NovelToon NovelToon

Danyang Wilangan

PROLOG

Suara siulan membelah sunyi malam di sebuah gang kecil. Disertai suara seretan benda berat di tanah kering berkerikil. Langkah kaki menjejak berat dan kasar, menahan beban sesuatu yang diseretnya paksa dengan santai. Erangan lirih dan tertahan sesekali terdengar. Lalu kembali disenyapkan dengan satu tendangan.

“Oke, di sini cukup.”

Satu tarikan kuat diikuti lemparan cepat. Menimbulkan suara debuman keras dari hantaman benda berat yang mendarat. Kedua telapak tangan besar mengenakan sarung bertepuk dengan mantap. Helaan napas lega sarat akan rasa kesal. Diakhiri dengan meludah sembarangan.

“Ehem! Permisi... Bapak?”

DEG!

Si pria berbadan gempal membelalak. Alis mengernyit, ia memutar badan dengan gerak lambat. Sosok pemilik suara barusan membuatnya sedikit tersentak.

“Bapak buang sampah sembarangan, ya? Hayo, ngaku!”

Si pria brewok berbaju serba hitam dengan topi yang menutupi sedikit matanya itu mengeratkan rahang. Kesal. Baru sadar jika tindakannya kepergok seseorang.

“Kalo Bapak diem, berarti bener? Mentang-mentang tempat ini nggak berpenghuni, trus Bapak seenaknya buang-buangin sampah gitu di sini?”

Sontak kuduk pria itu meremang. “Siapa kamu?!” hardiknya, “kalau tempat ini nggak berpenghuni, lalu kamu—” Ucapan tercekat di tenggorokan.

Sosok wanita cantik yang semula berwajah kesal namun centil itu tiba-tiba menyeringai. “Aku?” tunjuknya ke dada. Sedetik kemudian ia melesat cepat dan menangkap leher si pria dengan cengkeraman tangan. “Aku adalah sesuatu yang tidak akan membiarkan siapa pun mengotori tanah hitam ini.” Sosok cantik itu makin mengeratkan cekikannya. “Terutama apa yang kau buang barusan, kau harus mengambilnya kembali.”

“Keegh! Sia—lan!”

Si pria bertopi coba memberontak. Menyerang wanita itu dengan ayunan tangan secara acak. Memukul, mencakar, juga tekukan lutut yang coba menendang. Nihil, sosok itu tak tersentuh. Membuat si pria kian yakin bahwa makhluk gaiblah yang menjadi musuh.

“Ampun! A—ampuuun—keergh!”

Wanita itu mengendurkan cekikan. Lalu dengan cepat melempar tubuh gempal si pria sembarangan. Terdengar bunyi tulang yang patah disertai jerit kesakitan.

Kemudian dari balik punggung si wanita mendadak sosok-sosok astral berbagai bentuk bermunculan. Membuat si pria histeris ketakutan. “Ampuuun! Tolooong!” teriakannya melolong membelah sunyi malam.

Si wanita mendekat lalu berjongkok. Tangan menjulur, membuka, lalu membuang topi si pria. Jemari lentiknya yang pucat meraba dahi, lalu asap hitam menguar dari sana.

“Bawa pulang. Akui kesalahan. Terima hukuman.”

Si pria hanya mengangguk paham dengan tatapan mata menerawang. Wanita itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah seonggok tas travel besar warna hitam yang tergeletak di semak belukar. Mengabaikan si pria yang berusaha bangun lalu kabur dengan langkah gontai.

Perlahan tangan wanita itu menarik retsleting tas hitam. Wajah pucat seorang wanita pun terpampang. Sejatinya ia sudah tahu bahwa pria tadi membuang jasad seseorang. Tapi ia ingin lebih mengetahui bagaimana kronologinya.

Disentuhnya dahi korban. Dan kelebat masa lalu pun tayang di penglihatan.

Sebuah mobil sedan meluncur kencang di jalan besar. Belok ke kiri dari pertigaan menuju ke arah jalan di bawah kaki Gunung Wilangan. Wanita yang duduk di samping kemudi mengernyit heran.

“Mas, ini kita mau ke mana, kok aku baru tahu jalan ini?”

“Udah, kamu diem aja,” tukas seorang pria tampan yang duduk di balik kemudi.

Wanita yang mengenakan sweater krem itu tampak gelisah. Ia tak suka karena diajak melewati jalan yang asing dengan kebut-kebutan. Meski jalanan sudah lengang karena jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 10 malam, nyatanya hal-hal negatif tetap membayangi pikiran.

