...Sebuah cerita cinta bagaikan dandelion yang terbang ke surga....
...Menatap betapa indahnya awan, betapa indahnya embun yang menguap....
...Tertidur di atas padang rumput, mendengarkan melodi bersamamu....
...Namun, kala mata ini terbuka bayangmu telah menghilang. Berganti gelapnya langit malam....
...Bukankah orang mati akan menjadi bintang? Dapatkah aku menggantikanmu untuk menjadi bintang......
...Tidak dapat bertahan hidup tanpamu, itulah aku......
Niel
🥀🥀🥀
Srak!
Brak!
Dhuar!
Tabrakan terjadi, sebuah mobil terjatuh ke jurang. Bahkan terbakar habis.
"Biar, anak sialan itu tau akibatnya jika berani menyaingi adiknya." Gumam seorang wanita paruh baya tersenyum dari dalam mobil di dekat lokasi kejadian.
Wanita paruh baya yang berhasil membunuh anak tirinya kali ini.
"Jalan!" perintahnya pada sang supir. Kala mobil melaju, tidak menyadari, tangan penuh darah merangkak menaiki tebing yang terjal.
Willem Alexander Niel Andreas, itulah namanya, atau biasa dipanggil Willy, kandidat terkuat untuk mewarisi perusahaan milik ayahnya.
Namun, pemuda yang berlumuran darah itu menghela napas. Dirinya hanya ingin hidup tenang tanpa harus ada persaingan. Mungkin dengan jalan ini dirinya dapat hidup sebagai orang biasa.
Menghela napas berkali-kali, hanya sedikit uang cash yang dibawanya. Luka parah kala melompat dari mobil, membuat dirinya terhuyung-huyung.
*
Lima hari sudah dirinya hidup sebagai orang biasa. Atau lebih tepatnya gelandangan, seseorang tanpa identitas, bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan?
Matanya menatap ke arah layar besar yang menunjukkan berita kematian putra tertua keluarga konglomerat. Pebisnis paling jenius abad ini telah tiada di usia muda, akibat kecelakaan, dengan jenazah yang tidak ditemukan.
"Berita yang dilebih-lebihkan." Gumamnya memakai kacamata, serta tahi lalat kecil dari spidol di bawah mata.
Berjalan dengan kaki yang sedikit pincang. Willy benar-benar kelaparan, tidak banyak jumlah uang yang dimiliki olehnya.
Jika ingin tinggal harus tinggal dimana? Mengontrak kamar memerlukan identitas. Sedangkan identitasnya saat ini sudah meninggal.
Berjalan terhuyung-huyung di tengah derasnya hujan. Berteduh di emperan toko, setidaknya hidupnya tidak terancam, dirinya tidak memiliki niatan kembali. Mengingat bagaimana kebahagiaan ayahnya, ibu tiri dan sang adik.
Hingga sang pemuda yang terduduk di tempat kotor hanya merenung. Apa seharusnya dirinya mati saja? Tidak, hanya harus menjalani kehidupan sebagai orang biasa. Seperti keinginan mendiang ibunya, hidup tidak tertekan, seperti burung gereja kecil dengan sayap menyapu awan.
Srak!
Plak!
Matanya menelisik menatap pertengkaran pasangan. Seorang wanita cantik diseret keluar dari mobil, kemudian ditampar.
"Dasar wanita keji! Berani-beraninya kamu menyakiti Bianca! Bianca lebih murni darimu!" Bentak Hazel, hendak mengayunkan tinjunya pada Cheisia, tunangannya.
Mungkin naluri untuk melindungi seseorang, Willy mendekat, menerima pukulan dari Hazel. Melindungi wanita yang bahkan tidak dikenalnya.
"Kamu tidak apa-apa?" Ucap Willy iba.
"Apa maumu!? Kenapa kamu terlibat? Aku sedang mengajari tunanganku agar tidak menjadi wanita murahan!" Teriak Hazel hendak menjadikan Willy sasaran kemarahannya.
"Dia sudah terluka. Kasihan dia..." Willy masih lemas mengingat dirinya yang tidak mengkonsumsi terlalu banyak makanan dua hari ini. Isi dompetnya hanya 160 ribu, itupun harus dibelikan pakaian, dan obat luka.
"Hazel hentikan! Jika tidak, kita batalkan saja pernikahan kita!" Teriak Cheisia, menarik Willy dalam perlindungannya.
