“Jadi katakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Tiara!” desak Ferdinand. Ia baru saja tiba di rumah Vida setelah tiga hari sahabatnya itu tidak pernah membalas pesan ataupun menerima telefon darinya.
“Aku tidak tahu, aku tidak memiliki wewenang untuk memberitahu padamu!” sahut Vida. Sang papa, memberitahunya agar tidak terlalu ikut campur mengenai Tiara dan Dirga. Vida tidak boleh terlalu kepo mengenai pernikahan bosnya itu.
“Vida, kita sudah bersahabat sejak kecil, aku mohon! Tolong beritahu semua tentang Tiara! Kenapa Tiara sudah dihuni? Dimana keberadaan Tiara sekarang? Siapa pria yang saat itu menjemput Tiara! Kau harus benar-benar memberitahuku!” Terlihat sangat jelas Ferdinand sangat marah. Marah dengan Vida sekaligus Tiara. Sahabatnya itu bertindak seolah merahasiakan sesuatu yang teramat besar.
“Aku, aku tidak berhak menceritakannya. Biar Tiara sendiri yang menceritakan padamu, Ferdinand!” lirih Vida menunduk memberikan isyarat pada Ferdinand untuk tidak bertanya lagi.
“Kalau begitu beritahu aku dimana Tiara sekarang! Aku harus bertemu dengannya sekarang!” Ferdinand melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Dadanya merasa sesak karena sampai saat ini, mengenai perubahan Tiara. Mengenai Tiara yang jarang masuk kuliah. Ia perlu mendapat jawaban mengenai perubahan sikap Tiara! Tidak ingin seperti ini terus!
“Aku tidak tahu!” Vida terus saja mengelak. Ia tahu seberapa besar rasa peduli Ferdinand terhadap Tiara. Sampai saat ini, Ferdinandlah orang yang paling peduli dengan sahabatnya itu. Ia tahu bagaimana Ferdinand merasa ditinggalkan karena sebenarnya Tiara dan Ferdinand baru saja ingin jujur dengan perasaan mereka.
Hening.
Ferdinand melirik ke arah lawan bicaranya. Mengatupkan bibirnya dan terlihat sangat marah. “Sampai kapan kamu akan terus bilang tidak tahu! Apa aku harus menunggu enam bulan lagi untuk mengetahui sikap mencurigakan kamu dan Tiara! Beritahu aku di mana Tiara sekarang! Aku akan bertanya langsung padanya!” gertak Ferdinand.
Ada jeda beberapa detik, sebelum akhirnya Vida memutuskan untuk memberitahu Ferdinand. “Tiara berada di Bali,” jawab Vida iya tahu keberangkatan Tiara dan tahu apa saja yang dilakukan sahabatnya itu di Bali bersama sang suami. Sejak pagi hingga sore ini, banyak foto yang di bagikan Tiara padanya. Bahkan sampai sekarang ada beberapa pesan dari Tiara yang belum sempat ia buka.
“Aku akan terbang ke Bali saat ini juga! Kalau kamu tidak memberitahu keberadaan Tiara padaku, itu artinya kamu bukan sahabatku lagi!” Ferdinand beranjak dari duduknya. Ia berbalik dan meninggalkan Vida begitu saja.
Kemudian, ia memesan taxi, untuk mengantarnya menuju Bandara.
* * *
“Kenapa Dirga sudah berangkat duluan sih!” gerutu Rosalin mendapati Nyonya Rani datang sendiri. Selama penerbangan ia terus mengomel sendiri.
Sementara Nyonya Rani dan Ibunya, Bu Siska tampak sangat akrab memperbincangkan banyak hal.
Pukul delapan malam tiba, lalu sebuah taxi mengantarkan mereka ke The Avaya Resort.
Ada rasa curiga yang mengganggu Rosalin membuatnya tidak tenang sebelum bertanya pada Nyonya Rani.
“Tante Rani,” panggilnya menyela percakapan antara sang mama dengan ibunda Dirga.
“Iya, ada apa?” sahut Nyonya Rani ramah.
“Kenapa Dirga berangkat lebih dulu?” tanya Rosalin.
