NovelToon NovelToon

Mawar Merah Berduri

1 Telat.

Grand Hotel

Byuuurrr

Seseorang pemuda melompat kedalam kolam renang yang ada di dalam hotel. Dia adalah Adit Pratama, pewaris tunggal yang akan segera menjadi pemilik hotel. Adit lumayan populer, dia memiliki dua juta followers di instagram dan tiktoknya hanya dengan memposting hasil jepretannya sebagai hobi yang ditekuninya sejak lama. Dia juga memiliki hobi lainya yaitu berenang, tidak ada hari tanpa berenang.

Apakah dia sudah punya kekasih? Tentu saja sudah. Hanya saja, tidak banyak yang tahu siapa dan seperti apa sosok kekasih seorang Adit Pratama. Karena sang kekasih tidak suka diekspos sama sekali.

Adit sudah berenang hampir setengah jam, kini dia menepi ke pinggir kolam, meraih hp nya dan mengetik pesan yang dikirimkan pada kekasihnya. Sementara itu kekasihnya saat ini sedang berada di salah satu cafe, memberikan bimbingan belajar les untuk anak anak SMA.

Happy Cafe

"Baiklah adek adek, pelajaran hari ini cukup sampai disini dulu. Pertemuan minggu depan tugasnya kakak periksa."

"Iya kak."

Gadis cantik bermata indah itu baru saja selesai mengajar les.

"Kak Inne, kalau periksa tugasnya sekarang boleh?" tanya salah satu anak bimbingannya.

"Boleh. Memangnya kamu yakin tugasmu sudah siap, dek?"

"Iya kak. Ini cek saja."

Inne mengeceknya dan ternyata benar saja sudah selesai dengan jawaban yang hampir benar semua.

"Udah hampir benar semua sih, tapi masih ada beberapa juga yang salah. Untuk jawaban yang masih salah, kita bahas dipertemuan minggu depan ya."

"Iya kak."

"Kita pulang dulu ya kak." pamit lima orang anak bimbingnya itu sementara salah satu dari mereka masih duduk di kursinya dengan wajah murung.

"Langsung pulang ya. Kalau mau main dulu, kasih tau orangtua kalian."

"Iya kak."

Sementara yang lain sudah pada pulang, Inne menatap lembut gadis manis yang masih duduk didekatnya.

"Ada apa dek? Apa ada yang bisa kakak bantu..."

"Eee maaf kak Inne, sebenarnya... untuk bayaran bulan ini masih belum bisa aku lunasi, mama belum punya uang." ucapnya ragu ragu dan tampak takut.

Jujur, Inne kecewa mendengar kabar itu. Soalnya Inne sangat butuh uang saat ini untuk membayar beberapa keperluan kuliahnya. Tapi dia juga tidak bisa memaksa.

"Ya sudah gak apa apa. Kamu bisa bayar saat sudah ada uangnya."

"Terimakasih ya kak. Kalau begitu saya permisi."

Inne menatap kepergian muridnya itu. "Dia bahkan sudah dua bulan tidak pernah membayar. Mungkin dia benar benar kesulitan." batin Inne.

Drittt

Pesan masuk ke hp nya. Dengan cepat Inne membacanya, karena pesan itu dari kekasihnya.

MY LOVE

Aku tunggu di kolam.

20 Menit.

Inne tersenyum membaca pesan itu. Dengan cepat dia berkemas, lalu berjalan menuju kasir.

"Sudah selesai, In?" Tanya pria gagah pemilik cafe.

"Sudah, bang."

Inne mengulurkan beberapa lembar uang untuk membayar minumannya dan anak anak bimbingannya tadi.

"Udah simpan saja uangnya, In. Khusus hari ini gratis."

"Loh gak usah, bang. Aku ada uang kok, anak anak sudah membayar untuk bulan ini."

"Sudah, simpan saja."

"Hmm, ya udah deh. Terimakasih ya bang Bimo."

"Iya."

Setelah itu, Inne langsung melangkah keluar dari cafe, menuju halte depan. Sayangnya saat Inne tiba di halte, bus baru saja melaju. Dia terlambat dan jika harus menunggu bus berikutnya butuh waktu sekitar delapan menit lagi.

"Bisa telat kalau gini." ujarnya tampak bingung.

