Marsha Aulia melangkah dengan tenang ke arah sebuah kursi taman, dimana sang kekasih sedang duduk sembari menerima panggilan telepon.
Gadis itu berjalan mengendap, tanpa menimbulkan bunyi hentakan kaki, agar Rafael—sang kekasih tak mendengar kedatangannya.
“Apa tidak ada cara lain? Kenapa harus aku?”
Dahi Marsha berkerut mendengar ucapan sang kekasih. Pemuda itu nampak frustrasi. Terlihat dari caranya duduk, yang tadinya tegak, perlahan membungkuk dengan satu tangan menyangga dahi.
Gadis yang sering di panggil Cha-Cha oleh sang kekasih, tak berani mendekat pada pemuda itu. Ia hanya menyimak. Dan tak ingin ikut campur.
Terdengar helaan nafas kasar dari bibir Rafael yang membuat Marsha semakin terpaku di tempatnya. Sepertinya, ada hal serius yang sedang terjadi. Gadis itu akan menunggu hingga sang kekasih selesai dengan pembicaraannya.
“Baiklah. Aku akan menikahi Sandra.”
Deg!!
Mata indah Marsha membulat sempurna. Ia menggeleng sejenak. Memastikan pendengarannya tak salah mendengar.
Rafael akan menikahi Sandra?
Setahu Marsha, gadis bernama Sandra itu adalah sahabat dari Rafael. Bagaimana bisa, pemuda yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun dengannya, kini berkata akan menikahi gadis lain?
Tidak.
Kepala Marsha kembali menggeleng. Tanpa bersuara, gadis itu berbalik meninggalkan taman.
Marsha berlari dengan air mata yang membasahi pipinya. Ia jelas tak salah mendengar. Rafael dengan tegas mengatakan akan menikahi Sandra. Entah dengan siapa pemuda itu berbicara.
Marsha tak menyangka kejutan seperti ini yang akan ia dapatkan, setelah beberapa hari tak bertemu dengan sang kekasih.
Ia dan Rafael menjalin hubungan sejak duduk di bangku kelas sebelas, hingga beberapa waktu lalu mereka lulus kuliah diploma tiga perhotelan. Terhitung, lima tahun sudah hubungan mereka terjalin. Berjalan sangat manis, tanpa adanya konflik yang berarti.
Namun hari ini, sekalinya prahara itu datang sangat menyakiti hati Marsha.
“Apa maksudmu, El? Kenapa kamu tega sama aku? Apa kamu tidak ingat denganku, saat mengatakan hal itu?”
Isakan pilu terdengar menyayati hati. Selama ini, Rafael begitu memanjakan dan menyayanginya. Tidak disangka, ternyata pemuda itu mengkhianatinya dengan kejam.
Ingin sekali Marsha menjerit. Menumpahkan segala amarah dan kecewanya. Namun ia sadar, semuanya hanya sia-sia.
Tubuh gadis itu luluh terjatuh di atas trotoar jalanan.
Suara klakson mobil terdengar, membuat Marsha dengan cepat menghapus air matanya. Ia pun bergegas berdiri kemudian memasuki taksi yang berhenti tepat di depannya.
“Kamu jahat, El.” Lirih gadis itu. Ia menatap ke belakang. Namun, Rafael tak terlihat. Sepertinya, pemuda itu tidak menyadari kehadiran Marsha di dekatnya.
Gadis itu tersenyum getir. Apa Rafael begitu fokus dengan masalahnya tanpa merasakan kehadiran Marsha di dekatnya? Bukankah mereka sudah bersama selama lima tahun? Tidakkah pemuda itu memiliki ikatan batin dengannya?
Lama termenung dalam lamunan, tak terasa mobil yang ia tumpangi telah tiba di depan rumah indekos yang selama tiga tahun ditempatinya.
Gadis itu pun turun setelah membayar sejumlah uang kepada sopir taksi.
Saat hendak membuka kunci kamarnya, ponsel gadis itu berdeting. Menandakan sebuah pesan masuk telah di terima.
“Sayang, kamu dimana?”
Marsha mencebikkan bibirnya. Ternyata Rafael mengingatnya. Ia pun bergegas membalas pesan pemuda itu.
Namun, belum sempat Marsha mengirim pesan balasan. Sebaris kalimat kembali datang dari nomor sang kekasih.