“Dirga ada janji bertemu dengan teman kerjanya siang tadi,” sahut Nyonya Rani datar. Ia harus berpura-pura seperti apa yang diucapkan Dirga kemarin.
“Oh!” Rosalin pura-pura tidak keberatan akan hal itu.
Kemudian, taxi berhenti di area parkir hotel. Nyonya Rani, Rosalin, dan Bu Helen berjalan masuk ke dalam.
“Dirga sudah memesankan makan malam, sebaiknya kita temui di dulu!” ajak Nyonya Rani.
“Iya!” jawab Rosalin setuju.
Nyonya Rani terlihat menelefon Dirga dan berjalan memimpin. Ternyata putranya itu sudah memesan meja untuk makan malam bersama.
“Itu Dirga Tante!” tunjuk Rosalin melihat Dirga.
Ketiga wanita itu menghampiri Dirga dan duduk di tempat masing-masing. Mereka saling menyapa dan bertanya kabar.
Rosalin memilih duduk di dekat Dirga. Tepat di sebelahnya. “Kau jahat sekali, bukankah ke Bali adalah ideku! Kenapa kamu yang mencuri start!” protesnya.
Tak bisa dipungkiri Rosalin memang sangat cantik. Terbukti semua orang yang berada di sana, menyadari kedatangan Rosalin dan melihatnya lebih lama. Namun, Dirga hanya diam memilih tidak menjawab.
“Lihatlah mamaku dan mamamu sedang merundingkan pernikahan kita kamu harus siap untuk berita yang akan mengejutkan dalam waktu dekat ini!” ujar Rosalin. Kali ini, ia akan lebih terbuka mengutarakan keinginan dan ketertarikannya pada sang duda.
“Berita apa?” tanya Dirga sembari menunggu Tiara datang, ia sengaja duduk di sebelah Rosalin karena ingin membuat istrinya itu cemburu.
“Kita tunggu saja! Bukan kejutan kalau aku memberitahunya sekarang!” jawab Rosalin.
Dirga mencoba memegang tangan Rosalin sejenak. Wanita itu merespons dengan baik, dan masih sama saja. Dirga masih tak bereaksi apa pun meski pakaian yang dikenakan Rosalin sedikit terbuka. Tidak seperti saat ia melihat Tiara.
Rosalin, aku mencintaimu.
Tapi kenapa aku tidak bereaksi apapun!
Seharusnya-- ah sudahlah.
Hanya Tiara yang membuat ku bergairah!
Tap.
Tap.
Tap.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, Tiara sudah berdiri di hadapan Dirga dan Rosalin.
“Kamu kenapa kamu ada di sini?” tanya Rosalin keheranan dengan kehadiran Tiara.
Tiara dan Dirga saling berpandangan. Pun begitu dengan Nyonya Rani yang segera melihat ke arah Dirga.
“Aku yang mengajak Tiara kemari, dia belum pernah ke Bali!” dalih Dirga.
“Jadi, Tiara ini anaknya rekan kerja suamiku, dia sedang liburan di Jakarta dan belum pernah ke Bali!” jelas Nyonya Rani. Sekali pun sandiwara ini terbongkar ia tidak masalah. Mungkin hanya akan merasa tidak enak pada pihak Rosalin yang dibohongi. Jauh di lubuk hati, ia ingin sekali mengumumkan pernikahan putranya itu dengan Tiara.
Rosalin yang tempo hari menganggap Tiara hanya seorang pelayan melongo. Dan bisa melihat sesuatu yang mencurigakan dari pandangan mata Tiara dan Dirga.
“Sini duduk sini!” Rosalin menepuk tempat duduk di sebelahnya mempersilakan Tiara untuk duduk.
Tiara menurut tanpa ada rasa curiga sama sekali terhadap Dirga. Namun, di detik selanjutnya apa yang di lihat oleh kedua netranya sangat mengganggu. Sang suami seolah menunjukkan perhatiannya terhadap wanita lain.
“Sini biar aku ambilkan!” ucap Dirga. Mengambil tiga tusuk sate lilit untuk Rosalin. “Aku suapi!” imbuhnya, lalu menyuapi Rosalin dengan mesra.
