...Bab 1 - Mimpi Buruk Ratu...
Di sebuah rumah tua yang megah dengan suasana minim pencahayaan, gadis bernama Ratu Azalea itu mencoba melangkah. Gadis berambut panjang yang dikuncir kuda itu mencoba menapaki lantai. Tubuh kurus dengan tinggi 165 cm itu tiba di anak tangga yang menuju ke lantai bawah dan kayunya mulai rapuh.
Rasa penasaran membuatnya menuruni anak tangga. Pijakannya itu sampai mengeluarkan suara yang membuat siapa pun akan khawatir ketika memajukan langkah lebih jauh. Udara di dalam ruangan bawah tanah itu terasa semakin dingin dan pengap.
Gadis bermata cokelat itu berusaha menatap tajam ke depan di ruangan yang minim pencahayaan tersebut. Sementara dari kejauhan, Ratu mendengar gemericik air yang menetes dari langit-langit. Mungkinkah hujan di luar sana, batinnya.
Embusan angin dingin mulai membuat tubuhnya merasa menggigil. Gadis berparas ayu itu berusaha menapakkan kaki jenjangnya semakin dalam menuju ke sebuah ruangan yang lebih lembab dari ruangan sebelumnya. Napasnya terasa makin sesak.
“Di mana aku sebenarnya?” lirihnya.
Pasalnya, Ratu tak pernah ingat kalau dia pernah ke tempat seperti itu. Pijakan di lantai semakin membuat telapak kaki kasar itu mulai tak nyaman. Ratu mencoba menajamkan lagi penglihatan sampai ia dapati lantai itu menghitam.
Tiba-tiba, suara pria tengah bersenandung dengan siulannya terdengar dan membuat gadis itu mendekat. Pria yang hanya bisa Ratu lihat punggungnya itu tengah bersenandung seraya memotong sesuatu di hadapannya.
Tak jauh dari pria itu, terdapat sebuah kursi yang membuat Ratu semakin terperanjat. Sosok seorang wanita berada di sebuah kursi dengan kedua tangan terikat ke belakang. Wanita berusia 40 tahun berwajah cantik itu terlihat pucat, matanya juga melotot. Mulut wanita itu juga terbuka menganga. Parahnya lagi wanita itu bersimbah darah dengan luka sabetan benda tajam di bagian tubuh depannya.
Ratu yakin kalau wanita itu sudah tewas. Gadis itu langsung bergidik ketika menyadari kalau suara yang sedari tadi dia dengar bukanlah tetesan air dari langit-langit yang bocor, melainkan suara tetesan darah yang terus menerus keluar dari dalam tubuh wanita itu.
Pria itu selesai dengan kegiatannya. Ia baru saja melakukan tindakan keji yang mengerikan. Kini, Ratu dapat melihat sosok anak kecil terkulai tak bernyawa di hadapannya. Bahkan dengan kondisi tubuh yang tak lengkap. Pria itu menyerahkan potongan tangan manusia ke sesosok makhluk kerdil yang terlihat melompat kegirangan.
Ratu ingin berteriak, tetapi tenggorokannya tercekat. Tubuhnya bahkan kaku tak bisa bergerak. Akhirnya, sepasang mata lentiknya saling bertemu dengan mata merah menyala milik makhluk kerdil itu.
“Ratu! Ratu, bangun Nak!”
Suara nyaring ibu panti membangunkan gadis itu dari mimpi buruknya. Peluh bercucuran ketika gadis itu tersentak dan mendapati langit-langit kamar yang sangat ia kenali itu.
“Bu Ros, hiks hiks!”
Ratu langsung menangis memeluk wanita renta berusia 55 tahun itu.
“Kamu pasti mimpi buruk lagi, ya?”
Bu Ros lagi-lagi bertanya seraya tersenyum. Anak perempuan berusia tujuh tahun berkepang dua, membuka tirai jendela kamar Ratu.
