...Happy Reading...
...^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^...
"Aku menolak perjodohan ini!"
Untuk kesekian kalinya kalimat penolakan itu terlontar dari bibir seorang wanita bernama Karin Andhini. Wanita dengan tinggi semampai itu sudah merasa bosan dengan perjodohan yang dilakukan oleh papa dan tantenya. Sebagai seorang wanita, Karin juga ingin menikah tapi tidak dengan dijodohkan. Karin percaya jika jodoh akan datang dengan sendirinya tanpa harus perlu dipaksa.
Diusia Karin yang sudah menginjak 25 tahun membuat sang ayah, Ardi Nugroho, begitu takut jika putri semata wayangnya itu akan menjadi perawan tua. Sebagai orang tua tunggal, Ardi hanya ingin Karin bisa menikah dengan pria yang tepat. Seorang pria yang bisa menjaga dan mencintai Karin dengan tulus.
Lima belas tahun lalu, Ardi memutuskan untuk bercerai dengan mama Karin. Sejak saat itu Karin harus kehilangan sosok seorang ibu. Rasa kesepian membuat Karin menjadi wanita yang tidak mau diatur dan lebih menyukai kebebasan.
"Kali ini dengan alasan apa lagi kamu menolak perjodohan ini?" tanya Ardi. Saat ini mereka sedang berada didalam sebuah restauran. Bersama mereka juga ada Lidia yang merupakan tante Karin, adik kandung dari Ardi.
"Karin ingin fokus bekerja dulu, Pa." jawab Karin. Sudah satu tahun ini dia bekerja di salah satu perusahaan dan menjabat sebagai seorang sekertaris.
"Tapi apa yang dikatakan oleh Papa kamu adalah benar. Untuk apa perempuan capek-capek kerja, ujung-ujungnya juga ketemu dapur dan ranjang!" timpal wanita berambut pendek sebahu yang adalah Lidia.
Karin menatap malas pada Lidia yang duduk dihadapannya. Wanita itu selalu saja ikut campur, bahkan tak segan-segan Lidia mencari-carikan pria untuk dijodoh-jodohkan dengan Karin.
"Tante, tolong jangan ikut campur urusan pribadi Karin. Tante sendiri nikah muda tapi ujung-ujungnya apa? Cerai juga kan?" ketus Karin. Lidia memang sudah dua kali menjanda dan belum memiliki keturunan dari dua kali pernikahannya.
"Karin!! Jaga bicaramu!" ucap Ardi dengan nada membentak. Emosinya menjadi tidak stabil setiap kali mendengar hal tentang adik kandungnya itu.
Beberapa orang yang duduk disana langsung menatap kearah mereka. Membuat Lidia merasa tidak enak hati dan langsung mengusap-usap lembut lengan sang kakak untuk menenangkan.
"Mas, sudah mas. Tenangkan diri kamu." ucap Lidia, kemudian dia menatap kearah Karin. "Karin, Papa kamu hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Kami tidak ingin kamu sampai memilih pria yang salah."
"Papa, Tante, Karin sudah dewasa. Biarkan Karin memilih sendiri pendamping hidup Karin," ucap Karin dengan tegas. Dia bergegas bangun dari duduknya, diraihnya tasnya yang diletakkan di atas meja lalu melenggang pergi keluar restauran.
Karin tidak ingin berdebat lagi. Lebih baik dia kembali ke kantor dan bergelut dengan pekerjaannya daripada harus berdebat soal perjodohan dengan papa dan tantenya yang tidak ada habisnya.
Ardi dan Lidia ikut bangun untuk menyusul Karin. Ardi terus memanggil-manggil nama putrinya namun tidak dihiraukan oleh Karin.
"Karin.... Karin...." panggil Ardi sambil terus berjalan menyusul Karin keluar dari restauran.
Ardi tidak ingin Karin sampai tidak pulang malam ini. Setiap marah atau ada masalah Karin pasti tidak mau pulang dan memilih menginap dirumah sahabat Karin, yaitu Dhea. Apalagi hubungan Karin dan Lidia tidak begitu akrab. Karin tidak menyukai tantenya yang selalu ikut campur urusannya, terutama soal perjodohan.
