NovelToon NovelToon

Benih Kakak Iparku

Bab 1. Kejadian dalam lift

"Bagaimana dok, apa istri saya hamil?"

Mendengar pertanyaan Adam, Bella duduk di kursi samping suaminya itu menunduk seraya saling meremas tangannya di atas paha.

Ini sudah ke sepuluh kali, mereka mendatangi dokter kandungan berbagai rumah sakit. Hanya untuk memastikan, apakah Bella sudah berbadan dua atau belum.

Mertua Bella berdiri di belakang kursi keduanya ikut buka suara.

"Pasti hamil kan, Dok? Soalnya, beberapa hari ini, menantu saya ini. Sering mengalami mual dan pusing, iya kan Bella?"

Bella ditanya menelan ludahnya. Sorot tajam mata mertuanya ter-poles shadow gelap dengan eyeliner melengkung tajam, khas ibu-ibu konglomerat membuatnya semakin takut.

"Iya, Ma tapi ...."

Bella ragu melanjutkan kata-katanya, takut mertuanya itu kecewa. Bella memang belum haid bulan ini namun mual yang sering ia rasakan, mungkin juga karena Bella memang memiliki maag akut.

"Diam lah kalian! Biar dokter membacakan hasilnya," sahut Adam pada Bella dan ibunya.

"Baiklah, Bapak, Ibu, saya ijin membuka suratnya."

"Silahkan, Dok," balas Adam.

Bella terus memperhatikan wajah sang dokter perempuan. Keringat dingin mulai membuat kening mulus Bella mengkilap.

Dokter tersenyum tipis pada Bella dan Adam.

"Dengan berat hati saya katakan, tuan Adam dan nyonya Bella harus mencoba lebih keras lagi. Bayi tabung bisa menjadi solusi."

Mendengar itu, Adam berdiri kasar disusul Bella yang ketakutan. Adam menarik tangan Bella dengan mencengkeramnya menuju pintu keluar. Mertua Bella, Devita. Mendengus sekilas lalu tersenyum anggun kembali pada sang dokter.

"Akan kami pikirkan, Dok. Kami permisi ya."

Di luar, Bella terhempas di samping pintu mobil di parkiran. Adam tidak segan membentak Bella habis-habisan. Orang-orang yang berada di sana hanya memperhatikan dengan bingung.

"Dasar istri tidak berguna! Apa lo itu mandul sebenarnya? Buat apa perawan kalo hamil aja susah! Asal lo tahu Bella, gue nikahin lo buat menghasilkan anak! Gue gak mau kalah start sama si lumpuh itu!" bentak Adam mencengkram kedua pipi Bella.

"Mas, sakit ...," rintih Bella mulai menangis.

"Alah! Cengeng banget lo! Ini yang gue gak suka sama lo, dikit-dikit nangis! Di ranjang juga, bisanya nangis!"

Kesal mendengar kata Adam, Bella mendorong dada suaminya kuat. Wajah Bella memerah malu.

"Mas, jaga omonganmu!" balas Bella membentak.

"Harusnya, kamu jaga Sikap! Wanita miskin tidak tahu diri! Mandul lagi!" timpal Devita datang dengan aura angkuhnya.

"Adam, Ayo pulang! Tinggalkan saja wanita tidak berguna ini!"

"Ma, Ma, maafin Bella. Mas adam seharusnya juga tidak berbicara kasar pada Bella. Bella juga belum tentu mandul karena kita belum sekalipun periksa kesuburan."

Plak!

Ucapan lembut Bella di balas tamparan keras di pipi kirinya. Bahkan kuku panjang bercat merah itu meninggalkan goresan di pipi putih Bella.

"Tuan."

Seseorang duduk di kursi roda dengan satu pengawal setia di belakangnya berada di sudut rumah sakit menyaksikan pertengkaran itu.

Mata tajam ber-iris abu-abu dan rahang tegas serta aura dingin penuh karisma darinya itu membuat siapapun ingin berlama-lama menatap ke arahnya.

