Jennifer Ekavira
Jenny berdiri di depan sebuah bangunan empat lantai yang entah apa sebutan yang tepat untuk bangunan itu, tetapi Jenny lebih suka menyebutnya Rumah laknat. Dia sebut rumah karena sekarang dia tinggal di sana, laknat karena dalamnya terasa seperti neraka.
Lantai satu adalah sebuah klub malam yang hanya buka di malam hari, lantai dua adalah sebuah rumah, tempat tinggal seseorang yang sangat dia benci tetapi tidak bisa dia hindari. Dan lantai tiga adalah tempat tinggal gadis-gadis yang bernasib sama seperti dirinya. Sementara itu basemen adalah tempat paling mengerikan yang pernah Jenny ketahui di muka bumi ini.
Meskipun klub tutup, tempat itu tetap dijaga oleh bodyguard. Para bodyguard sudah mengenal Jenny dan membiarkannya masuk. "Dimana bunda?" tanya Jenny.
"Di lantai dua, sepertinya sedang olahraga. Dia sangat murka karena kami tidak bisa menemukanmu!"
Jenny tidak bereaksi apa-apa dan langsung masuk dan menuju lantai dua dimana orang yang dia sebut bunda berada. Tiba di lantai dua, Jenny melihat sosok tante-tante sedang berjalan di atas treadmill. Sepertinya perempuan itu merasakan kehadiran Jenny, lalu dia pun menoleh.
"Jennifer Sayang, bunda senang melihatmu kembali," Tante-tante bernama Sumirah, atau Ira, atau yang lebih senang dipanggil bunda itu merentangkan tangannya menyambut kedatangan Jenny. Laki-laki hidung belang kelas atas pasti mengenal sosok Ira ini.
Riasan menor tetap menghiasi wajahnya meskipun sedang berolahraga. Tidak dapat dipungkiri jika perempuan itu aslinya memang berwajah cantik meskipun sudah muncul kerutan di sudut mata dan bibirnya. "Kemarilah," tersenyum hangat sambil merentangkan tangannya seperti meminta Jenny untuk memeluknya.
Jenny pun mendekat dan memeluk perempuan itu. Setelah beberapa saat perempuan itu melepaskan pelukannya dan yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak oleh Jenny. Ira menampar pipi Jenny dengan sangat keras. "Itu hukuman karena kamu telah kabur dari klien kita!" ucap Ira dengan wajah yang sangat kontras dengan yang terlihat sebelumnya.
"Tapi dia membawa tiga orang temannya. Aku tidak mau meladeni empat pria sekaligus. Itu tidak ada dalam perjanjian!"
"Jangan banyak alasan, pelanggan adalah dewa! Apa yang mereka inginkan kamu harus menurutinya! Apalagi kalau mereka membayarmu dengan mahal!"
"Aku memang pelacur tetapi aku bukan binatang!" teriak Jenny. Tidak sekali dua kali dia diperlakukan dengan buruk oleh pelanggan yang Ira berikan kepadanya, bahkan sebelumnya Jenny ditinggalkan di dalam kamar hotel yang pintunya terbuka dalam keadaan telanjang dan tidak sadar.
Tiba-tiba saja Ira menarik rambut Jenny dan menjambaknya hingga dia meringis kesakitan. "Selama kamu belum bisa melunasi hutang papamu, maka sebaiknya kamu diam dan turuti semua perintahku!" ucap Ira kemudian mendorong tubuh Jenny hingga gadis itu tersungkur.
"Untuk kali ini bunda memaafkanmu. Nanti malam aku tunggu di bawah, kali ini klien kita sangat istimewa. Jangan sampai kamu mengecewakannya. Sekarang istirahatlah!" Ira melenggang dengan santainya meninggalkan Jenny yang mematung tidak berdaya. Membalas perlakuan Ira kepadanya sama saja mencari mati, dan untuk saat ini Jenny belum ingin mati meskipun hidupnya seperti di neraka.
Malam harinya,
Setelah memoleskan sedikit make up di wajahnya, Jenny turun ke lantai satu, seperti yang Ira katakan pagi tadi. Jika ada pelanggan atau Ira sering menyebutnya sebagai klien dan dia sampai mempertemukannya sendiri dengan Jenny, itu berarti klien ini memang istimewa.