Karin melangkahkan kakinya cepat, dia berjalan melewati pintu utama. Tiba-tiba langkah kaki Karin terhenti saat melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan mata. Nampak seorang pria yang duduk di kursi pengemudi turun dan segera membukakan pintu mobil belakang untuk seseorang.
Mata Karin sampai tidak berkedip menatap sosok pria yang baru saja turun dari dalam mobil. Wajah yang tampan dan tubuh yang tegap tinggi mampu membuat Karin melongo dan menatap kagum pada pria itu.
"Karin, tunggu Nak. Papa belum selesai bicara." nafas Ardi tersengal-sengal karena berjalan cepat mengejar Karin. Sementara Lidia menyusul dibelakangnya karena harus membayar dulu makanan dan minuman yang mereka pesan tadi.
Dengan senyum diwajahnya Karin memutar tubuhnya. Dia memiliki sebuah ide cemerlang untuk menutup mulut Papa dan tantenya supaya berhenti menjodoh-jodohkanya lagi.
Karin menatap Papa dan Tantenya secara bergantian.
"Pa, sekarang Karin punya alasan kuat kenapa Karin menolak perjodohan ini," ucap Karin dengan penuh keyakinan.
"Alasan? Alasan apa, Nak?" tanya Ardi.
"Karin sudah punya pacar, Pa. Dan sekarang dia ada disini. Karin ingin memperkenalkannya pada Papa dan tante supaya kalian tidak menjodohkan Karin lagi dengan pria manapun," jawab Karin.
Ardi melihat sekelilingnya dimana beberapa orang sedang berlalu lalang disana.
"Dimana? Siapa pria itu?" tanya Ardi penasaran.
Karin tidak langsung menjawab, dia menoleh pada pria berjas hitam yang sedang berjalan ke arah mereka. Lebih tepatnya pria itu akan masuk ke dalam restauran karena posisi berdiri Karin sekarang masih berdiri didepan pintu utama.
"Dia... Dia adalah pacar Karin." Karin menunjuk dengan jari telunjuknya, membuat pria yang ditunjuk langsung menghentikan langkahnya tepat dihadapan Karin.
Alvaro Adelard, atau lebih akrab dipanggil Al adalah seorang pembisnis muda berusia 30 tahun. Dia adalah direktur YF Group, sebuah perusahaan besar yang bergerak dalam bidang industri dan perhotelan. Dia adalah putra sulung keluarga Adelard dan memiliki seorang adik bernama Elvano Adelard yang usianya selisih 3 tahun darinya.
Kedatangan Alvaro ke restauran itu karena dia ada pertemuan penting dengan salah satu rekan bisnisnya. Mereka ingin makan siang sekaligus membicarakan sebuah proyek besar. Namun Alvaro malah dibuat terkejut dengan seorang wanita yang tiba-tiba menunjuk ke arahnya dengan mengakui dirinya sebagai pacar.
Ardi dan Lidia menatap pada sosok pria tampan yang sepertinya bukan dari kalangan biasa itu. Mereka masih tidak percaya dengan ucapan Karin.
"Jadi kamu pacarnya Karin? Siapa nama kamu, Nak?" tanya Ardi pada Alvaro.
Karin berjalan mendekat ke arah Alvaro sebelum pria itu sempat menjawab. Alvaro hanya menatap bingung pada tiga orang asing yang berdiri dihadapannya.
Kedua tangan Karin menggenggam erat pada lengan Alvaro. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Alvaro.
"Tiga ratus ribu, aku rasa itu cukup. Tolong bantu aku hanya dengan menjawab iya." ucap Karin berbisik, remasan tangan Karin semakin kuat pada lengan Alvaro. Karin berharap pria itu mau membantunya supaya dia terlepas dari rencana perjodohan.
Alvaro menatap Karin sekilas dengan tatapan datarnya, lalu dia kembali menatap Ardi yang sedang menunggu jawaban darinya. Wanita seperti Karin sudah sering dia jumpai. Wanita-wanita ja-lang yang ingin menggoda dan berusaha merebut perhatiannya. Namun sayangnya Alvaro tidak tertarik dan tidak pernah menanggapi mereka. Dan kali ini dia juga enggan untuk bersandiwara dengan wanita yang berdiri disampingnya.
