Dengan langkah tegap dan gagah, seorang pemuda berusia dua puluh tahun memasuki aula besar yang gemerlap. Mengenakan jubah merah yang elegan, jubahnya dihiasi dengan ukiran emas murni yang memancarkan keistimewaan. Di antara orang-orang yang berkumpul, pemuda itu berjalan dengan penuh keyakinan, membiarkan mereka membentuk barisan dan memberi jalan baginya.
"Kau sungguh hebat, Zin'er," ucap salah seorang dari mereka, suara penuh kebanggaan terdengar jelas. Pemuda itu adalah Riu Zin, seorang tuan muda dari keluarga besar yang terkenal di kotanya, keluarga Riu.
Sekte Rantai Api, dengan anggotanya yang mengenakan jubah merah dengan strip hitam, menyambut kedatangan Riu Zin dengan penuh kegembiraan. Namun, jubah Riu Zin yang dihiasi dengan ukiran emas menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang murid biasa, melainkan murid inti dari sekte tersebut.
Riu Zin tersenyum ramah kepada setiap orang yang menyambutnya, wajahnya memancarkan ketulusan dan kehangatan. Ia melangkah maju menuju tangga yang terdiri dari tiga tingkatan, di mana tiga orang berdiri dengan jubah yang hampir setengah tertutupi oleh emas murni. Mereka adalah para Tetua Inti sekte, pemimpin yang dihormati oleh seluruh anggota.
" Murid memberikan penghormatan kepada para Tetua," ucapnya dengan suara yang tegas namun penuh sopan. Ia melihat sekeliling, mengamati anggota murid sekte yang hadir, lalu melanjutkan, "Kemenangan ini adalah kebanggaan bagi kita semua!" Sorakan meriah pun memenuhi aula besar tersebut, menggema dari sudut ke sudut.
Riu Zin baru saja kembali ke kotanya,kota Bara Raya, setelah meraih kemenangan dalam turnamen tingkat Kekaisaran atas nama Sekte Rantai Api dan nama baik kotanya. Suasana kebahagiaan dan kebanggaan terasa begitu kuat, menciptakan momen yang tak terlupakan.
Keheningan turun ketika salah satu Tetua Inti, Lung Fili , berdiri di tengah dengan wajah tegas namun penuh kebanggaan. Suaranya mengisi ruangan saat ia mulai berbicara, "Kebanggaan bagi kita semua. Selama dua generasi sebelumnya, kita hanya mampu meraih posisi tiga besar." Kata-katanya menunjukkan ketegasan namun juga kebanggaan yang mendalam. Setelah menantikan selama 40 tahun, akhirnya Turnamen Tingkat Kekaisaran memberikan kemenangan yang dinanti-nantikan bagi Sekte Rantai Api.
Semua anggota yang sebelumnya bersorak kini terdiam, terpaku pada kata-kata Lung Fili. Suasana aula dipenuhi dengan antusiasme yang terhela, menciptakan momen yang sarat makna. Riu Zin, dengan penuh rasa hormat, menyatakan, "Berkat didikan dan kepercayaan kalian padaku, aku tidak akan pernah mencapai apa pun tanpa kalian."
Tetua Inti Lung Fili melangkah maju, mengumumkan dengan bangga, "Setelah ini, Kekaisaran akan memanggil Zin'er untuk menjadi murid inti di sana." Ungkapan bangga dan penghargaan dari Lung Fili menandai prestasi gemilang yang diraih oleh Riu Zin.
Suasana aula terasa sarat makna dan keheningan yang menggugah hati, di mana setiap kata yang diucapkan memiliki bobot yang mendalam.
Dengan mata yang terbuka lebar, Riu Zin terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba, seakan-akan terkejut oleh sesuatu yang tak terlihat. Mimpi yang membangunkannya membawa kembali kenangan akan momen epik di aula besar, memicu rasa keterkejutan dan kebingungan dalam dirinya.
"Seharusnya aku sudah berada di Kekaisaran sekarang," gumamnya pelan, mencoba mencerna keanehan situasi yang mengelilinginya. Namun, kenyataannya, Riu Zin kini terbangun di tengah hutan yang gelap gulita, di mana pepohonan rimbun dan rerumputan liar tumbuh subur, hanya diterangi oleh bara api yang redup, menciptakan suasana misterius dan menyeramkan di sekelilingnya.
