NovelToon NovelToon

Wanita Malam Milik Tuan Damian

Prolog

Damian menerima sloki tequila yang terulur tanpa mengalihkan tatapan matanya dari waitress yang saat ini tengah mengerling manja padanya. Tersenyum menggoda, wanita itu berkali-kali mengerling nakal sambil menggigit bibirnya. Berusaha terlihat sensual dan memang seperti itulah kenyataanya.

Damian bahkan tak mampu mengalihkan pandangan sejak mata gadis itu bertemu pandang dengan miliknya. Mata yang seolah menawan segala perhatiannya. Membuatnya seolah tak bisa lagi menikmati pemandangan lain selain dirinya.

Gadis itu jelas tidak membutuhkan usaha yang berat, wajah dan tubuhnya memang sudah terlihat begitu sensual hanya dengan berdiam diri di sana. Apalagi ketika gadis itu mengerling ke arahnya. Sesuatu yang terasa panas membuncah dalam diri Damian. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Apakah anda menginginkan..., pelayanan ekstra Tuan?" ucapan gadis itu kembali membuat aliran darah Damian membuncah tak karuan. Ditambah jari telunjuk gadis itu yang dengan nakal menelusuri dagu hingga jakun Damian. Membuat pria itu menelan ludah dengan susah payah.

Namun ada sesuatu yang terlihat berbeda dalam diri gadis itu. Mungkin bahasa tubuh dan bibirnya memang berusaha terlihat menggoda, namun tidak dengan matanya. Mata jernih yang terlihat polos itu sama sekali tak menunjukkan jika wanita dalam rengkuhannya ini adalah seorang wanita penggoda.

Tatapan mata lugunya justru membuat Damian ingin merengkuh gadis ini kuat-kuat. Melindunginya dari ancaman apapun yang berada di luar sana.

_____

"Jadilah Ibu bagi calon anakku."

Ucapan pria di depannya ini nyaris membuat Dina terjengkang ke belakang. Jus yang baru saja ia telan nyaris membuatnya tersedak.

"Maksud Bapak?" tanya gadis itu kemudian. Bagaimana tidak, CEO di perusahaan tempatnya bekerja tiba-tiba saja mengajaknya bertemu di cafe mahal dan tak kalah tiba-tiba pula, mengucapkan kata-kata yang tak masuk akal.

"Aku tahu kondisi keluargamu. Dan aku juga tahu kamu bekerja sebagai waitress di club malam bukan? Nona Sandara? Kamu pikir aku tidak mengenalimu?" tanya pria itu kemudian. Tatapan mata pria itu mengarah pada tanda lahir yang berada di leher Dina.

Dina dengan cepat menarik topi yang menutupi kepalanya hingga nyaris menutupi wajah. Mencoba menyembunyikan wajahnya dari tatapan Damian.

Memang tidak ada larangan untuk bekerja di dua tempat yang berbeda di perusahaan mereka. Namun bekerja sebagai waitress di club malam jelas bukan profesi yang akan mengharumkan nama perusahaan mereka. Yang ada justru sebaliknya.

Dina sama sekali tak menyangka Damian akan mengenali dirinya. Demi Tuhan! Dia hanyalah seorang cleaning service di perusahaan Adinata. Bagaimana bisa sang CEO mengetahui keberadaannya?

"Jika kamu tertarik, kamu bisa membaca kontraknya lebih dulu," ujar Damian dengan santai sambil mengulurkan selembar kertas bertuliskan 'kontrak perjanjian'.

Kontrak macam apa ini?! Pikir Dina ketika melihat sebagian isi kontrak.

• 100.000.000 untuk tanda tangan kontrak

• 200.000.000 jika ia berhasil hamil

• 300.000.000 jika anak mereka lahir dengan Damian mendapat hak asuh penuh. Ditambah sebuah rumah yang akan menjadi hak milik Dina jika kontrak mereka telah usai.

