang terdengar frustasi.
"Aku menjadi Figuran yang akan mati di tengah cerita," gumam Reka dengan nada yang penuh keputusasaan.
Pintu ruang UKS terbuka dengan gemerincing pelan saat Felly kembali, diikuti oleh seorang dokter dan Kael yang terlihat khawatir. Wajah Felly mencerminkan kegelisahan yang mendalam, matanya langsung menuju Reka yang duduk di tempat tidur dengan ekspresi yang muram.
Dokter, seorang wanita paruh baya dengan rambut pirang terikat rapi, melangkah dengan tenang ke arah Reka, memeriksa dengan cermat. Di sampingnya, Kael menatap Reka dengan penuh kekhawatiran.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Felly kepada dokter dengan suara yang gemetar, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya.
"Kita akan melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan kondisinya. Tapi yang paling penting sekarang adalah menenangkan Reka dan membuatnya merasa aman," kata Dokter memandang Felly dengan penuh perhatian, lalu menjawab dengan suara yang tenang.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Lupakan saja apa yang tadi kamu lihat, Felly," ujarnya dengan senyuman tipis yang mencoba menutupi rasa canggungnya. "Tadi itu aku hanya sedikit frustasi saja,
tapi sekarang aku baik-baik saja."
"Kamu yakin," tanya Felly dengan suara yang penuh perhatian, matanya memandang Reka dengan intensitas.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Reka dengan senyum tipis. "Terima kasih sudah mengkhawatirkan ku."
Felly terdiam, matanya terbelalak kaget ketika mendengar kata-kata Reka. Dia merasakan kebingungan yang mendalam merayap di dalam dirinya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Dokter, cepat periksa teman saya sekali lagi!" teriak Felly dengan suara gemetar, kepanikan terpancar jelas dari setiap kata yang diucapkannya.
"Sejak kapan kamu bisa mengucapkan terima kasih dengan benar," lanjut Felly dengan suara yang panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!