Nyonya Rani melihat sekilas, dan berniat akan menegur Dirga nanti. Sementara Bu Siska, ia tersenyum senang melihat kedekatan putrinya dengan Dirga.
Bagaimana dengan Tiara? Ia tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya. Tidak terganggu dengan sikap Dirga pada Rosalin.
Tiara memilih sibuk dengan makanan di piringnya. Sate lilit yang menjadi makanan khas Bali dan favorit kebanyakan orang terasa hambar. “Nyonya Rani, saya kembali ke kamar!” pamit Tiara.
“Sekarang?” tanya mama mertuanya.
“Iya, Ma seharian aku jalan-jalan aku ingin tidur cepat!” sahut Tiara.
“Tiara, kita bertemu besok dan ke pantai bersama ya?” ajak Rosalin. Ia ingin minta maaf sekaligus mencari tahu banyak hal lagi mengenai Dirga pada gadis itu.
“Iya.” Mengangguk lemah dan berbalik begitu saja. Kemudian, ia kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga.
Sesampainya di kamar Tiara duduk bersandar pada kepala ranjang. Tak lupa ia mengunci pintu kamar.
Degh.
Ada rasa berat yang merambat di dalam hatinya. Seharusnya ia merasa bahagia karena Dirga tertarik pada Rosalin. Ia hanya perlu mengkonfirmasi bahwa suaminya itu sudah sembuh dan akan segera mengakhiri pernikahan.
‘Tidak! Kenapa aku jadi seperti ini!’ keluh Tiara memukul pelan bagian dadanya yang terasa berat. Perhatian Dirga terhadap Rosalin. Pandangan matanya, sungguh membuat Tiara terganggu. Ia tidak betah berlama-lama di sana. Menyaksikan Dirga yang terus menerus menunjukkan perhatiannya terhadap wanita lain.
“Aku tidak cemburu kan?” gumam Tiara. Ia segera meraih ponsel dan ingin segera menghubungi Vida, ingin mengutarakan kegalauan hatinya.
Suasana di dalam kamar sepi. Hanya detikan jam yang menggema. Deru nafas Tiara juga terdengar lambat.
“Apa kamu cemburu?” Tiara bertanya pada dirinya sendiri. Tangannya bergerak membuang selimut yang menutup tubuh. Meski AC menyala, tubuhnya terasa panas ketika adegan perhatian Dirga pada Rosalin kembali melintas di benaknya. “Tidak aku tidak cemburu!” tolaknya.
Kemudian, ia beranjak untuk mengambil ponsel yang sempat low bat. Ternyata ada belasan pesan dari Vida yang masuk. Tiara segera menghubungi Vida. Panggilan telepon terhubung.
“Halo!” sapa Vida di seberang telefon.
“Vida, ada yang ingin aku tanyakan!” Tiara gegabah. Pasalnya ia tidak pernah merasakan perasaan menjengkelkan itu sebelumnya.
“Ada apa Tiara, emm— kamu menginap di mana?” sela Vida. Ferdinand sudah tiba di Bali, berada di satu pesawat yang sama dengan Rosalin. Sejak tadi Ferdinand, masih berada di Bandara karena tidak tahu harus pergi ke mana mencari keberadaan Tiara.
“Aku di Anvaya Resort,” jawabnya keheranan.
“Di kamar nomor?” desak Vida. Ia kasihan kalau Ferdinand sampai tidak bertemu dengan Tiara. Pasalnya Ferdinand berangkat sendiri.
“406!” sahut Tiara.
“Ferdinand akan segera datang menemui mu!” ucap Vida dan segera mengakhiri panggilan telefon.
“Apa-apaan ini!” gerutu Tiara. Ia tidak jadi mengutarakan isi hatinya tetapi, Vida mengatakan Ferdinand akan segera datang.
Rasa gerah membuat Tiara bergerak ke arah jendela, lalu membukanya. Bukan karena cuaca, tetapi karena ia merasa cemburu. Hanya saja ia belum menyadari kalau itu perasaan cemburu.
Kemudian, ia melihat sosok Dirga dan Rosalin yang tengah duduk berdua ke arah taman. Kedua netranya tertuju pada Dirga dan sang model duduk berdua saja.