Sudah lima hari berlalu sejak dia kembali ke kota untuk merayakan kemenangannya, namun sekarang, dia terdampar di tempat yang tak dikenal baginya, jauh dari keramaian dan kegembiraan yang biasa ia rasakan. Riu Zin merasa kebingungan dan keheranan, mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya.
"Kemana dia pergi?" gumamnya, suara ragu terdengar dalam keheningan hutan yang menyeramkan. Dari perkataannya, terlihat bahwa Riu Zin tidak sendirian, dan keberadaan seseorang yang misterius menjadi pertanyaan besar baginya.
Dengan langkah mantap, Riu Zin bangkit berdiri, menatap langit malam yang tertutup awan gelap, tanpa satupun bintang yang bersinar, bahkan bulan pun tak terlihat. Suara serak memanggilnya, memecah keheningan malam, meminta Riu Zin untuk melanjutkan perjalanan.
"Ayo kita lanjut jalan," seruan itu terdengar, membuat Riu Zin segera menoleh ke arah sumber suara yang juga orang yang semenit lalu dicarinya. "Woi Kamal,kupikir kau pergi," balas Riu Zin dengan senyum miring, meskipun merasa sedikit curiga terhadap keberadaan orang tersebut.
Orang yang tampak seumuran dengannya, seorang pria berjubah hitam, berdiri di antara pepohonan hutan, sebagian tubuhnya masih terselimuti oleh kegelapan hutan yang misterius.
Namun, ketika Riu Zin menerangi dengan bola api, seluruh tubuh orang itu terlihat jelas: kulitnya putih pucat, mata merah, rambut panjang, dan ekspresi wajahnya tetap tenang dengan tatapan kosong yang membingungkan.
Riu Zin bergumam dalam hati, mencoba memahami tujuan sebenarnya dari keberadaan orang itu. "Aku mencoba mempercayainya karena dia ingin memenuhi keinginanku," pikirnya sambil memerhatikan dengan seksama, merasa sedikit khawatir akan kemungkinan tertipu. Seketika itu juga, rangkaian kejadian di depannya menghilang dalam sekejap mata, meninggalkan kebingungan dan kecurigaan di dalam hati Riu Zin.
Di tengah hutan yang gelap dan misterius, di mana bayangan dan cahaya bergabung dalam tarian yang tak terduga, Riu Zin harus menghadapi tantangan baru yang membawanya ke dalam petualangan yang penuh misteri dan ketidakpastian.
"Jadi kau tidak mempercayaiku ya?" kata orang itu dengan suara serak, muncul di belakang Riu Zin seolah mengetahui pikiran pemuda itu. "Habisnya sudah seminggu minggu kita tidak mendapatkan hasil, jadi wajar saja jika aku mencurigai mu," jawab Riu Zin dengan jujur, tanpa cela dalam kejujurannya. Matanya menatap mata merah orang itu dengan tegas, tanpa sedikitpun keraguan dalam sikapnya.
" Hahaha"
Di dalam hutan yang gelap dan misterius, suara langkah kaki mereka terdengar samar-samar di antara gemuruh daun kering yang gugur. Orang itu tertawa kecil dengan suara serak yang menggema di antara pepohonan yang menjulang tinggi, sementara wajahnya yang kosong menciptakan aura misterius yang menggoda. Dengan langkah mantap, dia berbalik dan mulai berjalan menjauh, membiarkan bayangan hitamnya terlihat di bawah cahaya redup yang menyinari hutan.
Riu Zin, dengan ekspresi ragu yang terpancar jelas dari wajahnya, memperhatikan setiap gerakan orang itu dengan cermat. Meskipun ada keraguan yang menghantuinya, keingintahuannya yang kuat mendorongnya untuk terus mengikuti sosok misterius itu. Dengan langkah hati-hati, dia mengikuti dari belakang, mencoba memahami motif dan tujuan di balik tindakan orang itu, sambil merasakan getaran misterius yang menyelimuti udara di sekitarnya.
