"Anak-anak, sebelum kita mulai, harus apa dulu?" ujar seorang gadis berjilbab dengan suara ramah, yang sedang mengajar siswa kelas 3 SD.
Mendengar ucapan sang guru, semua anak menjawab serentak, "Berdoa, Bu Guru!" Gadis itu tersenyum, terharu melihat semangat murid-muridnya.
Tentu saja, tidak ada guru yang tidak bahagia melihat antusiasme murid-muridnya. Semangat mereka seakan menular, membuat sang guru semakin bersemangat untuk mengajar.
"Oke, dari kalian siapa yang mau memimpin doa?" ucapnya lagi. Semua murid terdiam. Beberapa saling melirik, seolah menyuruh temannya untuk maju, namun hanya dibalas gelengan. Gadis itu kembali tersenyum. "Ayo, siapa yang mau? Harus berani dong, murid-murid Ibu." Meski kata-katanya lembut, tak satu pun murid yang berani mengajukan diri.
"Siapa yang berani, Ibu kasih hadiah, lho," tambahnya sambil tersenyum lebih lebar. Mendengar itu, akhirnya salah satu murid mengangkat tangannya, lalu memimpin doa dengan lancar.
Setelah doa selesai, gadis itu mulai mengajar, tak lupa menyerahkan hadiah kecil seperti yang dijanjikan.
Waktu pun berlalu dengan cepat, hingga akhirnya bel istirahat berbunyi. Gadis berjilbab itu, yang bernama Khyra, menutup pelajaran dengan ramah sebelum membiarkan murid-muridnya keluar kelas.
Anak-anak maju satu per satu, mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Ingat, jajan yang sehat ya!" pesan Khyra dengan lembut.
"Baik, Bu Guru cantik!" sahut Novan, murid laki-laki paling aktif di kelas. Khyra hanya tersenyum manis mendengar pujian itu.
"Ibu Guru, Naila mau tanya dong," ucap Naila, yang sejak tadi memandangi Khyra dengan tatapan penasaran. Khyra mengangkat alisnya, memberi isyarat agar Naila melanjutkan pertanyaannya.
"Cara biar cantik seperti Ibu itu gimana? Apa harus tersenyum terus biar cantik?" tanya Naila polos. Khyra kembali tersenyum, senyum khas yang membuat anak-anak yang masih di kelas seolah meleleh melihatnya.
"Iya, harus banyak tersenyum, karena senyuman itu sedekah," jawab Khyra sambil mengelus kepala Naila dengan lembut.
"Tapi Ibu sedekahnya kebanyakan, deh. Kita jadi nggak kuat," sahut Novan menggoda, lalu berlari sebelum Khyra sempat merespons. Mendengar itu, Khyra hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum, menikmati kelucuan polos murid-muridnya.
Khyra melangkah menyusuri koridor sekolah. Setiap murid yang melihatnya, dari kelas 1 hingga kelas 6, tak ada yang melewatkan kesempatan untuk menyapanya. Meski Khyra hanya mengajar di kelas 3 dan 5, kehadirannya dikenal di seluruh sekolah. Senyumnya yang hangat dan parasnya yang menawan menjadi ciri khas yang sulit dilupakan oleh siapa pun yang bertemu dengannya.
Az-Khyra Kirana, atau yang biasa dipanggil Khyra, adalah seorang fresh graduate S1 Pendidikan dengan gelar S.Pd. Di usianya yang ke-24, ia memutuskan untuk mengajar di salah satu sekolah elite yang cukup terkenal. Khyra menjadi satu-satunya guru yang mengenakan jilbab di sekolah itu. Namun, meski berjilbab, penampilannya tetap stylish dan mengikuti perkembangan zaman, tanpa melanggar prinsipnya. Ia selalu memastikan pakaiannya tidak ketat dan tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya, sebagai bentuk konsistensi menjaga aurat.
Sesampainya di kantor guru, Khyra mengetuk pintu dengan pelan sebelum masuk, diiringi ucapan salam yang langsung dijawab oleh guru-guru yang sudah berkumpul di dalam.
