NovelToon NovelToon

Rumah Rasa

Prolog

Nenek pernah menceritakan sebuah cerita pengantar tidur untukku. Apakah kamu ingin mendengarnya? Atau kamu ingin melompati bab?

Namun itu adalah pilihanmu, karena jika kamu sengaja melewatkan cerita dari nenekku, katanya cerita ini tidak akan seru.

Maka merapatlah. Sebentar lagi aku akan menceritakan sesuatu menakjubkan ini. Cerita ini berhubungan dengan sebuah rumah yang ditinggali oleh kedua manusia bersaudari.

"Nenek punya rahasia. Gita mau dengar?"

Anak perempuan berkucir di keduanya mulai menjawab riang, "mau, Nek!"

Maka anak itu menarik selimut, didampingi sang nenek disampingnya sebagai pencerita.

Nenek tersenyum menatap tingkah lucu sang cucu kecilnya. Mengeliat merapikan selimut yang akan dipakai untuk tidurnya.

Nenek membantu sang cucu agar semakin cepat selesai.

Tentu saja dengan bantuan dari tangan-tangan keriput milik Nenek, Gita dapat menyelesaikan selimut tadi.

Pada malam yang semakin dingin dan gelap pada area luar, di dalam kamar tidur yang ditemani cahaya lampu terang serta kasur empuk nan hangat, sang Nenek memulai bicaranya.

"Gita suka dengan rumah ini?" tanya Nenek, mencoba memancing hal pertama kepada Cucunya.

"Suka, Nek," jawabnya senang ketika Nenek bertanya padanya.

"Apa yang kamu suka dari rumah ini?" Nenek bertanya lagi. Memancing agar Cucu itu dapat menjawabnya lagi.

"Kamar ini, coklat panas buatan ibu, pelukan Nenek," balas Gita merendahkan suaranya, memeluk erat pinggang Neneknya.

"Nenek juga suka sama rumah ini. Rumah orang tua kamu. Banyak kenangan disini." Nenek mengamati struktur bangunan.

Sang Cucu memperhatikan sang Nenek yang mengamati bangunan tua. Meratapi sesuatu.

"Rumah ini sedikit berbeda dengan rumah lainnya."

Gita yang tak paham hanya menatap wajah neneknya.

"Rumah ini ibarat perasaan. Jika yang memakainya selalu berdebat, maka rumah itu juga akan merasakan sakit. Ketika pertengkaran terjadi, Gita harus bisa menenangkan kakakmu." Nenek membuat senyum lebar. "Gita harus menemani Nita, ya?"

Anak bernama Gita kembali riang.

"Iya, Nek."

Nenek pun beralih melihat wajah Cucunya yang membuka mulut karena tak paham. "Suatu saat, Gita akan mengerti." Nenek menyentuh ujung hidung Cucu dengan lembut.

Nita tetaplah seorang anak kecil yang tak mengerti apa-apa.

Sepertinya cerita itu telah terhenti oleh anak perempuan yang pernah mendengarkan cerita dari sang Nenek.

Hingga masa anak-anak itu telah berganti menjadi masa remaja, Gita tidak begitu mempercayai cerita yang dibawa dari sang nenek, sebelum orang yang paling dicintainya harus meninggalkan mereka berdua.

Gita berhenti ketika ada di masa kecil itu. Berhenti mempercayakan cerita Nenek, yang pernah dibawa ketika dirinya masih kecil.

Saat ini, rumah yang diceritakan oleh sang Nenek telah digunakan oleh kakak beradik.

Sang kakak bernama Nita Nur Danisha, merupakan wanita kuat yang menjadi tulang punggung keluarga. Wanita yang bekerja sebagai kantoran, selalu berjuang demi adiknya, dan demi rumah yang mereka tinggali. Membiayai keperluan apa saja yang dibutuhkan.

Namun, dia juga harus merelakan mimpi yang selama ini ia selalu inginkan, hanya untuk pendidikan sang adik, Gita.

Mimpi yang terpendam oleh sang Kakak. Mimpi menjadi peneliti yang selama ia idamkan.

Cita-cita itu harus berhenti. Berhenti selamanya.

Anak pertama harus menjadi pelindung bagi adiknya setelah ditinggalkan oleh orang tua.

Kata orang, anak pertama memiliki sifat seperti ibu. Suka memarahi ketika adiknya melakukan kesalahan.

...***...

Pagi cerah seharusnya menjadi pagi yang tenang bagi mereka. Namun, itu tidak berguna bagi seorang kakak- beradik.

"Git! Sarapan!" Nita menunggu keberadaan adiknya yang belum muncul dari balik anak-anak tangga.