"Maaf, tapi saya bukan..."
Karin segera memotong ucapan Alvaro. "Sayang, Papaku punya riwayat penyakit jantung. Beliau hanya ingin mengenal kamu." Karin melebarkan senyum terpaksa pada Alvaro. Satu tangan Karin mencubit pinggang Alvaro.
"Tapi Karin, Papa tidak punya ri..."
"Alvaro, nama saya Alvaro," ucap Alvaro memperkenalkan diri. Dia merasa tidak tega melihat wajah pria tua dihadapannya yang nampak seperti mencemaskan sesuatu. "Tapi saya bukan..."
"Pa, sebaiknya Papa dan tante pulang sekarang. Karin harus kembali bekerja dan pacar Karin ini juga harus bekerja. Lain kali kita bisa ngobrol lagi." Karin sengaja memotong ucapan Alvaro, membuat pria itu menatap tajam padanya.
Ardi dan Lidia mengangguk setuju, mereka tidak ingin mengganggu jam kerja Karin. Setidaknya mereka sudah merasa lega karena Karin sudah memiliki seorang kekasih. Sekarang mereka tidak perlu lagi mencarikan pria mapan untuk dijodohkan dengan Karin. Mereka yakin Alvaro adalah sosok pria yang tepat sebagai pendamping hidup Karin.
Setelah berpamitan, Ardi dan Lidia pergi meninggalkan tempat itu dengan menggunakan taksi. Sekarang hanya tinggal Karin dan Alvaro yang masih berdiri didepan restauran.
Dengan raut wajah kesal, Alvaro menarik kasar tangannya hingga terlepas dari pegangan tangan Karin.
"Memperkenalkan orang asing tanpa melihat-lihat dulu latar belakangnya, apa kamu tau apa akibatnya?" Alvaro meninggikan suaranya, menatap tidak percaya pada Karin yang sudah menciptakan sebuah kebohongan besar.
"Aku tidak peduli. Aku lihat kamu tampan dan mapan. Itu sudah cukup membuat keluargaku percaya dan tutup mulut," jawab Karin seperti tanpa beban. Setelah ini dia yakin tidak akan ada lagi rencana perjodohan.
"Dasar wanita gila!"
"Anggap saja seperti itu, anggap saja aku sudah gila," balas Karin tak kalah kesalnya.
Alvaro menggeleng tidak percaya. Dia memilih pergi dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam restauran karena kehadirannya sudah ditunggu. Semoga saja setelah ini dia tidak akan pernah bertemu dengan wanita gila itu lagi.
Sementara Karin hanya mampu menatap punggung Alvaro dengan sebuah senyuman getir diwajahnya sampai sosok itu menghilang dari pandangan matanya.
"Maafin Karin, Pa. Karin terpaksa berbohong sama papa. Karin tidak ingin papa terus mengkhawatirkan Karin dengan berusaha memilihkan pria yang tepat untuk Karin."_ batin Karin dengan wajah tertunduk sedih. Bahkan dia sampai lupa dengan janjinya untuk membayar tiga ratus ribu pada pria bernama Alvaro tadi.
...💖💖💖💖💖...
🍁 Mohon dukungannya dan mari kita menghalu bersama. Mohon bijak dalam berkomentar karena ceritanya mungkin agak sedikit ruwet ya 🤭🙏
Setelah mengirim pesan pada papanya, Karin menjatuhkan dirinya terlentang diatas ranjang berukuran besar milik Dhea. Ya, malam ini dia akan menginap di rumah Dhea untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan oleh papa dan tantenya dirumah. Dua orang tua itu pasti masih penasaran dengan sosok pria yang Karin kenalkan tadi siang.
"Gila!!" decak Dhea tak percaya. Hanya kata itu yang pas untuk menggambarkan tentang apa yang baru saja dia dengar dari cerita Karin.
