"Orang kecil di larang bermimpi." Kalimat asumsi itu sama sekali tak berlaku bagi Freya. Baginya, mempunyai kehidupan finansial baik atau tidak, semua orang berhak untuk bermimpi dan berusaha mencapainya.
Freya Davina, gadis berparas manis dengan kedua lesung pipi yang menjadi ciri khasnya, semakin menguatkan tekad agar bisa memiliki kehidupan yang mapan dan bisa membahagiakan sang bunda.
Sadar terlahir di keluarga yang terbilang sederhana dan jauh dari kemewahan, Freya pun sangat terobsesi dalam hal belajar. Ia sangat giat bahkan tak ada kata lelah di kamusnya. Selagi itu berguna demi masa depannya, Freya akan melakukan itu dengan sukacita.
Gadis berambut panjang sebatas punggung itu kini tengah sibuk mengerjakan beberapa soal latihan dari buku pelajaran. Jam kosong ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Freya tak ingin waktunya terbuang sia-sia begitu saja.
"Frey..." seseorang menepuk bahunya.
Dengan malas Freya mendongak sesaat, memastikan siapa yang berani mengusiknya.
"Ngapain sih Frey? sini gabung sama kita." tukas Hana, gadis berlensa yang duduk tepat di belakang kursi Freya.
"Ogah." sahut Freya lalu melanjutkan aktifitasnya kembali.
"Udah biarin aja si Freya pacaran sama soal-soal di buku. Nggak usah di ganggu." Risa yang duduk bersebelahan dengan Hana ikut menimpali.
"Emang apaan sih Frey yang lo kejar sampe segitunya lo belajar?" Andre menduduki kursi kosong di sebelah Freya.
"Cita-cita gue lah, apa lagi!" jawaban Freya selalu saja ketus.
"Tapi Frey, lo harus tetap menikmati masa muda lo. Jangan sampe demi masa depan yang lo sendiri belum tau kayak gimana, lo malah jadi ngerasa terbebani kayak gini." Andre memberi petuah.
"Gue nggak ngerasa terbebani kok Ndre. Gue happy malah bisa ngerjain soal-soal ini sendiri." ujar Freya dengan entengnya.
"Hadeh, udah lah Ndre. Freya sama kita itu pola pikirnya beda. Jadi nggak usah sok bijak gitu kalo ngomong sama si Freya." Kembali Risa mengingatkan sahabatnya.
Hana pun mengangguk, menyetujui ucapan Risa yang memang benar adanya.
Tengah asyik beradu argumen dengan gadis yang selalu menempati peringkat pertama di sekolah, yaitu Freya, seketika raut wajah Hana dan Risa tampak berubah saat seseorang mengetuk pintu kelas mereka.
Suasana kelas yang awalnya cukup hening, kini mulai kisruh. Beberapa siswi perempuan berteriak histeris. Ada pula yang sibuk merapikan rambut dan seragam sekolahnya berharap di lirik oleh lelaki yang tengah berdiri tepat di depan pintu kelas mereka.
"Freya Davina...." ujar lelaki itu lantang.
"Gila ya, Tara ganteng banget." Risa berbicara terang-terangan.
Sedang Freya tak menghiraukan panggilan tersebut. Matanya hanya tertuju pada buku di hadapannya. Di tambah lagi suara dari lelaki berparas tampan dan bertubuh jangkung itu tak sampai ke telinga Freya. Suara teriakan siswi lain di kelasnya lebih dominan dan berhasil menyamarkan suara lelaki itu.
"Tara... i miss you."
"Tara... calon suami gue."
"My darling Tara...."
"Tara... i love you. Lo mau nggak jadi pacar gue?"
"Huuuuuhhhh" seisi kelas bersorai heboh dengan pernyataan salah satu siswi.
Kesabaran Tara yang hanya setipis tisu, membuatnya tak tahan melihat situasi heboh di kelas Freya. Dengan sekuat tenaga, Tara pun mengebrak meja guru hingga membuat suasana kelas hening seketika.
"Freya Davina!!!" teriak Tara.
Tak hanya tersentak kaget, jantung Freya juga berdebar hebat mendengar Tara memanggilnya. Segera Freya bangkit dari duduknya.
"Lo ikut gue ke ruang komite. Sekarang!" pinta Tara.
Seisi kelas mulai saling berbisik, menatap Freya hingga gadis itu menghilang di balik pintu.
Sembari berjalan di belakang Tara, Freya berkali-kali mengusap dadanya yang masih berdebar. Entah karna efek suara Tara yang menggelegar tadi, atau karna ia juga terhipnotis akan pesona ketua osis berwajah sempurna seperti Tara.
"Jadi lo yang dapet beasiswa dari sekolah?!" Tara membuka suara.
"Iya. Kenapa?" Freya menyahut.
"Ketus banget lo. Nggak cocok sama muka lo."
"Maksud lo?!" Freya mengerutkan dahi.
Entah apa yang ada di pikiran Tara, hingga ia menghentikan langkah dan memutar tubuhnya agar bisa bersitatap dengan Freya.
"Muka lo yang nge gemesin ini, nggak cocok ngomong ketus kayak tadi." Tanpa sungkan, Tara mencubit pelan kedua pipi Freya yang sedikit chubby.
Lalu seolah tak terjadi apapun, kembali Tara melanjutkan langkahnya menuju ruang komite yang berada di dekat lapangan sekolah.