Dibukanya aplikasi maps di HP, lalu terbelalak karena heran. “Mas! Ini kan beda arah sama rumah? Kamu mau ajak aku ke mana?”

“Udah kubilang diem, ya diem!”

“Tapi, Mas... kita musti buruan pulang. Abel pasti udah kelaperan.”

Pria di sampingnya bergeming. Sorot matanya tajam menatap lurus jalanan. Tanpa wanita itu duga, mobil mereka melaju melewati gapura selamat datang.

“Mas! Jangan kayak gini, dong! Please, kamu berhenti sekarang trus balik arah. Kita pulang!”

Mobil mengerem kasar setelah menepi di permukimam terbengkalai dan tak ada satu pun lampu jalan. Si pria melepas seat belt dengan cepat. Lalu membungkuk ke kursi wanita di sampingnya. Ia tarik kerah kemeja di balik sweater itu hingga kancing-kancingnya pretel semua.

“Mas Lukman, kamu apa-apaan?”

“AKU UDAH NGGAK TAHAN!”

Wanita itu membelalak setelah dibentak. “A–aku belum genap 40 hari habis lahiran!” Ia pun beralasan sambil memberontak. Dijambaknya rambut si pria untuk menjauhkan wajahnya dari dada. “Istighfar, Mas, istighfaaar!” Wanita itu mulai terisak. “Aku ini adik iparmu! Bayiku nungguin aku! Tolong, jangan khianati kepercayaan adikmu yang nitipin aku sama kamu...”

“Aku nggak peduli! Aku yang lebih dulu suka sama kamu ketimbang adikku itu! Sekarang dia udah mati, kamu jadi milikku!”

“NGGAK!”

“DIAM, GIA!” Lukman naik pitam. Dibekapnya mulut adik ipar dengan tangan besarnya yang berkeringat dingin. “Kalo kamu berontak, kubunuh kamu!”

Cakaran kuku menggores pipi si pria bernama Lukman yang coba menodai adik ipar. Momen kritis menegangkan yang emosional berlangsung selama beberapa saat hingga si wanita mulai kelelahan karena tenaganya kalah di hadapan Lukman.

“Tolong! Tolooong!” jerit Gia begitu mulutnya lepas dari bekapan.

Teriakan yang juga sia-sia. Karena waktu dan tempat tak berpihak padanya. Gia kian lunglai, tak berdaya, karena badannya tersudut dengan tengkuk leher tertekuk di pintu mobil, sedangkan si pria semakin liar memaksanya.

Nyaris pasrah, merelakan diri dinodai demi terus hidup lalu pulang dan bertemu anak-anaknya. Hingga tiba-tiba satu pukulan benda berat memecahkan kaca pintu sopir. Lukman dan Gia terkejut bukan main. Lukman menoleh ke belakang, sedangkan Gia bernapas lega dan buru-buru membenahi sweater-nya.

Lukman menangkap tangan bersarung hitam yang meraih dan membuka kunci pintu dari lubang kaca. Tapi sebuah bogeman mendarat cepat di wajahnya. Ia berteriak kesakitan lalu mengumpat kesal.

“BAJINGAN! S–SIAPA KAMU?!”

Pintu terbuka. Tangan gempal berjaket hitam terjulur meraih kerah Lukman lalu ditariknya dengan kasar. Badan jangkung Lukman terlempar keluar ke jalanan. Kemudian Gia menyaksikan sebuah pembantaian yang merenggut nyawa Lukman.

“AAAKH! TOLOOONG!” Gia hanya bisa berteriak meski tahu tak akan ada hasilnya.

Si pria berjaket hitam menoleh pada Gia dan menatapnya tajam. Dengan langkah panjang-panjang, pria itu menuju kursi Gia. Membuka pintunya yang sudah tak terkunci lalu menyeret wanita itu keluar juga.

“Tolong jangan sakiti aku! Tolooong! Aku punya anak-anak kecil yang menunggu di rumah! Tolooong!”

Namun pria itu bergeming. Memperlakukan wanita lemah seolah sedang bermain. Bersiul-siul nyaring. Lalu menggumam, "Dulu kamu nolak aku. Kubunuh suamimu. Sekarang kamu dipaksa iparmu, maka kulenyapkan juga dia di hadapanmu."

Mata Gia membelalak. Baru sadar bahwa pria yang tak jelas wajahnya karena topi menutupi hingga ke mata itu ternyata seseorang yang pernah gagal dijodohkan dengannya. Kini ia benar-benar baru sadar berkat mengenali suaranya.

"K–kamu..."

"Iya, ini aku," sahut si pria yang masih menyeretnya. "Kamu tahu? Lukman itu yang nyuruh aku meracuni suamimu. Dia juga yang bantu aku lolos dari jerat hukum."