“Sayang, maafkan aku. Aku harus pulang ke Jogja hari ini. Maaf jika baru memberi kabar. Ada sedikit masalah yang harus aku selesaikan. Tunggu aku kembali.”
Air mata yang tadi telah surut, kini kembali tumpah. Entah kenapa, Marsha merasa ‘masalah’ yang Rafael katakan berkaitan dengan perkataan pemuda itu yang akan menikahi Sandra.
Tangan gadis itu pun bergetar. Ia tak mampu membalas dengan lantang.
“Hati-hati.”
Biarlah Rafael pergi, Marsha akan menunggu penjelasan dari pemuda itu.
\~\~\~
Tiga hari berlalu. Namun Rafael sama sekali tidak memberikan kabar kepada Marsha.
Pesan balasan yang ia kirim hari itu pun terlihat masih berwarna abu-abu, yang berarti pemuda itu belum membacanya. Marsha juga melihat, kapan terakhir kali Rafael membuka aplikasi berbalas pesan itu.
“Dia bahkan tidak sempat membaca pesanku.” Monolog gadis itu sembari menatap lalu lalang orang di atas jembatan penyeberangan jalan.
Tidak tahan dengan rasa penasaran yang menganggu hatinya, Marsha pun mencoba menghubungi kekasihnya itu. Namun sayang, nomor ponsel pemuda itu tidak aktif.
Hal itu membuat hati Marsha kembali merasa kesakitan. Entah masalah apa yang di hadapi Rafael, ia sama sekali tidak tahu.
Hanya satu yang Marsha ketahui, beberapa waktu lalu kakak Rafael mengalami kecelakaan dan dalam keadaan kritis.
Ya, meski telah menjalin hubungan selama lima tahun, Marsha belum pernah bertemu secara langsung dengan keluarga Rafael yang menetap di daerah istimewa Yogyakarta. Hanya beberapa kali berkenalan melalui sambungan telepon.
Hal itulah yang membuat Marsha tidak berani terlalu ikut campur dengan urusan keluarga Rafael.
Gadis itu mencoba menghubungi Rafael sekali lagi. Namun, nomor tujuannya masih belum aktif.
Ia berusaha untuk tenang. Mengusir jauh pikiran buruk yang kembali menghantui.
“Maaf. Maaf.” Ucap seorang pemuda yang tanpa sengaja menabrak bahu Marsha.
“Tidak apa—Aldo.”
Ternyata Marsha mengenali pemuda yang sedang membungkuk memungut barang bawaannya. Dia adalah Aldo, teman satu kuliah, yang tinggal bersebelahan dengan Rafael.
Pemuda yang di panggil Aldo itu pun berdiri.
“Marsha.” Ucapnya dengan dahi berkerut.
“Kamu sedang apa disini?” Tanya pemuda dengan kacamata tebal yang membingkai wajahnya.
“Hanya sekedar mencari udara segar. Kebetulan aku belum mendapat panggilan kerja.” Jawab Marsha dengan sedikit tersenyum.
Dan Aldo pun membalas dengan menganggukkan kepalanya.
“Al. Aku boleh bertanya sesuatu?” Ragu, namun Marsha merasa ingin berbagi cerita dengan Aldo.
“Hmm, katakan.”
“Apa kamu tahu tentang Rafael? Maksudku, apa kamu mendapat kabar tentangnya?”;
Dahi Aldo berkerut halus. Pemuda berpenampilan rapi itu, terheran mendengar pertanyaan dari Marsha.
“Apa kamu tidak tahu?” Pemuda itu berbalik melempar tanya. “Rafael pulang ke Yogya.”
Marsha menganggukkan kepalanya pelan.
“Apa kalian bertengkar?”
Gadis itu menjawab dengan gelengan kepala.
“Tetapi kenapa aku mendengar dia akan menikah dengan gadis lain hari ini?”
Duaarr!!!!
Ucapan pemuda culun itu bagaikan petir yang menyambar di tengah hari bolong. Kaki Marsha terasa lemas. Tubuhnya pun perlahan luruh ke atas trotoar.
“Marsha. Kamu baik-baik saja?” Aldo mendekat sembari memegang bahu gadis itu.
Marsha menggeleng sembari menangis kencang.