Karin membalikkan tubuhnya hingga posisi dia tengkurap di atas ranjang. Menatap Dhea yang berjalan mendekat lalu berdiri di sisi ranjang dengan menyilangkan kedua tangannya didada. Tatapan wanita itu begitu mengintimidasi.
"Gimana kalau yang kamu kenalkan ternyata adalah suami orang, Rin?" Dhea menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa Karin tega membohongi papanya sendiri dengan melibatkan orang yang Karin sendiri tidak kenal dengan mengakuinya sebagai pacar.
"Aku tidak berfikir sampai sejauh itu, Dhe. Yang penting aku lepas dulu dari rencana perjodohan!" jawab Karin.
Karin menempelkan dagunya pada kedua tangannya yang saling menumpuk. Matanya langsung berbinar mengingat wajah tampan pria yang dia akui sebagai pacarnya tadi siang.
"Tapi... Dia sangat tampan, dan aroma tubuhnya itu...." Karin memejamkan kedua matanya. Dia menghirup udara dalam-dalam, membayangkan seolah sedang mencium wangi tubuh Alvaro yang seperti candu baginya.
Kedua mata Karin kembali terbuka lebar. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan sosok Alvaro yang begitu mempesona. Mungkinkah dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan pria itu?
Dhea menghembuskan nafas kasar melihat Karin yang sedang senyum-senyum sendiri. Lalu dia duduk di tepi ranjang menghadap ke arah Karin yang masih tengkurap.
"Rin, jangan memimpikan sesuatu yang belum pasti. Apa salahnya kamu mencoba dulu menerima rencana perjodohan itu. Siapa tau kalian cocok?" Dhea mengutarakan kekhawatirannya, dia hanya tidak ingin Karin sampai patah hati jika sampai salah memilih pasangan.
"Kamu sama aja kayak tante Lidia. Cerewet!" Karin bergegas bangun dan duduk dengan menghadap ke arah Dhea.
"Biarin aja aku cerewet. Anggap saja aku ini seorang ibu yang sedang memberikan nasehat-nasehat pada putrinya," ujar Dhea terkekeh kecil.
Wajah Karin mendadak menjadi muram setelah mendengar perkataan Dhea. Tiba-tiba dia teringat seseorang yang mampu membuat matanya berkaca-kaca.
"Aku kangen sama mamaku, Dhe. Lima belas tahun beliau tidak pernah datang walau hanya sekedar untuk melihatku. Kenapa mama dan papaku harus bercerai, Dhe? Tidak bisakah mereka mempertahankan pernikahan mereka demi aku?" air mata Karin lolos tanpa permisi. Dia memang tidak pernah mengetahui alasan perceraian kedua orang tuanya. Ardi selalu menutupi semua kebenarannya dari Karin.
Dhea mendekatkan tubuhnya dan memeluk Karin dengan erat. Dia ikut merasa sedih setiap kali melihat Karin menangis karena merindukan mamanya.
"Mamaku tidak pernah menyayangi aku. Dia tidak pernah memperdulikan aku. Dia hanya mencintai dirinya sendiri!" tangis Karin semakin keras. Dadanya begitu sesak setiap mengingat lima belas tahun ini dia hidup dengan merindukan sosok seorang ibu.
"Jangan bicara seperti itu, Rin. Mama kamu pasti punya alasan kuat kenapa dia tidak pernah hadir dalam hidupmu lagi." Dhea melepaskan pelukannya dan menatap wajah Karin. Diusapnya air mata yang membasahi wajah sahabatnya itu.
Karin tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. Dia kembali memeluk tubuh Dhea. Hanya dihadapkan sahabatnya itu, Karin mau terbuka tentang banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Hanya Dhea yang bisa mengerti dan memahami Karin.
...💝💝💝💝💝...
Suara langkah kaki memasuki sebuah unit apartemen mewah. Pandangan seorang pria mengedar ke segala penjuru ruangan. Berharap ada seseorang yang menyambut kehadirannya di dalam ruangan itu.
"Kemana lagi dia?" gumam Alvaro saat lagi-lagi dia tidak melihat Maya menyambutnya pulang.