Dina menatap Damian dengan mulut menganga. Matanya mengerjap berkali-kali membuat Damian harus mangatupkan bibir dan memasang ekspresi sedatar mungkin untuk menyembunyikan senyumnya.

"Bukankah Bapak sudah memiliki istri?" tanya gadis itu kemudian.

"Aku menginginkan anak dan istriku tidak bisa memberikannya," ujar Damian santai seolah sesuatu yang baru saja ia katakan hanya sekedar ramalan cuaca.

Dina tiba-tiba saja merasa prihatin pada istri Damian. Jika dia menerima perjanjian ini, bukankah sama saja dia menjadi seorang pelakor? Apakah hati nuraninya cukup mampu menjadikannya sebagai orang kedua dalam pernikahan orang lain?

Tapi nominal ini...

"Boleh saya..., pikirkan dulu Pak?"

____

"Mulai hari ini, hingga satu setengah tahun ke depan kamu akan tinggal di rumah ini," ucap Damian sambil menyeret koper Dina dan meletakkannya di samping tempat tidur. "Bersamaku," tambah pria itu kemudian.

Dina langsung menatap Damian dengan sangsi. Jadi pria ini juga akan tinggal di sini? seperti mengerti kata hati Dina, Damian mengangkat sebelah alisnya.

"Mau bagaimana lagi, membuatmu hamil adalah prioritas utama. Bagaimana caranya, ya..., dengan melakukannya setiap hari. Semakin cepat dilakukan semakin baik," ujar pria itu enteng.

Dina memutar matanya dengan gusar. Mengapa semuanya terasa begitu cepat? Baru tadi pagi mereka mendaftarkan pernikahan ke catatan sipil dan sekarang sudah langsung akan ke tahapan membuat bayi?

Damian mengangkat sebelah alisnya melihat ekspresi lucu Dina, menggoda gadis ini memang sesuatu yang sangat menyenangkan baginya. Dengan cepat direngkuhnya pinggang gadis itu hingga membuatnya terpekik kaget.

"Kamu sudah siap bukan? Siap tidak siap, kamu sudah tanda tangan kontrak," ujarnya sambil berusaha mencium Dina, namun gagal karena gadis itu tiba-tiba saja menutup bibirnya.

"Se- setidaknya biarkan saya mandi dulu," ucap gadis itu sebelum melepaskan diri dari rengkuhan Damian. Kemudian melesat dengan cepat memasuki kamar mandi, mengunci pintunya dari dalam dan berusaha menetralkan denyut jantungnya yang menderu tak karuan.

_____

"Kalian pikir biaya operasi itu kecil? Empat puluh juta! Bagaimana mungkin seorang cleaning servise bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?!" Renata tersenyum penuh kemenangan ketika melihat wajah wanita paruh baya di depannya berubah pucat pasi.

"Anakmu menjual tubuhnya demi uang. Dia bekerja di sebuah club malam! Dia menggoda suamiku. Menjadi perempuan simpanan suami orang!" ujarnya dengan nada lantang. Sengaja agar orang-orang di sekitar dapat mendengar ucapannya dengan jelas.

"Karena anakmu, suamiku menjadi berubah. Dia bahkan meminta cerai dariku. Anakmu merusak rumah tangga kami!" bentaknya lagi. Sama sekali tak perduli jika wanita paruh baya di depannya mulai limbung sambil memegangi dadanya.

"Bu!" Adrian berusaha menahan tubuh ibunya. Meskipun tubuh remaja laki-laki itu juga tengah gemetar dengan raut wajah yang tak kalah pucat dari ibunya.

"Ibu!" mereka langsung melihat secara serentak ke arah pintu. Di mana Dina tengah berdiri dengan tangan terkepal menahan air mata yang mulai menggenang di kedua pelupuk matanya.

"Bukan seperti itu...," lirihnya berusaha menjelaskan. Namun yang iya lihat adalah tubuh ibunya yang limbung dan jatuh ke lantai. Kehilangan kesadaran.

"Ibu...!"