"Guru populer kita akhirnya istirahat juga nih," goda salah satu guru, yang disambut tawa kecil oleh beberapa rekannya. Tawa itu bukan bernada meledek, melainkan sekadar rasa senang melihat Khyra tersipu malu. Namun, tidak semua rekan guru merespons dengan hangat. Ada segelintir yang terlihat tidak senang, mungkin karena kecantikan dan kepopuleran Khyra di kalangan murid dan guru.
"Bagaimana, Khyra? Ngajarnya lancar?" tanya salah satu guru senior dengan ramah.
Belum sempat Khyra menjawab, Ibu Lely, salah satu guru yang cukup aktif bicara, langsung menyahut, "Pasti lancar, dong. Tidak dengar tadi suara anak-anak kelas tiga? Mereka sampai teriak menjawab salam. Khyra kan salah satu guru favorit di hampir semua kelas, jadi ya jelas semua berjalan mulus."
Pujian itu membuat Khyra sedikit tidak nyaman. Meski bernada baik, ia selalu merasa bingung harus menanggapi komentar seperti itu. Dengan senyum tipis, ia hanya berkata, "Ah, Ibu Lely bisa saja," sambil berharap suasana kembali normal tanpa terlalu banyak perhatian tertuju padanya.
Khyra duduk di mejanya, mengecek kembali jadwal mengajarnya hari itu. Ternyata hanya ada satu kelas yang sudah ia ajarkan tadi pagi. Meski ingin segera pulang, ia merasa tidak enak hati meninggalkan kantor terlalu cepat, mengingat rekan-rekan guru lainnya masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, pikirannya segera teralihkan. Ia teringat janji siang ini untuk menemani sahabatnya, Sakinah, mencari dress untuk acara pertunangan Sakinah.
Saat Khyra masih tenggelam dalam pikirannya, Ibu Nia, istri kepala sekolah sekaligus seorang guru senior yang juga PNS, kebetulan lewat dan melihat ekspresi gelisah di wajah Khyra.
"Ada apa, Khyra? Kok tampak gelisah?" tanya Ibu Nia dengan nada lembut.
Khyra mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Bu," jawabnya singkat. Namun, jawaban itu justru menarik perhatian guru-guru lain di ruangan. Mereka memandang Khyra seolah menunggu penjelasan lebih lanjut, membuatnya merasa sedikit terintimidasi.
"Mau pulang, ya?" tebak Ibu Nia dengan senyum ramah.
Khyra mengangguk sambil tersenyum malu, menundukkan pandangannya. Tebakan itu tepat sekali.
"Yasudah, pulang saja. Jadwal kamu kan cuma satu hari ini, kan?" ujar Ibu Nia sambil membereskan barang-barangnya, bersiap menuju kelas karena bel masuk hampir berbunyi.
"Iya, Bu. Tapi, apakah tidak apa-apa kalau saya pulang lebih dulu?" tanya Khyra ragu.
"Pulang saja, Khyra. Orang cantik mah jalannya selalu mulus kok," sindir Bu Tuti, salah satu guru yang sejak awal tidak terlalu menyukai Khyra. Sindirannya membuat suasana sedikit canggung.
Namun, guru lain yang duduk di sebelah Bu Tuti menepuk bahunya pelan. "Bu Tuti ini bercanda saja, jangan diambil hati. Khyra, kamu pulang saja kalau memang sudah selesai. Apalagi kalau memang ada janji," kata guru tersebut mencoba mencairkan suasana.
Khyra tersenyum, meski sedikit canggung. "Baik, Bu. Kalau begitu saya pamit duluan. Assalamualaikum," ucapnya sambil beranjak keluar ruangan.
"Waalaikumussalam," sahut beberapa guru serentak, ada yang tulus, ada pula yang sekadar basa-basi. Khyra pun meninggalkan kantor dengan langkah ringan, bersiap menemui sahabatnya, Sakinah.
***
Di parkiran, Khyra membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada Sakinah untuk memastikan lokasi pertemuan mereka. Tidak butuh waktu lama, Sakinah segera mengirimkan detail lokasinya.