Tiara terus mengamati, tidak bisa untuk tidak peduli dengan Dirga yang tengah berduaan dengan Rosalin. Ada rasa berat teramat sangat yang bersemayam dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pint
Tok.
Tok.
Tok.
“Ferdinand?” lirih Tiara menutup jendela dan berjalan membuka pintu. Benar saja, Ferdinand sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh Tiara.
“Kau benar ke sini?” tanya Tiara memberanikan diri membalas tatapan Ferdinand.
“Ya, aku yang masuk atau kita yang keluar dari sini! Aku harus bicara denganmu!” tawar Ferdinand. Ia sudah tidak sabar ingin menanyakan banyak hal pada Tiara.
“Emm—,” gumam Tiara.
Ferdinand menarik tangan Tiara, dan menuntunnya keluar dari kamar. Membawa Tiara menuju ke lantai dasar.
“Kita bicara di sana!” tunjuk Tiara menunjuk ke sebuah meja yang jauh dari tempat Dirga dan Rosalin. Ia tidak ingin Dirga mengetahui Ferdinand berada di tempat yang sama dengannya saat ini.
“Baik!” Ferdinand menurut lalu duduk di kursi yang di tunjuk Tiara. Dekat dengan kolam renang, tetapi jauh dari keramaian. Jauh dari Dirga dan Rosalin tentunya.
“Ceritakan semuanya! Aku akan mendengarnya!” ungkap Ferdinand. Di sini ialah pihak yang paling dirugikan. Baik Vida ataupun Tiara, sengaja menghindar seolah main petak umpet dengannya dalam waktu yang lama.
“Apa yang harus aku ceritakan?” Tiara balik bertanya. Hatinya sendiri masih berdebat dengan dirinya sendiri. Belum rasa cemburu yang ia rasakan barusan. Tiara sungguh belum siap mengutarakan semuanya pada Ferdinand.
“Siapa pria yang tiba-tiba menjemputmu waktu itu? Apa dia benar sepupumu? Kenapa kamu tidak menolak! Dan kenapa kamu tidak di rumah. Beberapa kali aku ke rumah dan ibumu tidak mengatakan apapun. Terakhir, kenapa kamu tidak memakai liontin pemberianku?” protes Ferdinand. Ia merasa berhak mendapat penjelasan dari Tiara mengenai apa yang terjadi akhir-akhir ini.
Tiara menegakkan wajahnya. Kini ia dan Ferdinand saling berpandangan. Seharusnya, Tiara menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan semuanya pada Ferdinand. Mengenai Dirga yang merenggut kehormatannya. Mengenai pernikahan kontrak mereka. Namun, Tiara hanya masih saja diam.
“Coba jelaskan!” desak Ferdinand meraih kedua lengan Tiara memaksa agar Tiara mau menceritakan semuanya.
Bukannya bercerita, Ferdinand mendapati Tiara dengan mata berkaca-kaca. “Apa kamu belum mau menceritakannya sekarang? Baiklah, mari kita mengobrol biasa saja!” ujar Ferdinand. Mengusap punggung tangan Tiara dengan penuh perhatian.
\* \*
“Bukankah itu Tiara?” tanya Rosalin.
“Di mana?” Dirga yang tengah memikirkan istrinya, terkejut karena Rosalin menyebutnya.
“Itu!” tunjuk Rosalin.
Dirga mengikuti arah pandangan mata Rosalin. Ia melihat Tiara dengan seorang pria. Ketika ia melihatnya dengan saksama, pria itu tanpa ragu tengah menggenggam jemari tangan Tiara.
“Itu Tiara kan?” Rosalin memastikan. Mengamati ekspresi tak biasa dari raut wajah Dirga.
“Ya, itu Tiara!” sahut Dirga. Bertanya-tanya siapakah pria yang duduk di dekatnya? Apa pria itu sama dengan pria yang bertemu dengan Tiara beberapa waktu lalu? Apa hubungan mereka?
“Aku rasa dia lebih dewasa dari yang terlihat! Ternyata dia tidak kembali ke kamar hotel, tetapi menemui kekasihnya!” ungkap Rosalin. Melihat kedekatan Tiara dengan pria yang duduk di sebelahnya.
