Terpaan angin dari gorden apartemen yang terbuka membuat tubuh telanjang wanita yang tertutup selimut dan sedang berbaring di atas kasur empuk itu terbangun. Selimut yang menutupi sebagian tubuhnya kini melorot dan menampilkan bahu terbukanya.
Sang wanita mengedarkan pandangannya kesegala arah guna mencari sosok lelaki yang sore tadi bergumul dengannya diatas ranjang, ternyata telah pergi entah kemana. Menyisakan perasaan hampa di setiap kali selesai melakukannya.
Si wanita a.k.a Kaluna dipanggil Una menatap dinding bercat putih itu dengan pandangan kosong. Selalu seperti ini harinya. Kosong-hampa-tanpa tujuan. Entah sampai kapan semua akan berakhir. Tapi Kaluna pun tak mampu untuk berhenti setengah jalan sebelum semua yang ia harapkan tercapai.
Menjadi simpanan-friends with benefit atau apalah orang-orang menyebutnya, dari seorang lelaki yang juga adalah teman sekampusnya. Kaluna melakoni peran ini yang telah berjalan selama dua tahun lebih. Dan hanya mereka saja yang tahu akan hal ini. Ralat. Sahabat-sahabat dari partnernya pun mengetahui hal ini, namun mereka abai karena menjaga privasi sahabat mereka dan juga mereka fine-fine saja dengan hal itu.
Oke, back to the topic.
Kaluna menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang berukuran king size itu guna memakai satu per satu pakainnya yang terhambur kesana-kemari. Kaluna mengangkat pergelangan tangannya dan melihat waktu yang tertera di pergelangan tangannya.
18.25 WIB.
Dan sudah cukup lama Kaluna habiskan untuk tertidur. Semoga saat nanti ia sampai rumah, Ayahnya belum pulang dan berharap mampu meminimalisir pertengkaran di setiap pertemuan mereka.
Kaluna menuju dapur guna menandaskan rasa hausnya sebelum tatapannya tertuju pada pop up notifikasi digenggamannya.
Brian: jangan lupa rapikan kembali kasur saat lo udah bangun.
Kaluna berdecak membaca sebaris perintah dari Brian. Selalu seperti itu, otoriter-pemaksa-semaunya. Sayangnya, Kaluna tidak bisa mundur karena telah diberikan uang bergepok-gepok dari Brian untuk pekerjaan simbiosis mutualisme ini.
Saat sedang menunggu di depan apartemen, motor Scoopy berhenti di depannya dan menyebutkan namanya. Kaluna mengangguk sebagai jawaban, setelah itu diberi helm lalu kendaraan beroda dua itu melaju dengan kecepatan sedang menuju rumahnya.
Kurang lebih dua puluh menit perjalanan waktu tempuh, mereka pun sampai di depan rumah bercat coklat dengan cat tembok yang telah terkelupas di beberapa bagian.
Kaluna memberikan helm serta pembayarannya pada Bapak Grab tadi. Tak lupa mengucapkan terima kasih sebelum berjalan membuka pagar memasuki pekarangan rumahnya yang minimalis dan tak terawat ini.
Suasana sepi tentu saja. Tidak ada seorang Ibu rumah tangga, yang ada hanya seorang anak sebatang kara dengan seorang Ayah yang hanya mendapatkan label seorang Ayah tanpa peran didalamnya. Fatherless kata anak muda jaman sekarang.
Jika boleh bersaing untuk memperebutkan medali 'kesialan' maka Kaluna pantas mendapatkan gelar itu. Ibu telah berpulang, Ayah peminum, penjudi ditambah ringan tangan. Ditambah anak yang menjual diri. Sudah sangat komplit penderitaannya.
Tapi mau bagaimana lagi, seandainya ada jalan keluar lain saat itu, tak akan Kaluna pilih jalan ini.
Setelah selesai merapikan rumah dan mandi malam, Kaluna akhirnya mampu bernapas lega dan duduk di ruang tamu sambil membawa laptop untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Beberapa menit berlalu dengan suara tut keyboard dan suara TV yang menemani. Ketukan disertai gedoran pada pintu rumahnya mampu mengalihkan perhatiannya.
"Buka pintunya KALUNA!" Teriak seorang lelaki yang adalah Ayahnya sendiri dengan tidak sabaran.
Kaluna berjalan dengan cepat guna membuka pintu agar suara Ayahnya itu mampu teredam. Bukan apanya, suara teriakan Ayahnya itu sangat menganggu tetangga yang sedang beristirahat di saat sekarang.