Tin, tin!

Itu suara motor yang tiba tiba berhenti di dekat Inne.

"Grand hotel kan?" tanya cewek cantik pemilik motor sambil mengulurkan helm pada Inne.

"Kak Wendi?!"

"Ayo, aku antar."

"Benaran? gak repot..."

"Udah ayo naik."

Inne tersenyum senang, lalu dia segera memakai helm dan naik di belakang. Wendi melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, dia ahli dalam bermotor. Sehingga mereka tiba di depan hotel tepat waktu.

"Terimakasih ya kak."

"Iya, sama sama."

Inne memberikan helm kembali, lalu dia berlari cepat memasuki hotel dengan bebasnya tanpa ada yang menghentikannya.

"Gue jadi penasaran, Sebenarnya apa yang dilakukan Inne hampir setiap sabtu disini." ujar Wendi sebelum dia pergi.

Sedangkan Inne sudah tiba di kolam renang tepat saat Adit menepi.

Inne tersenyum senang melihat Adit yang masih sibuk menyibak rambutnya dan mengusap wajahnya yang penuh dengan air. Pesona Adit sangat memabukkan saat dalam keadaan seperti ini. Jika saja ada cewek lain yang melihat langsung saat ini, mereka sudah pasti akan menjerit histeris. Sementara Inne, sudah biasa melihat hal seperti ini dan baginya terlihat biasa saja.

Saat Adit membuka matanya, dia pun melihat wajah kekasihnya tepat berada dihadapannya. Senyum tertahan pun terlihat jelas di kedua sudut bibirnya. Dia senang tapi gengsi untuk memperlihatkan dengan jelas rasa senangnya itu dihadapan kekasihnya.

"Telat." ucapnya memalingkan wajah dan dia kembali berenang.

"Semenit aja kok telatnya. Tadi ketinggalan bus loh, Dit."

Adit masih terus berenang sampai diujung kolam, lalu dia kembali berenang kearah Inne yang tetap tersenyum manis pada kekasihnya yang sangat keras kepala, gengsi dan juga mudah emosi itu.

"Dit, muridku masih belum membayar uang les. Padahal ini sudah bulan kedua dan dia masih belum membayar seperpun." curhatnya saat Adit sudah tiba di pinggir kolam tepat dihadapannya.

"Itulah makanya kamu harus lebih tegas dan berani. Nah, sekarang mau gimana lagi. Tuh anak udah keenakan gak bayar, toh kamu juga selalu memberinya waktu."

"Aku cuma kasihan sama dia, Dit. Mungkin kedua orangtuanya benaran kesulitan untuk mendapatkan uang."

"Ya ya, terserah ibu guru Inne deh. Percaya saja terus sama tuh anak, ampe akhirnya dia berhenti les dan kamu tidak mendapatkan bayaran sama sekali." Rutuknya.

"Jangan berburuk sangka dulu, Dit. Aku yakin kok dia bakal bayar dan gak akan berhenti begitu saja."

"Baiklah, kakak Inne yang baik hati. Lagian kamu itu memang baik sama semua orang kecuali aku." ledek Adit yang selalu cemburu karena menurutnya Inne baik pada semua orang tapi tidak padanya.

"Ih kok kamu ngomongnya gitu?!"

"Faktanya begitu." Adit menepi, lalu meraih pergelangan tangan Inne. "Sekarang, saatnya kamu temani pacar kamu yang ganteng ini berenang."

Adit menarik kedua pergelangan tangan Inne, dia berusaha menarik Inne masuk kedalam kolam.

"Adit, lepasin! Aku gak mau renang. Lagian aku gak bawa baju..."

"Ini nih, kamu tu kalau sama orang lain aja selalu baik dan ngikutin kemauan mereka. Tapi kalau sama aku, selalu saja menolak."

"Bukan gitu, Dit..."

"Dit dat dut... sampai kapan kamu mau panggil aku begitu?!" Rajuknya kesal sambil melepaskan tangan Inne dan dia kembali berenang ke ujung sana.

Inne tersenyum gemas melihat bagaimana cara Adit merajuk padanya.

"Satu..."

"Dua."

Inne mulai menghitung selama apa Adit bisa marah padanya.

"Tiga."