“Itu bukan kekasih Tiara!” terang Dirga! Tidak terima pendapat Rosalin yang mengklaim Tiara memiliki kekasih. Sabar! Tidak seorang pun yang akan mengetahui pernikahannya dengan Tiara, termasuk Rosalin.
“Kamu tahu dari mana! Coba lihat pria itu perhatian sekali dengan Tiara!” ujar Rosalin tidak mau kalah. Sebenarnya, ia ingin Dirga juga menunjukkan perhatian seperti apa yang di lihatnya saat ini. Ferdinand, melepas baju hangat dan memberikannya pada Tiara. “Aku akan mengajak mereka ke sini!” Rosalin beranjak dari duduk dan segera menghampiri Tiara tanpa menunggu persetujuan dari Dirga.
“Sial!” gumam Dirga. Kalau tidak ada Rosalin mungkin ia sudah mematahkan tangan Ferdinand, yang lancang sekali menggenggam jemari Tiara. Dari jarak jauh saja hatinya sudah terbakar, apa lagi sekarang! Tiara dan Ferdinand bersama Rosalin tengah berjalan menghampirinya.
Rosalin mengambil duduk di sebelah Dirga, sementara Tiara duduk bersebelahan dengan Ferdinand.
“Kalian mau minum apa?” tawar Rosalin.
“Apa saja,” sahut Ferdinand. “Jadi, Tiara siapa mereka berdua ini?” tanya Ferdinand. Kedua sudut bibirnya melebar, membentuk sebuah senyuman. Mengamati dua orang di hadapannya satu per satu.
“Ini Nona Rosalin, dan Tuan Dirga Abraham,” sahut Tiara.
“Perkenalkan saya Ferdinand, saya teman kuliah Tiara.” Ferdinand mengulurkan tangan dan menjabat bergantian.
‘Ferdinand yang memberikan liontin, untuk apa dia ke sini! Cari mati! Bocah tengik itu harus diberi pelajaran! batin Dirga menatap tajam menunjukkan rasa tidak sukanya dengan Ferdinand.
“Aku ke sini bersama Tuan Dirga,” jelas Tiara. Dengan begitu, Ferdinand bisa sedikit menjaga sikap.
“Oh!” sahut Ferdinand. Mencoba menerjemahkan bahas isyarat dari kedua mata Tiara.
“Tiara aku kira kamu ke sini hanya dengan Dirga, ternyata kamu sama cie cie,” goda Rosalin. Ia mengamati Ferdinand yang tersipu. “Kalian pacaran ya?” selidiknya.
Tiara dan Ferdinand saling berpandangan.
“Dalam proses!” celetuk Ferdinand.
Tiara diam-diam melirik ke arah Dirga. Pria itu bungkam, wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apapun.
‘Dalam proses! Gundulmu! Ferdinand, lancang sekali kau! Kalau tidak ada Rosalin pasti aku sudah mencincangmu!’ batin Dirga.
“Bagaimana dengan kalian? Apa Nona Rosalin dan Tuan Dirga sudah berpacaran?” tanya Ferdinand. Tiara menginjak kaki sahabatnya itu, tetapi sudah terlambat karena Ferdinand tidak paham dan tidak peka. Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya.
“Aku dan Dirga tidak berpacaran, tetapi kita tertarik satu sama lain. Dalam waktu dekat kita akan menikah!” sahut Rosalin.
Dirga acuh, sibuk mengamati gerak-gerik Ferdinand. Sekali lagi ia melihatnya menyentuh tangan Tiara, Dirga tidak akan tinggal diam lagi. Wajahnya tampak jelas tidak menyulai Ferdinand.
Degh!
‘Jadi ini alasan Tuan Dirga merahasiakan pernikahanku dengannya, karena Rosalin! Ya, jadi Rosalin ini kah wanita yang dicintai suamiku? Seharusnya, aku bahagia. Itu artinya pernikahan kontrakku dengan Tuan Dirga selesai! Tidak aku tidak boleh sedih! Aku tidak boleh cemburu!’ pikir Tiara mengendalikan perasaannya.
