NovelToon NovelToon

Suami Simpanan

Takdir Baru Allandra (Prolog)

"Sekarang status kita sudah beda, Allan. Jadi, tidak ada alasan untuk mempertahankan hubungan ini. Aku mau kita putus!"

Kalimat itu masih terngiang di telinga Allandra. Baru satu minggu kabar kebangkrutan keluarga Wijaya tersiar, hidup Allandra seperti benar-benar terbalik. Semua kemewahan dan kejayaan dalam hidupnya telah selesai. Teman yang dulu akrab, sekarang berjumpa pun pura-pura tidak melihat dan hari ini, Raya, seseorang yang Allandra pikir akan selalu ada di sampingnya, juga memutuskannya.

Ya, dia adalah Allandra Wijaya, anak dari Andra Wijaya dan Sila Ramadhanti. Kakak kembar Allana. Akibat kecurangan rekan kerja ayahnya, perusahaan Wijaya Group mengalami kerugian besar hingga nyaris di tutup. Sebenarnya Pamannya, Andre, telah menawarkan bantuan, tetapi karena jumlahnya terlalu besar, ayahnya lebih memilih untuk menolak.

Apa yang terjadi di dalam kehidupannya saat ini menampar Allandra dengan keras. Selama ini dia berpikir kalau hidupnya akan selalu senang dengan semua aset yang di miliki oleh ayahnya, tapi ternyata tidak. Semuanya seperti lenyap dalam sekejap.

Beberapa hari yang lalu, dia masih menggunakan mobil mewah saat pergi kemanapun, sekarang, dia hanya berjalan kaki setelah turun dari taksi, kendaraan umum yang bahkan tidak pernah di naikinya selama ini.

Matahari telah naik tepat di atas kepala. Allandra belum memakan sesuap nasi pun. Bukan karena ia tidak memiliki uang lagi, tetapi pria itu masih merenungi nasibnya sambil menunggu Bima, satu-satunya teman yang masih mau berhubungan dengannya di sebuah bangku yang biasa di gunakan orang bersantai setelah berolah raga di pinggir jalan setapak di sebuah taman yang lumayan jauh dari komplek tempatnya tinggal.

Di sampingnya ada sebuah koper. Dia sedang berencana mencari sebuah kontrakan. Dia ingin memulai hidup mandiri, terpisah dari keluarganya.Meskipun ia harus berdebat dengan Allana, adik kembarnya dan orangtuanya, itu tidak menyurutkan niat Allandra untuk meninggalkan rumah mereka.

Semua itu dia lakukan karena merasa bersalah pada keluargannya. Hidupnya yang bergaya mewah membuat tagihan kartu kreditnya selalu mencapai limit. Itu adalah salah satu penyebab ayahnya tidak memiliki tabungan yang cukup untuk menopang perusahaan yang koleps.

"Sudah lama?" Bima membuyarkan lamunan Allandra.

Bima iba melihat kondisi Allandra yang tidak memiliki apa-apa. Wibawanya sebagai calon penerus Wijaya Group tidak terlihat lagi. Apalagi Allandra sempat bilang padanya kalau sebagian besar teman-teman mereka menjauh tanpa alasan semenjak Wijaya Group di nyatakan bangkrut.

"Lumayan." jawab Allandra lesu. Dia tampak sangat tidak bergairah. Semangatnya yang membara padam begitu saja. Allandra menjadi seperti bukan dirinya.

Seminggu yang lalu, lelaki itu masih memberikan sambutan di atas podium mewakili ayahnya, Bima tahu itu karena acara peresmian kerjasama perusahaan Di siarkan secara eksklusif di salah satu televisi swasta. Semua orang memandangnya dengan kagum, bahkan saat acara selesai, para wartawan mengejarnya untuk keperluan wawancara. Tapi siapa sangka, hari ini Allandra Wijaya duduk di pinggir jalan tak berdaya tanpa ada yang peduli.

"Astaga! Wajahmu pucat sekali, Allan. Kulit putihmu itu membuatmu semakin terlihat seperti mayat. Apa kamu belum makan?" tanya Bima khawatir. Allandra menggeleng.