“Marsha. Maafkan aku. Aku kira hubungan kalian bubar. Aku juga terkejut saat mendengar Rafael akan menikah.” Aldo sepertinya telah salah berbicara.
Marsha kemudian bangkit, lalu berlari dengan cepat.
“Marsha.” Teriak pemuda culun itu.
“Ya Tuhan. Sepertinya aku salah bicara.” Rutuk Aldo yang kemudian mengejar gadis itu.
Marsha mengemas semua barang-barangnya dengan sembarang. Gadis itu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah indekos yang saat ini ia tempati. Mungkin lebih tepatnya ia akan pergi meninggalkan ibukota.
“Marsha. Maafkan aku. Aku salah bicara.” Aldo menatap penuh rasa bersalah. Pemuda itu menyusul Marsha hingga ke tempat gadis itu tinggal.
“Kamu tidak salah, Al.” Ucap Marsha sembari menjejalkan baju-bajunya ke dalam koper.
“Aku justru berterimakasih sudah bertemu dengan kamu hari ini. Jadi, aku tidak akan berharap lebih lama lagi pada Rafael.”
Aldo menggeleng. Ia sungguh merasa bersalah karena menghancurkan hubungan kedua teman baiknya itu.
“Marsha. Mungkin aku salah dengar waktu itu.” Pemuda culun itu kembali membujuk Marsha. Ia berdiri gelisah sembari meremat kedua tangan.
“Tidak, Al. Bukan hanya kamu. Tetapi aku juga.” Marsha menunjuk dirinya sendiri. “Aku juga mendengar Rafael akan menikah.”
Aldo prihatin melihat keadaan Marsha. Gadis itu tampak menyedihkan.
Pemuda culun itu memang tak salah bicara. Ia mendengar dengan jelas Rafael berbicara dengan orang tuanya melalui sambungan telepon, mengatakan setuju untuk menikah dengan gadis bernama Sandra. Namun, tak seharusnya Aldo mengatakan hal itu kepada Marsha.
“Sha, please. Jangan gegabah. Aku yakin Rafael tidak mengkhanati kamu.” Pemuda itu mendekat ke arah Marsha, sembari menahan lengan gadis itu.
“Al. Sudahlah. Lebih baik sekarang kamu pergi. Aku harus membereskan barang-barangku.” Marsha mendorong secara halus tubuh pemuda culun itu.
“Tidak. Kamu mau pergi kemana sore-sore begini? Sebentar lagi hari gelap, Sha.” Aldo tak mau beranjak dari tempatnya.
Marsha berdecak kesal. “Aku akan pergi besok pagi. Jadi, sekarang Silahkan kamu tinggalkan tempat ini.”
Aldo pun kembali terdorong hingga depan pintu.
Saat sudah berada di ambang pintu, Aldo kembali berbalik. “Sha, apa yang aku katakan nanti jika Rafael bertanya tentang kamu?”
Marsha menghela nafas kasar. Apa mungkin Rafael akan kembali dan menanyakan keberadaan dirinya? Marsha sendiri tidak yakin. Mengingat, sudah tiga hari pria itu menghilang tanpa kabar.
“Katakan saja jika aku mendapat panggilan kerja ke luar negeri.” Gadis itu lalu menutup pintu kamar kostnya.
Setelah kepergian Aldo, Marsha kembali ke dalam kamarnya. Lemari pakaian telah kosong. Buku dan surat-surat penting pun ia masukan kedalam sebuah tas punggung.
Prakk!!
Sebuah bingkai foto terjatuh karena tanpa sengaja tersenggol. Marsha pun menoleh. Gambar dirinya yang di rangkul oleh Rafael, terlihat retak. Ia pun berjongkok untuk memungut bingkai itu.
“Lihatlah. Foto ini pun rusak, seperti hubungan kita yang telah kamu khianati, El.” Marsha pun melempar bingkai itu ke dalam tempat sampah.
“Selamat tinggal.”
Keesokan harinya.
Marsha pun berpamitan pada ibu pemilik tempat tinggal yang selama tiga tahun ditempatinya. Ia beralasan akan bekerja di luar kota, saat sang pemilik rumah menanyakan tujuan kepergiannya.
Gadis itu kembali menghela nafas kasar. Ia tak tahu harus pergi kemana. Selama ini, hanya hidup sebatang kara di ibukota karena kedua orang tuanya mengadu nasib di negeri seberang.