“Emm— baiklah, aku dan Tiara akan pindah biar tidak mengganggu kalian!” ujar Ferdinand. Sorot mata Dirga yang terus tertuju padanya, membuat Ferdinand tidak nyaman.
“Kalian di sini saja!” cegah Rosalin. Ia merasa senang, mengira Dirga hanya ingin berdua dengannya saja.
“Tidak, aku dan Tiara akan berjalan-jalan sebentar ada banyak hal yang harus lita bicarakan juga,” dalih Ferdinand. Meraih tangan Tiara dan menuntunnya untuk beranjak.
“Kalian mau ke mana?” tanya Dirga. Ada penekanan di dalam suaranya.
“Aku akan berkeliling sebentar bersama Tiara!” jawab Ferdinand. Pria berkemeja biru muda itu selalu menunjukkan perhatian terhadap Tiara. Pandangan matanya juga hangat.
“Tidak bisa! Tiara segera kembali ke kamarmu sekarang!” bentak Dirga. Beberapa orang yang mendengar melihat ke arahnya.
Tiara terkesiap.
“Kembali ke kamarmu sekarang!” teriak Dirga.
Tiara menuruti titah Dirga, menolak ajakan Ferdinand.
Rosalin sampai mematung. Penasaran, mengapa Dirga bisa semarah itu?
Tiara bergerak menuju kamarnya. Sementara Ferdinand entah pergi ke mana. Kini, hanya ada Dirga dan Rosalin di sana.
“Aku mau tidur sekarang.” Dirga meminta izin. Berharap setelah kejadian ini Rosalin tidak berambisi untuk mendapatkannya lagi.
Langkah kaki Dirga lebar dan cepat. Kamar Tiara, satu-satunya tempat tujuannya saat ini.
Dirga berdiri di depan pintu kamar hotel. Sudah dipastikan dia begitu marah. Wajahnya memerah dengan bibir terkatup rapat yang memperlihatkan rahangnya yang kokoh.
“Buka pintunya Tiara!” teriak Dirga seraya mengetuk pintu kamar hotel.
Tiara tidak menjawab. Takut, dan menganggap Dirga marah tanpa alasan. Ya, kalau dia bisa bebas berduaan dengan Rosalin, kenapa ia bersalah hanya dengan mengobrol dengan Ferdinand.
“Buka pintunya sekarang atau,” ancam Dirga terhenti.
Cklek.
Tiara membuka pintu.
Tanpa menunggu Dirga menerobos masuk ke dalam kamar Tiara.
“Apa ada yang salah?” tanya Tiara dengan bibir bergetar. Ia tidak tahu di mana letak kesalahannya.
“Tidak, tidak ada! Aku hanya tidak suka kamu berduaan dengan Ferdinand, kamu bisa saja dalam keadaan bahaya!” dalih Dirga.
“Bahaya? Ferdinand itu temanku! Aku dekat dengannya dan aku yakin Ferdinand tidak memiliki niat jahat padaku!” bela Tiara. Ia menggelengkan kepala tidak suka dengan tuduhan yang baru saja Dirga ucapkan.
“Iya, niat jahat mana ada yang tahu!” balas Dirga. Ia hanya ingin melihat Tiara jealous, tetapi dirinya sendiri yang terbakar api cemburu hanya karena Ferdinand memegang tangan Tiara. Sekarang, Tiara juga membelanya.
“Apa Anda cemburu?” selidik Tiara. Ia menegakkan kepala sehingga pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Dirga.
“Tidak, yang benar saja!” kekeh Dirga. “Aku hanya menginginkan tubuhmu! Tidak lebih, jadi kamu jangan terlalu percaya diri Tiara! Mulai besok, jangan temui Ferdinand! Jangan bertemu dengan pria mana pun! Paham!” gertak Dirga. Meraih kedua lengan Tiara dan tidak ingin mendengar pembelaannya.
“Kalau Anda tidak cemburu kenapa Anda melarang ku bertemu dengan Ferdinand, kita hanya berteman tidak lebih! Dan aku, aku perlu menjelaskan semuanya pada Ferdinand mengenai hubungan kita!” kekeh Tiara merasa tidak ada yang salah dengan apa yang ia lakukan. Ia hanya bertemu dan mengobrol, tidak ada hal lain yang ia lakukan seperti pegangan tangan yang dilakukan Dirga dan Rosalin.