Namun, langkah Khyra terhenti saat mendengar suara memanggilnya, "Eh... Ibu Khyra!" Ia berbalik dan mendapati seorang siswa SMA berseragam putih abu-abu sedang berdiri di dekat mobilnya. Khyra mengenali bahwa siswa itu berasal dari sekolah yang sama. Meski ia hanya mengajar di tingkat SD, sekolah ini memang memiliki jenjang SMP dan SMA dengan gedung yang terpisah jauh, tapi parkiran guru memang berbagi tempat dengan siswa SMA.
Khyra mengerutkan kening, bertanya-tanya bagaimana siswa SMA ini mengenalnya. Ia tidak pernah berkunjung ke area SMA, bahkan saat ada acara bersama seluruh guru lintas jenjang.
"Udah mau pulang, Bu? Mau aku antar?" tanya siswa itu santai, membuat Khyra kaget. Ia tahu betul ini belum jam pulang sekolah untuk SMA. Siswa ini pasti sedang berniat membolos.
"Tidak usah, Nak. Ibu sudah punya kendaraan sendiri," jawab Khyra dengan nada tegas, sengaja menyisipkan kata "Nak" untuk menegaskan perbedaan usia di antara mereka, agar siswa itu tidak mencoba menggombalnya lebih jauh.
Namun, siswa itu tersenyum dan kembali menggoda. "Ibu mau naik motor siang bolong begini? Nanti kecantikan Ibu hilang, lho," katanya sambil memutar kunci mobilnya di ujung jari, seolah ingin memamerkan bahwa ia punya mobil yang lebih nyaman dibanding motor.
Khyra hanya tersenyum tipis, lalu berkata tegas, "Terima kasih, Nak, tapi Ibu sedang buru-buru. Kamu ini mau bolos, ya? Sebaiknya kamu kembali ke kelas sebelum Ibu melapor."
Tanpa memberi kesempatan siswa itu untuk menjawab, Khyra langsung menyalakan mesin motornya dan melaju meninggalkan parkiran.
Sementara itu, siswa tersebut hanya bisa menatap motor Khyra yang menjauh. "Yah, padahal aku masih pengin ngobrol sama Ibu guru itu," gumamnya kecewa. Ia menyandarkan tubuhnya ke mobil, lalu bergumam lagi, "Kok bisa ya, ada orang secantik dia? Di sekolah ini nggak ada yang cantiknya seperti dia, apalagi teman-teman di kelas. Pokoknya, menurutku, cuma dia guru paling cantik di sekolah ini. Andai saja dia mengajar di kelas aku juga..."
Akhirnya, setelah termenung sejenak, siswa itu memutuskan untuk kembali ke kelas, mengikuti nasihat Khyra. Entah kenapa, ucapannya membuatnya enggan melanjutkan niat untuk membolos.
Saat melaju di jalanan yang padat kendaraan, Khyra berusaha fokus, meski pikirannya terusik oleh berbagai hal yang terjadi di sekolah. Gombalan, tatapan penuh perhatian, hingga komentar orang-orang membuat hatinya tak nyaman. "Masya Allah... Masya Allah," gumamnya pelan sambil membaca doa perlindungan dari penyakit Ain.
Ia merenung, dari masa kecil hingga kini menjadi seorang guru, tak pernah sekalipun ia luput dari perhatian orang-orang. Bukan hal yang menyenangkan baginya. Bahkan terkadang, situasi itu mendatangkan kejadian tak diinginkan.
Di tengah lamunannya, mata Khyra menangkap sosok kecil di pinggir jalan, berdiri di dekat tiang lampu merah. Awalnya, ia mengira anak itu hanya menunggu giliran menyeberang. Namun, semakin dekat, ia menyadari anak itu tampak menangis sambil menggosok-gosok matanya. Tanpa pikir panjang, Khyra menepi dan memutuskan untuk menghampirinya.
Sebelum sempat turun sepenuhnya dari motor, anak kecil itu sudah menatapnya dengan mata penuh air mata, lalu berlari mendekat.
"Mama..." ucap gadis kecil itu dengan suara serak, sebelum memeluk Khyra erat.
Khyra terkejut. Gadis kecil, yang tampaknya berusia sekitar lima tahun, memanggilnya "Mama" sambil menangis tersedu. Pelukannya begitu erat, seolah-olah ia telah lama kehilangan Khyra.