Hazel tertawa, benar-benar tawa yang cukup kencang."Memangnya siapa yang mau menerima wanita murahan korban pelecehan sepertimu!? Aku saja jijik. Entah pria mana yang sudah meniduri mu."
"Ada! Aku cantik dan kaya! Pasti ada!" Jawab Cheisia dengan tangan gemetar. Dirinya juga tidak yakin, tapi yang terpenting sudah dua tahun dirinya diselingkuhi. Dihajar oleh tunangannya. Ini tidak bisa lagi, walaupun reputasi keluarganya dipertaruhkan, pertunangan ini harus putus.
"Siapa?" Tanya Hazel tersenyum mendesak.
Cheisia mundur selangkah bingung harus bagaimana. Sejenak dirinya melirik ke arah gelandangan yang melindunginya. Anggap saja ini sebagai cara terakhir mempertahankan harga diri."Dia!" Wanita yang menunjuk ke arah Willy.
"Aku lebih memilih pengemis cupu daripada pria yang menghajarku bahkan membawa wanita lain ke rumah!" Teriak Cheisia membuat Willy dan Hazel bungkam.
"Hah? Kamu sudah gila, ini hanya lelucon. Dengar, aku tidak akan memaafkanmu jika menyakiti Bianca (kekasih gelap Hazel) lagi." Cemooh Hazel, mencengkeram pipi Cheisia."Tentang pertunangan, jangan lupa ini diatur oleh keluarga kita dari kecil. Jika tidak begitu aku juga tidak sudi akan menikah dengan wanita menjijikkan sepertimu."
Cheisia didorong, namun dengan sigap Willy memegangnya agar tidak terjatuh.
"Wanita kotor dan pengemis? Memang pantas. Mungkin lebih cocok jika kamu jadikan dia selirmu setelah kita menikah nanti. Karena aku, tidak akan pernah sudi meniduri barang bekas." Hazel naik ke dalam mobilnya meninggalkan Cheisia di tengah hujan.
Gadis yang menangis terisak. Merasakan derasnya air hujan yang membasahi tubuhnya.
"Berhenti menangis, sebaiknya kita berteduh." Willy menghela napas kasar. Membimbingnya untuk duduk di emperan toko.
Wanita yang masih tetap menangis. Dalam hening akhirnya Willy berkata."Taukah kamu air hujan adalah tangisan keluargamu di surga?"
"Hah?" Cheisia mengernyitkan keningnya.
"Jika keluargamu entah itu siapa sudah meninggal, mereka akan menangis saat merindukanmu. Air hujan, air mata mereka." Willy tersenyum pada wanita di sampingnya.
"Benarkah?" Tanya Cheisia dengan perhatian yang teralih dari kesedihannya.
"Tapi bohong!" Willy terkekeh bagaikan mengerjainya, membuat Cheisia memukul bahu Willy. Namun wanita yang bagaikan kesedihannya telah pudar sepenuhnya.
"Namamu siapa?" Tanya Cheisia padanya.
"Niel..." Willy tersenyum, anggap saja itulah nama panggilannya saat ini.
"Terimakasih sudah membelaku, aku tidak pernah menyangka akan ada yang membelaku." Cheisia terkekeh.
"Memang kenapa pacarmu bisa sekasar itu?" Niel mengernyitkan keningnya. Nama yang akan digunakannya sekarang. Mengingat status Willy yang sudah meninggal.
"Ini salahku juga. Aku tidur dengan pria lain." Kalimat dari Cheisia sukses membuat Neil tercengang.
Dirinya terdiam sesaat bingung harus memberi motivasi yang bagaimana. Selingkuh dengan bercocok tanam? Menanam jagung di kebun?
Cheisia berusaha tersenyum, namun raut wajah menyembunyikan kepahitan hidupnya."Setelah kejadian itu selama dua tahun prilaku cendrung kasar. Bianca adalah nama kekasihnya, sekaligus anak angkat di keluargaku. Tapi memang Bianca lebih baik dariku."
"Lalu?" Tanya Neil benar-benar tertarik dengan kejadian bagaikan sinetron ini.
