NovelToon NovelToon

Lebih Dari Dia

Untuk Mendapatkannya

"Kesempatan terakhir. Jadi milikku atau aku akan mendapatkanmu dengan caraku?"

Bianca Anulika(25thn) mengernyitkan dahi membaca pesan WA dari seorang teman bernama Leo Evano. "Umurnya sudah dua puluh enam, tapi candaannya seperti anak baru puber," gerutu Bianca, perhatiannya buyar ketika masuk lebih banyak pesan dari orang yang sama.

"Aku sangat marah setiap kali mengingat dia membuatmu menangis malam itu. Aku tak bisa memaafkannya."

"Bisa kita bertemu?"

"Tidak, aku pikir aku akan memberitahu Gavin. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Bianca membalas pesan itu, "Terima kasih karena kau sangat mengkhawatirkan aku, tapi aku baik-bak saja. Aku dan Gavin sudah tidak bertengkar." Bianca menjawab seadanya karena tidak ingin ambil pusing. Leo tidak membalas, tapi meninggalkan pesan dalam keadaan terbaca. Jadi, Bianca anggap masalahnya telah selesai.

Omong-omong Leo adalah teman Gavin. Mereka sama-sama berusia 26tahun dan Bianca baru mengenalnya satu tahun, tiga bulan yang lalu dan semenjak mereka saling mengenal, Leo dan Gavin menjadi sahabat. "Seharusnya aku tidak banyak bicara ..." gumam Bianca, cemas, meski begitu mengabaikan pesan Leo untuk melayani pelanggan yang berniat memesan kopi.

Jam menunjuk pukul 12.04 dan hari ini adalah sabtu. Bianca bekerja di cafe keluarga dan Gavin adalah suaminya. Setelah 4 tahun lamanya bersama, mereka memutuskan untuk menikah tiga bulan lalu dan itu adalah keputusan terbaik dalam hidup Bianca. Dia bisa melayani pelanggan dengan senyuman tulus nan indah berkat wajah Gavin di dalam otaknya.

"Terima kasih. Silahkan tunggu sebentar." Bianca menghampiri mesin pembuat kopi tak jauh di belakang kasir, tapi hp yang berdering menyita perhatiannya. "Tolong gantikan aku sebentar," pintanya pada seorang pekerja perempuan yang lewat.

Perempuan itu mengganguk patuh dan Bianca pergi setelah diambil alih tempatnya. Bianca memasuki kamar mandi sebelum mengangkat telepon. "Gavin, ada apa?" sapanya terlebih dahulu.

"Aku hanya ingin tahu apa Leo menghubungimu?" Pertanyaan dari seberang sana tidak langsung Bianca jawab, dia terdiam entah untuk alasan apa. Gavin melanjutkan, "Leo ingin bertemu denganku. Kau tahu restoran di dekat pantai yang selalu dia katakan? Dia selalu mengajak kita ke sana tapi belum sekalipun kita pergi." Gavin terkekeh sebelum kembali pada point pembicaraan, "katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."

"Begitu ...?" Nama Leo membuat Bianca mengingat pesan-pesan sebelumnya. "Uhm ... mungkin sebaiknya kau tidak pergi." Bianca merasa tidak nyaman entah mengapa, dia berlasan, "maksudku, kau tengah bekerja."

"Aku pikir aku akan pergi." Itu pilihan Gavin. "Dia terdengar sangat serius dan aku cukup penasaran." Karena mereka adalah teman baik, Gavin mencemaskan sesuatu yang buruk menimpa Leo.

"Begitu ..." panggilan terputus setelahnya, entah mengapa membuat Bianca merasa cemas. Dia mengirim pesan ke Leo.

"Leo, kau baik-baik saja?"

Kali ini dibalas olehnya, tapi hanya dengan sebiji emot senyum.