Gia terhenyak, tak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang mengalir deras di pipinya. Ia merasa frustrasi sekaligus menahan sakit karena pria yang telah membantai Lukman dengan pisau daging itu menjambak rambutnya dan terus menyeretnya ke semak-semak. Pikiran negatif Gia saat ini adalah pria itu akan menodainya juga.

Benar saja, si pria membanting tubuh lemas Gia dengan tanpa ampun. Lalu merobek pakaian yang masih berbau wangi bedak bayi. Gia menggeleng-gelengkan kepala menghindari ciuman si pria di bibirnya. Berusaha memberontak meski tak ada daya. Demi kehormatannya, ia raih sebuah pisau yang terlihat menyelip di saku jaket si pria lalu menusuk dadanya sendiri. Lebih baik mengakhiri hidup daripada ternodai.

“CK! Bangsat!” umpat si pria. Ia tarik naik kembali retsleting celananya. Sudah hilang gairah karena si wanita dalam proses meregang nyawa.

Mendengus kesal, pria itu tak buang waktu dan segera menjambak Gia lagi lalu menyeretnya pergi. Menuju mobil sedan yang pemiliknya sudah mati. Dibantingnya jasad Lukman yang berlumuran darah ke jok belakang lalu ia obrak-abrik isi bagasi. Satu tas travel dikeluarkan isinya, lalu memasukkan tubuh Gia yang sedang sekarat ke sana.

Air mata menitik. Membasahi pipi si cantik. Kronologi mengerikan itu membuat amarahnya kembali terpantik. Dengan cepat ia melesat ke tempat si pelaku pembantaian yang tengah berjalan tertatih untuk melarikan diri. Dicengkeramnya ujung kepala pria itu. Lalu diputar perlahan dengan dihiasi jeritan hingga lehernya terpelintir dan wajahnya berubah posisi 180 derajat menghadap ke belakang.

“AAARGH!” teriak wanita cantik itu, penuh amarah. “Tak adil jika kau masih hidup meski mendekam di penjara. Jadi lebih baik kuadili saat ini juga!” geramnya.

Kemudian, keesokan harinya, berita yang memuat kengerian malam itu menyebar cepat dan viral.

“Apa, sih! Pagi-pagi nonton berita pembunuhan!” hardik seorang satpam.

“Soalnya ini tuh lagi rame. Orang-orang kompleks sini geger, Pak!” debat satpam satunya.

“Tapi ini anak-anak lagi jamnya lewat. Nggak baik didenger mereka, ntar ketakutan nggak jadi berangkat.”

“Iya, maaf.”

TV dimatikan bersamaan dengan munculnya seorang gadis mengenakan seragam SMP yang berjalan mengentak. Ia berhenti di depan pos satpam, menanti jemputan ojek online. Seorang satpam keluar.

“Dek Nay, hari ini nggak diantar?” basa-basi si satpam.

“Iya, Pak,” jawab gadis itu singkat, dengan ekspresi tegang yang tak bersahabat. Tak lama kemudian satu ojol datang.

“Itu Dek Nayla yang pindahan dari Desa Wilangan, kan?” tanya seorang petugas kebersihan kompleks pada si satpam begitu motor ojol melaju ke jalanan.

Satpam itu mengangguk mengiyakan. “Kira-kira dia tahu nggak ya kalo kasus pembunuhan yang lagi viral ini terjadinya di sana?”

Pertemuan Kembali

“Pagi, Nay!”

Nayla hanya tersenyum sekilas merespons sapaan demi sapaan dari teman. Bukan karena perangainya jutek, melainkan karena tidak ingin salah bereaksi terhadap makhluk-makhluk astral yang berbaur dengan manusia di sekitarnya. Bisa gawat kalau dirinya tak sadar menyahut ucapan lelembut.

Meski wajahnya terkenal jutek, nyatanya ia punya banyak teman yang menyukainya. Keberadaan Nayla bahkan dianggap obat penenang bagi sebagian orang. Dijadikan role model oleh adik-adik kelas. Juga beberapa kali mendapat pernyataan cinta dari para murid laki-laki yang menyukainya.

Namun sosok Nayla yang tenang, baik, dan misterius menjadikannya tak tersentuh oleh siapa pun. Bahkan dengan anehnya para guru merasa segan padanya. Karena sosok Nayla dari Desa Wilangan yang dijuluki desa petaka, membuat banyak orang cukup takut juga. Meski orang-orang tak ada niatan untuk merundung atau mengucilkan Nayla, justru gadis 16 tahun itu membuktikan kecakapannya dalam bidang akademik dan bersosial. Beberapa kali ia menjuarai perlombaan. Menjadi kebanggan sekolah dan teman-teman.