Inne akan menghitung sampai sepuluh yang selalunya Adit akan kembali padanya tepat sebelum Inne menyebutkan angka sepuluh.

"Lima."

Adit berbalik arah, dia berenang kembali menuju Inne. Dan tentu saja itu membuat Inne tersenyum senang.

"Delapan..."

"Sembi..."

Adit tiba lebih cepat, dia kembali menarik kedua tangan Inne secara paksa sehingga Inne masuk kedalam kolam dalam keadaan masih memakai pakaian lengkapnya.

Byuuurrr

"Adit!!!" teriak Inne kesal dan juga marah.

"Ini hukuman buat pacar yang datangnya telat." Bisiknya ditelinga Inne sangat dekat.

"Aku gak bawa baju ganti, Dit."

"Itu bukan masalah besar, sayang."

Adit menarik pinggang Inne untuk mendekat padanya. Lalu, Adit mencium puncak kepala Inne yang terlapis jilbab pasminanya dengan ciuman dalam penuh rasa dan cukup lama.

"Dit..."

"I love you, sayang." bisik Adit yang beralih memeluk kekasihnya.

Inne tersenyum senang. Dia pun melingkarkan tangannya dipunggung Adit untuk membalas pelukan hangat sang kekasih ditengah dinginnya air kolam.

*Tampilan Inne Aprilia*

2 Hampir saja!

"Gue gak bisa bang, cari yang lain aja."

Adit bicara melalui panggilan telepon, sementara Inne duduk di kursi ruang ganti, mengelap wajahnya yang basah dengan handuk kecil yang tadi diberikan Adit padanya.

"Ini kompetisi besar, Dit. Rugi kalau kamu menolak tawaran ini. Papa kamu juga mensponsori acara ini."

"Gue gak tertarik buat ikut ajang seperti itu bang. lagian bulan depan gue mau ujian tengah semester."

"Acaranya mulai pertengahan minggu ini, Dit. Finalnya juga masih tiga bulan lagi. Abang jamin gak akan ganggu kuliah kamu."

"Gue benaran gak bisa, bang. Cari yang lain ajalah."

Saat mengatakan itu Adit menoleh kearah kekasihnya yang malah mengangguk seakan memberi isyarat agar Adit menerima saja tawaran itu.

"Gini aja deh, kamu datang dulu ke kantor. Nanti kita bicarakan lagi."

"Hmm, lihat nanti deh, bang."

Panggilan berakhir, lalu Adit mendekati Inne dan duduk di samping Inne, sementara kepalanya dia rebahkan di pundak kekasihnya itu.

"Bang Romi mau aku ikut ajang pemilihan Idol boys."

"Bagus dong, kok malah nolak?"

"Males ah."

"Kenapa?"

"Nanti jadi sibuk. Kamu kan tahu sendiri, aku gak bisa kalau seharian gak ketemu kamu, sayang."

Inne tersenyum senang mendengar pengakuan Adit barusan.

"Tapi papa kamu sponsor terbesar di acara ini loh, Dit."

"Iya aku tahu, sayang. Tapi, nanti aku jadi sibuk terus gak ada banyak waktu buat kita ketemu, gimana?"

"Ya gak apa apa. Malah bagus dong."

"Kamu tu kok gitu sih, In. Kamu risih ya karena aku ngajak ketemuan setiap hari?!" tuduhnya mulai merajuk lagi.

"Bukan begitu, Dit. Aku gak pernah berpikir seperti..."

"Udah lah. Kamu emang cuma peduli sama orang lain dibanding aku." Adit merajuk.

Dia membanting pintu loker sangat kuat setelah mengambil bajunya, lalu dia berlalu pergi masuk keruang ganti.

Inne hanya bisa menarik napas dalam dan mencoba untuk lebih sabar menghadapi emosi kekasihnya yang begitu mudah terpancing.

"Aku lapar. Aku mau makan di rumah kamu." ucapnya begitu keluar dari ruang ganti dengan sudah berpakaian rapi dan wangi tentu saja.

Inne hanya diam menyentuh pakaian dibadannya yang masih sangat basah. Telinganya pun terasa pengap karena jilbabnya juga basah.

"Tunggu!" ujar Adit saat menyadari itu.

Dia pun langsung menelpon seseoarang untuk membawakan pakaian ganti buat Inne.