Alvaro merogoh ponselnya disaku celananya. Dia mencari kontak seseorang dan mencoba menghubunginya.
"Halo sayang," terdengar suara seorang wanita dari balik sambungan telefon. Itu adalah suara Maya, istri Alvaro.
"Dimana kamu, May?" tanya Alvaro sambil melihat jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.
"Sayang apa kamu tidak membaca pesanku? Hari ini Tania ulang tahun dan aku sedang datang ke pesta ulang tahunnya. Malam ini aku nginep di rumah Tania ya? Aku janji, aku akan pulang sebelum kamu berangkat ke kantor," jelas Maya panjang lebar.
"Tapi May...." Alvaro tidak melanjutkan kata-katanya saat panggilan telefon diputus sepihak oleh Maya.
Alvaro hanya mampu menatap layar ponselnya sembari menghembuskan nafas kasar. Dia membuka pesan dari Maya yang memang belum sempat dia baca karena seharian ini dia disibukkan dengan kegiatan kantor.
Alvaro melangkahkan kakinya menuju kamar. Dibukanya pintu ruangan yang sudah dia tempati bersama dengan Maya selama hampir dua tahun ini. Tatapannya tertuju pada ranjang berukuran besar yang biasa dia tiduri bersama sang istri. Diatas ranjang besar itu mereka biasanya mereka memadu cinta dan saling bertukar peluh keringat.
Namun, sudah beberapa bulan terakhir ini sikap Maya mulai berubah. Entah Maya atau Alvaro duluan yang mulai menjauh. Kesibukan kantor membuat Alvaro jarang menyempatkan waktu berdua dengan Maya. Sementara Maya sendiri mulai menyibukkan diri dengan pergi keluar dengan teman-temannya.
Tak ingin kecewa berkepanjangan, Alvaro memilih untuk pergi mandi dan menyejukkan tubuhnya dengan guyuran air shower. Tak bisa dibohongi, hati dan pikirannya tetap tertuju pada Maya. Bisa saja dia pergi menyusul Maya ke rumah Tania. Tapi, Maya pasti akan marah dan menganggap dirinya tidak percaya pada sang istri.
Keesokan paginya...
Sesuai janjinya, pagi ini Maya pulang ke apartemen sebelum suaminya berangkat ke kantor. Maya baru saja selesai mandi dan sekarang dia sedang berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya.
Hanya dengan menggunakan celana pendek yang menutupi bagian bawahnya, Alvaro melingkarkan tangannya di pinggang Maya dari arah belakang. Mencium wangi rambut wanita yang sudah hampir dua tahun ini menjadi istrinya.
"Mama dan papa meminta kita untuk mengunjungi mereka dirumah. Bagaimana jika malam ini?"
Mendengar ucapan suaminya, wajah Maya langsung berubah menjadi muram. Dia meletakkan sisir ditangannya ke atas meja rias dan mengalihkan pandangannya dari pantulan cermin.
Maya tau apa yang akan menjadi pembahasan dirumah mertuanya. Setiap kali dia datang berkunjung kesana pasti dirinya akan ditanya tentang anak.
"Minggu depan saja, ya? Aku sudah ada janji dengan teman-temanku minggu ini." Maya membalikkan tubuhnya dan melingkarkan kedua tangannya dileher Alvaro. Diciumnya sekilas bibir prianya.
"Apa teman-temanmu itu lebih penting?" tanya Alvaro dengan raut wajah kecewa.
"Bukan penting, hanya saja kami sudah membuat janji. Aku...."
"Tapi kita juga sudah lama tidak mengunjungi kediaman orang tuaku. Kenapa harus orang luar dulu yang kamu utamakan?" Alvaro melonggarkan pelukannya, memalingkan wajahnya kesamping. Menatap foto pernikahannya dengan Maya yang tergantung di dinding kamar.
"Ayolah, Al. Aku tidak bermaksud seperti itu, Sayang." kedua tangan Maya menangkup wajah Alvaro supaya pria itu mau menatapnya kembali.
"May, apa kamu tidak berniat memiliki anak denganku?" tanya Alvaro. Wajah Maya langsung menunduk, dia menurunkan kedua tangannya dari wajah suaminya.