Langkah kaki Nayla menuju ruang OSIS terhenti di depan pintu lab bahasa. Alisnya mengerut, menunjukkan raut wajah tak suka. Jantung berdegup kencang, daun telinga bergerak-gerak memfokuskan pendengaran. Bola matanya perlahan bergerak, melirik ke arah pintu yang sedikit terbuka. Heran, mestinya pintu lab selalu terkunci dan tidak ada yang masuk sepagi ini.

Menelan ludah, Nayla coba memberanikan diri. Menyentuh gagang pintu lalu mendorongnya secara perlahan. Gelap. Ruang lab masih tertutup rapat oleh gorden di semua jendelanya. Nayla menoleh ke sekitar, mengamati situasi tanpa kelebat seseorang. Hingga tiba-tiba jantungnya seolah berhenti berdetak saat menoleh kembali ke arah pintu yang sudah dibukanya dan ada wajah pucat terkoyak yang sudah terpampang di sana.

“Njrit!” desis Nayla dengan suara lirih dan tertahan, penuh rasa kesal. Refleks ia tendang wajah itu hingga terjerembab ke dalam lalu ditutupnya pintu rapat-rapat.

Meski sudah terbiasa melihat penampakan, tapi tetap saja geram jika dikerjai dan dikagetkan sampai membuat jantungan. Lebih baik baku hantam sekalian.

“Naya!” panggil sebuah suara.

Nayla hapal betul siapa yang suka memanggilnya dengan nama khusus seperti itu. Sandi, cowok tengil kelas C yang mengejar-ngejarnya sejak tahun pertama. Nayla mendengus ketus. Lalu menoleh ke belakang.

Nyaris saja Nayla menggampar sosok yang berdiri di belakangnya karena kembali dibuat kesal. Pasalnya, Sandi datang tak sendiri. Ada sosok kuntilanak cebol yang berdiri di antara mereka. Terang saja Nayla jengkel karena dikagetkan lagi. Tapi tak jadi mengamuk karena ada Sandi.

“Mau apa kamu?” tanya Nayla, dengan raut wajah ketus khas dirinya.

“Aku mau ngajak kamu—”

“Stop!” tukas Nayla. Amarahnya tersulut karena si kuntilanak mengikuti ucapan Sandi. Membuat suara mereka bertumpuk dan mendengung sehingga pendengarannya tak bisa konsentrasi.

Sandi mengernyit heran. Lalu pipinya menyemu merah tatkala Nayla maju beberapa langkah hingga sangat mendekat padanya. “N–Nay?” gagapnya.

Nayla kemudian mendongak. Menatap lurus pada anak laki-laki yang lebih tinggi darinya itu. “Ngomong apa kamu tadi? Aku nggak denger.”

Sandi salah tingkah. Ia mundur selangkah. “O–oh, itu...” sahutnya dengan terbata. Nayla sampai heran, katanya suka, tapi baru didekati sudah gugup tak terkira. Padahal Nayla mendekat untuk mengusir si kuntilanak.

“Aku mau ngajak kamu ke ruang OSIS bareng,” lanjut Sandi. Ia sudah lebih tenang saat ini.

Nayla berdecak. Tanpa bicara, ia berbalik badan lalu berjalan mengentak ke tujuan. Sandi kelabakan karena ditinggal. Ia berlari mengikuti Nayla dari belakang. “Tunggu, Nay!”

Langkah Nayla lagi-lagi terhenti. Bukan karena penampakan kali ini. Melainkan karena indra penciumannya menangkap bau asing yang harum dan menenangkan tapi membuat bulu kuduk meremang. Sandi tiba di samping Nayla. Ia menatap heran pada gadis yang berdiri mematung di pertigaan koridor itu.

“Kenapa, Naya?”

“Kamu ke ruang OSIS duluan.”

“Kenapa?”

Nayla menatap ketus pada Sandi. Cowok itu langsung kicep, mengangguk, lalu beranjak pergi. Nayla kembali merasakan ketegangan. Tak ada seorang pun di sekitar setelah memastikan Sandi sudah masuk ke ruangan. Kemudian dengan gerak pelan, Nayla memutar badan, menoleh ke belakang.

Mata Nayla sontak membelalak. Menatap tak percaya pada sosok yang berdiri di hadapannya. Dan satu hal yang pasti, bau harum menakutkan yang tadi diciumnya menguar dengan sangat menusuk hidung saat ini.