Tidak berselang lama, seorang pelayan hotel datang memberikan paper bag pada Adit yang akhirnya dia berikan pada Inne.

"Ganti baju dulu, sana. Nanti kamu masuk angin."

"Hmm." angguk Inne sambil tersenyum lega karena Adit sudah tidak semarah tadi.

Inne pun bergegas mengganti pakaiannya. Adit membelikannya baju baru lagi dan harganya tentu saja sangat mahal bagi Inne.

Dia keluar dari ruang ganti dengan suasana hati yang tidak begitu baik.

"Dit..."

Adit menoleh kearah Inne. Tatapannya tampak kagum melihat betapa cantik dan anggunnya kekasihnya memakai pakaian sesuai pilihannya.

"Pacarnya aku memang selalu cocok memakai pakaian seperti ini." pujinya yang langsung menghampiri Inne.

"Dit, jangan sering membelikan barang barang yang harganya mahal. Aku keberatan."

"Kenapa sih sayang, tinggal terima aja kok susah."

"Tapi, Dit..."

"Sudah sayang, aku gak mau berdebat sama kamu sekarang. Suasana hati aku sudah sangat bahagia saat ini dengan melihat betapa cantiknya kamu, sayangku."

Adit merangkul pinggang Inne dan membawanya untuk ikut melangkah.

Mereka akan menuju rumah Inne untuk makan siang. Adit ketagihan masakan bundanya Inne yang selalu lezat dan sangat cocok dilidahnya.

"Bunda sepertinya mulai curiga sama kita, Dit."

"Bagus dong."

"Loh kok bagus..."

"Lah iya sayang. Kalau nanti bunda tiba tiba tanya hubungan kita, ya tinggal jawab aja kita saling mencintai. Masalah selesai, kamu tidak perlu repot menyusun rencana untuk memberitahu bunda tentang kita."

"Adit ih, kamu mah susah mengerti."

"Iya sayang, aku mengerti. Wajar sih bunda curiga, karena aku selalu mampir untuk makan siang saat hari sabtu dan hanya kita berdua. Tapi, selama bunda gak nanya tentang hubungan kita, ya kita biarin aja. Kita anggap saja bunda gak curiga sama kita."

Adit mengatakan itu sambil mengusap kepala Inne. Adit tahu kekasihnya itu sangat gugup saat ini. Tapi, tidak ada pilihan lain saat perut Adit lapar, karena dia sudah tidak tahan mau segera makan masakan bunda.

"Tapi, kenapa sih kamu masih mau merahasiakan hubungan kita dari bunda? Kita udah hampir setahun loh, In." Adit mulai penasaran.

Inne tampak bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Bunda selalu membanggakan aku saat bunda bicara dengan teman teman dan rekan kerjanya, Dit. Bunda bilang sama mereka kalau aku tu anak yang sholehah, penurut, gak pernah pacaran, hanya sibuk belajar dan mengajar les. Aku gak kebayang gimana kecewanya bunda nanti saat bunda tahu tentang hubungan kita, Dit."

Inne menatap sendu kearah Adit, dia ingin Adit mengerti alasannya yang masih merahasiakan hubungan mereka pada bunda.

"Maaf ya sayang, aku malah jadi maksa kamu buat ngasih tau hubungan kita. Tapi, sekarang aku paham." Adit mengelus lembut punggung kekasihnya untuk menenangkan perasaannya yang sedang tidak baik baik saja.

Tidak terasa kini mereka tiba di rumah Inne. Bunda menyambut Adit dengan ramah seperti biasanya. Tidak di pungkiri, bunda tampak curiga mengenai hubungan keduanya. Karena, beberapa bulan terakhir, Adit selalu datang sendiri ke rumah, tidak seperti biasanya yang kalau datang selalu dengan tiga orang teman lainnya.

"Obi, Timo sama Dinda kok gak ikut?" tanya bunda yang membuat raut wajah Inne dan Adit seketika menciut.

"Biasa bunda, mereka kalau mau dekat ujian tu susah di ajak main. Mau fokus belajar gitu." Sahut Adit.

"Lah kalian berdua kenapa gak ikut belajar bareng mereka?"