"Bianca bekerja di perusahaan. Sementara aku hanya artis figuran. Aib bagi keluarga. Satu-satunya kebanggaan bagi ayah dan ibu adalah perjodohanku dengan Hazel. Jika gagal, maka aku mungkin tidak akan dianggap anak lagi dan dikeluarkan dari keluarga Muller." Jawaban dari Cheisia Muller, tidak memiliki seorang teman pun yang dapat dipercaya. Hingga malah lebih memilih bicara pada orang asing. Memiliki adik angkat yang terlalu sempurna, membuat dirinya yang anak sah selalu terbebani.
"Begitu? Omong-ngomong pacarmu juga berselingkuh dengan adikmu?" Tanya Neil semakin tertarik.
"Sudah aku bilang ini salahku. Andai saja aku tidak mabuk dua tahun lalu dan berkeliaran di dekat danau hingga dilecehkan orang asing maka Hazel akan tetap mencintaiku." Kalimat dari Cheisia membuat Neil tertegun.
"Danau angsa, hutan sebelah timur yang dekat dengan villa?" Tanya Neil, berusaha keras untuk tersenyum.
"Iya! Saat itu adikku dielu-elukan semua orang. Jadi aku berjalan-jalan ke luar sambil meminum alkohol. Omong-ngomong bagaimana kamu bisa tau?" Cheisia balik bertanya.
"Karena aku memiliki indra ke enam, sepertimu Roy Kiyoshi..." Jawaban asal dari Neil sang tersangka utama.
Mengingat kejadian 2 tahun lalu, saat itu dirinya tengah mengurus pekerjaan dengan sekretaris barunya. Siapa sangka sang sekretaris mencampurkan obat ke dalam minumannya.
Menepikan mobil, berlari ke dalam hutan sebelum obat bekerja adalah tujuannya. Setelah memukul tengkuk sekretarisnya hingga tidak sadarkan diri.
Danau! Air dapat sedikit menetralisir obat pembangkit gairah. Namun, sebelum mencapai danau dirinya sudah tenggelam dalam pengaruh obat. Hingga melakukannya dengan seorang wanita tidak dikenal.
Kejadian memalukan, melepaskan keperjakaan beralaskan rumput. Berteman cahaya bulan samar.
Paginya kala dirinya terbangun, wanita itu sudah tidak ada. Kemudian terdengar suara orang lewat, membuat Neil melarikan diri karena panik.
Jadi... orang ini? Dirinya menghancurkan hidup seorang gadis tidak berdosa?
"Indra keenam? Kamu bisa melihat setan?" Cheisia tertawa kecil.
"Bisa! Aku setannya!" Batin Neil, ingin menemukan cara untuk menebus kesalahannya.
"Boleh aku bekerja padamu? Aku bisa apa saja. Cuma perlu diberi makan, tidak perlu digaji."
...Seperti tetesan embun yang menguap....
...Seperti bunga bakung pinggir jalan, tersisihkan dari pandangan....
...Bagaikan suara bambu bertabrakan, kala angin meniup....
...Saat kunang-kunang mulai berterbangan. Bayangmu terlihat, walaupun hanya ilusi dalam kerinduan....
Neil.
🥀🥀🥀
"Begini, aku baru mengenalmu. Jadi---" Kalimat Cheisia disela.
"Apa karena aku pincang?" Tanya Neil mengingat luka di kakinya, akibat kecelakaan lima hari lalu.
"Bukan begitu, untuk mengambil seseorang bekerja. Aku kesulitan, karena di rumah bukan aku yang mengambil keputusan." Wanita yang tertunduk, terlihat tidak berbohong sama sekali. Apa benar kehidupan di keluarga Muller begitu buruk untuknya?
"Aku kesulitan untuk mencari pekerjaan. Rumahku mengalami kebakaran, kartu identitas semuanya menghilang." Dusta Neil membuat alasan.
Pemuda yang mengepalkan tangannya, setidaknya dirinya harus menebus kesalahan besar yang dilakukannya pada gadis ini. Bagaimana pun caranya.
"Em...aku tidak---" Cheisia berfikir sejenak.
"Tolong ya? Aku mohon, jika aku mati kelaparan, maka..." Neil tertunduk, bagaikan benar-benar terlihat tidak berdaya.
Sedangkan mata Cheisia menelisik, pakaian kotor, beberapa luka terlihat di tubuhnya. Bahkan ada luka memanjang di bagian betis yang mengeluarkan nanah. Mungkin jika tidak mendapatkan perawatan akan menjadi semakin buruk.