Sehari setelah kemenangannya,inilah kisah awal bermula ..............
Sinar matahari pagi menyinari langkah Riu Zin di jalanan sunyi. Sebuah suara misterius memanggilnya. "Siapa di sana?" teriaknya, melepaskan aura merah menyala yang menyelimuti area sekitar, mencari jejak musuh yang tersembunyi.
Sebuah suara, lirih seperti desiran angin, membelah kesunyian. "Riu Zin..." suara itu memanggil, penuh misteri dan ancaman terselubung. Bukan suara manusia biasa.
"Siapa di sana?!" Riu Zin berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Aura merah di sekelilingnya berkobar lebih terang, membentuk lingkaran api kecil yang menghanguskan dedaunan kering di sekitarnya. Ia mencari, matanya tajam seperti elang, mengamati setiap gerakan, setiap bayangan di balik pepohonan lebat.
Sebuah gerakan samar, seperti bayangan yang melintas cepat, tertangkap oleh indranya yang tajam. Tanpa ragu, Riu Zin melangkah masuk ke dalam hutan.
Tiba-tiba, serangan cepat dan mematikan datang. Lawannya, sosok pucat dengan mata merah menyala, mengeluarkan pujian sinis atas kecepatan Riu Zin. Pertarungan pun dimulai.
"Tidak buruk, kecepatan mu... untuk seorang manusia," suara lawannya terdengar parau, seperti batu yang digosokkan. Suaranya dingin, tanpa emosi, seperti suara kematian itu sendiri.
Aura tajam dan dingin yang dipancarkan lawan terasa menusuk, bahkan dari jarak seratus meter, membuat bulu kuduk Riu Zin merinding. Ia menduga lawannya adalah iblis, makhluk yang selama ini hanya ia dengar dalam legenda.Ini pertama kalinya dia bertemu Iblis. Ketakutan menusuk, namun amarah menguasai dirinya.
"Mati kau, iblis sialan!" Riu Zin menyerang dengan sekuat tenaga, tebasan pedangnya menciptakan aura merah membara yang meluas hingga ratusan meter. Lawannya terlalu lincah, menghindari serangan mematikan itu dengan gerakan yang begitu cepat dan tepat,seakan serangan itu hanyalah permainan anak-anak.
Kecepatan lawan bahkan melebihi apa yang pernah ia lihat sebelumnya; serangan mendadak seperti itu bahkan bisa membunuh para tetua sekte ( tapi orang itu bisa menghindar dengan gampang ).
Pedang Riu Zin, walau bukan pedang sakti, menjadi senjata maut di tangannya yang terlatih, mampu menumbangkan puluhan bahkan ratusan lawan dalam sekejap. Kekuatannya bukan hanya dari senjata, tapi dari energi dalam dirinya yang terlatih dengan sempurna.
Lawan menghilang dari Lane dalam sekejap. Riu Zin menemukan gumpalan aura hitam pekat di tengah hutan. Dengan setengah kekuatan penuh, ia melepaskan serangan dahsyat untuk mengguncang gumpalan aura hitam itu.
Aura merah di sekelilingnya berkobar menjadi lautan api, dan ia melepaskan serangan dahsyat "Boom!" Ledakan dahsyat mengguncang hutan, menghancurkan area seluas ratusan meter, menciptakan kawah besar yang berasap.
Lawannya muncul kembali, sebuah gumpalan aura hitam kecil, secepat kilat, menghantam perut Riu Zin. Ia jatuh berlutut, merasakan aura hitam itu menghambat aliran energinya, rasa sakit yang menusuk tulang. Namun, tekadnya tak padam.
Dengan susah payah, ia bangkit, pedangnya menyala. "Ku bunuh kau!" Ia menyerang lagi, tebasannya kali ini terasa lebih lambat, tenaganya terkuras. Lawan dengan mudah mengelak, suara seraknya mengejek, "Manusia itu lemah."
Riu Zin menyadari, lawannya bukan manusia biasa. "Kau iblis!" Ia menyerang lagi, aura api membara membalut pedangnya, siap menghadapi pertarungan yang semakin sengit dan berbahaya.