"Sabar, Yah!" Teriaknya sambil memutar kunci dan menarik tuas pintunya. Saat pintu berhasil terbuka hampir saja Kaluna tertimpa bobot tubuh Ayahnya seandainya Ayahnya tidak segera berpegangan pada tuas pintu yang telah terbuka.
Mabuk lagi, monolognya memperhatikan Ayahnya yang sekarang sedang berjalan dengan sempoyongan menuju sofa yang sempat di duduki oleh Kaluna tadi. Berbaring diatas sana dengan tangan kanan yang ditumpukan di atas kepala.
Ayahnya ngalor ngidul akibat dari minuman keras yang lagi-lagi telah ia tenggak tak tahu berapa botol. Kaluna menarik nafas lelah melihat semuanya. Entah kenapa tiba-tiba kepalanya berdenyut memikirkan kehidupannya.
Ia ambil laptop dan beberapa kertas yang tadi ia simpan di atas meja lalu berjalan menuju kamarnya dan menguncinya dari dalam. Tak lupa pintu rumah telah ia pastikan terkunci sebelum menyusul Ayahnya tadi.
___
Suara dering alarm di handphone nya membangunkan Kaluna dari tidur lelahnya.
6.34 WIB. Waktu yang tertera disana. Segera Kaluna bangun dan menuju ke kamar mandi guna untuk memulai kelas pagi yang mana dosennya adalah dosen killer yang tidak menerima alasan atas keterlambatan mahasiswanya. Selesai dengan segala tetek-bengek perkuliahan, Kaluna segera memesan ojek
"Una!" Teriak salah satu wanita yang beradi di koridor di belakangnya. Kaluna yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah terburu-burunya tadi dan menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang memanggil namanya.
Ternyata dia adalah Prameswari, dipanggil Tari. Teman sekelasnya yang juga adalah satu-satunya teman dekat Kaluna.
Tari yang berlari tadi tampak ngos-ngosan menghampiri Kaluna sambil menyeka keringatnya.
"Buru, Una kita ke kelas. Kelas Pak Karya sebentar lagi mulai." Ucapnya menggebu-gebu.
"Yaudah, tadi gue juga mau lari tapi dipanggil sama lo, Tari." Ujar Kaluna gemas melihat temannya. Tari yang mendengarkan ucapan Kaluna hanya bisa menyengir dan segera menarik tangan Kaluna menuju kelas mereka.
Beruntung karena Pak Karya belum datang dan mengisi kelas pagi ini. Kaluna dan Tari mencari kursi yang kosong dan duduk di sana dengan nafas yang ngos-ngosan. Waktu sudah menunjukkan pukul 8.09 tapi tidak biasanya Dosen mereka itu telat.
"Kemarin dari mana lo? Gue telepon berulang kali nggak diangkat-angkat." Cecar Tari menuntut penjelasan karena kemarin rencananya Tari mau di temani ke salah-satu pusat perbelanjaan yang ada di dekat kampus mereka. Tapi dari selesai waktu istirahat sampe sore hari, Kaluna tak lagi mengangkat telponnya dan mengabarinya perihal jadi atau tidak.
"Sorry, gue kemarin ada urusan mendadak dan nggak bisa ditinggal." Ringisnya merasa bersalah karena telah berbohong pada sahabatnya.
Tari memicingkan matanya curiga tak percaya dengan jawaban sahabatnya. Jadi, setelah sahabat-sahabat Brian, Tari juga salah satu dari Sahabat Kaluna yang mengetahui tentang hubungan gelap antara Kaluna dan juga Brian.
Brian Daguese namanya. Lelaki setengah bule itu adalah teman satu kampusnya, seangkatannya namun beda jurusan. Kalau Kaluna mengambil jurusan Ekonomi dan bisnis, maka Brian Jurusan Hukum. Tampan, tinggi, western, dari kalangan Taipan & berkuasa tentunya. Minusnya hanya pada akhlak.
"Jujur sama gue, Una, mau sampai kapan lo jalani hubungan gelap lo ini sama si Brian?!" Terang Tari langsung pada intinya yang akhirnya membuat Kaluna tersadar, ia tak bisa membohongi sahabatnya.
Kaluna menghembuskan nafas lelah dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Ditatapnya sahabatnya yang sedari tadi menuntut penjelasannya.
"Kita bicarain ini nanti, Tar. Kelas Pak Karya bentar lagi mulai." Terangnya pada sahabatnya.