"Ayo makan, aku akan membayar untukmu. Kamu laki-laki, tidak bisa bersikap melankolis seperti ini. Meskipun semuanya meninggalkanmu, kamu masih bisa mengandalkanku. Kau dengar?" Bima menyemangati Allandra saat lelaki itu tengah berjalan mengekorinya sambil menyeret kopernya. Lelaki tidak menyahut, hanya mengangguk. Bima kesal, ia kembali lagi menghampiri Allandra dan mengguncangkan badan lelaki itu.

"Tunjukkan semangat hidupmu Allan! Atau aku akan melemparmu sampai ke Dubai!" Teriak Bima tepat di telinga Allandra.

"Aku tidak tuli Bima, hanya saja energiku habis karena belum makan apapun. Apa kau mau aku pingsan di sini?" keluh Allandra sambil berjalan dengan setengah menyeret kakinya.

"Kalau kau sampai pingsan, aku akan membuangmu ke tong sampah. Ayolah, semangat. Kamu masih muda, suatu hari, kamu pasti akan sukses dengan usahamu sendiri. Kamu bisa memiliki kembali apa yang sudah hilang dari hidupmu. Percaya padaku." Bima merangkul sahabatnya dan menepuk bahunya berkali-kali.

"Terima kasih. Meskipun gila, aku beruntung masih memilikimu, kawan." Allandra mengulas senyum tipis di bibirnya. Dunianya memang terasa hancur sekarang, tetapi itu bukan alasan untuknya menyerah untuk hidup.

"Tentu saja. Aku bisa kau andalkan. Kamu akan tinggal di mana?" Bima melirik koper hitam Allandra. Bima berani bertaruh, Allan pasti pergi dari rumah.

"Belum tahu. Aku baru mau mencari kontrakan." kata lelaki itu datar. Dia memang tidak memiliki tujuan pasti, kemana dia akan pergi dan tinggal.

"Kebetulan, di sampingku ada satu kamar kosong. Kamu bisa ngontrak di sana." Bima tampak sangat bersemangat. Allandra lega, akhirnya dia memiliki gambaran di mana akan tinggal.

Selama ini dia tidak pernah keluar dari rumah orangtuanya, dia tidak tahu di mana penginapan atau rumah kontrakan. Beruntung dia mempunyai teman sebaik Bima, yang mau membantunya saat dia berada di titik terrndah seperti sekarang.

"Bagus. Aku lega sekali. Di mana warungnya, kenapa lama sekali? Aku sudah sangat lapar." keluh Allandra karena tidak sampai juga ke tempat makan. Dia memang tidak pernah jalan kaki, dan kali ini dia harus melakukannya, apalagi dia harus menyeret koper besar.

"Kita baru saja jalan beberapa langkah, kau sudah mengeluh. Dasar manja!" ejek Bima.

Dunia Bima dan Allandra awalnya memang berlawanan. Bima ada di bumi, sedangkan Allandra ada di awan. Menjadi temannya saja, Bima sudah sangat beruntung. Allandra bukan tipe pemilih teman, itulah mengapa Bima menjadikan kesempatan ini untuk membalas budi baik yang di tanam oleh sahabatnya itu.

"Sori, kayaknya aku belum terbiasa dengan kemiskinan ini. Ajari aku biar bisa bermental baja sepertimu, Bim." Allandra menghela napas. Dia memang belum bisa menerima sepenuhnya. Semua masih seperti mimpi.

"Itu masalah gampang. Terpenting, mari kita makan dulu. Warungnya ada di ujung situ." Bima menunjuk warung makan pinggir jalan yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

Allandra menelan ludah. Dia tidak yakin tempat makan itu akan sesuai dengan seleranya.Tidak hanya gaya hidup, ternyata menu dan tempat makannya pun harus berubah sekarang.

Dulu, makan di kafe biasa saja sudah sangat Allan hindari. Dia selalu makan di tempat berkelas saat bersama teman, apalagi jika dia pergi makan dengan kekasihnya, semuanya serba mahal dan spesial. Sekarang dia harus makan di tempat sederhana, bangku kayu dan kedai kecil, sungguh, Allandra tidak pernah membayangkan itu.

"Kenapa kamu ragu? Di sini makanannya bersih dan enak, memang sih cuma makanan kampung dan pinggir jalan, tapi di sini makanannya murah, kita bisa hemat uang." perkataan Bima mengingatkan Allandra, dia memang harus berhemat. Dia belum memiliki pekerjaan dan harus menghemat uang yang ada sampai dia menemukan pekerjaan baru.

"Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak masalah harus makan di sini." gumamnya, sekali lagi Allandra nenelan salivanya sendiri dan tidak yakin.

Lowongan Pekerjaan

Allandra berkutat dengan laptopnya. Dia sedang mencari lowongan pekerjaan. Karena ayahnya bangkrut, Allandra menjadi pengangguran. Dia harus segera mencari pekerjaan untuk biaya hidupnya ke depan. Apalagi isi tabungannya sudah menipis.

Kalau bukan karena kecurangan itu, mungkin semuanya tidak akan separah sekarang. Keluarga Allan kini bergantung hidup melalui sumbangan yang di terima di panti asuhan. Allandra bertekad, ingin mengembalikan kejayaan keluarganya suatu hari nanti.

Allandra terpaku pada sebuah iklan lomba tinju nasional. Dia dulunya memang sering berlatih saat hari libur. Hadiah yang di perebutkan lumayan besar. Seratus juta rupiah. Dengan uang itu, Allandra mungkin bisa membuka usaha kecil-kecilan. Dengan keyakinan penuh, Allandra mengisi formulir pendaftaran.

"Allan, kamu sudah makan?" Bima tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya. Allandra menggeleng.

"Belum. Sebentar lagi." sahut Allandra sambil terus mengisi data dirinya dengan teliti. Dia tidak akan melewatkan kesempatan bagus. Selain hobi, pertandingan itu akan membuatnya bisa membantu keluarganya, meskipun tidak sebesar jumlah uang yang telah di habiskannya selama ini.

"Ngerjain apaan, sih?" Bima penasaran.

"Aku daftar kompetisi tinju. Siapa tahu bisa menang. Lumayan kalau menang bisa buat buka usaha, kan?" katanya yakin. Bima berjalan mendekat, lalu duduk di samping Allandra.

Lelaki itu belum lupa bagaimana Allan berdebat dengan ayahnya karena dia tertangkap basah naik ke atas ring. Sebagai sahabat, Bima ingin mengingatkan Allan.

"Yakin kamu mau ikut kompetisi? Bukannya ayahmu nggak setuju kalau kamu main tinju?" kalimat yang di layangkan oleh Bima benar-benar mengingatkan Allan pada kejadia itu.

"Aku tidak peduli. Sekarang hidupku adalah tanggung jawabku. Lagipula, keuangan keluargaku sedang tidak baik. Dengan kompetisi ini, aku yakin bisa membantu mereka kalau sampai memenangkannya." Allandra yakin dengan keputusannya. Dia tetap akan bertarung, meskipun ayahnya tidak merestui langkahnya.

"Semangat Allandra. Aku selalu dukung kamu. Aku yakin, ayahmu pada akhirnya akan bangga dengan ini" Bima meyakinkan Allandra kalau dirinya akan mendukung setiap langkah sahabatnya itu.

Seperti Allan yang selalu mendukungnya, kali ini Bima ingin lebih berguna untuk lelaki itu. Dia ingin memberikan dukungan penuh pada Allan.

"Terima kasih, Bim. Sudah kelar, ayo kita keluar makan. Aku sudah sangat lapar." Allana menutup laptopnya lalu mengajak Bima pergi ke warung untuk mencari makan. Dia sudah mulai beradaptasi dan menurutnya, rasa makanan warung pinggir jalan tidak terlalu buruk.

Di perjalanan menuju warung, Bima menangkap pemandangan yang pasti membuat dada Allan berkecamuk saat melihatnya.

"Allan, itu bukannya mantan cewek kamu, Si Raya?" Bima menunjuk sepasang kekasih yang tengah jalan berdua bergandengan tangan hendak naik ke mobil.

Allan meluruskan pandangannya ke arah yang sama dengan pandangan sahabatnya.Benar Raya, Wanita yang telah berada di sisinya selama tiga tahun terakhir. Dia dan seorang lekaki tampak bercengkrama mesra sebelum keduanya masuk ke dalam mobil.

"Iya. Itu Raya. Dia buang aku pas aku susah. Dulu aja ngejar-ngejar, tahu aku miskin langsung di tinggal." keluh Allandra sambil memperhatikan mobil sedan silver itu berlalu membawa Raya.

Kenyataannya memang seperti itu, awalnya Raya selalu mencari perhatian Allan, meskipun lelaki itu sudah memasang wajah datar, gadis itu tidak pernah menyerah, sampai akhirnya dia mendapatkan hati Allan sepenuhnya.