"Biarkan saja," bibir merah si pria membalas acuh.

"Kau menuduh putraku mandul? Bukannya kata Adam kau yang selalu menolak di ajak periksa, hah?!"

Bella menatap Adam dengan linangan air mata namun suaminya itu seakan tidak perduli.

'Mas Adam, tega sekali memfitnahku,' batin Bella nelangsa.

"Ma, itu--"

Adam segera memotong perkataan Bella. Takut istrinya mengatakan sejujurnya.

"Tidak perlu di dengar, Ma. Ayo pulang."

"Benar! Buang-buang waktu berbicara dengan udik ini!"

Keduanya memasuki mobil dimana Adam yang menyetir. Seiring mobil berjalan pelan hingga melaju kencang, Bella berusaha berlari mengejar dengan tak henti mengetuk kaca mobil.

"Mas! Ma! Tunggu!"

Bukannya berhenti, mobil itu semakin tancap gas hingga Bella tersungkur di aspal menyebabkan kedua lututnya lecet dan nyaris tertabrak mobil Porsche di belakangnya.

Tin!!

"Maaf, maaf ...."

Bella menangkupkan tangan di dada lalu menyeret kakinya tertatih ke bahu jalan.

Mobil itu melaju kembali. Bella mendudukkan diri di halte sambil membuka sendal flat ber-talinya yang putus karena berlari tadi. Bella mulai menangis terisak.

"Aku tahu pernikahan kita terpaksa mas, tapi sedikit saja, kasihani aku selayaknya istrimu. Aku memang gadis bodoh, tidak bisa apa-apa. 2 tahun aku berusaha menerima sikap kasar mu mas tapi sampai kapan?"

"Tuan, maaf. Kenapa nona Bella tidak kita berikan tumpangan? Nyonya Devita pasti tidak memberinya sepeser uang," tanya sang Bodyguard merangkap jadi sopir itu.

Dia tahu, tuannya di kursi belakang setia menatap Bella dari kaca spion.

"Bukan urusanku! Jangan pernah kau panggil jalang itu nyonya atau ku potong lidahmu," suara datar penuh ancaman tersebut membuat sang bodyguard bergidik.

"B-baik Tuan ...."

***

Bella tiba di rumah pukul delapan malam. Perut lapar dan kehausan parah dengan kondisi basah kuyup membuat Bella baru melangkah masuk dalam lift tidak melihat orang yang berada di dalamnya.

Bella terjatuh di pangkuan pria yang setia menatap Bella datar dari kursi rodanya itu. Bella merasa suhu hangat, menempel erat membuat basah kaos putih pria tersebut.

"Begitu nyaman kah di pelukanku?"

Alarm berbahaya berbunyi di kepala Bella mendengar suara berat itu. Menyadarkan wanita berusia dua puluh tiga tahun tersebut. Bella segera melompat lalu berdiri kaku.

"Kak Leo ...."

Bella menelan ludahnya gugup.

Leo Devano Galaxy adalah pewaris sah Sky Corp. Usia hampir kepala tiga malah membuat laki-laki berdarah campuran tiga negara Korea, Rusia, dan Indonesia itu semakin menawan.

Kakek Leo berasal dari Rusia sedangkan neneknya dari Korea dan ibu kandung Leo asli orang indonesia.

Kecelakaan mobil empat tahun lalu berhasil membuat kaki Leo berhenti berfungsi. Leo dinyatakan lumpuh permanen. Tunangan Leo bersamanya di nyatakan meninggal namun Leo tidak sekalipun tahu dimana kuburan kekasihnya itu.

"Maaf kak, baju kakak basah karena aku."

"Kau baru pulang?"

Bella tertegun, ini kali pertama Leo berbicara dengannya. Biasanya, laki-laki lulusan magister manajemen di Harvard dan menyandang predikat mahasiswa terbaik itu terlihat acuh pada Bella.

"Iya kak." Bella mengangguk.