"Al... Kita sudah janji untuk tidak membahas tentang hal ini. Aku masih belum siap untuk memiliki seorang anak." Maya melangkahkan kakinya ke arah ranjang dan mendudukkan dirinya disana.
Alvaro menatap Maya dengan tatapan penuh kekecewaan. Dia menghembuskan nafas panjang, selalu saja jawaban yang sama yang harus dia dengar dari bibir Maya setiap kali membicarakan tentang anak.
"Terserah kamu saja. Aku mau mandi dulu!"
Maya hanya diam menatap punggung Alvaro, sampai bayangan suaminya itu menghilang bersamaan dengan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Sebuah perasaan bersalah langsung menyelimuti hati Maya.
"Maafkan aku, Al..."
...💝💝💝💝💝...
Beberapa hari berlalu, dan sampai semalam pun Karin lebih memilih menginap di rumah Dhea. Setidaknya disana dia bisa lebih menenangkan hati dan pikirannya.
Alvaro, sosok itu telah mampu mengusik hati dan pikiran Karin. Membuat malam-malam Karin terjaga dengan hanya membayangkan wajah Alvaro. Seperti saat ini, Karin sedang duduk di kursi kerjanya sambil terbayang wajah tampan yang terus mengisi benaknya.
"Membayangkan doang tidak dosa kan?" gumam Karin pada dirinya sendiri.
"Membayangkan apa, Rin?" tanya sebuah suara yang membuat Karin kaget hingga pandangannya kini beralih pada sosok yang sedang berdiri tegak didepan meja kerjanya.
"Pak David, mengagetkan saja," keluh Karin saat melihat ternyata bosnya yang menegurnya.
David adalah atasan Karin ditempat dia bekerja. Sebagai atasan David bahkan memperlakukan Karin layaknya seorang teman hingga tidak ada kecanggungan diantara mereka.
"Kamu mau ikut saya makan siang? Saya mau makan siang dengan teman saya diluar," ajak David pada Karin.
"Tidak, Pak. Terimakasih. Saya makan di kantin bawah saja sama para staf lain," tolak Karin dengan halus.
"Sudahlah ayo ikut saja. Biar kamu tidak kuper dan bisa mengenal dunia luar," ucap David sedikit memaksa.
Satu tahun menjadi bos Karin membuat David memahami sosok seorang Karin Andhini. Dia bisa melihat jika Karin adalah wanita yang baik. Bahkan David tidak pernah melihat ada seorang pria yang datang untuk mengantar menjemput Karin ke kantor, wanita itu biasa datang dan pergi dengan menggunakan ojek online.
Dan kebetulan siang ini David ada janji makan siang dengan dua sahabatnya. Siapa tau dia bisa mendekatkan Karin dengan salah satu sahabatnya yang juga masih jomblo.
Karena terus dipaksa, akhirnya Karin ikut pergi dengan David. Dan sekarang mereka sudah berada di sebuah restauran. David melangkahkan kakinya masuk dengan diikuti oleh Karin yang mengekor dibelakangnya.
"Itu teman saya, ayo kita kesana," ucap David menunjuk ke arah seorang pria seusianya yang sedang duduk sendirian dengan pakaian formal.
"Saya permisi ke toilet dulu ya, Pak. Nanti saya menyusul kesana," ujar Karin berpamitan.
David menganggukkan kepalanya, kemudian dia berjalan menghampiri sahabatnya yang sedang duduk sendirian. Sementara Karin berjalan mencari arah toilet.
Karin membuka tasnya dan mencari-cari sesuatu didalamnya. Tanpa sengaja tubuhnya menabrak sesuatu yang begitu keras hingga membuat tubuhnya terhuyung kebelakang. Beruntung sebuah tangan kekar menangkap pinggangnya hingga Karin tidak jadi terjatuh.
Pandangan mata Karin langsung terkunci melihat siapa yang sedang berdiri dihadapannya sekarang. Sosok itu begitu nyata, sosok yang dia dambakan sejak pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu.