Tubuh yang kurus dan lemas, mungkin orang ini benar-benar kelaparan.
Menghela napas kasar mengingat nasehat mendiang neneknya. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Wanita lugu yang mudah percaya dengan orang lain itu pada akhirnya mengangguk."Tapi lukamu harus mendapatkan perawatan dulu."
Senyuman cerah, ditengah dinginnya dunia. Perlahan Neil mengikuti senyumannya. Apa dirinya jatuh cinta? Tapi memang tidak ada orang selugu ini di kehidupan kota yang kejam.
Wanita yang mengamati luka sang pemuda dengan seksama."Pasti sakit, kenapa tidak diobati?"
"Daku menunggu dikau yang mengobati." Kalimat yang diucapkan Neil.
Plak!
Namun, Cheisia yang merasa malu hingga merinding memukul bahunya.
"Sakit!" Teriak Neil.
"Maaf! Jangan menggodaku lagi. Karena yang aku cintai hanya Hazel. Mungkin dia masih salah paham padaku. Tapi aku yakin, Hazel akan kembali seperti dulu." Cheisia kembali tersenyum padanya. Sebuah senyuman penuh ketulusan.
Tidak menyadari obsesi untuk memiliki sedikit demi sedikit tumbuh dalam diri sang pemuda.
"Kenapa harus dia yang memilikimu? Kenapa bukan aku saja?" Gumamnya dengan suara kecil, tidak begitu terdengar akibat derasnya air hujan.
"Kamu bilang apa?" Tanya Cheisia tidak mendengar dengan jelas.
"Daku bilang dikau wanita tercantik yang pernah daku temui." Jawaban konyol dari Neil.
Plak!
"Aku bilang jangan menggodaku. Aku merinding setengah mati!" Ucap Cheisia refleks, memukul punggung Neil lagi.
"Sa... sakit..." Kali ini Neil tersungkur dengan satu pukulan.
"Ma... maaf!" Cheisia panik, bingung bagaimana cara menolong Neil.
*
Lukanya diobati perlahan, dokter yang hanya menghela napas melihat ke arah sang gelandangan. Luka yang terinfeksi, pada bagian kaki, beberapa luka memar akibat benturan.
"Syukurlah nona membawa gelandangan ini untuk bertobat. Jika kakinya dibiarkan terus terinfeksi dengan pengobatan seadanya, cepat atau lambat akan membusuk dan harus diamputasi." Sebuah peringatan keras dari sang dokter. Usai membersihkan nanah dan menjahit luka.
"Jadi, jika tidak dibawa ke rumah sakit aku mungkin akan kehilangan kaki?" Tanya Neil.
"Antara mati atau amputasi, mengingat lingkungan yang kotor dan tanpa antibiotik." Cibir sang dokter, membalut luka di bagian betis.
"Berarti aku berhutang nyawa pada nona. Mulai sekarang nyawaku adalah milik nona. Kakiku hanya akan melangkah untuk mengejar dan membahagiakan nona." Neil tersenyum, sebuah kalimat obsesif, tidak wajar sejatinya.
"Ja...jangan bicara sembarangan!" Cheisia menutup wajahnya malu. Menganggap itu hanya kalimat asal.
"Bagaikan pungguk merindukan bulan. Tidak sadar diri!" Cibir sang dokter.
"Namanya juga usaha!" Neil terkekeh, berpura-pura sebagai pria humoris yang miskin.
Tapi, siapakah sebenarnya Willem Alexander Niel Andreas?
Berita kematiannya di telivisi masih disiarkan secara langsung. Dengan foto terpajang didepan peti mati kosong. Diperkirakan mayatnya hancur terbakar tidak bersisa, mengingat mobil yang meledak dalam jurang.
Kematian yang benar-benar menggemparkan, banyak orang penting yang menghadiri pemakamannya, termasuk pejabat militer, politisi, bahkan pemimpin dari negara lain.
Siapa sebenarnya pemuda culun, miskin yang tersenyum bagaikan orang bodoh ini?
Berbeda dengan foto yang terlihat di siaran televisi. Pria rupawan berkelas, dengan tatapan dingin.
Willem Alexander Niel Andreas, atau sering dipanggil Willy. Terkenal sebagai kandidat terkuat pewaris perusahaan milik mendiang kakeknya.