Ia tidak teliti melihat wajah seputih kapas Leo yang memerah seperti menahan sesuatu.

"Naik apa?"

"Naik taksi," bohong Bella.

Sepeser uang saja dia tidak memegangnya bahkan tas selempang dan ponsel miliknya tertinggal dalam mobil Adam, suaminya.

"Lalu kenapa bisa basah? Kakimu juga lecet."

Bella menatap arah telunjuk Leo. Kakinya memang memerah dan perih. Sepertinya, Leo tahu Bella berbohong. Beberapa menit terdiam. Bella keheranan mendengar geraman aneh Leo.

"Kakak kenapa?" Bella menyentuh sebelah lengan berotot Leo namun ditepis kasar oleh pria itu.

"Menjauh. Keluar lah dari sini sekarang juga!"

"Tidak kak. Jawab dulu, kakak kenapa?" Bella bersikeras bertanya.

"Keluar, Bella!" bentak Leo hingga urat kehijauan menonjol di lehernya.

Bukannya pergi, Bella tetap bertahan di tempatnya.

"Pergi!!" Teriak Leo membahana akhirnya sampai membuat Bella menutup kedua telinganya. Tangan Leo di atas paha saling mengepal hingga memutih.

"Iya kak, iya. Aku pergi," ucap Bella gemetar menahan dingin dan ketakutan.

Padahal Bella hanya ingin membantu Leo, tapi laki-laki itu sepertinya kembali menciptakan jarak.

Saat Bella akan keluar, lampu lift mati dan pintu besi itu spontan menutup.

Bella yang memang takut kegelapan berlari kembali dan masuk ke pelukan Leo. Napas Leo semakin memburu bagai predator karena ulahnya. Tubuh pria tersebut yang memang sudah panas tambah semakin panas.

"Kak, Aku takut kak. Aku phobia gelap. Tolong jangan usir aku, kak ...."

Bella tidak sadar menangis di pangkuan Leo.

"Emmm ...."

"kakak kenapa? Apa aku berat? Ini kok ada keras-kerasnya. Tadi, perasaan nggak ada."

Bella keheranan, ditengah kegelapan bokongnya bergerak tidak nyaman di atas paha Leo.

"Hentikan gerakanmu, Bella ...," ucap Leo serak mencengkram kiri-kanan pinggang Bella.

Bulu halus di tubuh Bella merinding seketika, napas mint kakak iparnya itu memburu. Wajahnya tenggelam di perpotongan leher jenjang Bella bergerak menyusuri. Mengendus aroma mawar menguar dari sana.

"Kak, jangan seperti ini."

"Bantu aku, Bella."

"Ba-Bantu apa kak?" Bella semakin gugup.

"Dia terbangun. Tolong ambil alih. Aku tidak bisa menahannya karena posisi ini. Aku harap kau tidak keberatan ...."

Belum sempat Bella menjawab, bibir hangat nan basah milik kakak iparnya itu mendarat di bibirnya.

Cup!

Mata Bella membulat sempurna. lumatan menuntut diikuti tangan berurat Leo di bawah sana menapak tanpa sungkan di area milik Adam seorang.

Bella memberontak namun kekuatan Leo begitu memenjaranya. Bunyi robekan kain mengisi ruangan itu disertai tangis pilu Bella.

Dua orang di luar lift, tersenyum penuh kemenangan.

"Rencana kita berhasil!"

Bab 2. Bella Pingsan

Bella menangis dalam diam saat cairan hangat itu mengisi rahimnya untuk kedua kali. Cengkraman di pinggang Bella mengendur seiring cucuran keringat dari ujung rambut Leo menetes di pipi Bella.

'Sial! Apa yang sudah aku lakukan?' batin Leo tersadar.

Lampu tiba-tiba kembali hidup, Bella yang masih merasakan nyeri di pangkal paha, Leo dorong kasar tanpa belas kasihan. Pria itu cepat-cepat menaikan resleting celana jeans sepaha nya.

"Keluarlah," ujar Leo tak mau menatap Bella.