"Dia... Apa dia kesini untuk menagih hutang tiga ratus ribu yang aku janjikan tempo hari?" batin Karin mengingat dia belum membayar hutang pada Alvaro sesuai janjinya waktu itu.
Alvaro segera melepaskan tangannya dari pinggang Karin. Dia menatap Karin sebentar lalu melangkahkan kakinya melewati Karin tanpa berkata sepatah katapun.
"Hei, tunggu!" panggil Karin membuat langkah kaki Alvaro terhenti.
Karin mengeluarkan dompetnya dari dalam tas. Dia mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah dari dalam dompet. Kemudian dia berjalan ke arah Alvaro dan berdiri di tepat dihadapan pria itu.
Karin menarik tangan Alvaro dan menaruh tiga lembar uang itu di telapak tangannya.
"Ini bayaranmu tempo hari. Terimakasih karena sudah membantuku." ucap Karin menatap kagum pada wajah datar Alvaro yang tetap nampak mempesona dimatanya. Jantungnya berdegup kencang sekali.
Belum sempat Alvaro bersuara, Karin lebih dulu berlari cepat masuk ke dalam toilet. Karin merasa sangat gugup sekali. Sementara Alvaro hanya bisa menarik nafas panjang dan menatap pada tiga lembar uang berwarna merah ditangannya.
Didalam toilet, Karin tengah berdiri di depan cermin dengan menatap dirinya di pantulan cermin. Dia mencoba mengatur degup jantungnya yang berdegup kencang saat bertatapan dengan Alvaro tadi. Karin tidak bisa berbohong jika dirinya sudah benar-benar jatuh cinta sejak pandangan pertama.
Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi Karin. Karena dia bisa bertemu dengan Alvaro lagi. Seandainya saja mereka berjodoh dan dia bisa menjadi istri Alvaro, Karin pasti akan merasa menjadi wanita yang paling bahagia.
Merasa sudah cukup lama berada di dalam toilet, Karin buru-buru keluar karena tidak enak membuat David dan temannya menunggunya terlalu lama. Dia melangkahkan kakinya menuju meja dimana David dan temannya duduk.
"Maaf Pak, saya..." Karin tidak melanjutkan kata-katanya saat melihat tiga pria tampan sedang duduk dan kini sedang menatap pada dirinya.
Karin segera memalingkan wajahnya kesamping saat melihat Alvaro adalah salah satu dari tiga pria itu.
"Ba-bagaimana bisa dia...." batin Karin merasa sangat canggung sekaligus malu.
"Kenalkan, dia Karin. Karin ini adalah sekertarisku." David memperkenalkan Karin pada dua sahabatnya, Alvaro dan Kenzo.
Karin kembali menatap tiga pria itu dan melebarkan senyuman diwajahnya. Sebisa mungkin dia berusaha untuk tidak terlihat gugup dihadapan tiga pria tampan itu.
"Karin, mereka berdua ini adalah sahabatku, Alvaro dan Kenzo. Lebih akrabnya kamu bisa memanggil mereka Al dan Ken saja."
Karin mengangguk tersenyum, namun tatapannya lebih ke arah Alvaro. Pria itu nampak acuh dengan ekspresi datarnya.
"Silahkan duduk, Rin." David mempersilahkan Karin untuk duduk, wanita itu mengangguk dan segera mendudukkan dirinya di atas kursi.
David memanggil seorang waiters dan meminta buku menu untuk memesan makanan.
"Kamu mau makan apa, Rin?" tanya David menunjukkan buku menu pada Karin.
"A-apa saja, Pak. Sebaik-baik Bapak saja yang memesan." Karin mengembalikan buku menu itu kedepan David. Jangankan untuk memesan makan, untuk makan saja rasanya dia sudah tidak berselera. Dia merasa sangat gugup karena harus duduk satu meja dengan Alvaro.
"Wajah kamu pucat, Rin. Apa kamu sakit?" tanya David yang melihat wajah Karin seperti begitu tegang dan sedikit pucat.
Alvaro dan Ken yang mendengar ucapan David langsung menatap kearah Karin secara bersamaan. Membuat Karin merasa semakin bertambah gugup karena ditatap oleh tiga pria tampan.