"Tapi, Una...mau sampai kapan...." Tari tak sempat melanjutkan unek-uneknya dikarenakan Pak Karya sudah ada di depan sana. Membuat seketika kelas hening dan masing-masing mengeluarkan keperluan belajar mereka.
"Gue butuh kejelasan, lo, Una. Gue nggak mau sahabat gue selamanya kek gini!" Ujarnya setengah berbisik yang hanya mereka berdua yang mampu mendengar.
Kaluna hanya mampu menghembuskan nafas pelan dan berusaha untuk fokus pada dosennya di depan. Apa yang sahabatnya katakan sedikit membuatnya kepikiran. Berusaha untuk fokus, Kaluna menggelengkan kepalanya dan mengosongkan fikirannya sejenak dari kerumitan hidupnya.
Kelas berjalan dengan lancar. Setelah selesai mengisi kelas, Pak Karya akhirnya keluar dan membuat semua teman kelasnya merasa lega karena pada akhirnya terlepas dari kesesakan dari dosen galak mereka.
"Guys, Bu Citra lagi nggak bisa ngisi kelas hari ini."
Pengumuman dari sipen dosen membuat kelas menjadi heboh karena dosen yang mengisi kelas selanjutnya tidak bisa masuk. Hal itu berarti, mereka bisa memiliki banyak waktu sampai jam istirahat tiba.
"But..." Seketika kelas hening menunggu penjelasan. "Kita diberi tugas membuat makalah beserta PPT nya untuk materi hari ini. Perorangan."
"Yah, apaan sih, Jal. Males, ah. Lo mah nggak asik!" Ucap salah satu teman sekelas Kaluna. Riuh teman sekelasnya mendengarkan pengumumannya. Kelas seketika riuh akan suara teman-temannya yang memprotes.
"Denger dulu, guys. Gue belum selesai." Serunya lagi. Membuat mereka memfokuskan pendengar an dan atensi pada Rijal.
"Nggak harus dikumpul sebentar, kok. Minggu depan baru dikumpul, kata Bu Citra. Sekalian dengan presentase materinya. Jadi, kalau kalian mau istirahat dulu, nggak apa-apa. Waktunya masih lama, kok."
Teman kelasnya mengangguk mengerti dan sebagian sudah ada yang keluar kelas. Sebagian lagi masih terlihat di dalam kelas, berbincang serta ada yang memilih langsung mengerjakan tugas yang diberikan.
"Mau ke perpus, nggak, Tar? mending langsung di kerjain nggak sih, supaya tugas juga nggak numpuk." Tanya Kaluna pada sahabatnya karena tidak ada kegiatan setelah ini.
Tari yang masih memasukkan tablet dan buku paketnya memberikan atensinya pada Kaluna.
"Besok-besok masih bisa, Una, cantik. Mending sekarang kita ke kantin aja. Daritadi perut gue keroncongan parah pas kelas Pak Karya. Gue nggak bisa fokus belajar karena perut keroncongan tadi." Jawabnya sambil memasang tasnya di pundak.
"Kelaperan ataupun nggak, emang fikiran lo selalu tertuju ke kantin kali, Tar." Ledeknya pada sahabatnya yang seketika membuat Tari cengengesan.
Beruntung Kaluna memiliki sahabat seperti Tari yang mampu menemani, merangkul bahkan menganggapnya saudara ditengah segala salah yang ia lakukan. Karena memang hanya Tari lah yang mengetahui alasan mengapa Kaluna mampu mengambil jalan ini.
Sewaktu awal-awal Kaluna mengambil keputusan itu, Tari hanya bisa menangis sesenggukan setelah mengetahui apa yang Kaluna lakukan. Karena Tari tahu, Kaluna tidak ingin tapi tidak ada pilihan lain. Ingin memberikan uluran tangan pun, Tari lebih-lebih butuh uluran tangan. Mereka sama-sama berada pada level ekonomi. Setara. Miskin. Beruntung karena Prameswari mendapatkan bantuan beasiswa jalur keluarga miskin.
"Yuk, Una. Laper nih!" Disusul dengan tangan Tari yang sudah membawa Kaluna berjalan keluar kelas menyusuri koridor kampus yang sudah banyak Mahasiswa yang lalu lalang.
Sesampainya mereka di depan kelas mereka pun berjalan beriringan sambil berbincang-bincang menuju ke kantin mencari kehidupan.