Dimana dress adik iparnya itu terdapat robekan besar bagian dada serta bercak kemerahan maha karyanya.

"Kenapa kak?" tanya Bella nanar.

Sungguh, sebagai seorang istri, Bella merasa gagal menjaga kehormatannya.

Mata Leo berubah tajam. Kentara tidak suka pada pertanyaan Bella.

"Lupakan malam ini. Anggap saja, aku khilaf."

Airmata Bella berjatuhan tak terbendung. Leo berbicara segampang itu, seolah Bella sama dengan wanita malam di luaran sana. Bersama Adam saja, Bella membutuhkan satu bulan untuk meyakinkan diri.

"Tidak sesederhana itu kak. Bagaimana jika aku hamil karena ulah kakak?"

Deg!

Leo sempat tertegun namun ia tersenyum sinis setelahnya.

"Mustahil kau hamil benihku karena di rahim mu juga ada benih pria lain. Sekalipun benar, aku tidak akan mengakuinya."

Serasa ada pisau tajam mengiris hati Bella. Tidak ia sangka ternyata rumor tentang Leo yang begitu kejam dan tak punya hati nyatanya benar. Bella benar-benar ketakutan, jika sampai Adam mengetahui perbuatan hina ia dan Leo ini.

"Aku pastikan Adam tidak akan tahu hal ini. Kecuali, mulutmu sendiri yang buka suara," ucap Leo seolah tahu isi pikiran Bella.

"Sekarang pergi!"

Bella berusaha berdiri, kedua lututnya bergetar. Sekuat tenaga ia menahan perih di area sensitifnya. Leo menatap punggung mungil yang menjauh itu dengan pikiran bercabang.

"Aku harap mahluk itu tidak berkembang di perutmu," gumam Leo tak terdengar Bella.

Pria itu sadar ada kemungkinan benihnya berkembang apalagi Leo tidak mengunakan pengaman.

Bodyguard setia Leo berlari tergopoh memasuki lift, Revan Erlangga berusia 25 tahun.

"Astaga Tuan, saya mencari anda di seluruh sudut mansion ini. Tidak tahunya anda ternyata berada disini."

Leo tak mendengar perkataan Revan, mata tajamnya fokus menyusuri setiap lekuk kotak persegi itu.

"Revan, berikan aku rekaman di dapur dan hapus rekaman dalam lift hari ini."

"Siap laksanakan Tuan. Tapi ada apa, Tuan?"

Rahang Leo mengetat.

"Ada seseorang yang sengaja menjebak ku. Temukan dia dan bawa ke hadapanku."

Disisi lain, Bella berjuang menapaki anak tangga satu persatu. Kamarnya di lantai dua berhadapan dengan kamar Leo. Baru membuka pintu, Bella mendengar obrolan suaminya lewat telpon dengan seseorang. namun membuat Bella membeku, perkataan tercetus dari bibir Adam.

"Jangan khawatir, satu bulan lagi akan aku ceraikan udik itu. Tidak berguna! Leo ternyata tidak menyukainya. Aku kira dulu, Leo hanya berpura-pura makanya aku bersedia menikahinya. Lagian dia juga mandul!"

'Ya Tuhan, kejam sekali bicaramu mas. Apa kau tidak memikirkan jika aku mendengar perkataanmu itu,' batin Bella semakin nelangsa.

"Aku janji sayang, hanya kamu yang cocok jadi nyonya Adam. Apalagi kamu sudah mengandung darah dagingku."

"Mas Adam, selingkuh?"

Bella mundur tanpa sengaja menabrak pot bunga. Pintu yang tidak tertutup membuat Adam mendengar keributan itu.

"Sayang, nanti lagi aku telpon."

Adam menutup panggilan sepihak, menghiraukan protes dari seberang sana. Pria berambut coklat itu, berlari ke arah pintu sambil memasukan ponsel di saku celana.

Bella yang meluruh di dinding membuat wajah datar Adam semakin datar.