Karin menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ti-tidak saya baik-baik saja."
Karin menutup kedua matanya rapat dengan wajah sedikit menunduk. Seandainya dia bisa menghilang, mungkin sekarang dia akan menghilang dari hadapan tiga pria tampan dihadapannya. Apalagi setiap melihat tatapan Alvaro padanya, membuat jantung Karin seperti ingin lepas dari tempatnya.
Dan pada akhirnya David yang memesankan makanan untuk Karin dan untuk dirinya. Sekarang mereka sedang menikmati makan siang mereka. Sesekali Karin melirik ke arah Alvaro yang sedang makan dikursi samping Karin. Pesona pria itu tidak hilang dalam ekspresi apapun. Walaupun Kenzo juga tampan, namun hati Karin sudah terpikat pada Alvaro seorang.
"Ken, nanti tolong kamu antar balik Karin kekantor aku sekalian ya? Soalnya aku mau jemput Sisil dulu di salon," ujar David beralasan.
Sebenarnya David ingin mendekatkan Karin dengan Kenzo. Supaya dua orang itu tidak jomblo lagi. Diantara mereka bertiga memang hanya Kenzo yang masih jomblo dan belum menikah. David sendiri sudah memiliki istri dan seorang putri berusia 3 tahun.
"Memangnya tidak ada supir yang menjemput istri kamu itu?" tanya Kenzo berpura-pura bodoh. Dia tau maksud terselubung David memintanya untuk mengantarkan Karin.
Belum sempat David menjawab, Karin lebih dulu berbicara.
"Tidak perlu repot-repot, Pak. Biar saya balik kekantor dengan naik taksi saja. Permisi!'
Karin buru-buru bangun sebelum ada perdebatan lagi. Dia tidak berminat untuk pulang bersama dengan Kenzo. Sementara Alvaro lebih banyak diam dan tidak terlalu menanggapi apa yang terjadi disekitarnya.
Begitu membalikkan tubuhnya, Karin tidak sengaja menabrak seorang waiters yang sedang membawa nampan berisi minuman yang akan disuguhkan untuk pengunjung. Minuman itu tumpah hingga mengenai kemeja putih yang dikenakan oleh Karin.
"Ma-maaf, nona." ucap waiters itu merasa bersalah.
Karin tidak menjawab, dia mengusap-usap kemejanya yang basah dibagian dada. Karin tidak sadar jika kemeja yang dia kenakan sekarang tembus sampai ke dalam hingga memperlihatkan warna bra yang sedang dia pakai. Beberapa pengunjung pria yang melihat sampai menelan ludah mereka saat melihat pemandangan yang tidak biasa itu.
Pandangan Alvaro pun tertuju pada dada Karin, wanita itu sedang sibuk mengibas-ngibas bajunya yang basah dengan tangannya, hingga tidak menyadari jika dirinya sedang menjadi pusat perhatian para pengunjung disana.
Alvaro bergegas bangun dan membuka jas yang dia kenakan. Disampirkannya jas itu untuk menutupi bagian depan tubuh Karin. Pandangan mereka berdua pun saling bertemu.
David dan Kenzo ikut bangun dari duduknya.
"Kamu tidak apa-apa, Rin?" tanya David khawatir.
Karin dan Alvaro langsung menoleh ke arah David dan Kenzo.
"Tidak, Pak. Saya tidak apa-apa," jawab Karin.
Alvaro mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah dari kantong celananya, itu adalah uang yang diberikan oleh Karin tadi. Dia meraih tangan Karin dan menaruh uang itu di telapak tangan wanita itu.
"Ambil ini untuk membeli kemeja dan pakaian dalam. Sepertinya kamu lebih membutuhkannya," ucap Alvaro membuat Karin melongo.
Alvaro menatap pada dua sahabatnya. "Aku duluan."
Setelah berpamitan, Alvaro bergegas pergi meninggalkan restauran. Dia sempat menatap Karin sebentar sebelum pergi. Diam-diam Alvaro menyunggingkan senyum diwajahnya saat melihat ekspresi wajah Karin yang nampak seperti orang bingung.
...💖💖💖💖💖...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!