Walau sesaat, sikap Tara barusan membuat jantung Freya kembali tak aman. Kali ini degupan jauh lebih kencang.
"Ayo, kenapa malah diem di situ!" Tara menoleh menyadari Freya masih berpijak di tempatnya.
Hanya mengangguk, Freya pun memperlebar langkahnya dan kembali mengikuti Tara.
Begitu tiba di depan ruangan komite, Tara langsung di sambut hangat oleh beberapa guru dan juga anggota osis lainnya.
Ternyata tak hanya Freya yang menerima beasiswa dari pihak sekolah. Ada 9 orang lainnya yang juga mendapatkan hal yang serupa dengannya. Baik berprestasi dalam bidang akademik maupun dalam bidang olahraga, pihak sekolah sudah mengeluarkan beasiswa untuk ke 10 siswa tersebut selama 2 tahun.
Dengan di pimpin oleh seorang ketua komite dan pastinya Tara selaku ketua osis, rapat perihal pembahasan masalah beasiswa pun di mulai.
"Selamat pagi, berhubung semua sudah berkumpul di ruangan saya, maka ada baiknya kita mulai rapatnya sekarang." Pak Wira selaku ketua komite berbicara.
"Langsung saja ke intinya, saya tidak ingin berlama-lama, alasan kalian di kumpulkan di ruangan saya adalah untuk membahas masalah beasiswa selama 1 tahun kedepan. Di karenakan beberapa donatur mengundurkan diri dan tidak lagi memberikan donasi ke sekolah kita, maka kuota untuk penerima beasiswa akan di kurangi hingga 60%." papar Pak Wira.
"60% pak?!" Surya membuka suara. Sebagai atlet renang dan penyumbang piala terbanyak untuk sekolah, Surya merasa tak terima.
"Iya, benar. Sekolah tidak bisa memberikan beasiswa seperti dulu lagi. Selain aturannya di perketat, kalian juga harus saling bersaing. Karna hanya 4 orang dari kalian lah yang akan memperoleh beasiswa hingga lulus sekolah. Masing-masing 2 orang untuk bidang akademik dan olahraga."
"Nggak bisa gitu dong pak!!" protes Irma.
"Terus gimana nasib yang nggak dapat beasiswa lagi pak?" Zoya menimpali.
Dalam sekejap saja ruangan komite berubah menjadi sasana aksi demo yang tak terelakkan. Mereka yang selama ini merasa sangat terbantu dengan adanya beasiswa dari sekolah, kini berat hati untuk menerima keputusan dari pihak sekolah yang terkesan semena-mena itu.
"Tenang!!!" Tara bangkit dari kursinya berusaha membuat suasana kembali kondusif.
"Kalo mau ngasih pertanyaan, jangan menyerbu gitu dong. Satu-satu. Supaya pak Wira nggak bingung." ujar Tara lagi.
Sementara yang lain sibuk mengajukan pertanyaan kepada ketua komite sekolah, Freya hanya terdiam. Bukan karna ia sangat optimis akan tetap mendapatkan beasiswa itu. Melainkan ada kekhawatiran di benaknya, bagaimana jika nasib baik tak memihaknya dan ia tak bisa mendapatkan beasiswa itu lagi.
Pikiran Freya pun menerawang jauh. Membayangkan setiap peluh yang harus menetes dari dahi sang bunda demi bisa mendapatkan beberapa lembar rupiah setiap harinya. Tak bisa Freya bayangkan, bagaimana susah payahnya sang bunda jika beasiswa itu tak lagi bisa ia dapatkan.
Freya tau betul bagaimana perasaan bundanya yang harus menjadi orang tua tunggal selama 10 tahun lebih. Selain berperan menjadi seorang ibu dan menggantikan sosok ayah baginya, sang bunda juga merupakan tulang punggung untuk keluarga kecil mereka.
Kini tak hanya menjadi overthinking, Freya juga merasa insecure terhadap kemampuannya.
"Saya rasa penjelasan saya sudah cukup jelas. Intinya kalian harus belajar lebih keras, lebih giat dan lebih rajin lagi. Ingat, tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa pun kalian butuh usaha." Pak Wira menyindir secara sarkastis dengan alih-alih memberi petuah.
"Pak." Roy mengacungkan tangan.
"Jadi kalau saya nggak mendapatkan beasiswa itu lagi, apa saya harus keluar dari sekolah?" tanyanya serius.
"Tidak, selagi kamu mampu membayar uang sekolah, kamu bisa tetap bersekolah di sini hingga lulus." jawab Pak Wira yang semakin menyudutkan ke sepuluh anak tak mampu secara materi itu.
Suasana hening sejenak. Baik Freya maupun siswa penerima beasiswa lainnya tampak tercenung dengan perkataan pak Wira barusan. Dari mana mereka bisa membayar uang sekolah yang jumlahnya jauh lebih besar dari pendapatan orang tua mereka. Hanya itu yang mereka pikirkan saat ini.
"Oiya satu lagi, minggu depan akan di adakan olimpiade antar sekolah. Jadi buat kalian berlima ( Freya, Irma, Loli, Emil dan Sigit ), kalian akan saya bagi masing-masing 1 orang untuk mata pelajaran Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dan kalian lah yang nantinya akan mewakili sekolah kita."