"Aku kan sibuk ngajar les, bunda. Kalau Adit mah, gak usah belajar juga nanti nilai ujiannya tetap yang paling bagus."

"Begitukah?"

"Iya bunda."

"Ya sudah, ayo kita makan. Bunda sudah masak banyak loh Dit. Tadi bunda kira yang lain ikut gabung."

Adit dan Inne ikut bunda menuju meja makan. Benar saja, meja makan penuh dengan berbagai macam jenis masakan yang tentunya tampak lezat seperti biasanya.

"Bunda harusnya sih buka rumah makan." puji Adit.

"Begitu? Ah tapi nanti pelanggan protes karena masakannya gak enak."

"Masakan bunda bikin ketagihan, bun. Aku saja suka makan disini karena masakan bunda tu enak banget gak kalah sama masakan restoran. Iya kan saya..."

Inne menginjak kaki Adit di bawa meja saat Adit hampir saja keceplosan memanggilnya dengan sebutan sayang. Inne juga melihat jelas raut wajah bunda yang terkejut mendengar Adit memanggil Inne seperti itu.

"Iya kan, In?" Dengan cepat Adit kembali bicara dengan memanggil Inne hanya dengan nama seperti biasanya.

"Iya dong. Masakan bunda emang yang terbaik. Dinda juga suka, apa lagi Timo sama Obi." sambung Inne cepat untuk mengalihkan suasana yang sempat terasa mencengkam.

Bunda pun tersenyum, lalu dia mengambil sepotong telur dadar andalannya yang dia letakkan kedalam piring Adit. Adit pun merasa terkejut karena ini kali pertama bunda melakukan itu padanya. Adit menahan senyum bahagia karena dia merasa seperti baru saja mendapat restu dari bunda.

"Bunda, telur dadarnya kan tinggal satu potong kok malah di kasih Adit sih?!" Rengek Inne manja pada bundanya.

"Kamu kan sudah sering makan telur dadar buatan bunda. Adit kan jarang." sahut bunda.

"Nah dengar tu kata bunda. Telur dadar ini membuktikan bahwa yang sebenarnya anak kandung itu adalah aku. Kamu tu anak adopsi." Adit menggoda Inne.

"Bunda lihat tu Adit..." adunya pada bunda.

"Sudah sudah, kalian itu sukanya bertengkar gak tau tempat seperti bocah SD saja."

"Habisnya Adit ngeselin sih."

"Ye, kamu nya aja yang baper."

"Tuh kan bunda, Adit ngatain aku baper."

Bunda hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala saja saat dua anak muda itu saling berdebat tidak ada habisnya.

*Tampilan Inne dg baju pilihan Adit*

3 Jangan pacaran!

Selesai makan, Inne pun mencuci piring. Sedangkan Adit duduk nyaman di sofa depan tv sambil ngemil stik bawang buatan bunda dan memang selalu tersedia.

"Dit, boleh bunda ngobrol sama kamu?" bunda menghampiri Adit.

"Boleh dong bunda."

Bunda pun duduk di sofa yang bersebelahan dengan Adit.

"Kamu suka banget stik bawang buatan bunda."

"Iya, bun. Soalnya renyah asin gitu."

"Nanti bunda bungkus untuk kamu bawa pulang."

"Wah asik dapat jajanan."

Bunda tersenyum senang melihat bagaimana wajah bahagia Adit barusan.

"Dit, bunda minta maaf dulu deh sebelum ngomong ini sama Adit."

"Loh kenapa minta maaf bunda."

"Mmh, sebenarnya gini." bunda tampak ragu untuk mengatakan ini pada Adit.

"Ada apa bunda? Ngomong aja, Adit janji gak akan tersinggung kok."

Sebentar bunda menoleh kearah dapur, dimana Inne masih fokus mencuci piring piring kotor itu.

"Bunda tahu kalian bersahabat sudah cukup lama. Dan gak ada yang aneh juga saat sahabat main ke rumah. Tapi..."

Adit mulai berhenti mengunyah, dia mulai serius mendengarkan bunda.

"Akhir akhir ini Adit hanya datang sendiri. Adit tahu kan, tetangga kompleks sini tu gimana. Mereka mulai bergosip karena Inne terus terusan diantar jemput sama Adit. Ya meski kalian sahabat baik, tapi tetap saja tidak enak dilihat saat cowok cewek sering pergi berdua dua-an." tutur bunda dengan nada suara yang tetap terdengar lembut namun penuh makna.