"Astaga, bisa-bisanya orang tuanya membiarkan anak kecil ini menangis di tengah jalan selama tiga jam!" seru seorang wanita paruh baya dari salah satu kios pinggir jalan. "Memang anak muda zaman sekarang cuma sibuk ngurusin diri sendiri, anaknya malah terlantar."
Khyra tersenyum kaku mendengar komentar itu. Ia lebih kaget lagi mengetahui bahwa anak ini telah menangis di sana selama tiga jam tanpa ada seorang pun yang membawanya ke tempat aman. Ia pun berjongkok, menyejajarkan matanya dengan gadis kecil itu.
"Nak, orang tua kamu di mana?" tanya Khyra lembut sambil mengusap air mata gadis kecil itu.
Namun, anak itu hanya terdiam. Matanya berbinar menatap Khyra, seolah yakin bahwa Khyra adalah ibunya. Khyra merasa bingung. Anak kecil ini tampak rapi dengan pakaian dan aksesori mahal. Jelas, ia bukan anak terlantar, tapi situasi ini membuat Khyra tidak tahu harus berbuat apa.
Ponsel di tasnya tiba-tiba bergetar. Khyra segera meraihnya, melihat nama Sakinah tertera di layar. Ia langsung mengangkatnya.
"Kamu di mana, beb? Udah satu jam aku nunggu, loh," gerutu Sakinah, terdengar jelas di telepon.
"Maaf, Kina. Ada sesuatu yang terjadi, jadi aku terlambat," jawab Khyra sambil sesekali melirik anak kecil di depannya.
"Kamu punya 20 menit lagi. Kalau nggak sampai, aku bakal marah beneran," ancam Sakinah sebelum menutup telepon dengan salam, yang buru-buru Khyra balas.
Setelah menyimpan kembali ponselnya, Khyra menatap gadis kecil itu. "Aku mau ikut Mama. Aku takut sendirian... hikss," ucap gadis kecil itu, suaranya penuh harap.
Khyra terdiam sejenak, merenung. Dari pakaian dan aksesorinya, gadis kecil ini tampak berasal dari keluarga yang berkecukupan. Namun, ia merasa bersyukur bahwa anak ini tidak disakiti atau diculik selama berdiri di tempat berbahaya seperti itu.
Akhirnya, tanpa berpikir panjang, Khyra memutuskan untuk membawanya. Dia akan menenangkan gadis kecil itu terlebih dahulu sebelum mencari tahu siapa orang tuanya dan bagaimana mengembalikannya dengan selamat.
Dengan motor maticnya, Khyra mendudukkan gadis kecil itu di bagian depan. Wajah gadis kecil itu perlahan berubah ceria, terlihat jelas dari senyumnya. Khyra hanya bisa berharap keputusan ini adalah langkah terbaik untuk sementara waktu.
***
Setibanya di kafe yang diberitahukan sahabatnya, Khyra turun dari motor dengan hati-hati, kemudian menggendong gadis kecil yang imut itu.
Semua pandangan di kafe itu tertuju pada Khyra, yang mengenakan setelan seragam guru yang tertutup kardigan, serta jilbab lilit yang menutupi dadanya. Sakinah, yang melihat gadis kecil di gendongan sahabatnya, tak bisa menahan rasa penasaran.
"Anak siapa itu kamu bawa lari?" tanya Sakinah, menatap Khyra yang duduk tepat di depannya, sambil meletakkan gadis kecil itu dengan hati-hati di sampingnya. Perlakuan Khyra begitu lembut, seolah gadis kecil itu adalah anaknya sendiri.
"Aku juga nggak tahu. Tadi aku lihat anak ini menangis di jalan, berdiri sendirian di lampu merah. Jadi, aku mendekatinya, dan kagetnya, dia malah manggil aku Mama," jelas Khyra, lalu melirik daftar menu untuk memilih minuman yang cocok untuk anak kecil dan beberapa cemilan.
"Serius?!" Sakinah terkesiap. "Makanya itu yang bikin kamu lama, dan akhirnya malah bawa anak itu barengan?"
Khyra hanya mengangguk lelah sebagai jawabannya.