"Sini Jennifer Sayang, temui klienmu malam ini," sambut Ira melihat Jenny telah turun dari kamarnya di lantai tiga. Nada bicara yang hangat dan senyum yang selalu menghiasi wajah seakan menggambarkan jika perempuan itu adalah malaikat tak bersayap.
Dengan terpaksa Jenny mendekat. Meski tidak ada senyum di wajah Jenny bukan berarti dia tidak terlihat cantik. Jenny selalu terlihat cantik bagaimanapun keadaannya.
Jennifer Ekavira, gadis berusia dua puluh tahun yang terpaksa menjadi seorang pelacur untuk melunasi hutang papanya yang gila judi. Papanya telah membuat perusahaan keluarga mereka bangkrut dan meninggalkan Jenny dengan sejumlah hutang yang harus dia lunasi.
Berasal dari keluarga yang serba kecukupan Jenny tidak menyangka jika hidupnya akan berubah sedramatis ini. Menjadi seorang pelacur? Itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya, tetapi nyatanya dia di sini sedang menemui pria hidung belang yang hendak menikmati tubuhnya.
Untuk saat ini Jenny adalah anak kesayangan Ira. Dia hanya memberikan Jenny kepada klien-klien ekslusif dan mau membayar mahal dan hanya melayani satu klien setiap malamnya.
"Ini dia, gadis yang Tuan muda Mahendra minta," ucap Ira menarik Jenny agar mendekat kepada laki-laki yang sedang duduk berhadapan dengannya.
Jenny melihat ke arah laki-laki yang sedang diajak bicara oleh Ira. Laki-laki itu tersenyum namun tiba-tiba saja rasa sesak memenuhi rongga dada Jenny. Marlo Mahendra?!
Dua bulan sebelumnya, setelah mengetahui kalau perusahaan papanya bangkrut, Jenny mendatangi laki-laki yang dulu pernah dia tolak cintanya itu. Jenny memohon kepada Marlo untuk menyelamatkan perusahaan papanya. Akhirnya Marlo menyetujuinya, dengan syarat Jenny mau tidur dengannya. Jenny pun menuruti permintaan laki-laki itu. Tetapi Marlo tidak menepati janjinya. Dia meninggalkan Jenny setelah berhasil menikmati tubuhnya.
"Silahkan nikmati malammu, Tuan Marlo." Ira tersenyum genit kepada Marlo, "Berikan servis yang terbaik, Jen!" bisiknya kepada Jenny kemudian pergi.
...* * * * *...
Marlo duduk menyilangkan kakinya di sofa sebuah kamar di hotel Dahlia, hotel paling luxurious di kota itu. Sementara Jenny berdiri di depannya dengan menunjukkan wajah datarnya padahal hatinya memendam rasa antara kecewa, marah, dendam dan benci sebenci-bencinya yang membuatnya sangat ingin menangis tapi hanya bisa dia tahan. Marlo Mahendra adalah harapan terakhirnya ketika papanya tiba-tiba menghilang dan meninggalkan sejumlah hutang.
Jenny membuang harga dirinya, memohon-mohon bahkan sampai bersimpuh dihadapan Marlo seperti yang laki-laki itu minta agar dia mau membantunya. Jenny rela memberikan apapun yang Marlo inginkan sebagai imbalannya, termasuk kesuciannya. Tetapi setelah puas menikmati tubuhnya pria itu pergi begitu saja.
Seandainya dulu Marlo menepati janjinya, tentu Jenny tidak akan menjadi seorang pelacur seperti sekarang ini.
"Puaskan aku! Lepaskan bajumu dan menarilah di depanku!" titahnya.
Jenny tidak bergerak. Betapa saat ini hatinya merasa tercabik-cabik oleh laki-laki yang duduk di hadapannya itu. Bagi Jenny, Marlo lebih ingin menghinanya ketimbang menikmati tubuhnya.
"Cepatlah Jen, aku sudah membayar tiga kali lipat kepada germo itu dan aku tidak ingin mendapatkan servis yang biasa saja!" ucap Marlo mulai jengah.