Ternyata di jam segini sudah banyak mahasiswa yang mengisi kantin kampus terlihat beberapa mahasiswa dari jurusan yang berbeda.
"Mau makan apa, Una?" Tanya Tari saat mereka sudah duduk di tengah kantin dan memperhatikan jejeran makanan yang berbeda di depan sana.
"Mie kuah kayaknya enak, Tar. Lo mau makan apa?" tanyanya balik.
"Gue mau bakso. Gue juga mau yang berkuah-kuah."
"Minumnya mau apa?"
"Es jeruk aja, Una."
"Yaudah, biar gue yang mesenin. Keknya lo udah kelaperan parah."
"Makin cantik deh, Una kalau lagi baik kek gini." Godanya membuat Kaluna hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. Kaluna pun menuju stand makanan yang menjual apa yang mereka mau. Setelah selesai memesan dan membayar, Kaluna pun menunjukkan letak mejanya dan kembali ke tempat semula.
Namun baru beberapa langkah, Kaluna melihat dari pintu masuk Brian bersama dengan tunangannya-Cristin dan juga beberapa sahabatnya berjalan masuk.
Kehadiran Brian, tunangan dan juga teman-temannya membuat hampir seluruh atensi mengarah kepada mereka. Dengan tangan yang saling menggenggam, Brian dan juga Cristin terlihat sangat serasi disana.
Kaluna berusaha abai walau beberapa detik tadi ia dan juga Brian sempat saling berpandangan. Kaluna menundukkan kepalanya dan berjalan dengan santai menuju Tari.
"Si brengsek datang, tuh!" Tunjuk Tari menggunakan kepalanya melihat ke arah jalan Brian beserta rombongan.
Kaluna berusaha mengabaikan ucapan sahabatnya dan melihat ke arah lain.
"Eh, tugas dari Bu Sufi udah lo kerjain?" Tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Udah. Lo gimana?" Dan berhasil. Kaluna mengucap syukur di dalam hati.
"Udah, dong. Udah dari kemaren selesainya. Cuma, ya, gitu. Susahnya minta ampun." Terangnya karena tugas yang diberikan sangat-sangat berbau rumus.
Tari tertawa mendengarnya. Semakin hari rasanya tugas semakin menguras kepala dan kantong. Mana lagi tanggal tua lagi, orangtuanya sedang kere-kere nya.
"Makin ke sini, tugasnya makin bikin kepala kliyengan. Belum tugas dari dosen ini, dosen itu. Pak Karya, Bu Citra. arghhhhh" Tari sangat berapi-api mengatakannya. Membuat Kaluna tertawa melihat ekspresi sahabatnya.
"Sabar, Tar. Namanya juga ujian, pasti cobaan" Godanya.
"Dihhh" Dengan ekspresi lucu mampu membuat Kaluna semakin tergelak melihat ekpresi sahabatnya.
"Pesanan siap diantar pada gadis-gadis cantik." Ujar Mang Jaja sambil meletakkan pesanan mie kuah dan bakso tadi.
Kaluna meringis mendengarnya. Gadis dari mananya.
"Makasih ya, mang Ujang yang gantengnya tidak tertandingi." Ucap Tari menggoda Mang Ujang. Biasanya sudah di goda begini, mang Ujang akan memberikan kerupuk dua bungkus.
"Kerupuknya nyusul ya, Neng geulis." Jawabnya sambil memamerkan deretan gigi putihnya. Membuat Kaluna dan Tari tertawa melihatnya.
"Lo, mah, bisa aja goda-godain, mang Ujang. Diperistri juga lo lama-lama." Terang Kaluna yang hanya dibalas kekehan oleh Tari. Mereka pun makan setelah mendapat kiriman krupuk dua bungkus tadi sambil berbincang-bincang.
"Kenyang banget, Una." Sambil Tari usap-usal perutnya. " eh, tapi kenapa tuh, Azka kadal dari tadi gue lihat-lihat ngelirik lo, Una."
Kaluna yang mendengar itu pun mengikuti arah pandang Tari menuju meja Brian dan juga teman-temannya.
"Nggak tahu, padahal gue nggak ada utang sama dia." Ujarnya tak peduli sambil mengemasi barang-barangnya dan mengajak Tari pergi dari sana. Namun padangan matanya melirik kembali pada meja tadi dan Brian disana melihatnya dengan mata tajamnya.
Kaluna hanya mampu menghembuskan nafas pelan dan berusaha tak perduli dengan tatapan mengintimidasi Brian.