"Darimana aja lo? Pulang-pulang udah kayak gembel. Rambut berantakan, baju robek. Melacur dimana, hah?!"

'Benar, aku memang serendah itu.'

Karena kesal Bella tak kunjung menjawab, Adam menarik rambut depan Bella hingga Bella terdongak. Leo baru keluar dari lift dengan Revan menyaksikan aksi kdrt itu. tanpa siapapun sadari, wajah Leo menyiratkan kemarahan besar.

"Punya mulut itu jawab! Jangan diam kayak orang bisu, Bella. Nggak sadar punya suami malah asik sendiri keluyuran di luaran sana. Beruntung gue tahan dengan lo yang gak guna ini!"

"Sakit mas ... Bukannya mas tadi ninggalin aku tanpa kasi uang sepeser pun? Aku jalan kaki mas dari rumah sakit kesini," ucap Bella sesenggukan.

Perlakuan seperti ini sudah sering Bella dapat dari Adam. Berhubungan intim saja, punggung Bella pasti penuh oleh bekas cambukan pagi harinya.

Ya, Adam menyukai seks keras.

"Alah, itu bukan alasan buat lo pulang malam! Sekarang masuk! Layani gue!"

Wajah Bella berubah pucat pasi. Sempat itu terjadi, Adam akan melihat tanda di buat Leo. Bella semakin meremas erat menyatukan robekan kain di dadanya.

"Jangan sekarang mas, aku sedang tidak enak badan."

Bella tidak berbohong, tubuhnya memang begitu letih.

Napas Adam memburu kesal mendengar itu.

"Gue gak peduli! Lo sebagai istri nurut sama suami. Gue udah siapin baju buat lo dinas. Bersihin tubuh lo dan turutin kata gue!" bentak Adam bergema.

Bella tetap menggeleng tak mau.

"Mas, aku mohon sekali ini aja. Besok aku janji, akan turutin mau mas."

Bella di ambang ketakutan. Usia Adam masih 19 tahun membuat pemuda beristri itu sering marah meledak-ledak.

"Bodoh amat! Itu udah resiko lo sebagai istri!" Adam tak kalah kekeh.

Rasa marah di hati Bella mencuat, Adam sudah berselingkuh lalu memakainya seperti binatang. Bella tak tahan lagi.

"Lalu bagaimana dengan perempuan yang berbicara denganmu di telpon tadi? Kau mencintainya kan mas, sampai-sampai dia mengandung? Kenapa tidak dia saja yang kau suruh memuaskan napsu besar mu--"

Perkataan Bella terhenti karena Adam yang luar biasa emosi membenturkan cukup kuat belakang kepala Bella di dinding. Namun, seseorang memelintir tangan Adam hingga pemuda itu mengaduh.

"Ngapain lo ikut campur lumpuh?! Lo suka sama dia? Sial, sakit!"

Leo semakin memperkuat cengkeramannya. Tulang Adam serasa akan remuk. Meski beraktivitas di atas kursi roda, Leo tidak pernah alpa melatih otot-otot tubuhnya. Tidak heran, setiap hari tubuhnya semakin kekar saja.

"Tidak mencintainya bukan berarti kau bebas menyiksanya! Memperlakukan dia seperti binatang padahal bintang sesungguhnya adalah dirimu!" kecam Leo.

"Bangsat! Tangan gue sakit! Suka-suka gue istri punya gue. Harusnya lo malu ikut campur rumah tangga orang lain! Oh lupa, lo kan bujang lapuk. Tunangan juga udah mati. Mana ngerti rasa surga dunia!" ejek Adam.

Leo mendorong Adam hingga nyaris tersungkur. Meski tidak melihat secara langsung kejadian di lift namun rasa yang dialami Leo, benar-benar melekat di memorinya.

Benar, Bella adalah yang pertama untuk Leo.

Adam mengibaskan angkuh jaket kulitnya. Seakan Leo itu biang bakteri. Adam menunjuk Bella yang memijit dahi.