"Ya!" Gita membalas dengan teriakan.

Kaki-laki itu terlihat turun, suara berisik dan cepat harus terdengar di pagi hari. Berseragam lengkap sekaligus membawa tas ransel di sebelah kanan tangan nya.

"Kak, lihat kaos kaki ku?" tanya Gita berlari gaduh kepada rak-rak sepatu di depan pintu.

"Terakhir kali lihat dimana?"

"Aku lupa, makanya aku nanya kakak. Siapa tau lihat, kan."

"Pakai yang lain saja." Nita selesai menghidangkan sepiring nasi goreng polos. "Makanya, jangan asal buang sembarangan. Dipungut, dong. Dicuci sekalian. Terakhir kali kakak lihat, item dekil semua. Jorok tau kalau guru lihat kebiasaanmu itu."

"Ya," Nita hanya memandang datar ketika mendengar ocehan kakaknya, Gita.

"Sudah siapin keperluan sekolah? Jangan sampai ketinggalan." Kakak memperingati tentang benda milik adiknya. "Alat tulis. Buku pelajaran. Jangan lupa." Nita berjalan cepat menuju kursi, setelah meletakkan wajan besar ke atas kompor.

"Berisik, kak. Aku juga sudah besar. Bisa urus sendiri, kak." Gita berganti mengoceh kepada kakaknya.

"Kakak hanya memberi saran, dek. Seperti tadi, lupa dimana kaus kaki. Akhirnya apa? Kakak juga kan, yang beri saran? Seharusnya kamu bersyukur, ada yang beritahu."

"Iya," Gita memberi jawaban tidak semangat. Datar, lemas, seperti tidak makan sehari.

Sembari menghabiskan nasi goreng, lirikan matanya menghadap ke sebuah jam dinding.

"Astaga!" Nita beranjak bangun kaget, membawa tas tadi.

"Eh, nasinya belum habis ini!" Nita menyadari piring adiknya menyisakan gumpalan nasi yang ditinggalkan begitu saja.

Gita berlari cepat menuju area depan pintu. Memakai kaos kaki yang ada, diakhiri sepasang sepatu hitam turut dimasukkan.

"Sudah telat, kak! Nanti saja. Angkotnya keburu pergi!" Gita membuka pintu, berlari meninggalkan sang kakak berbaju putih.

"Astaga, anak itu. Tidak pernah habis." Nita memegang pinggangnya.

Nita kembali ke rutinitas. Menyelesaikan sisa pekerjaan rumah, mempersiapkan diri membawa tas kerja, berakhir menyalakan motor lama milik ayahnya.

Selama tangan-tangan itu bekerja, Nita merasakan hal aneh. Ia mendongak melihat lampu yang menggantung pada meja tengah itu.

"Sepertinya tadi ada guncangan," Nita mengira selama menatap bola lampu yang berhenti bergerak. "Apa cuma perasaanku saja, ya?" tanya dalam batin.

Selanjutnya, Nita tetap melanjutkan berberes rumah.

Setengah jam dia lakukan sendiri tanpa bantuan adiknya.

Pintu terkunci, saatnya sang kakak berangkat ke tempat dimana dia bekerja.

...***...

Lorong sekolah telah diisi anak-anak sekolah di pagi hari. Sekolah menengah pertama, SMP Satu Unggul telah menerima salah satu anak. Benar, itu adalah Gita.  

"Halo, Git," sapaan mengejutkan datang dari layangan tangan ke pundak Gita.

"Bisa tidak jangan mengagetkan seorang anak kecil ini," Gita memperingatkan candaan temannya, bernama Salma.

"Gak bisa, habisnya kamu selalu melamun. Makanya biar kamu kembali fokus, aku bantu."

"Terserah kamu saja, Sal." Gita meneruskan melangkahkan kaki kepada lorong yang menuju mereka berdua ke sebuah pintu di ujung.

Salma terus mengikutinya, mengelus kening.

"Kenapa denganmu?" Gita menengok temannya yang bergerak aneh.

"Ibuku sejak pagi selalu berteriak, menyuruh kami bangun pagi, sarapan. Belum lagi tangisan adikku. Rasanya gendang telinga hampir pecah. Pusing. Tidak tahan lagi harus seperti itu setiap hari."

Gita hanya mendengarkan ocehan temannya.

"Kalau kakakmu bagaimana, Git? Pasti sama kan?"

"Ya, setiap pagi dia selalu saja teriak menyuruh makan. Sama seperti ibumu itu."

"Kita senasib, Git."

"Tapi aku iri padamu, ada yang menunggu di rumah."

"Bukannya kamu dan kakakmu selalu pulang bersama?" Salma semakin tidak paham.