"Minggu depan? Kenapa mendadak gini sih pak? Kita kan belum ada persiapan apa-apa untuk mengikuti olimpiade." Irma kembali protes.
"Seharusnya siswa penerima beasiswa seperti kalian harus siap tempur kapan pun itu. Kalian memangnya ngapain saja selama ini? Hah?! Tidak belajar?! Jangan terlalu santai kalau kalian masih mau mendapatkan beasiswa!." Sekali ini ucapan Pak Wira benar-benar keterlaluan.
"Sudah, cukup pak. Saya rasa teman-teman yang lain juga sudah mengerti." Tara menjadi penengah.
Pak Wira pun menghela nafas kesal sebelum akhirnya menyuruh semua siswa keluar dari ruangannya, terkecuali Tara.
"Nggak habis pikir gue sama jalan pikirannya pak Wira." celetuk Emil dengan raut wajahnya yang terlihat kusut sama seperti isi kepala Freya saat ini.
"Tapi kan itu memang wewenang dari sekolah, Mil." Sigit menimpali.
Kelima siswa penerima beasiswa dalam bidang akademik itu berjalan beriringan menuju ke kelasnya masing-masing.
"Wewenang sih wewenang, tapi kalian nyadar nggak, cara pak Wira menyampaikan masalah beasiswa tadi itu secara nggak langsung malah menyindir kita. Memang sehina itu ya kita sebagai penerima beasiswa?!" Emil kembali mencurahkan beban yang tak mungkin ia lontarkan di depan pak Wira.
"Bener banget, gue juga ngerasanya kayak gitu." sahut Loli.
"Lo kenapa Frey? Diem mulu. Ngomong kek atau respon apa gitu." Emil menyikut lengan Freya.
"Hah?!" Freya tersentak.
"Aduh Frey, bisa-bisanya di situasi segenting ini lo cuma melamun doang dari tadi." Emil tak habis pikir.
"Gue kalo jadi Freya mah juga bakalan diem aja. Ngapain gue berisik, sementara gue udah yakin bakalan tetap dapat peringkat satu. Iya kan Frey?!" ujar Irma seolah tau betul isi kepala gadis di sebelahnya.
Freya hanya tersenyum kecut, ia sudah tak berminat untuk berbicara apalagi sampai berdebat.
Terkecuali Freya, para siswa berprestasi itu pun berpisah dan berjalan menuju ke kelasnya masing-masing. Sedangkan Freya hanya berdiri, mematung di tempatnya hingga bel berbunyi menandakan jam istirahat telah tiba.
"Freya...." Risa menghampiri sahabatnya yang hanya berdiri di sudut koridor.
"Kantin yuk. Hana sama Andre udah di sana." ajak Risa lagi.
Freya mengangguk, mengiyakan ajakan gadis berkulit kuning langsat itu.
"Gue iri sama lo Frey." Hana memberengut begitu Freya duduk di hadapannya.
"Iri kenapa lo?!" tukas Freya sambil menyeruput lemon tea yang sudah di pesan Andre sejak tadi.
"Enak banget lo mau ke ruangan komite aja sampe di jemput sama Tara segala." sambung Hana.
"Enak apanya, yang ada kepala gue nyut-nyutan abis dari ruang komite." Freya memijat pelipisnya.
"Memangnya kalian bahas apa sih Frey, kenapa lama bener?" tanya Andre yang duduk di sebelah Hana.
Freya menghela nafas pelan sebelum menjawab.
" Biasa lah masalah beasiswa."
"Cerita dong Frey, jangan lo pendem sendiri. Muka lo udah kayak orang tertekan gitu." Risa menimpali.
Karna mendapat desakan dari ketiga sahabatnya, Freya pun menceritakan semua hal yang terjadi di ruang komite tanpa terkecuali.
"Pokoknya, kalo lo ngerasa stres dan terbebani, jangan paksa diri lo Frey. Nggak masalah kok, kalo lo nggak dapet beasiswa lagi. Masih ada gue, Hana sama Andre. Lo tenang aja, kita bisa patungan buat bayar uang sekolah lo. Iya nggak guys?!"
Hana dan Andre serempak mengangguk. "Bener banget. Manfaatin kita Frey sebagai sahabat lo." ujar Andre.
Ada perasaan haru di hati Freya melihat kebaikan dari ketiga sahabatnya. Ia tau ke tiganya tulus untuk membantunya. Meskipun begitu, Freya tak mau membagi beban yang ia yakin akan mampu menanggungnya sendiri.
***
Setiap kali Freya melihat sang bunda, setiap kali juga hatinya merasa nelangsa. Di usia yang sudah menginjak kepala empat, tak seharusnya sang bunda bekerja membanting tulang sekeras itu. Seolah tak di beri pilihan oleh kehidupan, Tari, bunda Freya, terpaksa melakoni usaha kecil-kecilannya sebagai pemilik laundry.
Garasi kecil yang berada di samping rumah, Tari manfaatkan sebagai lahannya untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah. Walau letaknya jauh dari keramaian, setidaknya Tari bersyukur karena sudah memiliki beberapa pelanggan tetap.
"Kamu udah pulang Frey?" Tari menoleh ke arah pintu di mana Freya sudah berdiri di sana selama beberapa menit.
"Ud.. Udah bun, barusan aja." Freya memalingkan wajah seraya menyeka ujung matanya yang sedikit basah.