Sahabat pun ia tak punya. Karena selama lima tahun ini, hidup Marsha hanya berputar di sekitar Rafael. Dan di saat seperti ini, gadis itu pun menyesali kebodohannya yang terlalu menjadi budak cinta pemuda pengkhianat itu.
“Apa aku harus menyusul ayah dan ibu ke Malaysia?” Gumamnya pelan.
“Tidak. Aku tidak mau.” Kepala Marsha menggeleng kencang.
Gadis itu pun menyeret kopernya menuju jalan raya untuk menunggu taksi yang akan membawanya ke bandara. Meski belum memiliki tujuan yang pasti.
Bali.
Tiba-tiba satu nama pulau itu terlintas di benaknya.
Ya. Pulau Dewata itu bisa menjadi tempat tujuan utama pelariannya. Ia bisa mencari pekerjaan disana, mengingat Bali merupakan tempat tujuan wisata dunia. Ada begitu banyak hotel dan restoran yang bisa ia datangi untuk melamar pekerjaan sesuai bakatnya.
Gadis itu pun memesan tiket pesawat melalui aplikasi pada ponsel pintarnya.
“Selamat tinggal, El.”
\~\~\~
Lima tahun Kemudian.
“Selamat ulang tahun, Chef.”
Marsha yang baru saja memasuki pintu dapur restoran tempatnya bekerja, tersentak mendapati kejutan ulang tahun dari rekan dan juga bawahannya.
Hari ini gadis itu genap berusia dua puluh tujuh tahun. Ia sendiri tidak begitu mengingat hari kelahirannya, karena tidak ada yang istimewa.
“Terimakasih.” Ucapnya dengan senyum haru.
Terhitung, sudah tiga kali ia mendapatkan kejutan seperti ini sejak dirinya menjabat sebagai asisten Chef, di restoran salah satu hotel berbintang lima di pulau dewata, Bali.
“Berdoa dulu, Chef.” Ucap seorang gadis yang sejak tadi membawa kue berhias lilin kecil.
Marsha mengangguk, kemudian memejamkan mata.
“Semoga cepat dapat jodoh, Chef.” Celetuk salah satu rekan sejawatnya.
Dan ucapan itu pun di amini oleh orang-orang yang berada di dalam dapur itu.
Marsha hanya mencebik. Doa itu selalu terlontar setiap tahun dari orang-orang terdekatnya. Namun, ia sendiri tak pernah mengamininya. Karena, sampai detik ini hati gadis itu masih terluka akibat pengkhianatan di masalalunya.
“Selamat ulang tahun, Sha.”
Marsha yang berdiri menghadap kue ulang tahunnya dan telah meniup lilin pun menoleh ke arah sumber suara. Di belakangnya berdiri seorang pria dewasa bernama Robby, yang merupakan Chef di restoran itu.
“Terimakasih, Chef.”
“Ciieee.” Dapur kembali bergemuruh kala chef Robby memotong kue, kemudian menyuapkan kepada Marsha.
“Jadian bisa nih.” Celetuk orang yang tadi mendoakan Marsha semoga cepat mendapat jodoh. Pria yang sebagai menjabat sebagai supervisor di dapur itu bernama Made.
Marsha pun tersedak kue ulang tahun yang di makannya. Dengan sigap, salah seorang teman memberikan segelas air.
“Sudah. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kasihan wajah Marsha merah karena ucapan kamu, Made.” Chef Robby kemudian berlalu meninggalkan kerumunan para bawahannya.
Suasana kembali riuh. Marsha pun memotong dan membagi kue pada teman-temannya.
“Sisain untuk chef Robby dong.” Ucap pria bernama Made yang kembali menggoda Marsha.
“Chef Made apa-apaan sih? Nanti kalau chef Robby marah sama aku, gimana? Mau tanggung jawab?” Marsha berpura-pura marah pada rekan kerjanya itu.
“Mana mungkin chef Robby marah sama kamu? Seisi dapur ini juga tahu, kalau dia suka sama kamu.” Ucap pria asli Bali itu dengan logat daerahnya yang khas.
Marsha mencebik. Ia tak menanggapi lagi ucapan rekannya itu. Meski gadis itu menyadari apa yang Chef Made ucapkan ada benarnya. Chef Robby menyukainya. Namun hati Marsha masih terpaku di masalalu.