Dibesarkan dengan pendidikan militer oleh mendiang sang kakek. Diajari untuk tidak mempercayai orang lain, dan tau balas Budi bagi orang yang berjasa dalam hidupnya.
Pemimpin perusahaan tanpa darah dan air mata, itulah yang dikatakan orang-orang tentangnya. Satu kalimat darinya, maka tidak akan ada pengusaha atau politikus yang berani menentang.
Menyingkirkan lawan bisnisnya melalui jalur akuisisi. Jika tidak berhasil, maka habisi melalui jalur belakang saja. Ada pula desas-desus yang mengatakan. Setiap karyawan yang naik pangkat dalam perusahaannya harus menandatangani perjanjian kesetiaan.
Jika melakukan korupsi, harus bersedia menyerahkan nyawanya. Atau mungkin keluar dari perusahaan dalam keadaan cacat permanen.
Itulah sosok asli dari Willem Alexander Niel Andreas. Dipanggil Willy, seseorang yang dianggap mati dengan peti mati kosong.
"Masih berita kematian putra konglomerat itu?" Sang dokter hendak merubah chanel televisi. Menggantinya dengan berita olahraga. Mengingat sudah lima hari pemberitaan, tapi masih saja ada pelayat dari berbagai negara dan perusahaan besar yang hadir.
"Jika diperhatikan wajahmu mirip dengan putra konglomerat yang baru saja meninggal." Gumam sang dokter baru menyadari segalanya.
"Wah! Benar! Gila! Aku mirip orang kaya!" Neil terlihat kagum, berpura-pura menjadi orang miskin yang udik.
Plak!
"Jangan berfikir terlalu banyak. Dia hanya gelandangan, jika dia memang putra konglomerat sudah pasti dia pulang ke rumahnya sekarang bukan?" Cheisia kembali memukul bahu Neil. Menyadarkannya tentang status.
"Benar juga! Kamu terlihat lebih hitam, kurus, jelek." Sang dokter yang merupakan paman Cheisia terkekeh.
Tidak ada jawaban Neil hanya tersenyum canggung.
"Paman, sebenarnya aku ingin memutuskan pertunangan ku dengan Hazel. A ...aku masih mencintainya. Tapi paman tau sendiri, aku tidak pantas untuknya. Selain itu jika dia mencintaiku, mungkin dengan putus sementara dia akan kembali." Ucap Cheisia tertunduk ragu.
Sang paman yang berprofesi sebagai dokter itu hanya menghela napas kasar."Andai saja setan itu tidak melecehkanmu."
"Benar..." Cheisia menangis terisak."Saat aku membawa polisi ke tempat kejadian, dia sudah melarikan diri."
"Wah! Benar-benar pria br*ngsek! Sudah menanam benih langsung kabur. Omong-ngomong apa benihnya berhasil berkembang?" Tanya Neil, mengambil kue kering yang dibelikan Cheisia untuknya.
"Tidak, syukurlah...mungkin karena Cheisia tidak berada di masa subur. Lagipula setiap bulan hanya 15-25% kemungkinan untuk mengandung. Lagipula, anak dari korban pelecehan, dapat digugurkan, tidak akan melanggar hukum. Asalkan sesuai dengan ketentuan." Penjelasan dari sang paman, yang tengah menatap iba pada keponakannya.
"Sayang sekali." Gumam Neil dengan suara kecil. Menyayangkan tidak ada anak yang dapat dijadikan alasan.
"Hah?" Sang dokter mengernyitkan keningnya.
"Maksudku, sayang sekali wanita secantik nona Cheisia menjadi korban pelecehan pria br*ngsek! Jika bertemu akan aku hajar wajah tampannya."
Anehnya tidak ada supir yang diutus keluarga Muller. Mereka kembali hanya dengan menaiki taksi.
Hingga gerbang rumah yang cukup besar itu terlihat. Ekspresi bagaikan orang kampungan, itulah yang terlihat dari raut wajah Neil.
Ada alasan tersendiri. Walaupun wajah tetap hampir sama, hanya dengan model rambut dan citra karakter yang berbeda akan terlihat seperti orang lain. Itulah yang diajarkan mendiang kakeknya, seseorang yang cukup kejam memasukkan sang cucu ke dalam sekolah militer sejak usia dini.
"Gerbangnya terbuka sendiri? Apa ini menggunakan sihir? Rumahmu besar! Aku tidak sedang berada di istana presiden kan? Ada tanaman anggur, apa berbuah? Boleh aku memetiknya?" Tanya Neil terlihat kagum.