______

Dina berusaha menyeka air mata yang belum sempat menetes di pipinya. Setahun menjalani kehidupan bersama Damian tampaknya membuat wanita itu menjadi tamak. Iya lupa dengan jati dirinya, lupa asal-usul dan bahkan lupa jika pernikahan mereka hanyalah perjanjian di atas kontrak.

Jadi beginilah akhirnya. Sesuatu yang memang tidak digariskan untuknya, memang tak akan mungkin pernah menjadi miliknya. Namun setidaknya Dina bersyukur, berterima kasih atas satu tahun paling indah dalam hidupnya.

Kontrak mereka akan berakhir, hanya tinggal hitungan hari. Dina memutuskan untuk pergi sebelum Damianlah yang memintanya untuk pergi. Ia tak ingin kenangan terakhirnya dengan Damian dalam bentuk perpisahan. Apalagi pengusiran.

Menghela nafas, Dina kembali menjejalkan pakaiannya ke dalam koper dengan asal-asalan. Tanpa menyadari sosok yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya dari balik pintu kamar.

"Kamu sedang apa?" tanya sosok itu kemudian.

"Mas..., tolong rawat Rega baik-baik ya," ujar Dina lirih.

"Memangnya aku pernah memintamu pergi?"

"Tapi Mas, perjanjiannya..."

"Bahkan setelah kebersamaan kita selama ini, kamu masih memikirkan kontrak bodoh itu?"

"Tapi..."

"Asal kamu tahu, perjanjian itu, aku sudah lama membakarnya!"

BAB [01]

Dina menghela nafas, untuk kesekian kali menyeka keringat yang menetes di pelipisnya sambil sesekali menyingkirkan poni rambutnya yang menempel, basah karena keringat. Diliriknya jam dinding yang bertengger dengan manis di tembok belakang ruangan pantry tempatnya berdiri kini.

Baru pukul enam pagi dan tenaganya sudah terasa habis seperti ini. Menyimpan kembali alat-alat kebersihan di tempatnya, gadis itu kemudian merogoh dua buah roti cokelat dari dalam tasnya.

"Sudah selesai?" terdengar sapaan dari arah pintu. Dina langsung tersenyum mendapati Putri. Salah satu rekan kerjanya.

"Mau?" tanya gadis itu kemudian sambil menyodorkan roti yang belum ia buka.

"Nggak, kamu makan aja. Aku udah bawa," ujar Putri sambil mengeluarkan dua buah pisang cavendis dan sekotak susu cokelat.

Ardina Maharani atau kerap disapa Dina, merupakan seorang Cleaning Servise di kantor pusat Adinata Group. Perusahaan besar yang bergerak di bidang property, retail dan belakangan mulai merambah ke bidang kuliner. Seperti cafe dan restaurant.

Meski terbilang karyawan kecil, namun Dina tetap bersyukur karena mendapatkan gaji yang cukup besar jika dibandingkan dengan perusahaan lain. Mau bagaimana lagi. Dengan ijazah yang hanya lulusan SMA, mencari pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih besar sepertinya dua hal yang mustahil ia dapatkan.

Alunan suara ponsel menyentakkan kesadaran Dina dari pikirannya. Dengan cepat ia merogoh benda kecil itu dari saku celemek yang tengah ia kenakan.

"Halo..., kenapa Yan?" tanya gadis itu kemudian ketika mendapati nomor adiknya Adrianlah yang tengah menghubunginya.

"Halo Kak, Kakak udah sarapan?"

"Udah, nih lagi sarapan," jawab Dina. "Kamu nggak sekolah?" tanya gadis itu lagi setelah sebelumnya melirik ke arah jam dinding.

"Nggk Kak, Ibu drop lagi. Nggak tega ninggalinnya. Takut kepikiran juga." Jelas Adrian lirih. Dalam hati remaja laki-laki itu takut kakaknya berpikir ia sering membolos sekolah tanpa sebab.

"Loh? Ibu kenapa lagi?" tanya Dina kemudian. Merasa kuatir dengan keadaan ibunya.