“Kamu?”

Gadis manis berambut keriting tersenyum lebar melukiskan kesan ceria. Tangan mungilnya terulur lalu menarik dan meremas tangan Nayla. “Mbak Nayla, ini beneran kamu!”

“Hanum?” gumam Nayla. Ia bahkan tak bisa mengatur ekspresi wajahnya. Napasnya tertahan, detak jantung kembali tak beraturan. Celingukan, Nayla mengamati sekitar.

Tampak beberapa penampakan hantu yang sering dilihatnya di sekolah lalu bersembunyi jika bertemu dengannya tiba-tiba sekarang semua bermunculan. Otak Nayla berpikir cepat, tapi malah acak-acakan. Blank, ia tak mampu berpikir jernih untuk memahami situasi saat ini. Hanya satu yang ia yakini, bau harum Hanum berbahaya.

“Mbak Nayla, kamu nggak seneng ya ketemu aku?”

Nayla tersentak. Ia gugup karena Hanum pasti merasa aneh jika dirinya terdiam cukup lama, sedangkan para hantu mulai bergerak perlahan mendekat ke tempat mereka berdua. Hingga suara tes mikrofon memunculkan ide di kepala Nayla. Ditariknya tangan Hanum sambil tersenyum. “Aku seneng banget lah ketemu kamu lagi! Yuk, ikut aku!”

Hanum meringis senang mengikuti Nayla yang menggeret tangannya. Tanpa mengetahui bahwa kakak kelasnya di SD Wilangan itu tengah kesusahan menyibak kerumunan lelembut yang mereka lewati. “Kita mau ke mana?” tanya Hanum dengan polosnya.

Nayla tak menjawab karena fokus menghardik makhluk-makhluk astral secara tak kasatmata. Hingga langkahnya berhenti di depan musala. Dada Nayla tampak naik turun karena kepayahan. “Kita ngobrol di sini aja,” ajaknya.

“Apa nggak ganggu kegiatanmu, Mbak? Sebenernya aku cuma mau nyapa bentar kok tadi,” sahut Hanum sambil celingukan.

Nayla coba tersenyum ramah. Ia tarik pelan tangan mungil Hanum untuk diajaknya duduk bersama di teras musala. “Nggak apa-apa. Jam masuk kelas kita sama, kok,” ujarnya pada anak perempuan yang mengenakan seragam yang sama sepertinya itu.

“Udah berapa tahun, ya, kamu udah gede aja. Aku nggak tahu kalo kamu daftar ke SMP ini juga,” oceh Nayla.

Hanum membenahi rok biru tuanya yang panjang hingga menyapu lantai. Kemudian ia mendongak, matanya menerawang. “Empat tahunan kan, Mbak?” jawabnya. “Aku masuk sini atas rekomendasi Pak Taufan. Katanya ini sekolah paling bagus yang deket dari rumah, jadi aku sih nurut aja.”

Nayla tergemap mendengar nama itu disebut. Taufan adalah kakak kedua mendiang Ozza yang mengambil alih pengelolaan panti asuhan mendiang Bunda Ristya. Nayla juga tahu jika saat ini Hanum adalah salah satu anak asuh panti tersebut karena bapaknya meninggal dua tahun yang lalu.

“Bukannya Mbak Nay harusnya kelas 10, ya?”

Nayla kelabakan. Ia mengangguk secara spontan. “Iya, Num. Karena beberapa hal, aku jadi telat sekolah setahun.”

Hanum manggut-manggut mendengar jawaban Nayla. Sedangkan Nayla kembali diam, merasa malu dan bersalah karena ulah ayahnya telah merusak jalan mulus masa depan anak-anak desa mereka. Terutama Hanum, kehidupan anak perempuan itu tak luput dari kemalangan yang disebabkan komplotan sekte sesat ayahnya.

Nayla mengelus lembut punggung gadis manis itu dengan penuh kehati-hatian. Dalam batinnya terus mengatakan permohonan maaf meski bukan dirinya yang berbuat jahat. Diliriknya para hantu yang menggeram-geram di kejauhan karena takut mendekat. Nayla mendengus singkat. Tak mungkin ia ajak Hanum terus berada di musala.

“Kamu udah dapet kelas, kan?”

Hanum mengangguk. “Kelas favorit gitu katanya,” ucapnya. Matanya menyiratkan rasa sungkan tapi bangga.

Nayla tertawa kecil. “Itu kelasku dulu. Kamu terusin ya perjuanganku.”

Senyum manis Hanum memudar. “Aduh, kayaknya berat nih ke depan.”