Adit paham apa yang dibicarakan bunda. Dia mengerti betul, bahwa bunda adalah seorang yang dikenal taat agama di kompleks ini, sudah tentu dia akan merasa tidak suka saat Adit terus terusan datang ke rumah tanpa teman teman lain.

"Adit mengertikan maksud bunda?"

"Iya bunda, Adit paham."

"Bunda tidak melarang kalian bertemu atau main bersama. Hanya saja maksud bunda, Adit jangan terlalu sering datang kesini sendirian atau hanya berdua saja dengan Inne. Kalau pun kalian main di luar, alangkah bagusnya juga rame rame. Ya, bagaimanapun orang orang akan berpikiran aneh aneh saat melihat cewek cowok terlalu saling berduaan meski mereka hanya sebatas teman baik."

Adit pun dengan berat menganggukkan kepalanya merespon ucapan bunda.

"Adit tidak tersinggung kan sama bunda?"

"Gak kok bunda. Adit malah merasa gak enak sama bunda karena Adit gak bisa jaga nama baik bunda sama Inne."

"Bukan hanya sekedar perkara nama baik bunda dan Inne, Dit. Tapi lebih dari itu, bunda hanya ingin kalian tetap menjalin persahabatan yang sewajarnya. Tentu persahabatan kalian akan disalah pahami banyak orang, karena memang cewek cowok pada hakikatnya tidak akan bisa menjadi sahabat. Tapi, pengecualian untuk kalian berdua. Bunda percaya pada persahabatan kalian."

Adit pun mengangguk paham, padahal hatinya sakit mendengar kalimat barusan. Bunda seakan menyadarkannya bahwa harusnya hubungan antara mereka hanya sebatas sahabat saja.

"Apa itu artinya selamanya bunda tidak akan merestui gue untuk menjadi menantunya kelak, ya?! Oh sulit sekali menjalin hubungan sembunyi sembunyi sepeti ini." gumam Adit dalam hatinya.

"Lagi ngobrolin apa sih, asik benar!" Seru Inne menghampiri Adit dan bunda.

"Biasa, bunda nanya kapan aku punya pacar." sahut Adit asal.

"Adit udah punya pacar loh, bun." Jawab Inne yang membuat Adit terperangah kaget.

"Oh ya? Siapa pacar Adit, kok gak pernah dikenalin sama bunda."

"Pacar Adit pemalu, bunda."

"O gitu. Tapi pacar Adit pasti cantik." tebak bunda.

"Sangat cantik bunda. Dia sangat cantik." jawab Adit cepat dengan senyum bahagianya.

"Beruntung sekali pacarnya Adit, ya In."

"Iya bunda. Pacar Adit sangat beruntung memiliki Adit disisinya."

"Kamu jangan pacaran dulu, ya. Awas kalau sampai pacaran diam diam dibelakang bunda."

Kalimat itu bagaikan peluru yang menembus ulu hati Adit dan Inne. Tapi mereka mencoba untuk terlihat baik baik saja.

"Inne gak akan berani bohongin bunda kok. Adit akan awasi Inne supaya gak pacaran, bunda." Lanjut Adit.

"Terimakasih ya, Dit. Bunda senang, Inne punya sahabat seperti Adit yang bisa menjadi kakak juga untuk Inne."

"Tentu dong bunda."

Inne dapat melihat kesedihan dibola mata Adit. Tapi, bibir Adit terus tersenyum saat bicara sama bunda.

Itulah mengapa Inne gak pernah berani untuk memberitahu hubungannya dengan Adit pada bunda.

Sebenarnya Inne juga mulai capek menjalin hubungan backstreet seperti ini. Tapi, ternyata tidak terasa hampir satu tahun mereka lewati dengan baik. Tidak ada pertengkaran hebat, hanya pertengkaran kecil saja yang terjadi dan itu semakin membuat mereka saling mencintai dan menyayangi satu sama lain.