Sedangkan Cheisia hanya dapat tertawa kecil."Pintu gerbangnya otomatis, ini menggunakan teknologi. Rumah ini bukan rumahku, ini milik kedua orang tuaku. Dan jangan coba-coba petik tanaman anggur di area gazebo. Itu plastik! Hanya hiasan." Peringatan keras dari Cheisia, dijawab dengan anggukan kepala bagaikan anak penurut.
Namun, yang sebenarnya ada dalam otak Neil."Ini rumah atau kandang sapi? Kediaman utama seperti ini?" batinnya, dengan mata masih terlihat kagum dan bibir tidak henti-hentinya memuji.
Hingga kala mobil taksi berhenti. Hanya seorang pelayan yang datang membukakan pintu.
"Terimakasih! Paman memang baik!" Ucapan sang gelandangan, memegang tangan sang pelayan pria. Namun sang pelayan hanya menepis dingin.
"Gelandangan kampungan." Gerutunya jijik, mengingat beberapa bekas luka di tubuh Neil yang belum mengering.
Sedangkan Neil tetap tersenyum lugu. Tidak seperti di kediaman pribadi miliknya, dimana kala mobilnya datang, maka pelayan akan berderet menunduk memberikan salam menyambutnya. Apakah ini yang dinamakan kehidupan orang biasa?
"Neil, kamu tunggu disini ya? A...aku akan meminta ijin untuk mempekerjakan mu pada orang tuaku." Ucap Cheisia tidak yakin, menghela napas berkali-kali.
Sedangkan Neil hanya tersenyum."Terimakasih!"
Sebuah jawaban penuh haru kala Cheisia melangkah pergi memasuki rumah seorang diri. Kala itupun juga, senyuman di wajah Neil pudar.
Menghela napas kasar, setelah kematian kakek, nenek, bahkan ibunya. Neil tidak memiliki tujuan hidup lagi. Hanya bekerja keras sembari mengingat tiga orang yang paling berarti dalam hidupnya.
Hingga kecelakaan terjadi, apa sebuah kesempatan untuk mewujudkan keinginan terakhir ibunya? Sang ibu yang hanya ingin putranya bahagia, menemukan tujuan hidup dan kebahagiaan yang baru.
Menghela napas kasar."Apa tujuan hidup yang harus aku cari?" Gumam pemuda yang menyembunyikan sifat diktatornya.
*
Perlahan Cheisia melangkah memasuki rumah kedua orang tuanya. Dirinya tinggal terpisah, namun untuk seseorang yang bekerja di apartemennya pun kedua orang tuanya yang mengatur.
Kala melangkah, seperti biasanya tidak ada satu pelayan pun yang menghormatinya. Jemari tangannya gemetar menatap ke arah adik angkat dan kedua orang tuanya yang terlihat menikmati teh bersama. Seperti family time, sudah 7 tahun lalu dari dirinya pindah untuk tinggal seorang diri di apartemen. Apa orang tua kandungnya melupakannya?
Tawa mereka terhenti kala menyadari dirinya masuk.
"Ada apa? Apa kamu membuat masalah lagi?" Tanya Sela (ibu Cheisia) terdengar dingin, meminum teh tanpa melihat langsung pada putrinya.
"Ibu, kakak baru pulang. Bukankah seharusnya kita menyambutnya?" Tanya Bianca Muller (adik angkat Cheisia).
"Bianca kamu terlalu baik. Andai saja Cheisia memiliki sedikit saja kecerdasan dan kebaikan sepertimu. Tapi Cheisia malah selalu mengecewakan ibu." Sindir Sela pada putri kandungnya.
"Ibu! Kenapa selalu membeda-bedakanku dengan Bianca!?" Teriak Cheisia, air matanya mengalir."Aku ini anak ibu, sementara Bianca hanya kebetulan anak dari orang yang mendonorkan jantungnya untuk ayah."
Sela bangkit, mengepalkan tangannya. Benar-benar geram dengan sifat putrinya yang tidak tahu malu.
Plak!
Satu tamparan benar-benar terasa kebas di pipi Cheisia. Air matanya mengalir menatap ke arah ibunya."Ibu menamparku?" tanyanya dengan nada suara bergetar.