"Santai, Bro. Nanti kalau kamu sukses, cari pacar yang lebih oke di banding Raya. Wajah kamu kan ganteng, sekarang aja kalau kamu mau nampang, cewek bakalan berjejer tuh, ngantri kayak mau beli gorengan." kelakar Bima, Allandra terkekeh.

Wanita bukan lagi prioritas utama dalam hidup Allandra. Kisah cintanya dengan Raya memberinya banyak pelajaran. Wanita tidak semua tulus, mereka pandai merayu, hingga tanpa sadar menguras dompetnya perlahan. Setelah dia tidak memiliki apapun, cintanya pun hilang, menguap, seperti embun yang tertimpa sinar mentari. Miris sekali.

"Bukan itu tujuan aku sekarang. Penghasilan dulu di bagusin, baru mikirin cewek. Tahu sendiri kan, sekarang musimnya dompet tebal yang paling disayang." Allandra berjalan mendahui Bima, lelaki itu kemudian berlari kecil agar mereka kembali sejajar.

Allandra pernah berpikir, kalau wajah tampannya saja sudah cukup untuk membuat seorang gadis menyukainya, tapi sekarang dia ingin menertawakan dirinya sendiri, tanpa uang, dia hanya di pandang sebelah mata.

"Kalau kamu kaya lagi, jangan lupain aku. Gini-gini aku kan selalu setia nemenin kamu waktu kamu kembali ke titik nol." Bima mendorong bahu Allandra dengan bahunya.

Allan masih bersyukur setidaknya masih tersisa Bima yang tulus padanya. Bukan sekedar teman di saat senang, tapi di saat seperti ini pun dia masih mau menerimanya. Mungkin karena Bima juga telah terbiasa merasakan kerasnya hidup.

"Santai. Kamu pasti ikut sejahtera kalau aku kaya." kelakar Allandra, Bima tertawa kecil. Allandra memang loyal sejak dulu, hanya saja, teman-temannya yang lain hanya memanfaatkan kebaikannya. Di saat seperti ini, Allandra baru sadar, tidak semua orang tulus di dunia ini.

Dan itu memang pemikiran yang benar. Ketulusan hanya terlihat di saat terpuruk seperti sekarang. Karena ketika roda kehidupannya di atas, semua orang berlomba-lomba memujinya seakan tanpa cela. Allan tersenyum kecut kala mengingat hal itu.

"Aku tahu itu, aku hanya bercanda. Dari dulu, kamu sudah baik pada kami semua. Eh, bukannya beberapa hari lagi ulang tahun Raya? Kamu diundang, kan?" Bima teringat undangan Raya. Memang beberapa hari lagi wanita itu berulang tahun.

Allandra memang diundang ke acara ulang tahun gadis yang sampai saat ini masih dicintainya itu. Bahkan, dia sudah menyiapkan hadiah untuknya. Sebuah cincin, rencananya Allan mau melamar Raya tepat di hari ulang tahunnya, tapi semuanya kandas dan tidak sesuai dengan yang di rencanakan.

Tapi ada sisi positif yang Allandra dapatkan, dengan kejadian ini matanya sedikit terbuka, dia tahu sedalam apa perasaan gadis itu untuknya. Semuanya manis pada awalnya. Raya bilang tidak ada lelaki lain di hatinya, hanya dia satu-satunya yang berarti di dunia ini, tapi kenyataan yang terjadi baru saja mereka putus gadis itu sudah menggandeng pria lain.

"Di undang, tapi itu dulu. Sekarang aku nggak hadir juga nggak masalah. Sudahlah, ayo makan. Kenapa malah jadi bahas Raya, Sih!" Allandra kesal dan ngeloyor pergi.

Baginya, tidak ada gunanya lagi membicarakan Raya, hanya membuat luka di hatinya semakin menganga. Allan sudah berusaha merelakan gadis itu pergi dan menutupi lukanya rapat-rapat.

Allan optimis, suatu hari dia akan mendapatkan gadis yang lebih baik dari Raya dan mungkin lebih tulus.

"Jiah! Ngambek lagi itu anak. Udah mirip anak cewek. Woy! Allandra Wijaya! tunggu!" Bima kembali berlari kecil mengejar cowok berwajah imut itu.