Sakinah memegang keningnya, rasanya kepalanya seperti mau pecah. Pertama, karena sahabatnya itu membuatnya menunggu lama, dan kedua, karena Khyra membawa gadis kecil yang asal-usulnya tidak ia ketahui. Apalagi, janji temu hari ini seharusnya untuk mencari dress. Tapi melihat kondisi sekarang, itu rasanya tidak mungkin. Membawa anak kecil berkeliling pasti melelahkan, apalagi Khyra baru saja selesai dari kerja.
Sakinah terus menatap gadis kecil itu, seolah merasa pernah melihatnya. Matanya menyelidiki setiap detail yang menempel di tubuh anak itu dari baju, kalung, cincin, hingga anting, semuanya bermerek. Tubuh anak kecil itu juga sangat bersih, seperti dirawat dengan sangat baik.
"Aku kayak pernah lihat anak ini deh… Tapi di mana ya?" Sakinah berpikir keras, berusaha mengingat, namun akhirnya dia menyerah karena tidak berhasil menemukan jawabannya.
"Sudahlah, biarkan dia makan dulu. Kata ibu yang ada di pinggir jalan itu, anak ini udah menangis selama tiga jam. Coba bayangin," ucap Khyra, lagi-lagi membuat Sakinah terkejut.
"Untungnya dia baik-baik saja," balas Sakinah.
"Alhamdulillah, itu karena Allah menyayanginya, makanya Dia memberikan perlindungan."
Tak lama kemudian, pesanan Khyra pun datang.
"Ayo sayang, makan cemilannya," ucap Khyra dengan sangat lembut. Namun, anak itu hanya terdiam, tampak sedang berpikir keras.
"Ada apa? Nggak suka sama cemilannya?" tanya Khyra. Anak itu hanya menggelengkan kepala.
"Kata Ayah, Lea nggak boleh makan sembarangan," jawabnya dengan bibir mungil, matanya berbinar-binar, seolah sangat ingin memakan cemilan itu.
"Jadi, nama kamu Lea, ya? Lea… Kamu bisa makan ini karena kakak pilihkan cemilan yang nggak mengandung banyak gula, dan ini bagus kok buat Lea, jadi nggak perlu khawatir," jelas Khyra, menahan diri untuk tidak bertanya tentang nama ayahnya. Ia memutuskan untuk menunggu anak itu kenyang dulu.
"Mama, setelah Lea makan ini, boleh nggak Lea makan yang Lea inginkan?" tanya Lea dengan mata memelas.
"Tentu saja, memangnya Lea mau makan apa?" jawab Khyra dengan senyuman.
Interaksi antara keduanya hanya bisa disaksikan oleh Sakinah, yang merasa seolah keberadaannya tak dianggap. Khyra masih menatap Lea, sabar menunggu jawabannya.
"Lea ingin sekali makan burger dan ayam dengan puas, kata teman Lea itu sangat enak, tapi Ayah nggak kasih Lea makan itu," jelas Lea sambil terus menyantap cemilannya.
Khyra memperhatikan cara makan anak itu, yang sangat anggun, jauh berbeda dari anak-anak lainnya. Anak itu tampak seperti anak bangsawan. Sakinah juga berpikir hal yang sama. Entah siapa anak ini, dan bagaimana dia bisa berada di pinggir jalan.
Setelah mendengar ucapan anak itu yang ingin makan burger dan ayam dengan puas, Khyra menyadari bahwa anak ini sangat dijaga dengan ketat. Penjagaan yang terlihat begitu teliti, memperhatikan segala aspek.
"Baik, setelah Lea makan cemilannya, nanti Kakak belikan. Tapi ada syaratnya, Lea harus beri tahu Kakak nama Ayah Lea, ya?" ucap Khyra sambil tersenyum.
Dan lagi-lagi, gadis kecil itu hanya terdiam. Khyra dan Sakinah menunggu dengan tatapan penuh harap, berharap anak itu menyebutkan nama ayahnya. Namun, setelah 15 menit berlalu, anak itu tetap terdiam sambil memakan cemilannya, membuat Khyra dan Sakinah akhirnya menyerah.