“Kak Ratu tadi gelagapan kayak nggak bisa napas. Aku panik tau, Kak. Terus aku panggil aja Bu Ros ke sini,” aku gadis kecil bernama Indah itu.
“Kenapa belakangan ini kamu sering sekali mimpi buruk? Apa mimpi makhluk kerdil itu lagi?” tanya Bu Ros pada Ratu.
Ratu hanya bisa menggeleng lemah. Ia meraih gelas di atas nakas samping ranjangnya. Meneguknya sampai habis.
Sudah sebulan ini Ratu kerap mengalami mimpi buruk itu. Akan tetapi, ia tak berani menceritakannya secara detail pada Bu Ros.
“Bersiaplah untuk ke sekolah, hari ini kamu masih ujian akhir, kan?”
“Iya, Bu.” Ratu mengangguk.
“Makanya kalau abis subuh jangan tidur lagi, Kak!” celetuk Indah.
“Hehe, habisnya aku ngantuk, Ndah.” Ratu bangkit meraih handuk.
“Nonton drakor terus, sih. Mentang-mentang dapat wifi gratis dari warung sebelah.”
Indah yang satu kamar dengan Ratu merapikan buku di tasnya. Gadis berusia tujuh tahun itu gaya bicaranya lebih dewasa dari usianya kalau Ratu pikir.
“Kalian jangan lupa sarapan dulu. Mbak Yam udah masak nasi goreng,” kata Bu Ros.
“Siap, Bu!”
Ratu dan Indah menyahut bersamaan.
Ratu dan Indah tinggal di panti asuhan sejak kecil. Menurut Bu Ros, Ratu dititipkan di depan panti saat berusia lima tahun. Namun, Ratu tak bisa mengingat masa kecilnya selama lima tahun sebelum dititipkan di Panti Asuhan Gembira.
Sedangkan, Indah ditinggalkan di depan panti asuhan sejak bayi. Mungkin, usianya baru beberapa hari kala itu. Tali pusatnya saja masih menempel. Ratu kini berusia tujuh belas tahun. Sebenarnya ada dua orang anak perempuan yang seumuran dengannya. Hanya saja salah satunya sudah diadopsi sejak berusia sepuluh tahun dan yang satu lagi baru saja menikah muda tahun lalu.
Pada kenyataannya, banyak yang ingin mengadopsi Ratu. Namun, gadis itu tak pernah ingin pergi dari Bu Ros. Ratu selalu membuat ulah agar dibenci para orang tua asuh dia tidak jadi mengadopsinya. Hanya ada satu orang tua asuh bernama Bapak Hadinata Praditha yang setiap beberapa bulan sekali mengunjungi panti dan tak pernah membenci Ratu. Namun, sudah tiga bulan ini Bapak Hadi tak berkunjung. Ratu mendengar kabar kalau beliau sedang sakit.
“Aku berangkat dulu ya, Bu.”
Ratu mengecup punggung tangan wanita tersayangnya itu. Di belakangnya, Indah dan anak-anak panti yang lain mengikutinya untuk salim pada Bu Ros.
“Pulang sekolah langsung pulang ya, jangan pada main!” kata Bu Ros memberi peringatan.
“Aku nggak janji ya, Bu. Aku kan kerja,” sahut Ratu mengedipkan satu kelopak matanya
Bu Ros membalas dengan senyuman hangat seraya mengangguk. Ia paham betul dengan watak gadis pekerja keras itu. Ratu tak pernah malas dan selalu saja ingin membantu keuangan panti asuhan. Wanita itu juga tak pernah memaksa Ratu untuk menerima orang tua asuh yang akan mengadopsinya.
“Ratu! Nanti malam bantuin aku di warung ya?” Suara seorang wanita berteriak lantang terdengar.
Ratu melangkah mendekat sebelum menyebrang menuju ke halte.
“Emang di warung nanti malam ada apa, Mbak?” tanya Ratu pada Raya si pemilik warung.