Nayla tergelak. Sebelumnya ia tak pernah membayangkan akan berinteraksi dengan murid paling imut di SD mereka dulu itu karena dirinya sangat pendiam dan suka menyendiri. Ia pun bertekad akan melindungi Hanum dan melawan semua yang berniat buruk pada gadis itu. Termasuk akan mencari tahu mengenai kondisinya yang tak wajar tentang bau harum aneh yang menguar dari badan.

“Yaudah yuk, kuanterin ke kelas. Aku mau ada rapat OSIS habis ini.” Nayla berdiri lalu menggenggam tangan Hanum. Ia tak memedulikan tatapan para siswa yang melihat mereka bergandengan tangan.

Hingga tiba di depan kelas Hanum, Nayla melepas bros kecil berbentuk sekuntum bunga putih dari bawah kerah kemejanya. Kemudian ia pasang bros itu di bawah kerah seragam Hanum. Mata Hanum mengerjap beberapa kali, tampak heran dengan yang Nayla lakukan.

“Pake ini terus, ya. Jangan sampe kelupaan apalagi ilang,” pesan Nayla.

Hanum mengangguk dengan ragu-ragu. Tapi kemudian tersenyum. “Makasih, Mbak Nayla.”

Senyum manis Hanum seakan menusuk-nusuk dada Nayla dengan jarum tak kasatmata. Pedih, tapi menggelitik. Nayla mendorong Hanum masuk ke kelas lalu pergi. “Jangan keluar! Bentar lagi bel bunyi!” teriak Nayla sambil melangkah menjauh.

Nayla kemudian berlari cepat menuju ruang OSIS. Rekan-rekan sudah berkumpul di sana menunggu dirinya. “Sorry, aku ada urusan penting barusan.”

Nayla duduk di kursi tengah. Sekretaris OSIS membuka jurnal. Membacakan lagi kelas-kelas yang akan menjadi tujuan pembimbingan mereka selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah untuk para peserta didik baru.

Tiba-tiba Nayla menggebrak meja. “Penanggung jawab kelas 7A, ganti sama aku aja,” ujarnya dengan sorot mata membara.

Bangkit

Tiga hari penuh ketegangan telah Nayla lalui. Hari di mana dirinya bersusah payah mengawasi Hanum selama MPLS. Memastikan keamanan gadis itu dari para lelembut penghuni sekolah yang setiap saat hendak memangsanya. Dan kini kegiatan tersebut telah usai. Tinggal satu kegiatan yang paling diantisipasi Nayla, yakni Masa Orientasi Pramuka. Yang mana tugasnya akan semakin berat karena Hanum akan berada di sekolah saat malam Persami.

“Besok gimana caraku ngawasin dia?” gumam Nayla. Resah, ia belum terpikirkan apa pun untuk langkah selanjutnya.

Sandi yang melihat Nayla termenung di tempat wudu hingga tak sadar air keran terus mengalir segera mendekat lalu mematikannya. “Naya?” panggil Sandi dengan suara pelan.

Nayla tersentak lalu menoleh. Dilihatnya Sandi sedang menatapnya heran. “A—apa? Kenapa?” Nayla kelabakan.

“Kamu kenapa ngelamun di sini? Sampe nggak sadar rokmu basah, tuh,” tunjuk Sandi dengan dagu.

Nayla buru-buru mengecek roknya. “Aw! Ck!” gerutunya sambil menebah rok, bermaksud mengangin-anginkannya juga.

Sandi menumpukan dagu di atas tembok tempat wudu yang setinggi pundaknya. Anak laki-laki bermata sipit itu memang terkenal memiliki perawakan yang diidamkan banyak teman.

Nayla kembali tercenung. Ditatapnya wajah Sandi yang mengingatkannya pada Ozza. Matanya memicing. Lalu jemarinya bergerak ke depan mata membentuk kotak kamera.

Sandi mengernyit. “Kamu ngapain?”

“Nggak. Kamu bukan dia.”

“Siapa?” tanya Sandi sambil beranjak mengikuti langkah Nayla yang mengentak.

“Ada, deh.”

“Siapa, sih? Kamu udah terlanjur ngomong, ya lanjutin sampe sejelas-jelasnya, dong,” desak Sandi.

Nayla mendengus singkat. Ia lupa bahwa kepribadian Sandi cukup tengil jika rasa penasarannya disulut sedikit saja. Ia lirik cowok berkulit putih itu lalu berkata, “Orangnya udah almarhum.”

Sontak langkah Sandi terhenti. Dan tertinggal oleh Nayla yang melangkah cepat menuju ke ruang OSIS. Sandi mengerjap beberapa kali lalu menelan ludah. “Masa aku disamain sama orang mati?” gumamnya sambil bergidik ngeri.