Bianca menghela nafas geram. "Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi ini sangat mengganguku. Maksudku, Leo terlalu kaya untuk tidak baik-baik saja dan ini bukan hari ulang tahun siapa pun." Rasanya tidak masuk akal bila pria dewasa itu tiba-tiba membuat lelucon bodoh.

Setelah sakit kepala menimbang-nimbang, Bianca memutuskan untuk pergi ke tempat yang Gavin singgung. Bianca masih binggung, tapi bergabung untuk tahu apa yang akan terjadi terdengar seperti solusi.

Dia menggenakan kemeja putih di balik hoddie bewarna peach dan celana jeans hitam, tiba di pantai yang Gavin singgung setelah satu jam menggunakan motor.

Karena masih tengah hari, tempat itu sepi dari pengunjung. Rasanya seperti tidak ada siapa pun selain dirinya sendiri. Panas matahari di atas kepala menyengat kulit tapi Bianca nyaman di bawah hoddie bigsize nya. Karena motor hanya bisa sampai di area parkiran, dia meninggalkannya dan berjalan menyusuri pinggir pantai.

Silau matahari menyakiti mata, Bianca sedikit menunduk guna menghindari cahaya. Rumah kayu yang Leo singgung mulai kelihatan meski masih jauh di depan. Bianca berhenti karena tak sengaja mendengar suara kerikil beradu dengan pasir di belakangnya.

Bianca diam sejenak, matanya melirik-lirik sebelum memutuskan untuk berbalik. Dia memejam mata dikala helaan nafas mengalun menyadari keberadaan pria yang tidak lagi asing. Leo. Dia memegang botol mineral di tangan kanan dan tangan kirinya memegang payung bewarna biru, memayungi diri sendiri.

"Kau menakutiku," kata Bianca sebelum berjalan mendekat. Leo berbagi payung. Bianca menyibak hoddie dari kepalanya sebelum berbicara, "kau baik-baik saja? Apa maksud dari pesan yang kau kirim? Dan apa maksudmu ingin memberitahu Gavin? Apa yang ingin kau katakan padanya?" Pertanyaan Bianca terlalu banyak. Dia mencari jawaban dari wajah datar Leo.

Leo tidak memberi jawaban, malah mengalihkan pembicaraan. "Bisa bantu aku pegang payung sebentar?" Bianca mengernyitkan dahi, meski begitu mengambil alih payung yang disodorkan. Besar payung itu sedikit berat, Bianca menatap ke atas sebentar sebelum kembali pada Leo yang membuka tutup air mineral. Dia meminumnya dan tiba-tiba menarik tengkuk Bianca.

Mata Bianca terbelalak. Tubuhnya oleng dan payung terjatuh dari tangannya ketika bibir mereka menyatu. Leo menekan kedua pipi Bianca untuk membuatnya membuka mulut. Dia memindahkan air dari mulutnya ke dalam mulut Bianca tanpa memberi kesempatan agar Bianca bisa memuntahkannya.

Bianca merontak tapi Leo memeganginya erat. Leo menekan hidung Bianca, membuatnya tidak bisa bernafas. Mau tidak mau Bianca menelan semua cairan itu dan Leo pun melepaskannya.

Perempuan itu terjatuh seketika. Dia menutup mulutnya menggunakan punggung tangan dan terbatuk-batuk.

"Ada apa denganmu!" amarah Bianca meledak setelah dia meraup oksigen. Dia berdiri dan menatap tajam ke arah sang pelaku yang hanya diam dan tidak menunjukkan reaksi. "Itu sama sekali tidak lucu!" Bianca memilih mengabaikan Leo dan pergi ke restoran yang dia lihat sebelumnya dengan niat membersihkan mulut.

Leo tak pernah begitu sebelumnya. Sedari awal mengenalnya, dia adalah pria baik bahkan terkesan sedikit pemalu. Bianca hampir tidak bisa mempercayai apa yang terjadi bahkan ketika hal itu terjadi langsung padanya. "Dia sudah gila!"