Menahan rasa malu dan sakit hati, Jenny pun menanggalkan satu persatu pakaiannya lalu perlahan meliuk-liukkan tubuhnya. Marlo tersenyum penuh kemenangan melihat Jenny melakukan apa yang dia perintahkan.
Menahan rasa malu dan sakit hati, Jenny pun menanggalkan satu persatu pakaiannya lalu perlahan meliuk-liukkan tubuhnya. Tak lama Marlo mendekat lalu mulai menikmati setiap inchi tubuh Jenny.
"Seandainya dulu kamu tidak terlalu sombong pasti nasibmu tidak akan seperti ini!" bisik Marlo. "Sekarang apa yang akan kamu sombongkan? Semua laki-laki bisa menikmati tubuhmu hanya dengan sedikit recehan!" Tersenyum puas berhasil menghina Jenny. Marlo berasal dari keluarga kaya raya. Membooking Jenny dengan tarif puluhan hingga ratusan juta permalam hanya dianggap recehan baginya.
"Setidaknya dengan menjadi jalang seperti ini aku bisa merasakan nikmatnya kejantanan pria yang sesungguhnya! Kamu tahu maksudku kan?" tersenyum mengejek, membalas hinaan Marlo. Apapun yang terjadi Jenny tidak akan menunjukkan wajah lemahnya di depan orang-orang yang ingin menyakitinya.
"Kamu masih sama seperti dulu, angkuh dan sombong!" Dengan kasar Marlo menarik Jenny lalu menghempaskan tubuhnya di kasur.
Dua jam kemudian...
Marlo keluar dari kamar mandi setelah membersihkan tubuhnya sementara Jenny masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya. Terdapat beberapa memar di wajahnya karena ulah Marlo.
Selesai berpakaian Marlo mendekati tempat tidur lalu memandang Jenny dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Memohonlah padaku maka akan aku bebaskan kamu dari cengkeraman germo itu!" ucap Marlo angkuh.
Jenny berdecih. "Aku sudah pernah melakukannya tetapi aku tidak mendapatkan apa-apa! Aku lebih memilih menjual diri daripada mengemis kepadamu lagi!"
"Kamu benar-benar tidak berubah!" ucap Marlo kembali gusar. "Sebenarnya aku sudah membayar harga yang cukup mahal kepada perempuan itu, tetapi ini ..." Marlo mengambil sejumlah uang dari dompetnya lalu melemparkannya ke tubuh Jenny. "Ambil itu! Aku tahu kamu butuh uang!" ucap Marlo kemudian pergi, padahal kalau dia mau dia masih bisa menghabiskan waktu bersama Jenny sampai besok pagi.
Jenny menatap nanar uang-uang yang berhamburan di depan matanya disertai sesak dan gemuruh di dalam dadanya. Dulu uang tidak ada artinya baginya, tetapi sekarang dia harus membuang harga dirinya untuk mendapatkannya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Jenny. "Tidak! Aku tidak akan menangis!" ucapnya bangkit dari tempat tidur lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Bersamaan dengan air yang mulai mengalir dari pancuran, air mata Jenny pun menetes. Ini terlalu menyakitkan tidak peduli seberapa kuat dia menahannya. Jennifer terisak di bawah guyuran shower sambil memukul-mukul dadanya, mengusir rasa sesak yang akhir-akhir ini semakin sering dia rasakan.
Pagi harinya,
"Bagaimana malammu Sayang?" sambut Ira melihat Jenny kembali. Seperti biasa, senyum lebar dan hangat selalu tersungging di bibirnya. "Wajahmu?!" terkejut melihat kondisi wajah Jenny.
"Ini yang bunda maksud klien istimewa?"
"Dia sebrutal itu?!" Balas Ira tidak percaya. "Mau bagaimana lagi, dia berani membayar lebih dari yang lainnya. Ya, kamu harus terima," ucap Ira dengan wajah tak berdosa.
"Ben, ambilkan salep untuk menghilangkan memar!" teriak Ira kepada salah seorang bodyguardnya. Tidak sampai lima menit bodyguard yang namanya dipanggil datang membawa salep yang Ira maksud. "Oleskan salep ini di memar itu. Nanti malam kamu harus sudah sembuh karena klien istimewa sudah menantimu!"