“Ada yang ulang tahun di warung, Mbak. Anak-anak muda gitu pada borong semua nasi kucing dan lauknya.”
“Wah, keren! Nah, anak muda kayak gini nih yang membantu perekonomian UMKM kecil kayak, Mbak. Jangan ngerayain ultah kafe mahal,” ucap Ratu.
“Kan, gak semua mahasiswa bisa ultah di kafe, Tu.”
“Oke, deh Mbak. Aku berangkat sekolah dulu, ya. Nanti malam aku ke sini.” Ratu lantas melambaikan tangannya pada Raya dan hendak menyeberang.
Hampir saja Ratu tertabrak sebuah sedan hitam yang berdecit ketika si pengemudinya menginjak rem secara tiba-tiba.
“Woi, kalau jalan pakai mata, dong!” seru seorang pria berambut gondrong nan ikal sebahu itu.
Ratu memicingkan mata dengan tatapan kesal. Namun, tatapannya tertuju pada sosok tampan dengan rambut cepak hitam dengan garis wajah tajam berlesung pipi. Pemuda yang menggemaskan dan membuat raut wajah Ratu melunak. Gadis itu melukis senyum manis kemudian.
“Wah, gue yang bentak dia, kenapa harus elu yang jadi perhatian dia, Dam?” keluh si gondrong pada pemuda di sampingnya.
“Maklum Bro, ketampanan turunan dari ayah gue emang selalu menarik buat dilihat para kaum hawa,” tutur pemuda bernama Adam itu tertawa kecil.
...******...
...To be continued...
...Bab 2 - Berita Tentang Pak Hadi...
...***...
Tin! Tin!
Klakson mobil sedan hitam itu menjerit. Pemuda berambut gondrong tadi mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
“Woi! Buta, Luh? Minggir sana!” serunya.
“Aku punya mata tau! Berani kamu sama anak yatim piatu kayak aku?” Ratu mendelik.
Adam berusaha menenangkan pemuda gondrong bernama Joni yang hanya ingin dipanggil Jhon.
“Udeh, Jon, jangan marah-marah masih pagi gini. Lagian berani Luh sama anak yatim piatu itu? Doanya kuat, Bro!” cegah Adam.
Joni menelan saliva-nya berat. Akhirnya, ia mengalah. Mobil sedan itu ia lajukan melewati Ratu. Sementara itu, tatapan Adam pada Ratu mulai berbeda. Ada bayangan hitam setinggi paha gadis itu yang tak bisa ia fokuskan cirinya. Yang jelas, ada makhluk astral yang menemani Ratu kala itu.
...***...
Siang itu, ujian sekolah Ratu berakhir juga. Ucapan syukur serentak dilantangkan para murid, begitu juga dengan Ratu.
“Tu, kamu gak bisa apa izin kerja dulu? Ayo, ikut aku sama anak-anak yang lain makan bakso!” ajak Tina, teman sekolah Ratu.
“Duh, maaf ya… aku gak bisa bolos kerja lagi soalnya. Kapan-kapan aja aku ikut kalian buat makan-makan.” Ratu lalu pamit dan menuju ke arah toilet.
Di dalam toilet, Ratu melihat seorang murid perempuan yang menangis di depan pintu salah satu toilet. Gadis itu mendekatinya karena bermaksud menanyakan perihal kenapa gadis itu bersedih.
“Halo, kamu kenapa nangis?” tanya Ratu.
Gadis yang wajahnya tertutup rambut itu lalu menoleh. Lidah gadis itu terjulur dengan mulut penuh busa. Ratu ingin menjerit tetapi mendadak lidahnya kelu. Tubuhnya terasa kaku, padahal ia ingin segera berlari. Wajah gadis itu pucat lalu mengeluarkan tangisan darah.
‘Ya Allah, tolong bantu aku’
Ratu membatin seraya merapal ayat kursi di dalam hatinya. Sosok gadis yang bukan manusia itu mengulurkan tangannya. Dia hendak mencekik Ratu. Namun tak lama kemudian, sosok hantu mengerikan itu terpental dan menghilang.