••••••••••••••••••••••••••••
Catatan : Di Dunia Kultivator,Kultivasi terdapat tiga ranah yang meliputi; Ranah Penguasaan Mendasar,Ranah Penyempurnaan, dan Ranah Dominasi Ilahi. Setiap Ranah ini terdiri dari beberapa tingkatan yang harus dilewati para praktisi Kultivasi.
Riu Zin berhenti di atas,matanya mencari keberadaan orang misterius yang ternyata adalah Iblis. Dengan sikap tegak dan penuh keberanian,Riu Zin siap menghadapi ancaman yang mungkin datang siap bertarung melawan kegelapan yang mengintai.
Sesekali, tangan kiri Riu Zin yang tidak memegang pedang meraba perutnya yang masih terasa sakit akibat serangan sebelumnya. Untungnya, pusat aliran fokus qi-nya tidak diserang, membuatnya bertanya-tanya apakah iblis itu sengaja membiarkannya? Pemikiran itu mengalir di benak Riu Zin, mencoba memahami motif di balik tindakan iblis tersebut.
"Kemampuanmu yang terbaik di seluruh wilayah di kekaisaran Persatuan Sakti, sepertinya aku menemukan orang yang tepat," ujar iblis dengan suara yang menyeramkan namun terdengar jelas dari jarak yang cukup jauh di antara mereka.
Riu Zin berdiri di atas, hampir mencapai langit, sementara orang misterius berada di bawahnya.Iblis itu melakukan kontak batin, menciptakan hubungan yang gelap dan misterius di antara keduanya.
"Orang yang tepat," gumam Riu Zin dalam hati, matanya serius terkunci pada iblis di bawahnya. Dengan tegas dan penuh keberanian, ia langsung menanyakan dengan suara yang menggema, "Apa maksudmu? Orang yang tepat. Orang yang tepat untukmu mati ya? Hahaha"
Tetapi iblis hanya bergerak cepat tanpa memberikan jawaban, menghilang dari pandangan Riu Zin dengan kecepatan yang menakjubkan, dan tiba-tiba muncul di belakangnya.
Dalam sekejap, iblis menyerang dengan satu pukulan ke arah bahu, menghantam Riu Zin yang lengah, membuatnya terjatuh dengan kecepatan yang sama seperti sambaran petir yang menusuk tanah. Pukulan iblis begitu kuat sehingga terdengar suara patah tulang yang jelas saat Riu Zin terhempas dengan keras, menghantam tanah dengan kekuatan yang mengguncang.
"Bruk."
Bunyi patah tulang itu bergema di udara saat tubuh Riu Zin terjatuh dengan keras, dorongan energi yang kuat membuatnya terdorong dan terhempas ke tanah dengan kekuatan yang tak terbayangkan.
Terus terbawa oleh kekuatan benturan, ia meluncur melalui pepohonan dan bebatuan besar, terjatuh dengan kecepatan yang mengerikan hingga akhirnya terhenti tiga kilometer dari titik awal kejadian, terluka dan terpukul berat oleh serangan iblis yang mematikan.
Melihat ke bawah dengan tatapan kosong ke arah Riu Zin yang terjatuh di antara bongkahan batu yang menutupinya, iblis menatap dengan ekspresi misterius yang penuh teka-teki. Namun, setelah sekejap keheningan, wajahnya berubah kembali menjadi senyum licik yang mengisyaratkan rencana jahatnya. Aura iblis yang kuat mengambang di atas, menyebabkan beberapa burung yang terbang melintasinya dengan jarak puluhan meter langsung terjatuh, terpengaruh oleh tekanan aura yang mematikan.
Bongkahan batu yang menumpuk tinggi mulai bergetar, seakan didorong dari bawah, dan tanpa ampun semua batuan itu hancur menjadi debu. Riu Zin keluar dari bongkahan batu, memandang ke arah iblis yang masih berdiri di atas. Napasnya terengah-engah, badannya terluka, dengan tangan kanannya yang bengkok, menandakan patah tulang juga dengan dua tulang rusuknya. Riu Zin berdiri dengan tubuh yang membungkuk, tidak mampu berdiri tegak karena cedera yang dideritanya.