“Kalau aku bilang tidak boleh, tetap tidak boleh! Kau istriku Tiara!” klaim Dirga mendominasi.
“Tapi Anda tidak mencintaiku!” balas Tiara.
“Tetap saja kau istri sahku secara hukum! Jangan bantah aku!” Kelopak mata Dirga melebar, Tiara kini sudah berani membantahnya.
“Aku tidak sedang membantah, aku sedang memperjuangkan hakku! Kalau Tuan Dirga bisa pergi dengan Rosalin itu artinya aku juga bisa pergi dengan Ferdinand!” balas Tiara tak mau kalah.
“Sejak kapan kamu berani seperti ini padaku Tiara!” bentak Dirga. Ia marah karena Tiara terus menerus menjawabnya.
“Akui saja kalau Anda sudah jatuh cinta dan tidak bisa kehilanganku Tuan!” tuduh Tiara.
“Sebaiknya kamu sadar diri Tiara! Cukup! Malam ini aku tidak akan tidur denganmu! Ini kan yang kamu mau!” Dirga berbalik keluar dari pintu conecting room. Dengan perasaan teramat kesal.
• * *
Dirga memutuskan untuk menelefon Tomi. Pria itu pasti akan membantu apa yang sedang terjadi pada hatinya saat ini.
“Halo, Tuan!” sapa Tomi Ramah di seberang telefon. Seperti biasa ia tidak pernah mengacuhkan panggilan telefon dari Dirga. Ia juga tidak akan pernah mengakhiri panggilan telefon terlebih dahulu.
“Pesan tiket untuk besok pagi, aku akan segera pulang ke Jakarta!” titah Dirga. Rasanya muak, dan tidak ingin menemui Tiara.
“Untuk berapa orang Tuan?” tanya Tomi.
“Satu!”
“Lalu bagaimana dengan Tiara dan Ibu Anda?” tanya Tomi.
“Terserah mereka, aku tidak peduli!” jawabnya ketus.
“Tuan, apa Nona Tiara melakukan kesalahan?” tanya Tomi.
“Tidak!” sanggah Dirga ia yakin jika Tomi pasti akan membela Tiara.
“Baik aku akan memesan dua tiket, bagaimanapun Nona Tiara harus pulang bersama Anda Tuan!” bujuk Tomi.
Klik.
Dirga memilih untuk mengakhiri panggilan telefon karena mendengar suara ketukan pintu. Ia bergerak lalu membukanya.
“Mama!” seru Dirga melihat sosok yang berdiri di hadapannya. “Mama belum tidur?” tanyanya.
“Kamu keterlaluan Dirga!” tuduh sang mama. Ia menganggap Dirga terlalu berlebihan menunjukkan perhatiannya pada Rosalin di hadapan Tiara.
“Maksud Mama?” tanya Dirga tidak peka.
“Kamu, apa kamu tidak bisa mengerti isi hati Tiara, seharusnya kamu tidak menunjukkan perhatianmu terhadap wanita lain di depan istrimu!” terang Nyonya Rani. Ia masuk ke dalam kamar Dirga, tidak ingin ada orang yang mendengarnya.
“Ma, aku tidak mencintai Tiara! Dan bukankah mama yang menginginkanku dekat dengan Rosalin?” protes Dirga. Duduk di hadapan sang mama.
“Peduli amat dengan cinta, bagaimanapun Tiara itu istrimu! Tidak peduli kamu mencintainya atau tidak, sampai detik ini hanya Tiara yang bisa membuatmu sembuh! Hanya dia harapan mama satu-satunya!” Jemari tangan Nyonya Rani memijit keningnya yang terasa pening.
“Tiara tidak akan kenapa-kenapa!” tegas Dirga.
“Sekali lagi kamu tidak memedulikan perasaan Tiara, Mama sendiri yang akan mengumumkan pernikahanmu dengannya! Paham!” gertak sang mama. Kali ini, ia benar-benar tidak suka dengan sikap Dirga yang semaunya sendiri.
“Apa apa an sih Ma!” Dirga membuang nafas kasar.