Suasana kampus sore itu riuh oleh beberapa mahasiswa yang berlalu lalang. Ada juga yang baru keluar dari kelas sama seperti Kaluna dan Tari yang selesai dengan mata kuliah terakhir untuk hari ini.
Keduanya menelusuri koridor kampus sambil berbincang-bincang santai. Sesekali mereka melihat beberapa mahasiswa yang melakukan kegiatan di pinggir lapangan.
Handphone di genggaman Kaluna berdering. Kaluna melihat ID penelpon, namun nomer yang tak ia kenal menghubunginya. Kaluna yang tidak mengetahui siapa penelpon itu, memilih mengabaikan dan melanjutkan langkahnya bersama Tari.
Kembali berbunyi dering telepon dan dari penelpon yang sama. Kebiasaan Kaluna adalah jarang mengangkat telepon dari nomer yang tak ia kenal. Namun panggilan itu lagi-lagi mampu menyita perhatiannya. Akhirnya Kaluna pun mengangkat dan terdengar suara lelaki dari seberang sana.
"Selamat sore, kami melaporkan dari polres Depok. Sore ini Kami sedang membawa korban tabrak lari atas nama Ibu Sartika dan sekarang sedang dilakukan penanganan di IGD RS Hermina. Untuk kelanjutan...." Tak lagi Kaluna dengar penjelasan dari penelpon karena tiba-tiba saja semuanya terdengar hening. Jantungnya berdegup dengan kencang dan air mata tanpa aba-aba sudah membasahi wajahnya.
"Ibu..." Kaluna mengenggam tangan Tari dengan erat dan mencoba menopang berat tubuhnya yang terasa tak bertenaga mendengar kabar tentang Ibunya. Tak lagi Kaluna dengar bagaimana penjelasan mengenai kondisi Ibunya karena semua seketika berhenti.
"Lo kenapa nangis, Una?" Desaknya melihat kondisi sahabatnya yang sekarang menangis tanpa suara namun terlihat kesedihan yang sangat mendalam di sana. Namun tak ada jawaban yang keluar selain air mata yang semakin menggenang dan tatapan kosong disana.
Tari yang mengetahui bahwa ada yang tidak beres mencoba menenangkan sahabatnya dengan memeluk dan mengusap-usap punggung Kaluna pelan.
"Tenangin diri lo dulu." Ucapnya mencoba menenangkan sahabatnya. "Kalau udah tenang baru lo cerita."
Kaluna mengikuti instruksi sahabatnya dan menghapus air matanya sambil meredam tangisnya.
"Ibu ditabrak lari dan sekarang lagi di tanganin di RS, Tar. Gue minta tolong bisa anterin gue ke RS sekarang, Tar. Gue..." Ucapannya terpotong karena Tari sudah menggenggam tangannya dan membawanya berlari kecil menuju parkiran.
Membutuhkan waktu yang lama untuk sampai karena macet. Waktu pulang kantor dan juga kepadatan dari beberapa pengguna yang lain.
Segera Kaluna berlari memasuki area RS tanpa menunggu Tari di belakangnya. Ingatkan Kaluna untuk meminta maaf karena sudah diantar tapi tak tahu dirinya meninggalkan sahabatnya. Tapi itu adalah hal yang bisa dimaklumi mengingat keadaan dan kekalutan sahabatnya saat ini.
Kaluna berlari menuju IGD yang sore itu terlihat sangat penuh. Dapat ia lihat beberapa polisi dan juga Bapak-Bapak yang berdiri di depan kasur pasien. Segera saja Kaluna berlari kearah sana dan terlihatlah Ibunya terbaring dengan kondisi baju yang berlumur darah. Jangan lupakan dengan darah yang terlihat memenuhi wajah Ibu nya.
Dapat Kaluna lihat dokter memberikan penanganan dengan melakukan RJP pada Ibunya. Selang infus dan juga masker oksigen terpasang sebagai alat bantu terakhir.
"Ibuuu..." Tangisnya pecah melihat keadaan Ibunya yang tak sadarkan diri disana. Kaluna hanya mampu melihat dari jarak beberapa meter dikarenakan dokter dan beberapa perawat memenuhi di sana. Tak ada celah untuknya maju melihat keadaan Ibunya.
"Ayo Bu, bisa...." kata dokter terus berusaha sambil terus memompa, menekan daerah dada kiri berharap tindakan itu mampu mengalirkan darah dan membujuk jantung agar mampu berdetak kembali. Wajah-wajah tegang dan juga keringat menghiasi wajah petugas yang menolong Ibunya.