Katakan saja gadis itu susah move-on. Memang pada kenyataan benar seperti itu. Rafael adalah cinta pertamanya. Pria itu pula yang menyakitinya teramat dalam.
Hingga kini pun, Marsha belum bisa membuka hati untuk pria lain. Gadis itu takut, dirinya akan tersakiti, atau bahkan ia menyakiti hati orang lain. Karena ia belum bisa melupakan masalalunya.
“Masih belum bisa move-on?”
Sebuah tanya terlontar dari seorang wanita, yang merupakan rekan kerja Marsha yang berprofesi sebagai Pastry Chef—orang yang khusus membuat kue di restoran.
Mereka kini tengah beristirahat makan siang di ruangan khusus untuk para karyawan restoran.
Marsha bekerja di salah satu hotel berbintang lima. Gadis itu awalnya bekerja sebagai koki pembantu. Dan berkat keuletan dan kerajinannya, setiap tahun jabatan gadis itu meningkat hingga kini menjabat sebagai asisten Chef, atau yang sering di sebut Sous Chef.
“Siapa yang belum move-on?” Tanya gadis itu sembari menyuapkan sesendok nasi ayam ke dalam mulutnya.
“Apa kamu masih mengharapkan pria itu?” Tanya wanita yang bernama Mitha itu.
Marsha menghela nafas pelan. Dari semua rekan kerja di dapur restoran itu, hanya Chef Mitha yang mengetahui tentang masalalunya.
“Aku tidak mengharapkannya, Chef.” Jawabnya sembari menutup kotak bekal yang ia bawa.
“Apa yang kamu lakukan seandainya kalian bertemu kembali?” Tanya wanita yang tiga tahun lebih tua dari Marsha itu.
Kepala Marsha menggeleng pelan. Ia bahkan tidak berharap untuk bertemu lagi dengan Rafael.
“Apa kamu tidak ingin mendengar penjelasannya?”
Marsha yang sejak tadi duduk menunduk, kemudian memutar kepala menoleh ke arah lawan bicaranya. Chef Mitha pun sedang menatap ke arahnya menunggu jawaban.
“Aku sudah menunggunya lima tahun yang lalu, Chef. Tetapi, dia tidak datang memberi penjelasan.” Nada suara Marsha terdengar getir. Chef Mitha pun mengusap lengan gadis itu.
Ya.
Lima tahun yang lalu, Marsha menunggu kabar dari Rafael. Ia berharap pria itu menghubungi, kemudian mencarinya untuk memberikan penjelasan.
Namun, hingga dua bulan berlalu, pria itu sama sekali tidak ada menghubunginya. Bahkan, balasan pesan terakhir yang Marsha kirim, masih berwarna abu-abu tanda belum terbaca.
Hal itu semakin membuat Marsha sakit hati. Ia pun memutuskan untuk mengganti nomor ponselnya. Dan tidak berharap lagi pada Rafael.
“Bukannya sebagai manusia kita tidak boleh terlalu berharap kepada sesama manusia?” Gadis itu tersenyum getir.
Chef Mitha pun kembali mengusap lengannya.
“Aku tahu perasaanmu. Meski aku tidak pernah mengalami yang kamu alami. Setidaknya, aku bisa merasakan kesedihan dari ceritamu.”
Marsha menganggukkan kepalanya pelan.
“Oh ya. Kita lupakan pembahasan tentang masalalu itu. Omong-omong, jadwal perputaran karyawan sebentar lagi akan tiba. Kamu harus siap-siap berangkat ke Jakarta.” Chef Mitha mengalihkan topik pembahasan. Ia tidak mau melihat Marsha kembali bersedih, seperti lima tahun lalu saat pertama kali mereka berkenalan.
“Apa aku boleh menolak?” Tanya Marsha penuh harap. Jujur, ia belum mau kembali menginjakkan kakinya di ibukota negara itu.
“Mau menolak lagi? Sekarang kamu mau beralasan apalagi? Tahun lalu kamu sudah menolaknya.” Chef Mitha mengingatkan.
Marsha menghela nafas pelan. Setiap tahun, memang ada perputaran penempatan karyawan di hotel itu. Para pekerja yang sudah bekerja di atas tiga tahun, mendapat kesempatan untuk bermutasi ke hotel pusat di Jakarta.