Namun, mengapa tiba-tiba rasanya gerah? Bianca berhenti melangkah, tidak tahu bahwa Leo di belakangnya melakukan hal yang sama. Dia masih sama tenangnya seperti tadi. Berdiri tegap, nyaman di bawah payung besar yang melindunginya dari sinar matahari.

"Mengapa rasanya semakin panas?" Sebelumnya Bianca tidak terganggu tapi panas yang ia rasakan terasa berbeda. Dia mengipas wajah yang memerah menggunakan tangan hingga akhirnya menanggalkan hoddie karena tidak kuat dibuat gerah yang seolah membakar tubuh. Bianca kembali berjalan, tak sengaja menjatuhkan hoddie ke atas pasir.

Leo mengikuti setiap langkah Bianca dalam jarak dua meter. Matanya tidak satu detik pun lepas dari perempuan itu.

TO BE CONTINUE.

Bantuan Tidak Diperlukan

Gavin meninggalkan gedung menggunakan lift yang terhubung ke area parkiran. Setelah keluar melalui pintu, hpnya berdering. Nama Leo nyembul di layar dikala melihatnya. Gavin menekan tombol bewarna hijau sebelum menempelkan layar hp ke daun telinga. "Ada apa, Leo? Aku baru saja keluar dari kantor."

Penelepon di seberang sana menanggapi, "maafkan aku, Gavin, tapi kita harus menunda pertemuan kita. Bagaimana dengan besok siang? Aku ada urusan mendadak."

Gavin mendengus, meski begitu memahaminya. "Tidak jadi masalah. Aku hanya mencemaskanmu."

"Aku sangat baik, jangan cemas."

"Baik kalau begitu." Gavin mematikan panggilan dan kembali memasuki lift.

"Gosh! Apa yang terjadi?" Bianca pikir dirinya telah gila karena tiba-tiba merasa bergairah di siang-siang bolong. Dia membuka pintu rumah kayu tadi dan dikejutkan oleh kenyataan bahwa ternyata tempat itu adalah villa dan bukan restoran seperti yang selalu Leo katakan.

"Aku harus telepon Gavi ..." Bianca menepuk saku celana sampai ke badan tapi hpnya tidak ditemukan. "Sial ..." Bianca kembali pada tujuan utama, anggap dirinya salah memasuki tempat, tapi jadikan itu sebagai urusan kedua. Tidak ada siapa pun di sana membuat Bianca bebas berjalan. Bianca butuh air. Dia berniat menyelam agar panas tubuhnya menghilang. Bianca menyusuri tempat itu hingga akhirnya menemukan kamar mandi di dalam salah satu kamar.

Dia melepas kancing kemeja pada bagian atas dan berdiri tepat di bawah shower. Matanya terpejam, siap menikmati dingin air yang akan menghujani. Tangannya begitu dekat dari kran, tapi tidak sempat menyentuhnya karena Leo muncul dan menarik pundaknya.

"Kyaaaah! Lepaskan aku!" Bianca merontak, tiba-tiba saja sudah berpindah di pundak Leo dan digendong bak karung beras. "Lepaskan aku, Leo!" Leo melepaskannya sesuai permintaan, tapi dengan cara melemparnya ke atas kasur queen size di tengah-tengah ruangan. Leo duduk di atas Bianca. menahan kedua tangannya agar dia tetap diam di tempat.

"Lepaskan aku!" Bianca merontak sekuat yang dia bisa, tapi semua yang didapatkan hanyalah rambut berantakan menempeli kening dan leher yang berkeringat. " Leo!" Bianca berhenti dikala kelelahan, nafasnya berat menyebabkan dadanya naik turun secara cepat.

"Tolong aku! Aku pikir ada yang salah ... dengan ... ku." Bianca tidak merasa seperti biasanya. Panas di sekujur tubuh membuatnya merasa seperti ingin menanggalkan semua pakaian dan menari, menggoyangkan seluruh badannya. Perasaan itu menyiksa batinnya perlahan.