“Ratu, elu nggak apa-apa kan?” Teman Ratu yang bernama Lala menepuk bahu gadis itu.
Tubuh Ratu sudah lunglai dan terduduk di lantai kala itu. Sontak saja, Ratu menjerit dan segera berlari meninggalkan Lala yang masih menatapnya keheranan.
“Tu! Ratu elu kenapa?!” teriak Lala.
Ratu tak mengindahkan panggilan kawannya, ia hanya ingin pergi menjauh dari toilet kala itu. Gadis itu bahkan sampai menabrak Rara, guru bahasa inggris di sekolah Ratu.
“Hei, kamu kenapa, Tu?” tanyanya.
“Anu, anu itu, itu Bu….”
“Tenang dulu. Tarik napas yang dalam terus buang,” pinta Rara.
Setelah mengembuskan napas beberapa kali, Ratu mulai tenang.
“Sa-saya, saya lihat hantu di toilet, Bu. Sumpah saya nggak bohong. Ibu percaya deh sama saya, saya lihat hantu, Bu. Itu hantunya Sisi yang bunuh diri bulan lalu,” ucap Ratu bertubi-tubi.
Gadis itu yakin kalau Rara pasti akan menertawainya karena tak percaya dengan penglihatannya barusan. Rara sempat mengernyit. Lalu ia menoleh ke arah toilet. Ibu guru cantik itu sebenarnya memiliki kemampuan melihat makhluk astral, sehingga ia percaya dengan ucapan Ratu. Apalagi, sosok hantu bernama Sisi itu sempat melintas di dekat toilet.
“Ibu percaya, kok. Sekarang anggap aja kamu mimpi buruk.”
“Tapi, Bu, saya beneran lihat hantunya Sisi.”
“Saya tahu. Dia belum tenang makanya masih gentayangan,” ucap Rara pelan.
“Ibu, bisa lihat dia?” bisik Ratu.
Rara mengangguk.
“Sekarang kamu pulang, ya. Nggak usah kamu ceritakan apa yang kamu lihat tadi. Saya takut ada yang nggak percaya dan malah menganggap kamu gila. Saya pernah merasakan hal itu,” ucap Rara.
Ratu mengangguk. Gadis itu sempat menoleh ke arah toilet lagi. Namun, Rara memintanya untuk pulang jangan menoleh ke arah toilet lagi. Ratu akhirnya menurut. Akan tetapi, pikirannya masih kalut.
Bagaimana bisa dia melihat hantu padahal dia belum pernah melihat hal tersebut sebelumnya?
“Apa ini ada hubungannya dengan mimpi buruk aku, ya? Apa sejak aku mimpi makhluk kerdil itu, aku jadi bisa lihat hantu?” gumam Ratu.
...***...
Pukul tujuh malam, Ratu pulang dengan wajah letih. Namun, dia harus bergegas untuk pergi ke warung Mbak Raya di sebelah panti asuhan tempat tinggalnya. Akan tetapi, jaguar hitam yang terparkir di halaman panti membuatnya menghentikan langkah.
“Kayak mobilnya Pak Hadi, deh,” gumam gadis itu.
Bu Ros dan seorang pria yang Ratu kenal tengah menunggunya. Membuat langkah gadis itu bergegas menghampiri.
“Mas Karyo, apa kabar?” sapa Ratu.
“Kabar saya baik, Non,” jawabnya.
Pria bertubuh tegap dan berusia 35 tahun yang biasanya humoris itu terlihat lesu. Karyo merupakan ajudan dari Pak Hadi yang selalu datang menemani tuannya untuk berbagi di panti asuhan tersebut.
“Loh, Pak Hadi di mana? Kok, Mas Karyo sendiri aja?” tanya Ratu lagi.
Bu Ros sudah meraih tas ransel gadis itu. Ia juga meraih paper bag berisi seragam sekolah Ratu.