Sandi celingukan sebentar. Lalu berjingkat mengekori Nayla. Nayla berhenti di ambang pintu ruang OSIS. Sandi nyaris menabrak gadis itu karena mengikutinya dengan terburu-buru.

“Kenapa nggak buruan masuk?” tanya Sandi.

Nayla menoleh ke belakang, tangan kanannya menjulur menyerahkan uang sepuluh ribuan. “Bisa tolong kamu beliin roti di kantin?”

“Tiba-tiba?” Lagi-lagi Sandi dibikin heran. “Kamu belum makan siang? Mau kubeliin bakso aja?”

Nayla menggeleng lalu menatap Sandi dengan ketus. “Buruan!” titahnya.

Mau tak mau Sandi mengambil uang Nayla lalu berlari mengerjakan perintah gadis itu. Nayla mendengus kesal. Menelan ludah, ia berusaha mengatur napas dan detak jantungnya. Diliriknya satu sosok yang tengah memanjat dinding sudut ruang OSIS.

Nayla masuk mengendap-endap lalu menutup pintu dengan hati-hati. Beruntung tak ada rekan-rekan OSIS saat ini. Ia sambar tusuk konde motif bunga yang tergeletak di meja bersama alat-alat tulis, entah milik siapa. Lalu dengan gesit ia naik ke meja rapat. Dan melompat di atas meja lainnya menuju hantu itu dengan cepat.

“Siapa kamu?!” teriak Nayla.

Sosok itu menoleh segera. Memperlihatkan sekujur badan yang menghitam dengan kulit-kulit terkelupas dihiasi titik-titik darah dan berbau amis menusuk hidung. Sontak Nayla menutup hidungnya dengan tangan kiri lalu mundur selangkah. Sosok itu meraung dan melompat ke arah Nayla. Nayla dengan sigap menghunjamkan tusuk konde berbahan plastik yang digenggamnya ke pipi kiri hantu itu hingga tembus ke pipi kanan.

“Huwek!” Nayla tak tahan, perutnya sangat mual.

Beruntung sosok hantu menjijikkan itu segera menghilang. Nayla bersyukur karena tak perlu menghadapinya terlalu lama. Belum sempat mengatur napas, Nayla tersentak saat mendengar derit pintu dibuka.

“Nih, Nay, roti pesenanmu.” Sandi sudah kembali. “Kubeliin yang biasanya. Isi abon, saus bangkok, sama mayones. Plus, dikasih selada gratis sama bu kantin,” cerocos Sandi.

Nayla berusaha mengatur ekspresi. Ia hanya mengangguk sebagai respons untuk Sandi. Nyatanya dalam pikirannya ribut sekali. Menerka siapa sosok astral tadi yang belum pernah dilihatnya di sekolah selama ini.

“Thanks,” sahut Nayla yang berusaha bersikap tenang. Kemudian beberapa siswa berbondong masuk ke ruangan. Salah satunya kaget melihat tusuk konde di tangan Nayla. “Nay, itu punyaku.”

“O—oh, sorry, aku pinjem bentar tadi,” ujar Nayla sambil menyerahkan tusuk kondenya. “Bagus. Di mana kamu beli?” lanjutnya, basa-basi.

Anak perempuan berambut kuncir kuda yang mengaku sebagai pemilik tusuk konde itu langsung semringah lalu memeluk lengan Nayla. “Aku beli di toko baju deket rumahku. Di sana sedia banyak aksesori juga. Tas, sepatu, mukena, buku-buku, lengkap pokoknya! Habis ini kita belanja ke sana yuk berdua!”

“Aku juga ikut, dong!”

“Jangan tinggalin aku!”

“Baju cowok ada, kan?”

“Kalo boneka?”

Celotehan teman-teman yang bisa membuat perasaan tegang Nayla berangsur tenang. Hingga ketenangannya buyar saat bau wangi menusuk indra penciuman. “Hanum?” desis Nayla.

Nayla melepas pelan pelukan teman di lengannya. “Sorry, guys, aku nggak bisa kalo hari ini. Ada urusan penting banget!” Nayla kemudian berjingkat ke kursinya. Menyambar tas, lalu melesat keluar ruangan. Meninggalkan para teman yang terheran-heran.

“Naya kenapa, sih? Dari kemaren-kemaren sikapnya aneh,” kata Sandi.

“Kamu naenyak?” ledek teman laki-laki.