"Tolong aku ..., Gavin..." Bianca merasa mabuk, bergairah dan semakin tidak terkendali. "Gavi ..." Nafas kian tak karuan, suaranya terkesan mendesah. Dia menatap ke samping dan seringkali memejamkan mata. "Lepaskan!" Bianca menelan ludah dan menggesekkan kedua pahanya.

Di dalam otak Bianca, hanya ada wajah Gavin. Leo tahu itu dan karenanya, dia jengkel dan tersinggung. "Aku bukan Gavin, Bianca," katanya, Bianca terlalu sibuk sendiri hingga melewatkan suaranya. "Sebut namaku dan aku akan membantumu." Leo menyentuh pipi Bianca hingga lehernya menggunakan ibu jari. Setiap sentuhannya bagaikan sengatan listrik mengalir di setiap inci kulit Bianca. Otak mengirim sinyal merah dan suara yang keras tapi tidak ada yang bisa Bianca lakukan untuk menjauh dari bahaya.

"Gavin... aku butuh Gavin." Bianca mencoba berdiri tapi Leo tidak membiarkannya. Dia kian jengkel dibuat nama lelaki lain yang terus disebut Bianca.

Leo mendekatkan bibirnya ke daun telinga Bianca, berbisik, "sebut namaku, Bianca."

Semakin Bianca menolak, semakin tak terkendali dan gila gairahnya. "Gavi-" Leo mengecup kupingnya, membuatnya mengeluarkan suara desahan. Saat kontak mata tak sengaja bertemu, pupil indahnya berair. Pandangannya begitu sayu dan tak berdaya. "Tolong aku ..., Leo."

Leo seolah mendapat izin-dengan melupakan apa itu paksaan. Dia tidak membuang waktu, langsung meraih dagu Bianca dan melahap bibirnya.

Sementara itu, Gavin menatap layar ponsel setelah panggilan tidak terhubung. "Di mana Bianca?" Gavin menelepon sekali lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Bianca seharusnya tengah istirahat jam makan siang, rasanya agak aneh karena dia tidak mengangkat telepon bahkan tidak mengirim satu pesan pun.

Hp Bianca tidak hilang, tapi Leo dengan gesit menyambarnya dikala memaksa Bianca menelan air yang dia masukkan ke dalam mulutnya. Sekarang ponsel itu ada di atas naskas samping ranjang dan dalam keadaan silent.

"Dia baik-baik saja? Haruskah aku ke sana?" Gavin berpikir untuk menundanya sampai jam kerjanya berakhir.

Sementara itu, Bianca terlelap setelah berhasil mengeluarkan hawa panas nan gerah yang menggangu dari tubuhnya. Dia tertidur dengan cepat seolah kesadarannya ditelan bumi.

Leo di sebelahnya menyentuh sudut mata Bianca. Dia berpikir, sebetar lagi Bianca akan menjadi miliknya, sepenuhnya dan bukan milik pria lain. Semua bayangan di dalam otaknya selama ini akan segera menjadi kenyataan. Leo merasa puas karena rencananya berjalan lancar, tapi tidak bisa dia sembunyikan kekesalan dikala mengingat Bianca menyebut nama lelaki lain, teman baiknya.

Leo menyelimuti badan toples Bianca dan menyentuh lembut pipinya. Dia menatap bulu matanya yang lentik dan bibir yang sedikit bengkak. "Seharusnya kau dengarkan aku …" Ekpresi wajah pria itu sedikit jengkel. Dia mendekap Bianca dan ikut terlelap bersamanya.

...

Malam hari pun tiba.

Gavin pulang dari kantor dan tiba di rumah pukul 17.12 dahinya mengernyit ketika tidak menemukan Bianca di seluruh bagian rumah. " Bianca?" Gavin melakukan panggilan telepon dan lagi-lagi tidak diangkat, kemudian masuk satu pesan WA kurang dari satu menit.