"Lo mau dia, lumpuh? Ambil aja itu bekas gue. Masih rapat kok. Gak perlu drama jadi pahlawan kemalaman, basi! Bentar lagi juga gue bakal buang dia!" kata Adam mengentengkan lalu melangkah pergi.

Karena Adam yakin, Bella memang mandul. Otomatis, jika Leo memungutnya, tidak akan menghasilkan apapun.

Leo akan menjalankan kursi roda untuk mengejar Adam. Tidak jadi, karena panggilan Revan. Dalam pelukan bodyguardnya itu, Bella terlihat tak berdaya.

"Tuan, nona Bella pingsan!"

Timbul rasa aneh di hati Leo. Pria berambut hitam legam itu tanpa sadar menyorot sangat tajam Revan yang bersentuhan langsung dengan Bella.

"Berikan padaku!"

Revan walau teramat bingung, meletakan Bella di atas pangkuan Leo.

"Panggil dokter dan suruh seorang maid ke kamarku," perintah Leo lalu menjalankan kursi rodanya memasuki kamarnya sendiri tanpa menunggu jawaban dari Revan.

"Lah, Kenapa ke kamar Tuan Leo? Ini kan kamar nona Bella?" ucap Revan berbicara sendiri menunjuk pintu kamar Adam. Merasa aneh pada tingkah tuannya itu.

Bab 3. Pil Kontrasepsi

"Adam mau kemana kamu?" tanya Devita duduk di ruang keluarga tengah membaca majalah dengan wajahnya ter-poles masker bengkoang.

Adam menuruni tangga dengan helm full face di masukan pada salah satu pergelangannya.

"Mau keluar, Ma. Sumpek di rumah," balas Adam masih merasa jengkel pada penolakan Bella.

Devita meletakan majalahnya di meja kaca lalu berdiri menghampiri Adam yang sudah menapak di tangga terakhir.

"Kenapa putraku? Udik itu membuatmu marah lagi?"

Adam mendesah kasar. "Dia menolak ku, Ma. Si lumpuh itu juga sok-sokan membelanya membuatku kesal," gerutu Adam.

Devita tersenyum tipis tanpa Adam tahu. Otak kebencian tertanam di hati Adam untuk Leo adalah Devita.

Sedari kecil, Devita selalu menekankan bahwa seorang kakak tiri tidak akan pernah sebaik kakak kandung. Apalagi Leo adalah pewaris sah keluarga ini, Adam semakin membencinya.

Tepat Devita akan buka suara, ia melihat seorang maid berbicara dengan Revan. Devita tentu saja penasaran apa yang mereka bicarakan.

Apalagi Revan membawa seorang perempuan menaiki lift bersamanya dan maid itu menuju ke arah keduanya untuk menaiki tangga menuju lantai atas.

"Permisi Nyonya, Tuan muda."

"Tunggu dulu, Apa yang di bicarakan Revan padamu dan siapa wanita itu?"

Langkah maid tersebut terhenti namun terlihat ragu untuk menjawab. Devita menajamkan matanya. Karena menyandang status istri kedua. Ia sering kali tidak di hargai.

"Berbicara jujur atau aku pecat kau sekarang juga!" ancam Devita.

"Jangan Nyonya, ampun ... tadi Revan memberitahu nona Bella pingsan. Saya disuruh mengganti bajunya di kamar tuan Leo dan wanita tadi dokter yang akan memeriksa nona Bella. Saya permisi Nyonya," jujur maid itu ketakutan.

"Kenapa bisa Bella pingsan? Dan kenapa harus dibawa ke kamar Leo?" Tanya seseorang di ambang pintu baru datang dari arah luar.

Tanpa siapapun sadari, Devita menyeringai licik.

Dikamar Leo, Bella selesai diperiksa dan sudah berganti baju tidur. Wanita itu belum siuman. Leo di seberang hanya menatap datar Bella.

"Jangan khawatir, adik iparmu hanya kecapean dan karena suhu tubuhnya meninggi membuat imunnya turun. Kepalanya juga tidak apa-apa. Aku sudah menyuntikan vitamin agar besok dia tidak lemas."