Tangis Kaluna semakin kencang menyaksikan kesakitan Ibunya. Tari dengan setia merangkul sahabatnya mencoba menenangkan, walaupun ia sendiri sudah menangis sesenggukan di sana.
Namun berhentinya dokter dan beberapa perawat yang tak lagi memberi bantuan membuat Kaluna terdiam menunggu jawaban akan keadaan Ibunya. Namun dokter lelaki di depannya menatapnya sekian detik disertai gelengan kepala membuat Kaluna semakin terisak, berteriak kesakitan disertai berat tubuh yang tak lagi mampu ia topang.
"Waktu kematian pukul 17.36 WIB...." dan terlihat masih berbicara dengan perawat yang menemani.
Kaluna berdiri dan berhambur memeluk tubuh yang terbujur di depannya.
"Ibu...Ibu, jangan tinggalin Kaluna, Bu." Sambil ia goyang-goyangkan tubuh Ibunya. Berharap dengan begitu, Ibunya mampu terbangun dan memeluknya. Air matanya sudah tak terhitung banyaknya mengalir tanpa henti.
"Jangan tinggalin, Una, Bu. Kaluna sama siapa kalau Ibu pergi. Katanya mau lihat, Una berhasil..." Sambil ia peluk tubuh terbujur Ibunya. Tangis kepedihannya membuat beberapa orang yang menyaksikannya juga menitikan air mata.
Tari sungguh tak sanggup melihat kesedihan dan berkabung sahabatnya.
Dan itu adalah hari terakhir Kaluna melihat dan membungkai wajah Ibunya. Kejadian tabrak lari itu membuat cedera yang parah pada otak dan patah tulang akibat Ibunya yang terlempar beberapa meter serta menghantam pembatas jalan.
Dan pelaku yang menabrak Ibunya memang sempat ditangkap beberapa hari setelah kejadian. Namun kabar terbaru yang ia terima, pelaku penabrakan lari itu telah bebas. Entah hal apa yang pelaku berikan sehingga mampu bebas dan terbebas dari hukuman. Kaluna pun tak mampu berbuat banyak karena uang yang bermain di sana.
Mendiang Ibunya adalah seorang aparatur sipil negara. Ibunya adalah guru SD yang mengajar di SDN Harapan Bangsa. Ibunya pulalah yang menopang biaya hidup di dalam keluarga. Jangan tanya kemana peran Ayahnya di dalam rumah tangga. Ayahnya sibuk berjudi dan pulang-pulang sudah mabuk-mabukan. Ditambah kadang kalau pulang, Ayahnya suka bertindak sesukanya dan merusak barang-barang yang ada di depannya. Membuat Kaluna sering menangis di balik pintu mendengar pertengkaran orangtuanya.
Entah bagaimana Ibunya mampu bertahan dengan lelaki seperti Ayahnya. Tidak bertanggungjawab, pemabuk, ringan tangan. Ah, tak perlu lagi Kaluna sebutkan satu per satu kejahatan Ayahnya.
Kaluna semester tiga kala itu sewaktu Ibunya berpulang. Ibunya pulalah yang sangat mendorong dirinya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan membiayai kuliahnya. Kaluna yang tak tega melihat Ibunya banting tulang pun membantu dengan bekerja paruh waktu di Kafe dekat kampusnya.
Sungguh ironi, Ibunya meninggalkannya sendiri dan hidup bersama Ayahnya yang tak bertanggungjawab. Kata anak jaman sekarang, 'fatherless' memang benar adanya. Pantas saja, Indonesia menempati urutan ke tiga di dunia sebagai akibat dari hilangnya peran akan sosok seorang Ayah.
Puncaknya saat tiba waktu pembayaran SPP, uang Kaluna tidak cukup untuk membayar biaya semester. Tabungan yang ia simpan pun sudah habis untuk biaya hidup dan biaya kuliah sehari-harinya. Ayahnya jangan ditanya, lepas tangan dan sangat jarang bertemu dengannya. Mereka bertemu saat mala hari. Itupun juga tidak saling menyapa layaknya Ayah dan anak.
🥀🥀🥀🥀🥀
Happy reading ayang-ayangku. Setelah hiatus puluhan purnama, akhirnya i'm comeback🔥🔥
Pokoknya cerita kali ini akan lebih seru, menguras air mata dan plot twist tentunya. Jangan lupa like, komen dan beri bintang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!