"Aku akan menginap di rumah teman. Sampai jumpa besok, Gavi!"

"Tumben ...?" Ini bukan pertama kali Bianca menginap di rumah teman, Gavin tidak melarang karena selama dia bahagia. Hanya tidak biasanya Bianca tidak mengatakannya lebih awal dan pergi tiba-tiba. "Rasanya seperti ditinggalkan."

Gavin membasuh diri dan berakhir di kamar. Baru setengah jam terlewatkan ketika dia melihat jam. "Entah mengapa firasatku tidak enak ..." Tepatnya Gavin merasa tak nyaman dan marah tanpa alasan yang jelas.

Seperti biasa, Gavin akan menelepon teman baiknya, Leo, di saat-saat seperti itu. Tidak menunggu waktu lama, panggilannya diangkat. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Gavin basa-basi.

"Tidak ada ... aku sedang bersama teman."

"Ah ... kalau begitu, maaf aku menggangumu." Seketika Gavin merasa tak enak hati.

"Tidak masalah."

"Omong-omong ..." Gavin berniat mematikan panggilan, tapi suara ombak yang samar-samar terdengar mengurunkan niatnya. "Kau berada di dekat laut? Aku pikir kau tidak jadi ke sana."

"Ah ... itu suara TV. Aku harus pergi." Leo mematikan panggilan secara sepihak, meninggalkan Gavin yang langsung terdiam dengan beberapa macam pikiran.

"Bianca melarang aku untuk pergi tadi ..." Gavin tidak pernah seumur hidup berprasangka buruk soal Bianca tapi entah mengapa dia baru saja melakukannya. Pikiran buruk itu datang dalam hitungan detik dan tidak mau meninggalkan otaknya.

"Maksudku Bianca pribadi yang jujur dan Leo adalah teman baik kami. Pasti dia cemas dan penasaran karena Leo tiba-tiba ingin bertemu."

Namun ..., mengapa Leo selalu sibuk setiap kali Bianca pergi menginap di rumah teman? Gavin tidak pernah memikirkannya sampai detik ini. Dia mengatup bibir. Jantungnya berdebar terlalu kencang sampai terasa sakit. "Ini tidak seperti yang aku kira'kan?

"Tidak mungkin, bukan?"

Tidak mungkin ...!

Mungkin?

Siapa Pacarnya?

FLASHBACK

HARI INI ADALAH HARI BESAR, bagi Leo.

HARI INI AKAN MENJADI HARI PALING MENYENANGKAN DAN BAHAGIA, harapan Leo.

HARI INI AKAN MENJADI HARI TERBAIK, TERINDAH YANG TIDAK AKAN TERLUPAKAN, tujuan Leo.

Hari ini adalah hari ulang tahun Bianca.

Leo tidak punya kakak atau adik perempuan, dia tidak pernah dekat dengan perempuan sebelumnya dan menurut penelitian Leo, tidak ada perempuan yang tidak menyukai HARI ULANG TAHUN MENYENANGKAN DAN PENUH DENGAN KEJUTAN.

Rencana Leo sangat sederhana. Mereka, dirinya dan Gavin, tidak akan membuat pesta besar atau mengundang ribuan teman. Pesta kecil ini hanya akan terdiri dari mereka dan beberapa teman lainnya yang tentunya teman karib. Mereka akan mendekor ruang tamu, menyediakan kue tiga tingkat, kado, kembang api dan kejutan! Ah …, Leo bahkan bersedia membayar semua biaya yang diperlukan sekaligus mengerjakan semuanya sendiri demi menghindari alasan ini dan itu.

Leo menggebu-gebu menceritakan idenya, dia tidak bisa duduk dan terus melompat-lompat kecil sementara Gavin duduk di sana memainkan game hp, emosinya berbanding terbalik dari Leo, datar dan tidak peduli. Menyadari betapa tak tertarik Gavin membuat semangat Leo lenyap. Leo menurunkan tangan dan pundak yang terangkat terlalu tinggi pun ikut turun.