Tidak ada pilihan. Jenny mengambil salep yang diberikan oleh Ira lalu membawanya ke kamarnya.
...* * *...
Jenny terbangun dengan kepala yang terasa berat. Dia melihat tubuh polosnya terekspose sempurna tanpa ada selimut yang menutupinya. Malam tadi kliennya mencekokinya alkohol hingga dia tidak sadar dan paginya klien itu meninggalkannya dalam keadaan telanjang dengan pintu kamar yang seperti sengaja dibuka dengan lebar.
"Sialan!!!" umpat Jenny meraih selimut untuk menutupi tubuhnya lalu berjalan untuk menutup pintu setelah itu dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Keluar dari kamar mandi, Jenny terkejut melihat seorang pria berseragam petugas hotel berada di dalam kamar.
"Hei!!! Siapa yang menyuruhmu masuk?!!" hardik Jenny. Pria muda itu tampak gugup.
"Maaf, saya hanya ditugaskan untuk membersihkan kamar ini. Saya pikir sudah tidak ada orang karena pintunya tidak terkunci," ucap pria itu gemetar dan terus menundukkan kepalanya.
"Cepat keluar!!!" usir Jenny kasar.
Dulu Jenny adalah seorang nona muda yang sangat dihormati dan disegani. Terlahir di dalam keluarga yang kaya raya membuat Jenny menjadi pribadi yang acuh dan seenaknya, bahkan Jenny juga kerap disebut gadis sombong. Meskipun begitu, sosok Jenny tetap disukai entah karena kecantikan yang dia miliki atau karena kekayaan yang keluarganya miliki.
Banyak laki-laki yang diam-diam menaruh hati kepadanya, tidak berani mengungkapkannya. Sebagian sudah minder terlebih dahulu mengetahui latar belakang Jenny, dan sebagian lagi karena takut dengan Marlo Mahendra. Ya, laki-laki itu sudah menandai Jenny sebagai miliknya dan akan menghabisi siapa saja yang mendekati Jenny.
Banyak yang menganggap jika Marlo dan Jenny akan menjadi pasangan yang sangat sempurna karena latar belakang keduanya yang sama-sama dari keluarga kaya raya, dan penampilan keduanya yang juga sama-sama rupawan. Tetapi sayang, Jenny terang-terangan menolak Marlo sehingga membuat laki-laki itu merasa terhina. Alasannya? Karena Marlo doyan gonta-ganti perempuan.
Lalu tiba-tiba perusahaan orang tua Jenny bangkrut, semua orang meninggalkannya. Orang-orang yang tadinya mengaku sebagai sahabat Jenny pun menjauh seperti tidak ada yang mengenalnya. Jenny sempat berpikir apakah ini karena sikapnya yang suka kasar dan seenaknya. Karena itukah tidak ada orang yang mau menolongnya?
Seperti sebuah karma, Marlo lah satu-satunya orang yang bisa menolongnya. Jenny menemui Marlo untuk meminta tolong kepadanya dan hasilnya, sekarang Jenny duduk di kasur hotel ini.
"Brengsek kau, Marlo!" umpat Jenny. Selalu saja dia merasa geram jika teringat Marlo Mahendra. Seandainya laki-laki itu tidak menghilang dan memenuhi janjinya, tentu perusahaan papanya bisa diselamatkan dan dia bisa melunasi hutang-hutang papanya tanpa harus menjadi seorang pelacur seperti sekarang ini.
Dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing, Jenny kembali mengenakan pakaiannya. Dia harus segera kembali ke rumah laknat sebelum Ira mengirimkan video yang sangat ditakutinya.
Perempuan iblis itu selalu mengancam Jenny dengan sebuah video jika Jenny hendak kabur darinya. Video yang selalu berhasil membuat Jenny gemetar dan berlari kembali ke rumah laknat tanpa diminta.
Selesai berpakaian, Jenny bergegas meninggalkan hotel, rutinitas Jenny setiap pagi, keluar dari hotel satu ke hotel yang lainnya.
Sampai di depan rumah laknat Jenny berhenti. Selalu saja ada perasaan was-was yang dia rasakan setiap akan memasuki tempat ini, entah apa yang akan dia temui di dalam nanti.
"Bunda sedang pergi, Jen. Kamu aman untuk hari ini!" ucap bodyguard depan pintu.