“Duduk dulu, Tu. Temani Mas Karyo sebentar. Ibu mau ambil minum dulu buat kamu,” ucap lembut Bu Ros.
Meski Ratu masih berpikir keras dengan keadaan yang terjadi saat itu, tetapi gadis itu tetap menuruti perkataan ibu panti.
“Tolong dibaca dulu,” kata Mas Karyo seraya menyerahkan map kuning ke arah Ratu.
“Apa ini, Mas?” tanya gadis itu seraya meraihnya.
“Ini wasiat dari Bapak,” ucapnya.
Ratu paham dengan kata “bapak” yang dimaksud Mas Karyo, karena pria itu memanggil atasannya dengan sebutan tersebut dibandingkan dengan sebutan tuan.
“Apa maksud semua ini, Mas?”
Ratu mendelik, menatap lekat dengan saksama saat membaca secarik wasiat dari Pak Hadi. Di sana tertulis kalau Pak Hadi menyerahkan seluruh harta miliknya pada Ratu.
“Aku masih nggak ngerti dengan wasiat ini. Lagian kenapa Pak Hadi kasih hartanya buat aku? Memangnya Pak Hadi sekarang di mana, sih? Aku mau ngomong sama dia,” cecar Ratu.
Mas Karyo membetulkan posisi kaca matanya. Ia melepasnya dan mengusapnya lembut dengan tisu yang dia ambil dari meja. Lalu, dia kenakan kembali kacamata itu.
“Bapak sudah meninggal, Non.” Raut wajah pria di hadapan Ratu terlihat sedih.
“Inalillahi waa innailaihi rajiun, kapan Pak Hadi meninggalnya?” tanya Ratu.
Bu Ros datang dengan secangkir teh manis di tangannya. Ia meminta Ratu untuk meminumnya seolah ingin menenangkan gadis itu agar tidak terkejut dengan hal selanjutnya yang akan diutarakan Mas Karyo.
“Bapak meninggal kemarin, Non. Terus saya dikasih wasiat itu dan diminta bawa Non Ratu pulang,” jawab Karyo.
“Pulang? Rumah saya di sini, Pak,” tegas Ratu.
“Maaf, Non. Maaf kalau selama ini saya merahasiakan sesuatu yang harusnya sudah Non ketahui sejak Pak Hadi datang ke sini lima tahun yang lalu.”
“Rahasia apa?” tanya Ratu.
...******...
...To be continued…...
...Bab 3 - Anak Kandung yang Hilang...
“Non Ratu adalah putri kandung dari Bapak Hadi,” ucapnya.
Tangan Ratu gemetar, cangkir di tangannya hampir saja jatuh jika Bu Ros tidak buru-buru meraihnya.
“A-aku, aku anaknya Pak Hadi?”
Mata bulat cokelat nan cantik itu mulai menggenangkan bulir bening yang tak terasa menetes.
“Iya, Non.” Karyo mengangguk.
“Kenapa Pak Hadi nggak pernah bilang?! Kenapa dia menelantarkan saya di sini?! Kenapa pas dia meninggal semua ini baru diungkap, hah?!”
Amarah yang bercampur emosi kesedihan itu mulai tak bisa terbendung. Bukannya bahagia mendengar berita tersebut, gadis itu malah terluka batinnya.
“Maaf, Non. Bapak merahasiakan ini karena ingin melindungi, Non,” kata Karyo.
Bu Ros mengusap bahu Ratu agar bisa tenang barang sebentar.
“Dia bukan melindungi aku, dia menelantarkan aku!” pekik Ratu.
“Nggak, Non. Bapak selama ini mencari keberadaan Non Ratu. Saat berusia lima tahun, Non Ratu diculik. Nah, lima tahun lalu saat kamu menemukan tempat ini, Bapak belum tahu kalau Non Ratu anaknya. Tapi, Bapak selalu cerita kalau Non Ratu mirip mendiang istrinya, ibunya Non. Setahun lalu, baru Bapak akhirnya berani untuk mengambil tes DNA milik Non atas bantuan Bu Ros,” tutur Karyo menjelaskan.