Bertemu Nyonya Kaya

"Nyonya, Anda pasti kaget mengetahui siapa lawan dari Mike kali ini." bisik seorang asisten wanita pada seorang wanita yang menjadi sponsor pertandingan tinju yang di ikuti oleh Allandra.

"Siapa dia? Kau sungguh membuatku penasaran." ucap wanita berlipstik maroon itu dengan tegas.

"Anak dari Andra Wijaya, pemimpin Wijaya Group yang sedang banyak di bicarakan karena kebangkrutannya." jelas si asisten. Wanita itu tersenyum miring.

"Menarik. Pemimpin Wijaya Group di kenal dengan ketampanannya, apakah anaknya setampan ayahnya?" tanya wanita itu lagi.

"Jangan bilang, Nyonya akan mengambilnya sebagai suami simpanan Nyonya. Dia terlalu muda nyonya, masih dua puluh tiga tahun." si asisten memberikan informasi.

"Usia itu tidak penting. Asal dia mau, apa yang tidak mungkin. Aku punya apa yang dia butuhkan. Di lihat dari situasinya, dia pasti tidak akan menolak kalau aku memberikan kehidupan layak padanya." wanita itu tampak begitu yakin. Mendengar siapa yang akan menjadi targetnya, wanita itu menjadi tidak sabar untuk bertemu dengan Allan. Hanya saja, dia harus menjaga wibawanya sebagai seorang sponsor.

Pertandingan pun di mulai. Allandra bertarung dalam ring melawan Mike, seorang pemenang bertahan dari kompetisi dua season sebelumnya. Bima memberikan semangat bersama beberapa teman mereka. Sahabat Allandra itu merasa sedikit was-was mengingat siapa yang menjadi lawannya.

"Jangan pesimis, aku pasti menang." kata Allandra dengan percaya diri saat mereka berangkat ke lokasi pertandingan beberapa jam yang lalu.

Pertandingan berlangsung sengit. Di beberapa ronde awal, Allandra tampak sangat kewalahan karena Mike melawannya dengan kekuatan penuh. Tapi beruntung, di ronde terakhir, Allandra menjadi pemenangnya. Meskipun wajah lelaki itu mendapatkan beberapa luka yang cukup serius.

Bima merasa lega saat wasit mengangkat tangan Allandra sebagai pemenang kompetisi season kali ini. Dia dan beberapa orang temannya naik ke atas ring untuk memberikan selamat.

"Allan, aku nggak nyangka kamu benar-benar jadi pemenang. Aku pikir, badanmu hanya akan remuk sia-sia mengikuti kompetisi ini. Kalau begitu, mari kita pulang, kawan!" Bima dan Allandra tengah berada di halaman sasana, mereka hendak pulang kembali ke rumah. Mendadak sebuah mobil sedan keluaran terbaru berhenti tepat di hadapan mereka.

Seorang wanita yang usianya tampak lebih tua dari Allandra turun dari mobil tersebut. Aura kepemimpinan wanita itu merebak. Bima sedikit bergetar melihatnya, berbeda dengan Allandra, dia santai saja melihat kehadiran wanita itu.

"Kamu kenal sama dia?" bisik Bima ke telinga Allandra.

"Nggak kenal. Tapi, beberapa kali wanita itu tampil di televisi. Dia Sabilla, seorang desainer terkenal." balas Allandra.

"Maaf mengganggu, bisakah kita bicara bicara berdua?" Sabilla menatap Allandra, dan pria itu yakin, Sabilla mengajukan pertanyaan itu padanya.

"Tentu. Bima, kamu pulang duluan saja. Aku titip tasku." Allandra menyerahkan tas yang berisi uang hasil bertandingnya pada Bima.

"Kamu yakin?" tanya Bima ragu. Dia khawatir, ada hal tidak baik yang di rencanakan oleh wanita misterius di hadapan mereka itu.

"Ayahku bilang, harus percaya diri. Apalagi dia wanita." Allandra tidak merasa gentar sedikitpun. Dia berpikir, keberuntungan sebentar lagi akan berpihak padanya.Bisa jadi, Sabilla membutuhkan seorang pengawal atau pekerjaan lainnya untuknya.

Bima akhirnya setuju meninggalkan Allandra bersama Sabilla. meskipun sedikit ragu, dia yakin sahabatnya itu memiliki faktor keberuntungan yang tidak bisa di pungkiri. Contohnya kemenangannya malam ini.