***

Nayla berjalan cepat menyusuri koridor sembari mengedar pandang. Tampak jelas di matanya, para hantu berbondong-bondong menuju ke satu arah. UKS. Kontan Nayla berfirasat buruk. Pasalnya, bau wangi Hanum bercampur dengan amis kali ini.

“Bahaya, nih!”

Nayla berlari kencang menuju UKS. Berusaha mendahului para hantu yang hampir tiba di depan pintu. Derap larinya bahkan tak berhenti meski ditegur ramah oleh seorang guru. “Maaf, Bu!” teriak Nayla tanpa menatap gurunya.

Ditariknya pundak sesosok kuntilanak yang sampai di ambang pintu hingga terjerembab menubruk hantu-hantu lainnya. “Hanum!” teriak Nayla dengan spontan. Membuat perawat UKS tersentak sampai mengelus dada. “Dek Nayla, ngagetin aja.”

“Maaf, Bu!” Nayla melangkah masuk kemudian memutar badan. Menghadap ke luar ruangan, memelototi semua lelembut yang menggeram kesal karena dihadang. Nayla menyeringai. Ditutupnya pintu UKS dari dalam.

“Kenapa pintunya ditutup? Ini kan waktunya pulang?” tegur perawat yang berjaga.

“Udara luar kotor banget, Bu, banyak debu,” jawab Nayla sambil celingukan. “Oya, ada anak perempuan yang dirawat di sini, ya?” tanyanya.

Perawat itu mengangguk. “Anak kelas 7. Kayaknya dia ketiduran, tuh.”

Nayla melangkah menuju satu bilik yang gordennya tertutup. Ia bisa mencium bau wangi yang menguar dari sana. “Apa keluhannya?” tanyanya lagi, berusaha terlihat biasa saja.

“Sakit perut,” jawab perawat. “Dia masuk dianter temennya. Aneh, padahal udah waktunya pulang kan harusnya bablas pulang aja, diobatin di rumah. Tapi malah ke sini.”

Nayla sampai di depan gorden. Tegang, bulu kuduk meremang, jantungnya berdegup kencang tak karuan. Ia abaikan ocehan perawat yang masih sibuk memberinya penjelasan.

“Kayaknya dia ketiduran karena minum obat yang mengandung penenang biar nggak kesakitan.”

Nayla hanya mengangguk sebagai respons. Tangannya terjulur perlahan. Lalu menyibak gorden yang menutupi ranjang pasien di bilik itu.

DEG!

Mata Nayla membelalak. Refleks ia menutup hidung dengan punggung tangan. Dilihatnya Hanum sedang berbaring dengan mata terpejam. Namun alisnya mengernyit seperti menahan sakit. Terang saja, karena yang Nayla lihat adalah sosok menjijikkan di ruang OSIS tadi sedang berjongkok di atas perut Hanum saat ini.

Nayla mengentakkan kaki menuju ranjang Hanum. Sosok hantu hitam itu terkejut lalu melompat ke jendela. Nayla hendak mengayunkan tinjunya, tapi hantu itu keburu menghilang lagi. Napas Nayla terasa berat karena bau wangi Hanum kian menguat.

“Hanum?” panggil Nayla begitu ia menghampiri gadis berambut keriting itu. Dilihatnya Hanum masih memejamkan mata tapi raut wajah tak baik-baik saja. Nayla seolah bisa menduga, bahwa saat ini Hanum sedang bermimpi buruk.

“Hanum, bangun,” bisik Nayla di telinga kanan lalu ke telinga kiri Hanum.

Dan sejurus kemudian mata Hanum terbuka dengan tiba-tiba. Ia membelalak menatap lurus ke arah Nayla. “M—mbak— Nayla,” ucapnya dengan terbata. Kemudian menoleh ke sana kemari, seolah mengamati situasi. Sedetik kemudian air mata menetes di pipi. Didekapnya leher Nayla dengan tangan gemetaran.

Nayla mengelus lembut punggung Hanum. “Perutmu sakit banget, ya?”

Hanum melepas dekapannya lalu mengangguk pelan. “Sakit perutku karena ternyata hari ini pertama kalinya aku dateng bulan.”

Sontak napas Nayla tertahan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Atas keanehan dalam diri Hanum yang menguarkan semerbak wangi hingga menarik perhatian para makhluk astral. Kini ia yakin bahwa perkataan mendiang ayah yang dulu tak sengaja didengarnya tentang keistimewaan Hanum adalah benar.

Ketika Hanum menginjak masa puber, maka bangkit pula kemampuan spesial. Dirinya menjadi poros makhluk dunia seberang. Jika jiwanya lemah akan dimangsa. Jika kuat bisa menjadi penakluk mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!