"Kemarin pingsan Kak, pas Adrian baru pulang sekolah. Sesaknya kambuh. Untung cepet tertolong."

"Obatnya Ibu gimana?"

"Habis, tapi kemarin udah dikasih sama Mas Rangga. Sekalian dikasih vitamin juga. Sekarang udah stabil tapi masih lemes," jelas Adrian lagi.

Dina menarik nafas lega, setidaknya kondisi ibunya sudah stabil. "Trus uangnya gimana? Uang yang kakak kirim pasti udah habis kan?" tanya gadis itu dengan nada lirih.

"Kata Mas Rangga pakek aja dulu, nanti kalau ada uang baru dibayar. Kakak nggak usah kuatir kata Mas Rangga."

"Bilang makasi sama Mas Rangga ya..., Akhir bulan ini kakak kirimin uangnya. Untuk sekarang kamu cukup-cukupin dulu ya," ujar Dina sambil memijit keningnya yang mulai terasa pening.

Rangga adalah seorang dokter muda di desa mereka. Tiga tahun lebih tua dari Dina namun mereka sudah menjadi teman bermain sejak kecil. Dina cukup peka dengan perasaan Rangga padanya. Namun gadis itu hanya menganggap Rangga sebagai kakak laki-laki yang tidak pernah ia miliki. Tempat Dina bersandar ketika gadis itu mulai merasa lelah untuk menahan beban hidupnya sendiri.

Namun begitu, Dina tidak pernah memberi harapan palsu kepada Rangga. Gadis itu jelas menarik garis pembatas dalam hubungan mereka. Dina sama sekali tak ingin Rangga berpikir jika ia memanfaatkan perasaan pria itu demi kepentingannya sendiri.

Setelah bercakap beberapa saat Dina langsung memutus sambungan telepon. Kemudian melipat tangannya di atas meja dan menelungkupkan kepalanya di sana. Gadis itu menghela nafas ketika merasakan tepukan pelan di punggungnya. Entah sejak kapan ruangan pantry sudah dipenuhi rekan kerjanya yang selesai bertugas. Mereka tampak menatap Dina dengan pandangan miris. Pandangan yang jujur membuat Dina kadang tidak nyaman dan merasa dirinya tak berguna.

"Kamu pakai uangku dulu ya. Aku ada simpanan kok," ujar Lia salah satu sahabat Dina.

Dina hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. Keadaan ekonomi mereka jelas tidak jauh berbeda. Bagaimana mungkin Dina tega meminjam uang sahabatnya itu. Mendengar niatnya saja sudah membuat Dina begitu bersyukur memiliki mereka sebagai sahabat. Itu saja sudah cukup.

"Tidak usah, dokter sudah memberi obat. Katanya boleh dibayar pas ada uang," ujar Dina menenangkan.

Dina kemudian merentangkan kedua tangannya ke atas. Melemaskan otot-otot tubuhnya yang pegal sebelum akhirnya berseru dengan lantang.

"Kerja! Kerja! Kerja! Semangat!!!"

Serunya kemudian yang dijawab dengan gelak tawa dan sahut-sahutan suportif dari rekan-rekan kerjanya. Inilah salah satu sebab Dina merasa betah bekerja di sini walaupun hanya sebagai karyawan kecil.

Lingkungan dan rekan kerja yang sealiran, tak ada yang saling menjatuhkan atau mencari muka. Mereka justru akan saling menghibur dan mendukung satu sama lain. Mungkin terdengar sederhana. Namun faktanya, menemukan tempat kerja yang nyaman, jauh lebih sulit daripada menemukan tempat kerja yang gajinya lebih besar.

_____

Tepat pukul empat sore Dina sudah kembali ke sarangnya. Sebuah kamar kost kecil yang untungnya masih memiliki fasilitas dapur dan kamar mandi di dalam. Tubuh Dina terkapar begitu saja di atas ranjang. Kaki dan tangannya terentang lebar seperti seekor bintang laut yang berjemur di atas batu.