Ratu menoleh pada Bu Ros.
“Maafkan Ibu, Tu. Pak Hadi meminta Ibu untuk merahasiakannya,” ucapnya langsung menjawab sebelum Ratu mempertanyakan.
Ratu bangkit dari kursinya, “Mas Karyo pulang aja! Aku gak mau ikut pulang sama Mas.”
“Tapi, Non, Bapak belum bisa dimakamkan sebelum ketemu sama Non. Tolong saya, Non. Kasihan sama jasad Bapak yang hanya bisa dimakamkan dengan anak kandungnya sendiri,” ucap Karyo memelas.
“Tu, Ibu tau kamu kecewa sama Pak Hadi. Tapi, di mana rasa kemanusiaan kamu? Apa kamu tega membiarkan jasad Pak Hadi gak bisa dimakamkan?” Bu Ros mencoba menasehati Ratu.
“Kenapa harus Ratu, Bu? Kan tinggal dikubur aja beres,” sahut gadis itu ketus.
“Non, setiap tempat punya aturan dan ritual yang berbeda. Walaupun di luar nalar, kita harus tetap menghormati dengan percaya pada hal tersebut. Nyatanya, Bapak sudah kami usahakan untuk dimakamkan, tetapi tetap tak bisa. Jasadnya tidak bisa kami angkat,” jelas Karyo.
Ratu mengernyit tak percaya, “Nggak masuk akal. Mas Karyo bohong, kan?”
“Sumpah, Non. Menurut sesepuh di desa, Bapak Hadi butuh permintaan maaf dari Non, baru bisa diangkat dan dikubur dengan tenang,” sahutnya.
“Ya sudah, aku maafkan!” Ratu yang tampak kesal hendak memasuki rumah panti, tetapi Mas Karyo mencegahnya.
“Tidak semudah itu, Non. Non Ratu harus hadir di sana memberi maaf, berbisik pada Bapak, dan memandikan beliau sebelum dikebumikan,” ucapnya lagi.
“Ya tapi kenapa harus saya?! Ratu membentak tanpa sadar.
Dilhatnya Bu Ros lalu ditolehkannya wajahnya ke arah dalam panti di mana Indah dan beberapa anak panti lainnya tengah mencuri dengar.
“Karena Non anak kandung Bapak Hadi. Non Ratu bisa lihat hasil tes DNA di bagian belakang surat wasiat tadi kalau masih ragu,” tegas Karyo.
Dari kejauhan Raya tampak bergegas menuju panti asuhan. Wanita sedang mencari Ratu agar bisa membantunya di warung. Akan tetapi, Ibu Ros sudah menahannya dan menjelaskan duduk perkara yang terjadi perihal Ratu. Wanita itu pun akhirnya mengerti dan meminta Ratna serta Teddy, anak panti yang lain untuk membantunya.
...***...
Satu jam berlalu, Mas Karyo masih menunggu Ratu yang mengurung diri di kamarnya. Namun, Bu Ros berkali-kali memberi wejangan pada Ratu agar bisa memaafkan dengan tulus ayah kandungnya. Gadis itu akhirnya mengerti dan akhirnya mau juga ikut Mas Karyo ke Desa Gandasturi.
“Kak Ratu enak ya sekarang udah jadi orang kaya,” ucap Yanti.
“Iya, nggak susah lagi deh mau makan enak. Nggak kayak kita,” sahut Indah yang berdiri di samping daun pintu kamarnya.
Ratu yang sedang berkemas, lalu menoleh.
“Kalian bisa kok makan enak setiap hari tanpa harus berebut lagi. Kak Ratu yang akan kirim makanan enak buat kalian,” ucapnya.
“Kak Ratu beneran nggak akan lupa sama kami di sini, kan?” Indah mulai terisak.