Tapi, hari ini saat bunda menegaskan akan hal itu, tentu membuat hati mereka terluka. Inne bahkan sampai berpikir untuk mengakhiri hubungan mereka. Tidak dengan Adit. Dia justru menyusun rencana lain untuk bisa mengambil hati bunda, sehingga bunda bisa mempercayainya untuk menjaga Inne selamanya, bukan sebagai sahabat atau kakak, tapi sebagai pendamping hidup Inne nantinya.

"Aku akan melakukan apapun untuk membuat bunda menerimaku. Aku tidak akan pernah kehilangan Inne, bunda. Maaf karena telah membohongi bunda." batin Adit.

Mereka berbincang sebentar lagi sebelum akhirnya Adit pamit pulang karena sudah sore. Inne mengantar Adit sampai ke mobil.

"Aku pulang ya."

"Mmh, hati hati dijalan. Jangan ngebut."

"Iya sayang. I love you."

Inne mengangguk sambil tersenyum.

"Boleh gak cium tangan sayang?" tanya Adit sambil membuat ekspresi menggemaskan.

Tanpa berpikir lama, Inne mengulurkan tangannya pada Adit. Tangan itu pun Adit genggam erat, baru kemudian diciumnya.

Posisi mereka saat ini sudah dipastikan tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk bunda.

"Nanti aku telpon ya."

"Iya."

Adit masuk ke mobil, lalu membuka kaca mobil, memberikan senyuman manisnya sebelum melajukan mobil meninggalkan perkarangan rumah Inne.

"Hachiii..."

Inne dan Adit bersin berbarengan. Meski berjauhan, mereka rupanya memiliki ikatan batin yang kuat. Atau jangan jangan karena berenang tadi siang.

"Bunda, aku istirahat di kamar ya!" Seru Inne saat sudah kembali masuk ke rumah.

"Iya." sahut bunda dari ruang kerjanya.

Sementara itu, setelah berkendara cukup lama Adit akhirnya tiba di rumah. Dia langsung mandi dan berganti ke mode pakaian yang nyaman untuk tidur.

"Hachiii..."

Adit kembali bersin.

"Sial banget nih flu malah mampir." rutuknya sambil mengobrak abrik isi tas nya tadi siang. Tujuannya untuk mengambil hp nya karena dia berjanji akan menelpon Inne.

Bukan hanya hp yang dia temukan didalam tas itu, dia juga menemukan obat flu yang ternyata disiapkan oleh Inne.

"Kamu benar benar duniaku, Inne. Aku tidak tau bagaimana jadinya aku tanpa kamu." gumamnya sambil menatap obat flu itu.

Kemudian, Adit meraih gelas berisi air putih yang ada di meja nakas samping ranjangnya, dia pun meminum obat flu itu. Setelah itu barulah dia menelpon Inne.

"Sayang, terimakasih obat flu nya."

"Iya. Sudah di minum belum?"

"Sudah dong."

"Sayang, bunda ada ngomong sesuatu gak sama kamu pas aku udah pulang?"

"Gak ada. Soalnya aku langsung ke kamar pas kamu udah pulang. Sampai sekarang aku belum ketemu bunda lagi."

"Loh berarti sekarang sayang belum mandi dong?"

"Udah kok. Tadi pas keluar kamar untuk mandi, bunda sedang sholat. Jadi gak ketemu deh."

"Memangnya ada apa? Omongan apa yang kamu maksud, Dit?"

"Ya, bukan apa apa sih. Cuma maksudnya, apa mungkin bunda curiga karena tadi aku hampir keceplosan panggil kamu sayang."

"Bunda terlihat baik baik saja. Sepertinya bunda gak curiga kok. Tapi, menurut aku sih kamu harus mengurangi datang ke rumah. Misalnya kamu datang sekali dalam dua minggu aja. Gimana?"

"Gak mau. Nanti kalau aku kangen kamu gimana?"

"Kita kan ketemu setiap hari di kampus, Dit. Akhir pekan juga kita bisa kemana aja setelah aku selesai ngajar."

"Mmm, bagus juga. Tapi aku gak janji ya sayang. Akan aku coba sebisaku, ya."

"Iya."

Mereka pun terus bicara sampai akhirnya salah satu tertidur duluan. Yang tidur duluan tentu saja Adit. Dia mengantuk akibat efek samping obat yang dia minum. Merasa Adit sudah tidur, panggilan telepon pun langsung Inne akhiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!