Lelah, itulah yang gadis itu rasakan kini. Seluruh tulang dan sendi-sendi tubuhnya meneriakkan satu kata yang sama. Dan mereka benar-benar menuntut untuk segera diistirahatkan.

Menggapai-gapai permukaan kasur, Dina berusaha mencari ponselnya yang ia letakkan begitu saja. Dengan mata setengah terpejam gadis itu mengatur alarm di ponselnya. Pukul tujuh petang. Istirahat beberapa jam harusnya bisa menggembalikan tenaganya. Karena malam ini, pekerjaan keduanya telah menanti. Seperti biasa, mulai jam 8 hingga lewat tengah malam.

_____

Ardina kembali mengeratkan jaket yang iya kenakan. Bukan karena kedinginan, tetapi untuk menutupi pakaian yang tengah ia kenakan. Tidak terlalu seksi sebenarnya, apalagi jika dikenakan ke sebuah club malam. Namun untuk ukuran Dina yang sangat jarang mengenakan pakaian seksi, jelas outfitnya sekarang termasuk dalam katagori vulgar.

Dina menghela nafas menatap club malam yang berada di depannya. Hampir enam bulan ia mengais rejeki di tempat ini. Hasilnya lumayan, namun resikonya juga sepadan. Bagaimana pun profesi sebagai waitress di club malam sering dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan.

Belum lagi jika sedang sial, Dina sering kali mendapat tamu lelaki hidung belang. Dalam hati ingin menendang, namun apa daya, dia pelanggan. Jadi yang bisa gadis itu lakukan hanya tersenyum manja sambil berusaha menyingkirkan tangan-tangan nakal itu dari tubuhnya.

'White Pleasure' itulah nama club malam ini. Termasuk club exclusive yang hanya didatangi orang-orang kelas menengah ke atas karena harga minuman yang tersedia tergolong mahal juga keamanannya yang lumayan ketat. Dan Dina termasuk beruntung karena ia bertugas di lantai teratas. Private box yang biasanya hanya disewa oleh bos-bos besar ataupun kalangan elite.

"Sandara?" Dina langsung menoleh ke asal suara dan mendapati Jennie yang tengah berjalan menghampirinya. "Sedang apa?" tanya wanita itu kemudian.

Dina hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. Di club, mereka memang menggunakan nama alias. Satu hal yang Dina syukuri tentu saja. Hal terakhir yang ia inginkan adalah, orang yang ia kenal, terlebih teman di tempatnya bekerja mengetahui tentang pekerjaan sampingannya ini. Sandara adalah nama yang ia gunakan selama bekerja di club ini.

"Hanya menyiapkan mental," jawabnya kemudian ketika melihat Jennie masih menunggu jawabannya.

"Ada-ada aja...," ejek Jennie sambil menyikut pinggang Dina. "Yuk masuk. Entar telat lagi."

Mereka kemudian berjalan memasuki club melalui pintu kusus karyawan. Dalam hati Dina berharap. Semoga malam ini berjalan dengan baik. Sama seperti malam-malam biasanya. Ya, Semoga saja.

BAB [02]

Damian menghempaskan badannya dengan kasar di atas sofa ruang tengah. Di depannya duduk dengan kepala tertunduk seorang wanita dengan pakaian modis dan segala macam perhiasan yang menggantung di badannya. Semua yang melekat pada tubuh wanita itu jelas meneriakkan kata 'mahal' bagi siapapun yang melihatnya.

"Kata dokter masih ada kemungkinan untuk sembuh," ujar wanita itu takut-takut.

"Hanya 10% dan itupun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terapi," balas Damian dengan wajah datar. "Apa yang ada di pikiranmu sebenarnya?! Hamil dan keguguran saat usiamu hanya lima belas tahun. Kau bahkan tidak menjalani pengobatan intensif sehingga kista sialan itu berkembang dengan subur di dalam rahimmu!" lanjutnya lagi kali ini dengan nada yang meninggi.