Rasa bersalah ada dalam diri Sela, hanya karena kemarahan sesaat dirinya menampar putri kandungnya?
Namun, Bianca diam-diam tersenyum, kemudian kembali membuat raut wajah cemas dan iba."Ibu, walaupun kakak tidak menganggapku. Walaupun aku hanya anak angkat, a...aku sadar diri. Maaf... kakak..." Kalimat dengan deru air mata yang mengalir.
Sela kembali mengepalkan tangannya, meyakini hal yang dilakukannya benar. Cheisia yang salah dan Bianca yang baik hati yang benar.
"Cheisia! Kamu lihat sendiri! Kamu sendiri yang mendramatisir dan iri hati pada adikmu! Ingat! Jika bukan karena ayah Bianca, kita akan kehilangan ayahmu!" Bentak sang ibu, sementara Dirgantara Muller (sang ayah) hanya menyaksikan segalanya.
Sudah diduga oleh Cheisia tidak akan ada yang membelanya.
Bianca, anak yatim piatu yang dibawa kedua orang tuanya pada usia 14 tahun. Seorang anak dari supir taksi yang kebetulan meninggal akibat kecelakaan. Sempat menyetujui donor organ, hingga beliau lah yang mendonorkan jantungnya untuk Dirgantara Muller.
Hutang budi yang harus dibayar, membuat mereka memberikan perhatian berlebih pada Bianca. Namun, di sisi yang berbeda putri mereka merasa tersisihkan.
"Seharusnya kamu meniru Bianca. Dia sebentar lagi akan lulus S2, juga turut membantu ayah di perusahaan." Sang ayah bukannya membela, hanya membenarkan letak kacamatanya, sembari membaca laporan pada tabnya.
"A...aku mengundang teman-temanku sesama influencer untuk menjadi marketing produk perusahaan. A...apa kontribusiku tidak dianggap?" Tanya Cheisia, mengepalkan tangannya.
Brak!
Sang ayah menggebrak meja."Tidak berhasil masuk universitas ternama. Bukan hanya itu malah memilih jurusan akting! Pada akhirnya kamu hanya menjadi artis figuran atau pemeran pengganti."
"A...aku punya penghasilan setelah lulus. A ...aku menabung sampai dapat membeli apartemen, dan---" Kalimat Cheisia terhenti.
Brak!
"Berapa yang kamu hasilkan! Ayah sudah bilang ikut jurusan bisnis dan manajemen! Jika begini ayah tidak akan dapat mempercayakan perusahaan padamu. Ayah akan lebih tenang saat mati nanti membiarkan perusahaan berada di tanah Bianca!" Suara bentakan menggelegar, membuat Cheisia ketakutan, menutup kedua telinganya sendiri.
Air matanya masih mengalir. Mengapa jadi begini? Hubungannya dengan kedua orang tuanya semakin menjauh. Dirinya sudah berusaha, namun bagaikan ada tembok tidak terlihat yang tidak bisa dilewati olehnya.
"Sudah ayah, nanti tekanan darah ayah naik lagi. Kakak tidak bermaksud begitu, kakak mungkin hanya lebih senang menjalankan hobinya. Duduk ya?" Pinta Bianca tersenyum lembut.
"Tolong buatkan green tea untuk ayah!" Perintah Bianca pada salah satu pelayan.
"Baik nona..." Sang pelayan menunduk memberi hormat. Sudah diduga olehnya bahkan pelayan menganggap Bianca lebih berarti di rumah ini.
"Bianca lebih bisa mengurus kami dan peduli pada kami. Cheisia, berhentilah bermain-main dengan hidupmu! Jangan sia-siakan hidup dengan jadi pengangguran." Kalimat penuh kebencian dari sang ibu.
"A...aku bekerja walaupun menjadi model dan artis figuran." Jawaban Cheisia yang memang tidak berbakat sama sekali dalam hal bisnis.
"Dasar bebal!" Sang ibu memalingkan wajahnya.
"Jadi apa tujuanmu kemari hanya untuk membuat keributan? Kalau begitu sebaiknya jangan pulang." Tanya Dirgantara Muller.
"A ...aku hanya ingin minta ijin menggantikan pelayan di apartemenku. Dia tidak memperlakukanku dengan hormat. Se...selain itu aku ingin memutuskan pertunangan dengan Hazel." Jawaban darinya tertunduk penuh rasa bersalah.
Plak!