“Kalau kamu terus bersikap seperti ini bukan hal yang tidak mungkin Tiara akan pergi meninggalkanmu! Apa kamu belum sadar juga! Di sini, kamu yang membutuhkan Tiara. Bukan dia yang membutuhkanmu! Sampai dia kabur karena kamu tidak pernah bersikap baik dengannya, kamu yang rugi! Kamu yang kehilangan dia! Tidak dengan Tiara! Dia cantik, dia tidak sakit, banyak pria yang akan jatuh hati dan bertekuk lutut padanya. Tapi, kamu! Kapan lagi kamu akan bertemu dengan wanita seperti Tiara yang bisa menyembuhkan penyakitmu!” Nyonya Rani tahu Dirga terluka karena ucapannya. Namun, itu lebih baik daripada Dirga menangis darah karena Tiara pergi darinya.
Hening, ucapan sang mama sudah jelas mampu memorak-porandakan keangkuhannya. Bagaimana tidak, semua yang di jelaskan sang mama adalah apa yang terjadi saat ini.
“Kamu, meski kamu tampan dan banyak uang dipuja banyak wanita, tapi hanya Tiara yang bisa menyembuhkan mu, mama harap setelah ini kamu bisa bersikap baik dengan Tiara! Kalau perlu segera minta maaf! Sekarang!” titah sang mama.
“Tapi Ma,” bujuk Dirga. Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali menemui Tiara dan minta maaf padanya.
“Apa lagi, kamu tinggal membuka pintu!” menunjuk conecting room. “Lalu kamu minta maaf!” dikte sang mama.
Nyonya Rani keluar dari kamar Dirga dengan menyimpan kemarahan yang sama.
Dirga berdiri di depan pintu conecting room. Berulang kali ia berpikir, tetapi masih juga tidak ingin membukanya apalagi meminta maaf.
Tak sampai satu menit, Dirga memilih duduk di atas tempat tidur. Mengurungkan niatnya masuk ke kamar Tiara. Malam ini, ia tidak ingin bercinta atau pun meminta maaf pada sang istri.
* *
Sepanjang malam Tiara tak bisa tidur. Beberapa kali ia melihat ke pintu berharap Dirga datang, tetapi sang suami tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
Lebih parahnya lagi, ekspresi wajah Dirga ketika menunjukkan perhatiannya pada Rosalin terus berputar di benaknya.
“Sial!” umpat Tiara melihat ke arah jam dinding. Ia meraih ponsel, dan membuka pesan dari Ferdinand.
Ferdinand : [ Kau masih berhutang padaku, aku tunggu di pantai, datang sekarang juga! ]
Tiara segera menghubungi Ferdinand.
“Halo,” sapa Ferdinand di seberang telefon.
“Di mana?” tanya Tiara.
“Di pantai!” jawabnya.
“Aku akan segera ke sana!” sahut Tiara.
Panggilan telefon berakhir. Tiara beranjak dari duduknya. Mengikat rambutnya dan akan segera ke Pantai Jerman yang tak jauh dari tempatnya menginap.
Baru saja Tiara membuka pintu, pintu kamar sebelah juga terbuka. Ya, pintu nomor 407. Namun, bukan Dirga yang keluar dari sana. Tetapi Rosalin.
Degh.
Tiara terpaku.
“Nona?” seru Tiara.
Rosalin mengulum senyum.
“Apa Nona tidur di kamar sebelah?” selidik Tiara.
“Tentu! Aku harus segera kembali ke kamarku, agar tidak ada orang lain yang tahu. Kamu bisa menjaga rahasia kan?” tanya Rosalin.
Tiara mengangguk pelan. Dadanya terasa berat. Seperti dijatuhi beban ribuan ton dari langit.
Ia berbalik, turun ke bawah dengan lift yang berbeda dengan Rosalin.
Di dalam lift.
Tiara berdiri, ada rasa sakit di ulu hatinya. Memaksa menahan tangis. Detik berikutnya, bulir-bulir air mata mulai berjatuhan membasahi pipi. Entah, ia tidak tahu pasti alasan mengapa ia menangis.
Dengan pelan ia terus berjalan ke pantai untuk menemui Ferdinand.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!