Leo hanya mengangguk acuh. "Kau membawa pesanan ku?"

Celine Aqila, dokter sekaligus sahabat tunangan Leo dulu, merogoh isi tasnya. Ia sodorkan barang yang diminta Leo dengan ekspresi bingung.

"Boleh aku bertanya?"

"Ya."

"Untuk siapa itu, Leo?"

Revan tak kalah penasaran namun memilih diam saja. Leo menyembunyikan cepat barang itu di saku celananya.

"Revan, antar Celine ke depan. Maaf, mengganggu istirahatmu."

Celine tahu, Leo sengaja tidak menjawab pertanyaannya. Celine memandang Bella dengan perasaan rumit.

Ia tahu kamar ini milik Leo. Semasa hidup Kanaya Ayodhya, Leo sekalipun tidak pernah mengijinkan tunangannya itu masuk ke kamarnya. Kanaya sering bercerita pada Celine.

"Mari, Nona."

Melintasi Leo, Celine mengutarakan kegundahannya.

"Aku harap praduga ku salah, Leo. Karena Kanaya akan sangat kecewa padamu."

Kedua tangan Leo mengepal di atas paha. Luka kehilangan itu masih sangat Leo rasakan bahkan sekarang berganti rasa bersalah luar biasa sesak.

Tubuhnya sudah ternoda oleh wanita lain. Dulu, Kanaya bahkan selalu menggoda Leo namun sikap teguh Leo sama sekali tidak gentar.

"Privasiku adalah urusanku. Baik kau keluar!" sentak Leo penuh amarah.

"Nona, ayo," paksa Revan karena bisa saja Leo mengamuk memecahkan barang di kamarnya seperti yang sudah-sudah.

"Baik aku keluar. Namun ku harap kau tidak melupakan Naya. Apalagi terlibat hubungan terlarang. Masih banyak wanita lain di luar sana, Leo," pesan Celine lalu benar-benar keluar bersama Revan.

Bunyi pintu terbuka kasar disusul langkah kaki beberapa orang memasuki kamar Leo bernuansa hitam putih itu.

"Apa lagi?!" tanya Leo sarat kemarahan tanpa melihat orang yang datang.

"Ada apa ini, Leo?" tanya Liam, ayah kandung Leo. Paruh baya itu masih mengenakan jas kantornya. Devita yang sudah membasuh wajahnya lekas mendekati Bella.

"Astaga menantuku, kenapa bisa seperti ini?"

Devita mengelus puncak kepala Bella terkesan khawatir sambil duduk di sisinya. Devita mengerling pada Adam membuat pemuda itu ikut berakting.

"Istriku bangun, sayang. Kak Leo, kenapa Bella ada di kamarmu? Tidak baik kak, dia istriku," ucap Adam bahkan menciumi punggung tangan Bella.

Perkataan Adam terkesan sengaja menjelekan Leo pada ayah mereka.

"Sayang, bukannya tadi kau baik-baik saja? Kenapa sebentar ku tinggal, sudah seperti ini."

"Jawab Leo! Kenapa kau malah diam!" bentak Liam karena Leo hanya berdiam saja dengan wajah dinginnya.

"Dia pingsan. Harusnya berterimakasih aku mau menolongnya," tekan Leo.

Rasa di hatinya campur aduk namun lebih dominan rasa marah. Leo tidak tertipu drama Adam namun sesuatu membara di dadanya melihat perlakuan Adam pada Bella.

"Dan kau suami tidak becus, bawa pergi istrimu dari kamarku!"

Ekspresi wajah Adam sempat berubah namun kembali terlihat sedih.

"Terimakasih kak, sudah menolong istriku. Mungkin ini, tanda-tanda sebentar lagi Bella akan mengandung."