"Yaudah sana masuk. Pamali anak gadis berdiri di depan pintu." tukas Tari seraya merapikan baju-baju yang habis ia setrika.
Freya mengangguk walau Tari tak melihat.
"Ini mau di antar sekarang bun?!" Freya menatap tumpukan baju milik para pelanggan yang sudah tersusun rapi.
"Iya Frey, tapi kamu makan dulu sana. Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu." Tari tak menoleh dan masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Memangnya bunda udah makan?"
"Ngapain mikirin bunda sih Frey. Udah sana kamu ganti baju, terus makan, makannya yang banyak biar kuat...."
"Kuat menghadapi kenyataan kan bun?!"
Tari menoleh memasang raut wajah bersalah. "Nah itu kamu tau. Udah sana keburu dingin itu lauknya." Meskipun begitu ia masih bisa melontarkan candaan di depan Freya.
Freya hanya menyengir lalu melangkah menuju ke kamarnya.
Usai menyantap makan siang, Freya yang tau akan tugasnya bergegas menemui Tari. Menanyakan beberapa alamat, kemana ia akan mengantarkan baju para langganan sang bunda.
"Udah kamu catet belum Frey alamatnya? Entar lupa lagi di tengah jalan." Tari mengingatkan.
"Aman bos." Freya pun lansung menyalakan mesin motornya.
"Yaudah, kamu hati-hati. Kalo udah selesai, langsung pulang." pesan Tari menaruh kekhawatiran.
Andai ia memiliki penghasilan lebih, mungkin ia akan menyewa jasa orang lain untuk membantu usaha kecil-kecilannya itu dan tidak lagi melibatkan Freya dalam urusan mencari nafkah.
"Pulang ke mana bun?"
"Ke rumah pak RT! Ya kerumah kita lah FREYA. Memangnya rumah kita ada berapa?!"
Freya pun tertawa lepas mendengar humor dari sang bunda yang terkadang menghibur hatinya.
Tak ingin berlama-lama bersantai, bergegas Freya melajukan motor maticnya menuju ke area komplek perumahan yang berjarak tak jauh dari rumahnya.
Di tengah perjalanan, sesekali Freya menengadah, menatap langit yang mulai berubah dan terlihat sedikit mendung. Gadis yang baru kemarin genap berusia 17 tahun itu semakin mempercepat laju motornya. Takut sewaktu-waktu hujan akan turun dengan tiba-tiba.
Dan benar saja sesuai dugaannya, setelah mengantarkan baju milik pelanggan sang bunda ke alamat yang terakhir, rintik-rintik hujan pun mulai turun satu persatu. Tanpa memperdulikan medan jalan yang akan ia lalui, Freya memacu motornya dengan sangat kencang. Seolah sangat yakin bahwa ia memiliki nyawa lebih dari satu.
Tanpa di beri jeda sedikit pun, rintik itu seketika berubah menjadi butiran kasar yang semakin lama semakin memburu untuk turun. Bau debu dari aspal mulai menguar. Kaos putih dan celana jeans yang di kenakan Freya akhirnya basah tanpa celah.
Pandangan Freya sedikit memburam karna air hujan memenuhi kelopak matanya. Hingga secara tak sengaja, motor maticnya menabrak sebuah batu berukuran cukup besar.
Kendaraan roda dua itu pun kehilangan kendali. Freya terjatuh bersamaan dengan motor kesayangannya.
Lutut Freya lah yang pertama kali bersentuhan dengan aspal. Ia meringis kesakitan di tambah lagi tubuhnya yang kecil harus menahan beban dari motornya.
Suasana jalan yang sepi membuat Freya cukup merasa putus asa. Berteriak pun rasanya percuma, hanya suara hujan yang terdengar nyaring. Namun bukanlah Freya namanya jika menyerah begitu saja pada keadaan.
Dengan sekuat tenaga, Freya berusaha menarik kakinya yang terhimpit motor. Ia mengerang, bersamaan dengan itu terdengar samar suara motor sport yang berhenti di sisi jalan.
"Lo nggak papa?!" suara seorang lelaki terdengar dari balik helm full face nya.
Tanpa menunggu jawaban dari Freya, lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu bergegas membantu Freya. Lalu membawa Freya ke sisi jalan.
"Lutut lo berdarah, kita ke rumah sakit ya!" suara lelaki itu terdengar tidak asing di telinga Freya.
"Nggak usah, gue nggak papa. Gue mau pulang aja." sahut Freya sambil menahan perih di lutut dan sikunya yang ternyata juga terluka.
"Gue anter!"
Freya menggelengkan kepalanya sembari menatap ke arah motornya yang kini sudah berada di dekat motor lelaki yang membantunya barusan. Sigap juga lelaki itu ternyata, batin Freya.
"Apaan lo nggak mau. Udah cepet naik.!" pinta lelaki itu lagi.
"Motor gue gimana?!" suara Freya sedikit bergetar.
"Bisa-bisanya lo mikirin benda mati itu. Pikirin diri lo dulu, Frey." bentak lelaki itu setelah membuka kaca helmnya.
'Tara!' Freya tak menyangka siapa sosok lelaki yang kini ada di hadapannya.
"Ini pake jaket gue." tiba-tiba Tara melepas jaketnya lalu ia tutupi tubuh Freya yang sudah basah itu.