Satya Abimana
Seorang laki-laki muda, bernama Satya baru pulang bekerja. Dia meninggalkan hotel Dahlia, tempatnya bekerja lalu berjalan kaki menuju tempat kosnya.
Ditengah gang sepi, Satya dikejutkan oleh kedatangan seorang perempuan yang berjalan sempoyongan lalu menabraknya. "Tolong aku, biarkan aku ikut bersamamu," ucap perempuan setengah sadar.
"Ka .. Kamu siapa?" tanya Satya gelagapan.
"Tolong aku," ulang perempuan itu sebelum kemudian pingsan dan tubuhnya ditangkap oleh Satya.
Satya celingukan, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang mungkin bisa membantunya tetapi tidak ada seorangpun di sana. Tempat ini cukup terisolir karena diapit oleh bangunan-bangunan raksasa khas kota-kota besar.
Sebelum merantau ke kota, ibunya berkali-kali memperingatkan agar Satya tidak mudah percaya dengan orang asing apalagi lawan jenis. Salah-salah mereka hanya memasang perangkap untuk menjebak mangsanya. Satya pun berpikir apakah mungkin perempuan di depannya itu sedang berpura-pura dan ingin menjebaknya? Tapi apa yang mau dijebak? Dia hanya pemuda dari desa yang tidak punya apa-apa.
"Mbak ... Mbak ... Bangun!" ucap Satya sambil menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu tetapi tidak ada jawaban. Sesaat Satya berpikir untuk meninggalkan perempuan itu di sana, toh perempuan itu bukan tanggung jawabnya. Tetapi nuraninya mencegahnya. Bagaimana kalau ada orang jahat yang menemukannya dan berbuat yang tidak-tidak kepada perempuan itu?
Dilemma, itu yang Satya rasakan antara ingin menolong atau meninggalkannya begitu saja.
Akhirnya Satya membawa perempuan yang tidak dia kenal itu ke kamar kos-nya. Tidak ada yang melihat Satya membawa perempuan ke dalam kamarnya karena dari puluhan kamar kos yang ada, hanya beberapa saja yang terisi. Kalau ada yang melihat pun, mungkin juga tidak akan ada yang peduli karena kehidupan di kota sudah sangat bebas, sangat berbeda dengan kehidupan di desa kampung halaman Satya.
Sampai di dalam kamar, Satya segera membaringkan tubuh perempuan itu di kasur lalu menyelimutinya.
Setelah selesai membersihkan diri, Satya membaringkan tubuhnya di lantai karena kasur tipis tempatnya biasa tidur telah dipakai oleh perempuan itu. Satya melirik ke arah perempuan yang sudah terlelap itu sebentar dan berpikir apakah yang dia lakukan ini sudah benar. "Aku hanya ingin menolongnya. Coba kalau ini di desa, pasti aku sudah digrebek warga dan diminta untuk menikahinya," gumamnya sebelum terlelap.
Pagi harinya,
Kembali dari membeli sarapan, Satya menemukan perempuan yang semalam dia tolong masih terlelap bahkan tidak ada tanda-tanda kalau dia bergerak, karena posisi tidurnya masih sama.
Satya menggoyang-goyangkan lengan perempuan itu pelan. "Mbak ... Bangun, sudah siang. Apa Mbak tidak mau pulang?"
Perempuan itu membuka matanya lalu sontak bangun bersamaan dengan tangan yang meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
Satya sampai kaget melihat tingkah perempuan itu. "Kamu tidak apa-apa?"
Perempuan itu tidak segera menjawab. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu melihat tubuhnya sendiri. Terlihat kelegaan ketika perempuan itu melihat tubuhnya masih mengenakan pakaian lengkap dan wajah yang tadinya ketakutan pun memudar.
"Aku dimana? Kamu siapa?" tanya perempuan itu.
"Aku Satya. Apa mbak ingat apa yang mbak yang terjadi semalam?"
Perempuan di depan Satya berusaha mengingat-ingat. "Ya, aku ingat semua," ucapnya setelah beberapa saat. Dirinya dicekoki alkohol oleh kliennya kemudian beberapa laki-laki datang hendak menikmati tubuhnya. "Aku harus ke kamar mandi. Aku ingin mencuci wajahku!" ujar perempuan itu dengan suara bergetar yang disembunyikan.