Tamparan kembali didapatkannya."Anak tidak tau diuntung! Bukan hanya dilecehkan karena mabuk. Tapi kamu juga berani berpisah dengan pria sebaik Hazel!?" Geram Sela, menampar kemudian menjambak rambut putrinya.
"Pernikahanmu akan diadakan tiga hari lagi. Jangan menentang keputusan orang tua." Ucap sang ayah dingin.
"Sakit! Aku tidak mau! Hazel berubah kasar, dia bahkan membawa banyak wanita ke apartemennya. Hazel dan Bianca---" Kalimat Cheisia disela.
"Ibu, sudah hentikan! Aku yakin kakak hanya cemburu. Kakak, aku tidak memiliki hubungan dengan Hazel." Bianca menengahi, menangis seakan tidak tau apapun.
"Jika kamu tidak menikah dengan Hazel dalam tiga hari. Kamu bukan putriku lagi." Geram sang ibu, melempar vas bunga ke lantai.
Hingga seorang pemuda pincang memasuki rumah. Bertepuk tangan."Wah! Akting yang bagus! Apa di sini tempat syuting film?"
"Neil!" Teriak Cheisia kesal, mengapa pria bodoh ini memasuki rumah.
"Nona! Akting anda hebat! Menjadi anak tiri teraniaya. Apa ini drama Cinderella?" Tanya Neil bagaikan kagum.
"Dasar gelandangan bodoh! Ini bukan---" Kalimat Sela disela.
"Nyonya pemeran ibu tiri yang keren!" Puji Neil membuat Sela menyadari sesuatu. Apa dirinya keterlaluan pada putri kandungnya?
Pipi yang memerah, rambut terawat Cheisia acak-acakan.
"Kenapa kamu berkata sembarangan?" Bianca ingin fikiran semua orang kembali teralih.
"Aku tidak bicara sembarangan. Tapi ini seperti drama ibu tiri dan Cinderella. Kamu (Bianca) tidak cedera kan? Tapi nona Cheisia pipinya memerah karena tamparan. Jadi nona, ayo kita berobat, sesuai dongeng Cinderella akan hidup bahagia jika keluar dari rumah ibu tiri." Kalimat pelan nan lugu dari Neil.
Sukses membuat Sela duduk di kursi dengan tangan gemetar. Bahkan air matanya mengalir, menyadari sudah dua kali menampar putri kandungnya.
"I...ibu aku permisi." Pada akhirnya tanpa mendapatkan apapun Cheisia tertunduk meninggalkan rumah.
Sedangkan sang ayah hanya terdiam. Meminta maaf juga, mementingkan egonya. Dalam hatinya terketuk, tapi tetap saja dirinya harus mendidik Cheisia agar mencontoh Bianca.
*
Sementara itu dalam mobil taksi yang melaju. Cheisia hanya terdiam, merindukan saat-saat dimana Bianca belum hadir diantara mereka.
Saat-saat dimana dirinya dimanjakan. Saat-saat dimana dirinya membukakan obat untuk ayahnya yang memang menderita penyakit jantung.
"Daku ikut sedih jika dikau menangis. Taukah dikau, daku akan mati jika tidak melihat senyuman dikau. Dikau adalah nyawa daku." Kembali kalimat itu membuat wajah muram Cheisia tersenyum.
"Sudah!" Cheisia tertawa, merasa memiliki teman.
"Tawa dikau membuat daku mati karena serangan jantung. Entah kapan dikau akan menerima cinta daku." Hal yang memalukan, namun tawa Cheisia semakin kencang.
"Dikau cantik... asupan nutrisi harian bagi daku..."
Kebahagiaan itu sederhana, itulah yang disadari Neil. Kala melihat Cheisia tertawa. Ada perasaan aneh dalam dirinya, seperti ingin mendekap dan melindunginya. Tidak akan membiarkan sayap rapuh kupu-kupu kecil ini terluka.
Apa itu tujuan hidup? Pertanyaan yang tersimpan.
🥀🥀🥀
...Aku hanya angin, menyapu rambutmu perlahan....
...Aku hanya angin, memasuki tubuhmu tanpa kamu sadari....
...Aku hanya angin, memberimu rasa nyaman....
...Aku bukan angin, karena aku tidak bisa hidup tanpa napasmu....
...Memelukmu bahkan hingga ke surga, itulah mimpiku....
Neil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!