Sekali ini Freya menurut dan mengindahkan ucapan Tara. Dengan perlahan, Freya menaiki motor Tara dan membiarkan lelaki berhidung bangir itu mengantarnya pulang.
"Nggak pegangan lo?"
Walau ragu dan merasa risih, Freya mulai melingkarkan tangannya di pinggang Tara. Membuat senyum lelaki itu mengembang sempurna di balik helm.
Andai waktu bisa berhenti, Tara ingin terus sedekat itu dengan Freya. Rangkulan tangan Freya terlalu nyaman, membuat Tara terlupa akan rasa dingin dari hujan yang terus menghujam tubuhnya.
Berpuluh-puluh menit berlalu, motor Tara akhirnya tiba di depan rumah Freya. Usai turun dari motor sportnya, dengan cekatan Tara membantu Freya yang kesulitan berjalan akibat insiden tak terduga tadi.
"Freya... Ya ampun, kamu kenapa basah kuyup begitu? Terus itu lutut kamu kenapa berdarah?" jelas Tari begitu khawatir melihat kondisi Freya.
"Freya jatuh tadi bun. Terus motornya Freya tinggal di jalan deket komplek perumahan." jelas Freya.
"Yaudah sekarang kamu ganti baju dulu. Habis itu biar bunda obati lutut kamu."
"Iya bun." Freya pun melangkah menuju ke kamarnya dan mengabaikan Tara yang sejak tadi bersamanya.
"Makasih ya, kamu udah mau nganterin Freya pulang." tukas Tari sembari menatap Tara yang baru saja melepas helm.
"Iya tante. Hm.. Soal motor Freya, tante nggak usah khawatir ya, karna motornya udah di bawa montir langganan saya biar di service dulu." jelas Tara.
"Yaudah kalo begitu, saya pamit ya tante." sambung Tara.
"Loh kenapa buru-buru?!"
"Nggak papa tante, lagian Freya juga harus istirahat. Saya pamit ya tan, titip salam sama Freya."
"Iya, sekali lagi makasih ya."
Tara hanya mengangguk, kemudian bergegas pergi meninggalkan kediaman Freya yang sederhana dan terasa sepi karna hanya dua penghuni saja yang tinggal di dalamnya.
***
"Yakin hari ini mau ke sekolah, Frey?" Tari menatap putrinya yang tengah menikmati sarapan.
"Yakin lah bun." sahut Freya singkat.
"Tapi kamu habis jatuh loh Frey. Memangnya lutut kamu udah nggak sakit?" Tari menatap lekat wajah Freya.
Freya tersenyum sebelum mengatakan. "Bun, Freya nggak mau nyerah cuma karna jatuh dari motor, apalagi sampe nggak datang ke sekolah. Bukannya bunda sendiri yang bilang, calon orang sukses itu nggak boleh lemah, dan harus berdiri lagi kalo jatuh. Misal pun nggak bisa lari, ya jalan santai juga nggak masalah. Yang terpenting nggak berhenti apalagi sampe putar balik."
"Kamu bener sayang. Yaudah habisin sarapan kamu, udah hampir jam 7 loh." ujar Tari menunjuk jam yang bertengger di dinding ruang tengah.
"Siap laksanakan." Freya memasang pose hormat hingga Tari hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya.
Karena motornya masih berada di bengkel langganan Tara, Freya pun memutuskan menaiki bus menuju ke sekolah. Walau sedikit kesulitan, namun itu bukan lah sebuah hambatan bagi Freya.
"Lutut lo kenapa Frey?" tanya Andre saat melihat lutut Freya di balut perban.
"Abis silaturahmi sama aspal gue semalem." jawab Freya seraya duduk di kursinya.
"Makanya jangan sok cosplay jadi Mark Marquez lo kalo lagi bawa motor."
"Ada apa nih ribut-ribut?" Hana yang baru datang bersama Risa langsung menghampiri tempat duduk Freya.
"Lo berdua liat deh lututnya si Freya, abis balap liar dia semalem sama Valentino Rossi." cercah Andre menunjuk ke arah lutut Freya.
"Astaga Frey." Risa menggelengkan kepala seraya menatap Freya yang memasang wajah polos tak berdosa.
"Udah ya guys, lutut gue itu cuma lecet dikit jadi nggak usah pada lebay."
Percakapan tak penting dan tak berbobot itu pun harus berakhir ketika bel berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama akan di mulai.
Seperti hari-hari biasa, Freya tetap bersemangat dan antusias mendengar penjelasan dari gurunya. Berbeda dengan ketiga sahabatnya, yang entah sudah berapa kali menguap dan menyenderkan kepala di atas meja.
"Lo pada nyium bau sesuatu yang terbakar nggak sih?" Andre membuka suara setelah jam pelajaran usai.
"Nggak tuh." jawab Freya dan mendapat anggukan dari Hana.
"Masak sih? Kok baunya pekat banget ya di indera penciuman gue." sambung Andre.
Sementara Freya dan Hana sibuk mencari sumber bau tersebut.
"Astaga!!!" pekik Andre sok serius.
"Kenapa Ndre?" Risa tersentak.
"Ternyata itu sumber bau nya guys." Andre menunjuk ke arah Risa yang tampak frustasi.
"Mana sih?" Hana semakin bingung. Sementara Freya yang sudah tau maksud Andre hanya menghela nafas pelan melihat tingkah absurd sahabatnya.
"Lo nggak liat apa Han, kepulan asap yang keluar dari kepala Risa?"