Setelah cukup lama perempuan itu keluar dari kamar mandi, tetapi ada yang berbeda karena mata dan hidungnya terlihat memerah seperti habis menangis.
"Mbak, ayo sarapan. Aku sudah membeli makanan jika mbak lapar," ucap Satya tulus bahkan perempuan itu bisa merasakan ketulusannya.
Tanpa banyak bicara perempuan itu duduk di depan Satya lalu menerima nasi bungkus pemberian Satya. "Terima kasih. Namaku Jennifer, kamu bisa memanggilku Jenny."
"Oh .. Ya Mbak Jenny," ucap Satya manggut-manggut.
"Tidak usah pakai Mbak, panggil Jenny saja." Dari cara bicaranya Jenny tahu jika laki-laki di depannya ini adalah laki-laki dari desa, begitu pula penampilannya yang nampak sangat sederhana. Meskipun begitu, hidung mancung dan kulit kuning langsat khas Asia membuat Satya terlihat tidak seperti pria dari desa kebanyakan.
"Kamu berasal dari mana? Sepertinya kamu anak perantauan." Jenny membuka obrolan sambil memakan sarapan yang dibelikan oleh Satya. Meskipun aura wajah Jenny memperlihatkan kesedihan tetapi sikapnya menunjukkan sebaliknya.
"Iya, saya berasal dari desa, penasaran seperti apa kehidupan kota."
"Kehidupan di kota itu tidak enak Sat, lebih baik tinggal di desa. Kalau aku punya keluarga di desa juga lebih memilih tinggal di desa," balas perempuan yang bernama Jenny itu.
Karena posisi mereka berhadapan, Satya bisa melihat wajah Jenny dengan jelas dan tiba-tiba saja jantungnya kembali berdetak tidak beraturan. Satya mengenali wajah Jenny yang ternyata adalah perempuan yang dia temukan tanpa busana di dalam kamar hotel kemarin. Hanya dengan mengingatnya saja tubuh Satya kembali gemetar. Tubuh molek yang susah payah dia lupakan itu kini kembali muncul dalam benaknya dan itu membuat Satya merasa bersalah kepada Jenny.
"Satya, kamu nggak apa-apa? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu?!"
"Eh ... Nggak apa-apa Jen," balas Satya menyembunyikan kegugupannya. Selanjutnya Satya hanya diam dan terus menjaga pandangannya.
"Kamu kerja dimana, Satya?" tanya Jenny lagi. Entah kenapa dia merasa nyaman dengan pria yang baru dia kenal itu dan membuatnya jadi banyak bicara padahal biasanya dia adalah perempuan yang dingin dan pendiam. Mungkin Jenny bisa melihat kalau pria di depannya itu tidak ada niat jahat kepadanya. Kalaupun dia berniat jahat pasti dia sudah melakukannya tadi malam ketika dia tidak sadar, setidaknya begitu yang dipikirkan Jenny.
"Aku kerja di hotel Dahlia, bagian housekeeping," jawab Satya singkat, takut jika Jenny bertanya lebih jauh dia akan ingin jika dirinya lah laki-laki yang telah lancang masuk ke dalam kamarnya kemarin.
"Oh ... " Jenny benar-benar tidak ingat Satya. Hampir setiap malam dia keluar masuk hotel yang berbeda dan tidak memperhatikan pegawai hotel seperti Satya.
"Maaf kalau boleh tahu, apa orang tuamu tidak mencari mu kalau tidak pulang seperti ini? Atau kamu juga sama-sama anak perantauan seperti aku?"
"Orang tuaku sudah meninggal dan aku tidak punya siapa-siapa!" jawab Jenny singkat.
"Maaf ... Aku tidak tahu."
Jenny hanya mengangguk kemudian dia melihat handphone-nya di dalam tas yang ternyata mati. Barulah dia sadar kenapa belum ada bodyguard yang menemukannya.
"Aku sudah selesai makan. Aku akan pergi sekarang. Maaf telah merepotkan kamu dan sekali lagi terimakasih kasih karena telah menolongku," ucap Jenny terburu-buru pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!