"Lea nggak butuh Ayah, Lea cuma ingin bersama Mama," hanya itu yang diucapkan gadis kecil itu. Khyra dengan sabar menahan Sakinah, yang seakan ingin marah, memberikan isyarat agar tetap tenang. Ia berusaha mengingatkan dirinya bahwa yang dihadapinya sekarang adalah anak berusia 5 tahun.
"Oke, kalau Lea nggak butuh Ayah, terus Mama Lea di mana, dan namanya siapa?" tanya Khyra lagi, berharap gadis kecil itu akan memberikan jawabannya.
Lea menunjuk Khyra dengan penuh semangat, yang seolah mengatakan bahwa Khyra adalah Mama-nya. Sakinah hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Lea, Kakak bukan Mama Lea, kita baru bertemu kan hari ini? Itu berarti saya bukan Mama Lea. Tapi saya yakin, Lea pasti punya Mama yang paling hebat di dunia ini."
"Tidak!! Kamu Mama-ku! Kamu Mama Lea, Mama jahat... Hiks..." Seketika, tangisan anak itu pecah, membuat perhatian orang-orang di kafe teralihkan ke arah meja mereka.
"Duh, Khyra, gimana ini? Udahlah, anggap aja dia anakmu dulu, sambil pelan-pelan cari tahu orang tuanya. Aku pasti bantu kok," ucap Sakinah yang sudah sangat pasrah.
Khyra tidak menjawab ucapan Sakinah dan hanya sibuk menenangkan Lea.
"Oke, Kakak minta maaf ya, Lea, jangan nangis dong..." ucap Khyra lembut.
"BUKAN KAKAK!! TAPI MAMA! KAMU MAMA LEA! HIKS..." ucap Lea dengan suara keras, tangisannya semakin pecah.
"Maaf, Mama minta maaf ya," Khyra berusaha menenangkan Lea, pemandangan itu sedikit membuat Sakinah tertawa, karena akhirnya Khyra mengakui dirinya 'Mama' Lea.
"Udah cocok kamu jadi ibu," canda Sakinah, sedikit mencairkan suasana. "Padahal aku baru mau tunangan, kamu udah punya anak sebesar ini, haha..." lanjutnya, membuat Khyra menatapnya dengan sinis.
"Awas ya kamu, bercanda di situasi seperti ini! Pokoknya, kamu harus bantu aku cari tahu orang tua anak ini!"
"Maaf, Mama minta maaf ya," Khyra berusaha menenangkan Lea, dan pemandangan itu sedikit membuat Sakinah tertawa, karena akhirnya Khyra mengakui dirinya sebagai Mama untuk anak kecil itu.
"Udah cocok kamu jadi ibu," canda Sakinah, sedikit mencairkan suasana. "Padahal aku baru mau tunangan, kamu udah punya anak sebesar ini, haha..." lanjutnya, membuat Khyra menatapnya dengan sinis.
"Awas ya kamu, bercanda di situasi seperti ini! Pokoknya, kamu harus bantu aku cari tahu orang tua anak ini!"
"Iya! Mana mungkin aku nggak bantu. Jadi, gimana sekarang? Mau lanjut cari dress atau ubah waktunya aja? Aku juga nggak terlalu terburu-buru kok, dan lagi, mood-ku udah hilang," canda Sakinah.
"Ubah waktunya aja, aku sangat lelah. Aku ingin segera tahu orang tua anak ini," ucap Khyra, yang memang terlihat sangat lelah. Sakinah yang melihatnya pun bisa mengerti, apalagi dia tahu temannya ini sangat populer, pasti banyak hal yang terjadi padanya.
"Jadi, mau pulang sekarang?" tanya Sakinah. Khyra mengangguk dan melihat cemilan Lea yang sudah habis.
"Baiklah, aku bayar dulu di kasir, kita barengan keluarnya," kata Sakinah, lalu beranjak menuju kasir. Tak lama kemudian, ia kembali.
"Ayo, ayo, Lea, Tante gendong," ucap Sakinah sambil mengulurkan tangannya kepada Lea yang tampak siap untuk digendong. Namun, Lea menolak dan malah meminta untuk digendong oleh Khyra. Mau tidak mau, Khyra harus menggendongnya.