"Seperti yang sering dibicarakan para Tetua bahkan paman sering memperingati itu. Ternyata benar Iblis memiliki kekuatan yang sangat berbahaya.Tekanan energi yang begitu kuat sampai aku terpental sejauh ini," ucap Riu Zin dengan suara penuh kecemasan.
Bayangan tentang dirinya melintas di benaknya, mengingat dirinya selama ini hidup, "Zin'er, tidak pernah kalah," "Turnamen ini sangat mudah baginya," "Tidak ada yang bisa menyainginya," terdengar suara pujian bergema di benaknya, mengingat banyak pujian yang pernah dia terima dari orang-orang.
Riu Zin melihat ke atas dengan tatapan kosong, namun terlihat kelengahan dalam raut wajahnya. "Inilah yang aku cari," gumamnya. Kecemasan itu tidak bertahan lama. Wajahnya berubah menjadi senyum, rasa takutnya menghilang, digantikan oleh semangat yang membara. Dengan aura api memancar dari tangan kirinya, dia memegang tangan yang patah.
Krak!
Suara gesekan tulang terdengar, tangan kanannya yang patah kembali tersambung dengan kedua tulang rusuknya dengan teknik penyembuhannya. Senyum lebar terpancar jelas di wajah Riu Zin saat melihat iblis tanpa rasa takut.
Dengan suara tegas, dia berbicara, "Akhirnya, seumur hidupku, baru kali ini ada lawan yang bisa membuat diriku terbakar. Ini pertama kalinya aku ingin mengamuk besar,kemarahanku tidak bisa terbendung lagi. Bersiaplah, iblis." Suaranya menggema di udara, menandakan bahwa pertarungan baru saja dimulai.
Pancaran aura yang kuat dari Riu Zin meluap dari seluruh tubuhnya, seperti tekanan angin yang dahsyat. Setiap objek di sekitarnya harus terhempas oleh dorongan yang kuat yang keluar dari dirinya. Tanah yang dipijak Riu Zin mulai retak, tidak mampu menahan energi besar yang dilepaskan.
Bahkan batu-batu besar seukuran dua kaki manusia ikut terhempas, ada yang hancur menjadi pecahan kecil. Api yang membara seakan membakar wilayah seluas delapan ratus meter, bahkan awan di langit terasa terhempas oleh kekuatan yang dipancarkan.
Dampak guncangan yang begitu besar seharusnya menjadi perhatian warga kota, mungkin memancing reaksi mereka untuk mendekat dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di sana.
Dengan sinis, iblis bahkan tidak tergoyahkan oleh amarah yang dipancarkan oleh Riu Zin. "Manusia memang selalu percaya diri, bahkan di depan kematian sekalipun," ucapnya dengan suara pelan yang meremehkan Riu Zin. Ungkapan itu membuktikan kekuatan misterius iblis tersebut, mengungkapkan betapa kuatnya ia sebenarnya.
Bola api melesat dengan cepat, dalam sekejap waktu, dalam jarak tiga kilo dari Riu Zin. Sebuah gumpalan aura api besar tampaknya hendak menabraknya, suhu mulai terasa panas, namun iblis itu diam di tempat, tanpa upaya untuk menghindar, hanya menunggu bola api itu benar-benar menghantamnya. Kecepatan aura bola api terlihat bergerak lambat di hadapan iblis itu, menciptakan ketegangan yang memuncak.
Deng!
Bunyi tebasan pedang dari tangan Riu Zin menghantam dengan presisi leher iblis. Guncangan yang kuat dari tebasan pedangnya bahkan dorongan energi bisa dirasakan sampai ke bawah, membelah beberapa tanah sepanjang tiga ratus meter di bawah. "Terimalah kematianmu," ucap Riu Zin dengan tegas, keputusannya jelas dan tanpa ragu.
Namun, iblis tetap tak bergerak, tak bergeming, tak membalas serangan. "Pandanganmu terlalu terfokus ke depan," kata Riu Zin sambil menekan pedang yang tertancap di leher iblis.
Meskipun kesulitan untuk membelah leher, gumpalan aura api besar siap membakar iblis itu dari depan. Suasana tegang dan penuh dengan ketegangan hidup dan mati terasa begitu nyata di antara keduanya, menandai awal dari pertarungan yang menentukan nasib keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!