Hana seketika terbahak. "Yaelah kirain apaan, taunya otak si Risa melepuh karna nggak sanggup menampung rumus fisika."
"Diem nggak lo?!" Risa berteriak kesal yang semakin membuat Hana dan Andre tertawa girang.
"Lo berdua jahat banget memang. Yaudah yuk Ris, mending kita ke kantin, siapa tau otak lo yang mampet itu bisa jadi encer." Freya menimpali dan mencoba merangkul bahu Risa.
"Lo sama aja tau nggak Frey." rengek Risa yang semakin terpojokkan.
Bukannya merasa iba, ke tiga sahabat Risa itu kembali menertawai ketidakmampuannya dalam mencerna rumus-rumus pelajaran eksakta. Terkesan tak punya hati memang, namun begitu lah mereka. Di luar terlihat jahat, beda lagi jika di dalam hati. Mereka sebenarnya saling peduli dan menyayangi satu sama lain.
**
Tak seperti siswa lain yang merasa bebas usai jam pelajaran berakhir. Freya dan siswa penerima beasiswa lainnya justru sibuk mengasah otak mereka yang sebenarnya sudah terasa lelah.
Di saat yang lain tengah menikmati waktu luang mereka, Freya dan ke empat teman yang senasib dengannya masih berjibaku pada soal-soal simulasi untuk olimpiade.
Sementara Irma, Loli, Emil dan Sigit membentuk kelompok belajar di ruang guru, Freya memilih belajar seorang diri di perpustakaan. Freya sulit merasa fokus ketika ada orang lain di sampingnya, untuk itu ia meminta pengertian dari ke empat temannya.
"Frey, lo nggak boleh males-malesan. Inget, masa depan lo jadi taruhannya." monolog Freya seraya menatap buku-buku di hadapannya.
Matanya yang menahan kantuk ia paksa agar tak terpejam. Sebelum kembali melanjutkan mengerjakan soal simulasi, Freya pun melakukan peregangan karna otot-ototnya yang terasa kaku.
"Astaga!!" Freya tersentak saat tangannya secara tak sengaja menyikut perut seseorang.
Freya pun menoleh. Ingin memaki siapa pun yang berdiri tepat di belakang kursinya.
"Lo ngapain?!" pekik Freya saat mendapati Tara berada di belakangnya.
"Mau baca buku lah. Memangnya ada ya orang ke perpus mau renang? Nggak ada kan?! Aneh banget pertanyaan lo." sahut Tara.
"Bukan itu maksud gue. Lo ngapain berdiri di belakang gue?!"
"Gue mau duduk di situ." Tara menunjuk kursi di sebelah Freya.
"Masih banyak kursi kosong di tempat lain, kenapa harus di sini? Gue ngerasa....."
"Shuttt..." Tara menempelkan jari telunjuknya di bibir Freya sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya.
Mata Freya pun membulat seketika. Nafasnya tercekat bersamaan dengan jantungnya yang berdegup hebat.
Freya merasa ribuan kupu-kupu sedang bertebangan di perutnya. Sedang pacuan kuda tengah berlari kencang di dadanya.
"Gue duduk sini ya. Gue janji nggak akan menganggu aktifitas lo." ujar Tara, langsung mengambil posisi duduk di sebelah kursi Freya.
Tak mengangguk atau merespon, Freya hanya terdiam sembari mengatur nafasnya.
"Lo mau belajar sambil berdiri apa gimana?" tanya Tara menyadari Freya tak bergeming sama sekali.
"Frey..." Tara mencoba membuyarkan lamunan gadis di sampingnya.
"Hah, iya.. Kenapa?" Freya tampak tergugu.
"Duduk. Ngapain lo berdiri terus? Kasian tuh lutut lo, mana semalem abis nyium aspal lagi."
Freya pun mencebikkan bibir seraya duduk kembali di tempatnya.
"Gimana lutut lo? Masih sakit?" tanya Tara tanpa menoleh ke arah Freya.
"Gue malah lupa kalo lutut gue lagi sakit." jawab Freya asal.
"Bisa-bisanya ya lo lupa sama lutut lo sendiri. Gimana nasib orang yang jadi cowok lo coba. Pasti kasian banget, karna sering lo cuekin." terka Tara.
"Apa hubungannya lutut sama cowok?! Dasar nggak nyambung. Lagian gue itu nggak punya cowok dan nggak minat juga untuk pacaran!"
"Jangan-jangan lo penyuka sesama...."
"Jaga mulut lo ya Tara!"
"Apa lo bilang? Coba ulangi!" Tara tampak kegirangan.
"Jaga mulut lo!"
"Yang lengkap dong."
"Apaan sih Tar, lo aneh banget tau nggak."
Tiba-tiba wajah Tara terlihat sumringah. "Gue seneng banget Frey waktu lo nyebut nama gue."
Ucapan Tara berhasil membuat Freya menoleh. Untuk pertama kalinya, netra mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat.
Freya yang tak paham akan romansa, tak melihat jika ada benih-benih cinta di balik netra Tara yang berwarna coklat terang itu.
Segera Freya memalingkan wajahnya sebelum rona merah di pipinya yang semula semu menjadi lebih jelas.
"Pindah nggak lo?!" pinta Freya yang mulai gelisah dengan adanya Tara.
"Kenapa sih Frey, gue kan nggak menganggu lo!"