"Aku tidak bisa hal-hal seperti itu," eluh Gavin tanpa mengalihkan pandangan dari layar hp. "Bianca juga tidak suka kejutan. Dia tidak suka kado."

Itu adalah omong kosong terbesar yang pernah Leo dengar dalam hidupnya. Leo memang baru mengenal Bianca untuk beberapa bulan, tapi sekali lagi, TIDAK ADA YANG TIDAK SUKA KEJUTAN DAN KADO! Leo bisa terus mengulang-ulang kalimat itu sampai mulutnya berbuih. "Siapa yang berkata begitu? Bianca? Dirimu?" tanyanya, terdengar agak ketus. Padahal Gavin adalah pacar Bianca tapi malah Leo yang lebih bersemangat. Ini tidak terasa benar.

"Kami tidak pernah merayakan ulang tahun atau hari jadian. Semua hari sama saja. Kami bahkan tidak pernah bertukar kado,” terang Gavin seperlunya.

Leo melonggo, tidak percaya bagaimana bisa seseorang yang punya pacar mengatakan hal seperti itu apalagi ini tahun ketiga mereka pacaran! "Kau serius?" tanya Leo yang masih sulit mempercayai ungkapan Gavin.

"Hum," gumam Gavin, masih tanpa mengedarkan pandangan dari permainan hp. "Kalau kau tak percaya, tanyakan saja pada Bianca. Aku jamin dia akan berkata dia tidak suka kejutan karena itu menggelikan."

Leo melakukannya. Dia langsung menemui Bianca di cafe untuk bertanya secara langsung. Respon yang Leo dapatkan?

BIANCA MENANGIS!

Persis seperti dugaan Leo. Tidak mungkin perempuan tidak suka kejutan ataupun kado! Bianca sangat mengharapkan sesuatu di hari ulang tahunnya sampai-sampai air matanya mengalir di saat melontarkan isi hatinya.

"Aku mengatakan hal seperti itu karena Gavin bahkan tidak ingat kapan hari ulang tahunku atau kapan tanggal jadian kami." Bianca menjerit, cukup untuk menunjukkan betapa sakit hatinya yang ditahan-tahan selama tiga tahun berpacaran. "Aku takut anjing, tapi bila pacarku memberiku anjing paling jelek sedunia karena hanya itu yang sanggup dia dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam kamarku dan hidup bahagia."

Hanya dengan Leo, Bianca bisa meluapkan isi hati secara gamblang. Karena Bianca percaya Leo bisa mengerti dirinya, bisa menjaga rahasia dan tidak akan mempermalukan atau membuatnya merasa telah bersikap berlebihan. Dengan alasan itu, Bianca berani menangis keras dan membiarkan air matanya terus mengalir.

"Tahun pertama hari jadian kami, aku marah karena dia tidak ingat. Tahun kedua, dia tidak mengucapkan apa pun bahkan salah ingat tanggal dan tahun ketiga terlewatkan begitu saja seolah hari itu tidak ada. Aku benar-benar menyerah. Aku bilang padanya aku ingin kejutan. Aku bilang aku akan senang bila aku mendapatkan kado apa pun itu bahkan sekedar bunga yang dia petik di tengah jalan, tapi dia hanya bereaksi kebinggungan kado apa yang harus dia beri dan kemudian melupakannya begitu saja. Karena dia seperti itu, aku pun tidak pernah lagi memberinya kejutan atau kado. Karena aku tidak ingin membuatnya merasa rendah dan dia malah berpikir aku menyukainya."

Lagi-lagi Bianca menangis. Ingin Leo menghapus air matanya, tapi tidak berani. Sebagai ganti, dia menyodorkan sekotak tisu yang ada di atas meja. "Kau … ingin aku bicara padanya?" tawar Leo, nada bicaranya hati-hati. "Mungkin bagaimana dengan … aku memberimu kado dan kejutan?"