Ratu bangkit dan memeluknya, “Kakak nggak akan pernah lupa sama kalian. Nggak akan pernah lupa tempat di mana Kakak dibesarkan.”
Malam itu pukul sepuluh setelah larut dalam haru biru berpamitan, Ratu memasuki mobil jaguar yang dikendarai oleh Mas Karyo. Gadis itu melihat lagi dengan saksama panti asuhan di mana ia dibesarkan. Melihat lagi wajah sendu pengasuhnya dan adik-adik panti. Mengusap bulir bening di pipi, lalu melambaikan tangan kepada semuanya. Mobil hitam itu pun melaju pergi.
Butuh delapan jam waktu tempuh dari panti asuhan ke Desa Gandasturi. Entah kenapa orang kaya seperti Pak Hadi memilih tetap bertahan tinggal di desa dibandingkan pindah ke kota besar. Sepanjang perjalanan, Mas Karyo sesekali menceritakan tentang sosok Hadinata Praditha. Ia juga menceritakan kalau Bapak Hadi juga memiliki seorang istri dan seorang putri.
“Kalau bapak punya anak yang lain, kenapa harus aku yang memandikan jasadnya?” tanya Ratu.
“Nggak bisa, Non. Non Sari udah mencobanya tetapi nggak bisa,” sahutnya.
“Kenapa?”
“Dia bukan anak kandung Bapak Hadi. Kami juga baru tahu saat pemakaman,” ucapnya getir.
Ratu kembali merenung. Di desa nanti dia akan punya saudara tiri, tetapi bukan anak kandung ayahnya. Dia juga akan punya ibu tiri, wanita bernama Mira yang ternyata adik dari ibunya. Jadi, Bapak Hadi turun ranjang menikahi adik iparnya. Rasa lelah mendera, Ratu tak kuat menurunkan kelopak matanya. Kepalanya ia sandarkan ke sisi kiri dekat pintu mobil.
BRUG!
Setelah sempat lelap dalam perjalanan, Ratu terbangun ketika mendengar suara keras yang menyentaknya. Mobil yang dikendarai Mas Karyo juga sempat terguncang.
“Ada apa, Mas?” tanya Ratu.
Mas Karyo memajukan tubuhnya untuk melihat lebih jelas ke arah depan.
“Ada pohon tumbang, Non, terus kelindes sama saya. Maaf ya, Non, gara-gara ini jadi kebangun,” ucap Mas Karyo.
Pria berkumis tipis itu melepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil untuk memindahkan batang pohon yang tumbang tadi. Tatapan Ratu tertuju ke depan tak jauh dari mobil itu berada. Di depan sana ada gapura yang bertuliskan “Desa Gandasturi” disertai aksara huruf Jawa di bagian bawahnya.
Brak! Brak! Brak!
Sesuatu kembali mengejutkan Ratu. Ada yang memukul bagian belakang mobil berkali-kali. Gadis itu menoleh, tersentak kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sosok wanita berwajah rusak bersimbah darah melotot ke arahnya. Kulit tangannya tampak melepuh. Baju terusan warna biru tua itu lusuh, terkoyak, dan banyak terdapat noda darah. Rambut panjang sepunggung itu berantakan.
“PERGI! PERGI DARI SINI!”
Sosok wanita itu berteriak seraya menepuk-nepuk keras bagian belakang mobil itu lagi.
Ratu merasakan ada yang berusaha menarik tangannya yang sudah rapat menutupi wajahnya.
“Pergi, kamu yang pergi!” seru Ratu masih dengan tangan menutup wajah.
“Non, Non Ratu! Ini saya Mas Karyo!” Pria itu berusaha menenangkan Ratu.
Gadis itu membuka kedua telapak tangannya. Ia menoleh ke arah sosok wanita tadi, tetapi sosok tadi menghilang.
“Ta-tadi, tadi ada perempuan wajahnya darah semua di sana,” ucap Ratu ketakutan, menunjuk dengan tangan gemetar.
...******...
...To be continued ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!