"Jelas-jelas lo menganggu, pake acara nggak ngaku lagi. Udah cepetan pindah. Atau gue aja yang pindah gimana?"
"Nggak perlu. Biar gue yang pindah." Tara bangkit dari kursinya.
Sebelum pergi tak lupa ia memberi dukungan untuk Freya. "Gue tau lo bisa Frey. Semangat ya." ujarnya sambil mengusap ujung kepala Freya.
"Bisa kena serangan jantung ini gue lama-lama." kembali Freya memegang dadanya yang berdebar sangat cepat.
Satu jam telah berlalu dan Freya pun memutuskan untuk pulang. Selain karna soal-soal di buku simulasi sudah selesai ia kerjakan, ia juga harus mengantarkan baju para pelanggan bundanya.
Freya keluar dari perpustakaan dan berjalan di koridor sekolah yang sudah sepi. Selain karena para siswa sudah banyak yang pulang, waktu pun juga sudah menunjukkan sore hari.
"Freya.." terdengar suara yang mulai familiar di telinga gadis itu.
Tanpa memperdulikan seseorang yang memanggilnya, Freya tetap melangkahkan kakinya tanpa berhenti barang sejenak pun.
"Tunggu Frey." Tara yang dalam sekejap sudah berada di belakang Freya, tiba-tiba menarik lengan gadis itu.
"Lo siapa sih sebenarnya?" tanya Freya sedikit kesal.
"Gue Tara. Tara Dirga Mahendra." jawabnya ringan.
"Gue nggak nanya nama lo. Lo siapa berani-beraninya megang tangan gue?"
"Ketua osis Mars Senior High School."
"Oh terus karna lo ketua osis, lo boleh gitu pegang-pegang tangan siswi di sini?"
"Ya nggak sih."
"Terus kenapa lo masih megang tangan gue?"
"Oh,hm..iya.. sorry."
"Pergi nggak lo?"
"Kalo gue nggak mau gimana?"
"Apa sih kerjaan lo sebagai ketua osis selain ngikutin orang mulu?"
"Nggak ada."
"Dasar ketos pengangguran. Pergi nggak lo?" untuk kali kedua, Freya mengusir Tara seraya melayangkan buku yang di pegangnya dan mengarahkan ke lengan Tara yang tegap.
"Iya..iya gue pergi. Galak banget sih lo jadi cewek."
"Bodo amat." Freya pun berlalu dan memilih mengabaikan Tara. Ia sudah kehabisan tenaga jika harus berdebat lagi pada hal-hal yang tidak penting. Sekalipun itu harus berdebat dengan lelaki yang selalu di puja oleh para kaum hawa di sekolahnya, Freya tak peduli.
Koridor demi koridor Freya lewati dengan langkah lebar. Ia ingin segera sampai di rumah. Mengantarkan baju pelanggan bundanya, lalu kembali mengerjakan soal-soal simulasi.
Jika dalam dunia kerja di sebut workaholic bagi seseorang yang gila atau kecanduan bekerja, maka sebutan yang tepat untuk Freya adalah studyholism. Obsesinya dalam belajar secara berlebihan lah yang membuatnya pantas mendapat julukan itu.
Baru saja hendak keluar dari gerbang sekolah, Freya terpaksa menghentikan langkahnya. Bukan tanpa alasan, itu terjadi karna ulah Tara yang dengan sengaja menghentikan motornya tepat di depan Freya.
Kedua boba eyes dari gadis itu menatap tajam ke arah Tara. Walau memasang raut wajah datar, namun terlihat sangat jelas bahwa Freya sangat kesal dengan tingkah Tara.
"Ayo naik, gue anter pulang." ujar Tara.
Freya tak menjawab. Helaan nafasnya terdengar berat.
"Udahlah nggak usah gengsi. Ini udah sore, percuma juga lo nunggu bus. Jam segini mah udah nggak ada bus yang lewat." sambung Tara.
"Gue...."
"Udah cepetan naik. Kayak baru pertama kali aja lo naik motor gue." celetuk Tara lagi.
Tak punya pilihan lain memang selain mengikuti ucapan Tara. Sebelum menaiki motor mahal itu, Freya terlebih dulu melempar pandangan ke sisi kiri dan kanan. Memastikan tak ada saksi mata yang melihatnya dengan Tara.
Jarak antara sekolah menuju rumahnya yang hanya memakan waktu lebih kurang 20 menit, entah kenapa terasa sangat lama bagi Freya. Tak sabar rasanya, ingin segera turun dari motor Tara.
'Apa abis ini gue ke rumah sakit aja ya? Gue ngerasa ada yang nggak beres sama jantung gue.' batin Freya.
"Kenapa lo Frey?" tanya Tara dari balik helmnya.
"Gue... Gue... Nggak kenapa-kenapa." sahut Freya berusaha sekeras mungkin agar terlihat tenang.
"Terus kenapa diem aja lo?" sekak Tara yang membuat Freya semakin mati kutu.
"Suka... Suka gue lah."
"Nervous lo kan di dekat gue?!"
"Kepedean banget lo. Sebenarnya apa sih maksud dan tujuan lo nganterin gue?"
"Nggak ada, gue cuma mau menyalurkan niat baik gue dengan ngebantu lo sebagai sesama manusia."
"Ck... Alasan klasik!."