Leo tersenyum penuh semangat, diam-diam menyelipkan tangan ke saku jaket kulit yang sedang dia kenakan. Leo menyentuh kotak kecil di dalam sana, tapi dihentikan oleh jawaban Bianca. "Tidak." Bianca menggelap air matanya dan terisak. "Pacarku sendiri tidak memberiku kado. Bagaimana bisa aku menerima kado orang lain dan bilang padanya aku mendapatkan ini dari orang lain?"

"Begitu …" Ekpresi wajah Leo berubah kecewa, tapi tidak Bianca perhatikan. Leo memasukkan kotak kecil itu kembali dan mengeluarkan tangannya dari bawah meja.

"Orangtuaku membelikanku kue setiap tahun. Gavin ke rumah dan memakan kue itu tanpa tahu kue apa itu. Dia bahkan tidak mau menghabiskan waktunya untuk bertanya. Jujur aku sakit hati, tapi aku bahkan tidak bisa berbicara padanya karena kami hanya akan berakhir bertengkar."

"Tidak bisakah … kau putus saja dengannya bila dia seperti itu?" Leo melontarkan kata-kata yang sangat menggangu dari otaknya. Seperti biasa, Bianca akan menjawab dengan gelangan kepala bahkan tanpa harus menimbang terlebih dahulu.

"Tidak. Meski aku sangat berharap pacarku pria romantis, itu bukan salahnya dia tidak seperti itu. Tidak memberiku kado bukan kesalahan, aku tidak marah atau sedih hanya karena itu. Gavin lelaki baik, aku tidak mau menyakiti hatinya."

Itu adalah hal yang selalu Bianca katakan setiap kali dia marah dan sedih karena Gavin. Dia bisa berbohong dengan berkata dia baik-baik saja, tapi matanya tidak bisa menipu. Leo melihat langsung bahwa Bianca kecewa dan mengharapkan sesuatu yang lebih dari sekedar melewatkan ulang tahun tanpa melakukan apa pun.

Bianca mengembus nafas panjang sampai akhirnya bisa menenangkan diri. Dia berusaha menyakinkan diri dengan mengulang, "ulang tahun bukan perkara besar. Aku tidak menginginkan kado atau kejutan." Itu yang coba dia tanamkan ke dalam hati, tapi setetes air yang menetes dari sudut matanya sudah cukup menjelaskan bahwa dia kecewa.

"Kau … ingin pergi ke suatu tempat denganku?" ajak Leo tiba-tiba. Dia berencana menghibur Bianca dengan mengajaknya ke suatu tempat yang indah tapi seperti biasa, Bianca akan memberinya gelengan kepala.

"Aku hanya mau pergi dengan Gavin."

Jawaban yang sudah muak Leo terima dan sialnya, tidak pernah sekalipun berubah. "Hanya sekali?" katanya, berusaha membujuk. "Ini tidak seperti kita akan pergi berselingkuh atau sejenisnya."

"Tidak." Lagi-lagi Bianca menolak, tanpa harus mengedipkan mata atau menghabiskan waktu berpikir.

"Aku akan menelepon Gavin dan meminta izinnya?"

"Ini bukan soal izin darinya!" Lagi-lagi Bianca terisak, alisnya menekuk tajam menunjukkan kesedihan. "Jika kau menelepon dia, dia tidak akan ragu meminta kita untuk pergi karena kau adalah teman baiknya dan dia percaya padamu tapi aku yang akan sakit hati karena tidak bisakah dia cemburu bahkan ketika yang bersamaku adalah teman baiknya? Aku merasa tidak dipedulikan! Aku mengerti maksudnya tidak seperti itu, karena dia mempercayai kita berdua tapi sekali saja. Satu kali saja, aku ingin dia cemburu dan menunjukkan bahwa dia takut kehilanganku!”

“Hanya itu yang aku inginkan.”

FLASHBACK END

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!