"A... Aku," wanita itu tergagap. Tanpa tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu hanyalah, dulu dia masih benar-benar belia. Ketika mengetahui dirinya hamil saat usia sekolah, hal pertama yang ia lakukan hanyalah mengkonsumsi obat-obatan keras yang diberi pacarnya. Diam-diam menjalani aborsi dan merahasiakannya hingga kini.

"Sialnya lagi kau sama sekali tak ada niat untuk mengatakan semua ini padaku. Jika bukan karena aku yang memaksamu pergi periksa, aku tidak akan pernah tahu kenyataannya! Aku suamimu br*ngsek!" raung Damian sambil menggebrak meja, membuat wanita yang duduk di depannya tersentak kaget.

"Maaf," lirih wanita itu sambil menggigit bibirnya. "Tapi masih ada peluang. Damian..., kumohon. Aku akan mencoba segala cara. Aku akan mengikuti semua program yang diberikan dokter. Beri aku kesempatan. Kumohon," lanjut wanita itu lagi dengan pandangan mengiba.

"Kau mau aku menunggu berapa lama lagi? Kita sudah menikah selama lima tahun! Apakah menurutmu kesabaranku masih kurang!" bentak Damian sambil menghempaskan amplop cokelat berisi hasil surat-surat pemeriksaan istrinya.

Jika saja Renata tidak memilih merahasiakannya, Damian tentu tidak akan semarah ini. Damian bukanlah lelaki keji yang sanggup membuang seorang wanita hanya karena wanita itu tidak dapat mengandung anaknya.

Namun yang membuat ia kesal adalah, kenyataan sepenting ini sengaja Renata tutupi. Wanita itu jelas-jelas mengetahui kondisi tubuhnya sendiri namun memilih untuk diam. Karena wanita itu pula, Damian bahkan sempat meragukan vitalitas tubuhnya sendiri.

Ya, setelah lima tahun menikah tanpa hadirnya buah hati, membuat Damian pada akhirnya memutuskan untuk mengajak istrinya, Renata untuk memeriksakan diri. Mereka melakukan tes lab tiga hari yang lalu dan siang ini hasil yang ditunggu-tunggu akhirnya ke luar.

Berdasarkan data yang dibacakan oleh dokter, tubuh dan kesuburan Damian tak ada masalah. Semuanya sehat. Yang bermasalah justru Renata. Karena dalam rahim wanita itu ditemukan tanda-tanda bekas adanya kista. Kista yang menyebabkan wanita itu divonis tidak ada harapan untuk mengandung.

Dokter yang sudah berpengalaman jelas tahu asal-usul bagaimana kista itu bisa terbentuk. Tanpa basa-basi langsung bertanya jika wanita itu pernah mengalami keguguran atau aborsi sebelumnya.

Renata yang tak mampu lagi mengelak akhirnya mau tak mau harus mengakui keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang membuat Damian begitu geram dan ingin rasanya menceraikan Renata detik itu juga.

Jika saja tidak mengingat hubungan keluarga yang pasti akan terputus jika ia menceraikan Renata, lelaki itu tidak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.

Sejak awal juga tidak ada cinta dalam hubungan mereka. Mereka menikah karena perjodohan. Mereka yang sama-sama tidak memiliki kekasih menganggap tak ada salahnya untuk menjalani pernikahan ini, dengan harapan suatu saat mereka benar-benar bisa saling mencintai.

Selama pernikahan, Damian lebih banyak menghabiskan waktunya menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Sedangkan Renata, wanita itu dengan nyaman memanjakan dirinya sedemikian rupa. Pergi ke club malam, berbelanja barang-barang mewah, perawatan diri, dan lain sebagainya. Tidak ada yang merasa dirugikan. Semuanya berjalan begitu saja. Seperti seharusnya.