Tara pun terdiam dan tak lagi merespon. Namun siapa sangka ternyata dibalik helmnya, Tara mengulas senyum sejak tadi. Bahkan ia berkali-kali tertawa kecil setiap mendengar jawaban dari mulut Freya.
Perjalanan singkat namun berkesan itu pun harus berakhir, ketika motor Tara tiba di tujuan. Freya segera turun dari kendaraan roda dua itu begitu sudah menepi tepat di depan rumahnya.
"Thanks ya. Buat yang semalem juga." ujar Freya singkat.
"Ternyata tau juga lo caranya berterimakasih" celetuk Tara seraya melepas helmnya.
Freya tak menimpali lagi.
"Udah gitu doang?" sambung Tara.
"Terus lo maunya kayak gimana?" Freya pun membalasnya dengan nada datar.
"Basa-basi apa gitu, minimal nawarin gue mampir atau apa lah." jawab Tara penuh harap.
Tak kehabisan ide untuk menolak Tara, sengaja Freya mengangkat tangan kirinya hingga sejajar dengan dada. Lalu melirik ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya hingga beberapa detik.
"Udah hampir setengah 5, gue rasa lo lebih baik pulang deh." tukas Freya.
"Halus banget cara ngusir lo."
"Jadi lo mau di usir dengan cara kasar?"
"Ck... berasa berhadapan sama guru killer gue kalo ngomong sama lo!"
"Yaudah lah, mau pulang gue!" sambung Tara yang akhirnya menyerah.
"Lo.... hati-hati ya." pesan Freya walau dengan nada ketus.
Dengan senang hati Tara menjawab. "Iya Frey. Thanks juga ya lo udah perhatian sama gue."
Raut wajah Freya pun langsung berubah dan menatap aneh ke arah Tara. "Apaan sih!" gumamnya dengan dahi yang mengerut.
Berbeda dari Freya, raut wajah Tara justru tampak seperti seseorang yang tengah di landa asmara. Bahkan senyumnya merekah sempurna saat ini, mengalahkan rekahnya mawar kuning yang berada di halaman rumah Freya.
Tara pun berlalu dari hadapan Freya. Mengenai ucapan Freya yang terkadang ketus, Tara sama sekali tak memasukkannya ke dalam hati. Justru bisa berbincang dengan Freya adalah momen langka dan berharga bagi Tara.
Usai Tara pergi, Freya membuka pagar putih rumahnya yang sudah terlihat sedikit usang. Sembari melangkah masuk, ia menunduk lemas mengingat motornya yang masih dalam proses perbaikan.
"Gimana gue mau nganter laundry, motor gue aja....."
Mata Freya membulat seketika saat mendapati motor matic miliknya sudah terparkir di depan rumah.
"Lah, ini motor gue gimana ceritanya bisa ada di sini?" Berbincang seorang diri tampaknya suatu hal biasa bagi Freya.
Dengan lekat ia memandangi setiap inci motor yang berada di hadapannya, memastikan kalau kendaraan roda dua itu adalah benar miliknya.
"Ngapain Frey?" Tari yang merasa heran melihat tingkah anak gadisnya pun langsung menegurnya. Takut kalau Freya mengalami kelainan akibat terlalu banyak berjibaku dengan buku-buku.
"Ini motor Freya kan bun?!" tanya gadis itu memastikan.
"Nggak, itu motornya bu lurah. Numpang parkir sebentar katanya." jawab Tari asal.
"Tapi kayaknya ini motor Freya deh, bun. Nomor platnya sama soalnya."
"Ya memang motor kamu, FREYA DAVINA.!! Pake acara nanya segala!" Tari berdecak.
"Bunda gitu aja marah, Freya kan cuma memastikan doang."
"Kayaknya kamu memang perlu healing deh, Frey."
Tak ingin memperumit keadaan, Freya pun langsung mengubah topik pembicaraan. "Oiya bun, baju yang mau di antar mana?" tanyanya sok antusias.
"Udah di ambil sama langganan bunda. Kebetulan dia lewat sini tadi." jawab Tari.
"Oh, bagus lah. Yaudah Freya masuk dulu ya bun. Mau mandi."
Tari hanya mengangguk. Wanita itu lalu melangkah ke arah tanaman-tanaman hias yang tertata rapi di dekat pagar. Sudah menjadi kebiasaan Tari jika sore hari pasti menyirami semua tanaman kesukaannya.
"Bun..." Freya membalikkan badan dan menghampiri sang bunda.
"Apalagi sih Frey?"
"Yang mengantar motor Freya ke rumah siapa, bun?" hal itu lah sebenarnya yang ingin Freya tanyakan sejak tadi.
"Gebetan kamu lah, siapa lagi." sahut Tari tanpa menoleh, ia tengah sibuk menyirami mawar dan beberapa jenis bunga lainnya.
"Gebetan?!" Dahi Freya mengerut dengan jelas.
"Iya gebetan yang semalem nganter kamu pulang. Itu loh yang mukanya ganteng kayak aktor Korea." sahut Tari seraya membayangkan salah satu wajah aktor Korea yang sering di lihatnya.
"Tara?!"
"Nah iya, Tara. Bunda baru inget. Tadi siang sepulang sekolah dia berdua sama temennya kesini cuma buat nganterin motor kamu." papar Tari.
'Jadi satu hari ini, Tara udah dua kali dong ke rumah gue!' batin Freya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!