"Amin." Devita ikut menimpali. "Agar ada penerus untuk keluarga Galaxy," ucapnya lagi.

lirikan sinis mata Devita terarah pada Leo. Karena pikirnya, wanita mana yang mau dengan Leo yang lumpuh sekalipun mau, paling hanya memanfaatkan kekayaan dimiliki anak tirinya itu.

"Benarkah? Apa bulan ini Bella sudah terlambat datang bulan?" tanya Liam bersemangat.

Dia memang memimpikan hadirnya mahluk mungil itu. Liam tidak berharap pada Leo. Karena Leo tidak berminat lagi untuk menikah.

Sementara Devita tidak ingin mengandung kembali.

"Nanti, bulan depan saja aku mengajak Bella

periksa, Pa. Aku yakin Bella akan mengandung cucu kelurga ini," jawab Adam terdengar sangat bahagia mengutarakan kebohongannya.

"Terpenting jaga cucu papa baik-baik," jawab Liam begitu antusias.

'Ya Tuhan, tega sekali mas Adam membohongi papa. Bagaimana jika aku tidak hamil bulan depan?' batin Bella.

Ya, Bella sudah sadar, sejak Leo menyuruh Adam membawanya. Namun Bella sengaja tetap menutup mata. Aroma wangi bekas tubuh Leo di seprai abu-abu itu menggelitik hidung Bella membuatnya menghirup begitu dalam. Mata tajam Leo menyadari tingkah Bella.

'Astaga, apa yang aku lakukan? Sadar, sadar, dia kakak iparmu.'

Tanpa sadar Bella menepuk wajahnya sendiri.

"Sayang, kau sudah sadar?"

"Bella, apa yang sakit, Nak?" tanya Liam ikut mendekat pada menantunya itu, Devita berdiri memberi ruang.

Liam begitu menyayangi Bella. Bahkan tak segan memeriksa kening Bella.

"Kau demam. Adam, di kompres kening istrimu nanti. Jangan lupa minum obat. Apa kau sudah makan, Nak?"

Bella menggeleng. Kepalanya masih pusing. "Aku tidak lapar Pa."

"Tidak bisa, Bella. Kau harus makan. Biar papa suruh maid membuatkan mu bubur nanti."

"Tapi pa--"

"Jangan membantah. Supaya lain kali tidak menyusahkan orang lain," sela Leo.

Diam-diam dari tadi matanya melirik Bella.

"Baik Pa ...." ucap Bella berat.

Pasalnya, liurnya terasa pahit. Tubuh Bella juga begitu nyeri. Serasa habis di pukuli orang.

"Pa, biar aku saja yang menyuruh maid. Kebetulan aku ingin turun ke bawah, mengambil kompres untuk Bella," alasan Adam, padahal akan menghubungi kekasihnya bahwa mereka batal bertemu.

"Yasudah, papa juga mau mandi. Bella, cepat sembuh ya."

Liam mengusap kepala Bella. Memiliki Bella sebagai menantu membuat Liam merasa mempunyai anak perempuan.

"Iya, Pa."

Kepergian Adam dan Liam membuat ketiganya saling pandang. Devita dengan dendam kesumatnya, Leo dengan wajah datar bagai tembok sedangkan Bella berusaha tidak menatap balik Leo.

Tiba-tiba ponsel ditangan Devita berdering.

"Bella, kau tetap disini dulu. Aku akan mengangkat telpon," ucap Devita berjalan keluar kamar Leo. Tanpa menegur Leo sama sekali.

"Tapi, Ma--"

Perkataan Bella terhenti karena kursi roda Leo mendekat ke arah ranjang. Sesuatu Leo lempar dan terjatuh di pangkuan Bella yang menyandar di kepala ranjang.

"Minum itu satu tablet setiap malam."

"Apa ini?"

Bella membolak-balik obat di tangannya itu.

"Pil kontrasepsi."

Bella akhirnya dibawa Adam Kembali ke kamar mereka. Di tengah malam, Adam sudah tertidur di samping Bella, tidak menyadari pergerakan gelisah istrinya itu.

"Aku minum apa tidak ya?" timbang Bella.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!