***
"Astagahhh, Khyraaaa... Jadi kamu naik motor?! Ngapain kamu naik motor, mana mobil yang aku berikan? Jangan-jangan kamu cuma jadikan hiasan ya?" ucap Sakinah setiba di parkiran, melihat Khyra yang hanya menggunakan motor.
"Aku lebih nyaman naik motor, Kina..." jawab Khyra sambil menyimpan Lea di bagian depan motor, bersiap untuk pergi.
"Tapi naik motor itu bahaya! Aku sengaja kasih kamu mobil sebagai hadiah kelulusan, agar kamu nggak kenapa-kenapa. Jangan lupakan kejadian yang sudah menimpamu!" ucap Sakinah, sangat khawatir.
"Aku nggak lupa, Kina. Insya Allah, aku akan selalu hati-hati kok," jawab Khyra.
Sakinah sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Dia benar-benar mengkhawatirkan sahabatnya karena selalu ada saja kejadian yang tidak diinginkan terjadi padanya. Apalagi karena kepopulerannya dan kecantikannya, yang sering jadi penyebab musibah itu. Terlebih lagi, saat Khyra belum memakai pakaian yang tertutup, tidak seshalih sekarang ini. Sakinah merasa sangat berat mengingat masa itu.
"Tidak... Tidak, pokoknya kamu harus pakai mobil yang aku kasih, aku nggak mau kamu kenapa-napa!" ucap Sakinah, dengan mata penuh permohonan agar Khyra mendengarnya.
"Iya, aku akan mulai pakai, dan terima kasih sudah selalu mengkhawatirkanku," jawab Khyra sambil memegang tangan Sakinah.
"Kamu itu sudah seperti saudara ku, tau," ucap Sakinah, dan Khyra hanya tersenyum manis.
Kemudian kedua sahabat itu berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing.
Khyra tiba di halaman rumahnya yang sederhana, di mana mobil yang diberikan Sakinah terparkir rapi di garasi tanpa pernah diganggu. Khyra memarkirkan motornya dan menggendong Lea untuk masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum'salam, kamu sudah balik, Nak?" ucap Papa Ahmad, yang sedang menikmati kopi sambil membaca buku. Khyra langsung menghampiri beliau dan mencium punggung tangannya.
"Siapa anak itu, Khyra?" tanya Papa Ahmad, melihat gadis kecil yang berdiri di samping Khyra, sambil memegang erat tangan kirinya. Khyra duduk di samping papanya.
"Khyra juga nggak tahu, Pa," jawab Khyra sambil melepas kardigannya dan menarik Lea ke dalam pangkuannya.
"Loh? Terus kenapa ada sama kamu?" tanya Papa Ahmad, penasaran.
Khyra menjelaskan semua kejadian, dari awal hingga akhir, dan mengatakan kalau Sakinah akan membantunya mencari tahu orang tua Lea. Untuk sekarang, dia akan memperlakukan Lea seperti anaknya sendiri, dan meminta kerja sama orang tuanya.
Mendengar penjelasan Khyra, Papa Ahmad terdiam sambil memandang gadis kecil yang imut dan cantik itu di pangkuan Khyra. Sebagai seorang pria yang lemah dengan anak perempuan lucu, Lea mengingatkannya pada saat Khyra masih berusia lima tahun. Dia hanya bisa menerima kehadiran Lea dengan lapang dada.
"Kemari, nak Lea," ucap Papa Ahmad sambil mengulurkan tangan, ingin memangku Lea. Mereka terkejut melihat Lea langsung menerima dan duduk di pangkuannya.
"Kakek?" ucap Lea dengan bibir kecilnya, yang membuat mereka gemas. Ahmad merasa senang mendengar Lea memanggilnya 'Kakek', karena akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya punya cucu.
"Oh iya, Pa, Mama mana ya?" tanya Khyra, yang tidak melihat keberadaan sang Mama.
"Mama kamu lagi arisan, sebentar lagi dia pulang," jawab Papa Ahmad.
"Oh... Semoga arisannya naik," ucap Khyra, dan diaminkan oleh papanya.
"Pa, Khyra mau mandi dulu ya, aku tinggalin Lea sama Papa," ucap Khyra sambil mengambil kardigannya. Papanya hanya mengangguk sebagai tanda setuju.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!