Mereka hanya menghabiskan waktu bersama sesekali, ketika malam tiba, sekedar memuaskan kebutuhan biologis yang memang harus disalurkan. Selebihnya tak ada apa-apa. Tak ada kata-kata manis, kencan romantis ataupun hal-hal kecil lainnya yang biasa dilakukan sepasang suami istri pada umumnya.

"Kau akan menjelaskan semua ini pada keluarga besar dengan mulutmu sendiri, atau aku yang harus mengatakannya?" Damian kembali memasang wajah datar. Tatapannya jelas tanpa ampun hingga membuat mata Renata bergetar ketakutan. Wanita itu hanya mampu meremas jemari tangan sambil menggigit bibirnya dengan gugup.

"Kumohon Damian, jangan lakukan ini. Aku, aku benar-benar tidak siap membongkar rahasia ini di hadapan mereka."

"Itu masalahmu! Kau sendiri yang memilih merahasiakan ini semua. Biar mereka tahu siapa sebenarnya yang bermasalah di antara kita!" Damian berdiri. Menarik dasinya dengan kasar sambil menatap Renata dengan tajam.

Jika saja Renata jujur sejak awal, mungkin belum terlambat untuk melakukan pengobatan. Dan mungkin saja saat ini mereka telah mendapat momongan. Tapi kenyataannya... Wanita itu memilih untuk diam. Jika mengambil tindakan sekarang, Damian sungguh tidak memiliki sisa tenaga ataupun waktu untuk melakukannya.

"Saat makan malam keluarga akhir bulan nanti. Siapkan dirimu untuk mengungkapkannya sendiri. Jika tidak...," Damian sengaja menggantung ucapannya, "aku sendiri yang akan mengatakannya pada semua orang." Lanjut pria itu lagi sambil beranjak meninggalkan Renata.

Pria itu menaiki anak tangga menuju kamar mereka, membukanya sebelum kembali menutup pintu kayu itu dengan suara debaman kencang.

Sepeninggal Damian, Renata menutup wajahnya dengan kedua tangan. Badan wanita itu gemetar hebat, tatapan matanya terlihat nanar dan seperti kehilangan fokus. Hingga akhirnya pandangannya jatuh pada amplop cokelat yang tergeletak di atas meja.

Diraihnya amplop itu dengan tangan gemetar. Sebelum akhirnya berteriak dengan gusar. Dilemparkannya amplop itu ke lantai lalu menginjaknya dengan brutal. Seperti wanita yang hilang akal, Renata terus berteriak sambil mencabik-cabik amplop cokelat tadi dengan tangannya. Membuat isinya berhamburan. Tak puas sampai disitu, dirobeknya kertas-kertas itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.

Bi Wati, asisten rumah tangga yang memang sudah bekerja untuk Damian bahkan sejak pria itu masih menginjak bangku sekolah dasar, hanya mampu menghela nafas sambil mengelus dada dengan ekspresi muram.

Bagaimanapun dalam hati wanita paruh baya itu, ia sudah menganggap Damian sebagai anak kandungnya sendiri. Sejak Damian menikah dengan Renata, sudah muncul rasa tak puas dalam hatinya. Damian pantas mendapatkan wanita yang lebih baik, batinnya. Namun apa daya, ia hanyalah seorang asisten rumah tangga. Tugasnya hanya bersih-bersih dan memenuhi kebutuhan sehari-hari Tuannya.

Jelas bukan hak atau tempatnya untuk menyampaikan puas atau tidaknya ia pada sang nyonya rumah. Namun dari apa yang didengarnya sesaat tadi, secercah harapan muncul di hatinya. Masih ada harapan bagi Tuan mudanya untuk menemukan cinta yang baru.

Para anggota keluarga besar jelas tidak mungkin tinggal diam jika mengetahui Renata yang tidak akan bisa memberikan Damian keturunan. Bagaimanapun juga keluarga mereka membutuhkan pewaris. Tak perduli mau sekejam apapun kedengarannya, Renata mau tak mau harus menyerahkan posisinya pada wanita lain. Wanita yang pastinya lebih mampu meneruskan keturunan keluarga Adinata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!