Tahun lalu, nama Marsha masuk kedalam salah satu karyawan yang akan di pindah tugaskan. Namun, gadis itu menolak dengan dalih belum memiliki cukup pengalaman, dan ingin lebih lama mengasah kemampuannya. Pihak hotel menyetujui, dan memberikan gadis itu waktu hingga satu tahun. Kini waktu itu telah tiba. Mungkinkah nama Marsha akan kembali terpanggil?
“Semoga saja nama aku tidak masuk tahun ini.” Ucap Marsha penuh harap.
“Memangnya di dapur ada berapa asisten Chef? Cuma kamu saja.”
Ucapan Chef Mitha membuat Marsha mendengus kesal.
\~\~\~
Tiga hari berlalu.
Benar yang di katakan oleh Chef Mitha saat itu. Jadwal perputaran karyawan hotel pun di umumkan. Dan nama Marsha dan Chef Robby menjadi salah satunya.
Seperti yang sudah berlalu, para karyawan akan berangkat ke Jakarta sebulan setelah nama mereka di umumkan. Keberangkatan ke ibukota pun di tanggung oleh pihak hotel.
“Selamat Sha. Akhirnya giliran kamu tiba.” Chef Made datang sembari mengulurkan tangan.
“Bukan hal membanggakan yang harus mendapatkan ucapan selamat, Chef. Sampai disana kita juga akan bekerja seperti disini.” Marsha membalas jabatan tangan Chef Made dengan lesu.
“Tidak apa-apa. Yang penting berangkatnya sama ayang.” Gurau pria humoris itu sembari melirik ke arah Chef Robby yang sedang serius dengan buku catatannya.
Pengalihan tugas membuat pria berusia tiga puluh lima tahun itu sibuk mendata beberapa barang, yang nantinya akan di serahkan kepada rekan sesama Chef yang masih bertugas di Jakarta dan akan menggantikannya disini.
“Chef Made.” Marsha mendelik. Dan pria asli Bali itu pun tergelak.
Saat jam pulang kerja tiba, Chef Robby mengajak Marsha untuk berbicara berdua.
“Ada hal penting apa yang ingin Chef bicarakan dengan aku?” Tanya Marsha saat mereka sudah berada di salah satu kedai es krim ternama.
“Kamu sudah tahu ‘kan, jika nama kamu masuk ke dalam daftar nama karyawan yang akan berangkat ke Jakarta bulan depan?” Chef Robby menyerahkan satu cup es krim rasa coklat pada gadis itu.
Sembari mengangguk, Marsha pun menerima es krim yang katanya dari negara Italia itu.
“Kamu sudah siap?” Tanya pria yang delapan tahun lebih tua darinya itu.
Marsha menghela nafas pelan. Sejujurnya, ia tidak akan pernah siap untuk kembali ke Jakarta. Bukan karena takut akan bertemu dengan Rafael, tetapi ia pasti akan teringat kembali dengan kenangan masalalunya.
“Apa aku boleh menolaknya lagi, Chef?” Tanyanya dengan polos.
Chef Robby menyunggingkan salah satu sudut bibirnya.
“Sayangnya tidak, Sha. Asisten ku cuma kamu. Jika aku pergi, berarti kamu juga harus ikut.”
Jawaban Chef Robby membuat Marsha sedikit mendengus.
“Kalau begitu, Chef saja yang menolak. Otomatis aku juga tidak jadi pergi ‘kan?” Saran konyol pun ia lontarkan. Membuat Chef Robby terkekeh pelan.
“Andai hotel ini milik aku, Sha. Aku pasti melakukan yang kamu ucapkan itu dengan senang hati.” Pria itu menjeda ucapannya, kemudian menyuapkan sesendok es krim stroberi ke dalam mulutnya.
“Sayangnya, aku juga sama sepertimu. Hanya seorang pekerja, yang sudah terikat kontrak. Dan harus siap di tempatkan dimanapun perusahaan menghendakinya.”
Ucapan Chef Robby seolah menyindir gadis itu. Ia pun hanya menanggapi dengan anggukan kepala pelan.
“Lagipula, kenapa kamu seolah enggan pergi ke Jakarta? Bukannya disana kampung halamanmu? Apa kamu takut bertemu dengan mantan kekasihmu?” Tanya pria itu kemudian yang membuat Marsha tersedak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!