"Silakan masuk, kita tidak akan bicara di sini." Sabilla mempersilakan Allandra masuk ke dalam mobil. Pria itu mengikuti kemauannya.

"Jalan, Pak. Ke kafe matahari." perintah Sabilla pada sopirnya, Pak Joko segera mengiyakan permintaan bosnya.

Allandra dan Sabilla duduk bersebelahan. Allandra membuat jarak di antara mereka, dia duduk sangat berdekatan dengan jendela. Melihat jarak di antara mereka terlalu jauh, Sabilla menggeser letak duduknya agar sedikit lebih dekat dengan pria itu.

"Siapa namamu?" tanyanya pada Allandra yang sejak tadi sedikit tegang.

"Allan." jawabnya. Dia pikir tidak perlu menyebutkan nama panjangnya.

"Sesuai, namamu setampan wajahmu. Terima kasih sudah mau mengikutiku."

"Karena aku tahu, pasti Anda punya penawaran yang bagus untukku, bukan begitu?" sahut Allandra cepat. Dia ingin memastikan, apakah dugaannya benar atau ada hal lain yang menyebabkan Sabilla menemuinya.

"Ternyata kamu cukup peka. Penawaran yang menarik, itu memang benar. Nanti kita akan bicarakan detailnya. Boleh aku tahu, apa kamu masih kuliah?" tanya wanita itu, Allandra sedikit risih karena Sabilla sepertinya akan banyak mengorek informasi pribadinya.

"Tidak. Aku sudah lulus." jawabnya singkat.

"Aku sudah mendengar kecerdasan ayahmu dalam berbisnis, kamu pasti memiliki kecerdasan yang sama dengan ayahmu." gumam Sabilla, Allandra hanya menyunggingkan senyum. Dia senang di samakan dengan ayahmya, meskipun sedikit keras dalam mendidik, Allandra diam-diam mengagumi Andra, dia ingin menjadi pemimpin yang seperti ayahnya. Sampai hari ini, dia masih belum percaya, kenapa ayahnya bisa bangkrut. Sedikit tidak masuk akal, tapi semuanya itu nyata.

Mereka sampai di Kafe Matahari. Allandra dan Sabilla memilih ruangan eksklusif. Ini adalah kafe berbintang yang dulunya juga sering Allana kunjungi bersama Raya. Dia sedikit teringat masa itu saat memasuki kafe.

"Jadi, apa tujuan Anda mengajakku kemari? Aku lelah dan ingin segera pulang." Allandra tidak ingin basa-basi lagi. Sabilla paham, apalagi wajah Allandra memang memar-memar.

"Tenang, aku tidak akan mengulur waktu. Aku akan segera membahas tujuan utamaku mengajakmu bertemu. Jadi, aku ingin kamu menjadi suamiku." kalimat terakhir Sabilla membuat Allandra melongo, dia menggerakkan bibirnya tanpa bisa mengeluarkan kata-kata.

"A-a-apa aku tidak salah dengar? Bu-bukannya kamu sudah memiliki suami? Om Suryo, pengusaha itu? Dan lagipula usia kita terpaut jauh, aku yakin Anda lebih tua dariku!" Allan tampak tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Menurutnya permintaan Sabilla sangat aneh.

"Suryo? Pria tambun itu? Haha, ya... dia memang suamiku. Lalu, kenapa? Aku ingin kamu menjadi suami simpananku. Kamu tidak perlu takut, aku bisa menjanjikan segala yang kamu inginkan. Aku yakin, kamu pasti sudah sangat terbiasa hidup mewah dan aku bisa mengembalikan kemewahan itu dalam hidupmu." Allandra menatap Sabilla dengan seksama. Tatapan wanita itu mengabarkan padanya kalau dia benar-benar serius.

"Tapi...,"

"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Kamu bisa menghubungiku nanti, ini kartu namaku. Sekarang aku akan mentraktirmu sebagai ucapan selamat atas kemenanganmu. Jangan sungkan." Sabilla menyodorkan kartu namanya yang berwarna emas. Seolah di suruh, tangan Allandra secara otomatis mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke dalam kantong kemejanya.

Mereka berdua memesan beberapa jenis minuman makanan ringan. Allandra sejenak melupakan segala kepenatan yang mengganggu pikirannya. Dia tidak seakan lupa dengan semua kemalangan yang tengah menimpanya akhir-akhir ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!