"Tidak. Hari ini saja pakai angkot. Kakakku naik motor. Berbeda arah pula. Kalau bersama, takut telat. Dia memang takut terlambat masuk."

"Lalu yang setiap hari membagi tugas pekerjaan rumah, siapa?"

"Aku dan kakakku. Siapa lagi memangnya?"

"Kupikir kamu akan mempekerjakan pembantu. Mungkin itu bisa meringankan pekerjaan kakakmu itu. Dia kerja di kantor, kan?"

"Iya," Gita menjawab datar.

"Makanya aku rekomendasikan untuk cari pembantu."

"Tidak. Lebih baik dikerjakan dengan tangan-tangan sendiri. Kamu saja sana. Cari pembantu supaya kamu enggak perlu pusing di rumah."

"Duit dari mana memangnya?"

"Ayahmu lah. Siapa lagi?" Gita meninggalkan temannya pada lorong panjang.

Ucapan Gita menekan Salma yang tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Untuk sekarang dirinya puas karena tidak ada lagi yang meremehkan pekerjaan rumah kami.

Inilah kehidupan Gita. Anak bungsu terakhir yang memiliki satu pelindung di hidupnya. Sang kakak yang cerewet dan suka mengatur kehidupan sekolah Nita.

Kehidupan seorang kakak beradik selalu bersama dalam satu rumah.

Pada rumah lama peninggalan kedua orang tuanya, terdapat rahasia yang tidak dimiliki oleh bangunan-bangunan lain.

Gita awalnya tidak percaya bahwa dongeng pengantar tidur yang dibawa oleh sang nenek hanyalah cerita palsu, ternyata mengantarkan dirinya ke sebuah jawaban.

Tentang rumah yang bisa bergoncang karena melibatkan perasaan.

Aku tidak tau apakah itu benar atau tidak. Terlepas dari semuanya, Gita akan segera menyadari.

Bab 1

Suasana kelas tidak menggugah semangat belajarnya setelah kedua tangan Gita membuka kedua pintu yang menutup.

"Kita bertemu lagi, bau menyedihkan," Gita melihat datar pada bangku-bangku meja berkayu.

Salma bergiliran datang menuju barusan bangku depan. Diikuti Gita di belakangnya, mereka berdua mendapatkan kursi di dekat jendela.

Setidaknya anak itu dapat merasakan semilir angin menyegarkan selama pelajaran membosankan berlangsung.

Tidak ada hal yang bagus selama Gita dan Salma berdua dalam suasana kelas penuh dengan anak-anak sebaya. Ocehan, larian dan larian, serta tawa keras oleh mereka membuat Gita harus selalu menutup kepalanya.

"Berisiknya mereka," Salma melirik sinis ke arah samping.

Gita tidak mendengarkan ulasan temannya, justru memalingkan pandangan menghadap tembok.

"Git, Git," Salma menggoyang pundaknya.

Gita tetap menghiraukan.

"Selalu saja begitu. Guru-guru juga sudah memperingatkan kamu, lho. Jangan sering-sering tidur." Salma menggeleng heran tingkah siswi yang selalu meletakkan kepalanya di atas meja.

Tidak peduli seberapa berisiknya anak lain, tetap saja tidur adalah prioritas utama dalam kehidupan Gita. Sekolah maupun rumah.

Mereka berhenti mengobrol. Ini membuat Salma hanya membaca buku pelajaran sebelum bel sekolah berdering.

Anak sekolah menengah pertama memang tidak diperbolehkan membawa handphone. Sekolah yang memberi peraturan.

Setiap pagi adalah pagi membosankan, terlebih Salma melihat gerakan satu murid datang kepada mereka berdua. "Heh, uang kas," suruh Wulan sebagai bendahara kelas.

Sang bendahara membuka satu buku batik, menunjuk deretan nama sesuai apa yang dilihat sekarang.

Salma meneguk air liur, menahan rasa takut ketika bendahara mencari tau kekurangan dirinya tentang pembayaran kelas.

"Salma... Kamu kurang sepuluh ribu," Wulan mengangkat kepala, menatap wajah satu murid di hadapan.

Salma yang takut melihat wajah seram bendahara kelas, menggerakkan mata ke bawah, mencoba mencari uang yang disebutkan.

"Ini," Salma menyerahkan selembar uang berwarna ungu.

Wulan menarik pemberian. "Nah, begitu dong, tepat waktu." Meletakkan ke sebuah dompet bertulis "subsidi kelas" dan meletakkan pada atas buku berbatik.

Beralih pandangan ke satu anak di samping Salma, Wulan melipat kening. "Bangunin si Gita. Pagi-pagi kok malah tidur. Bilangin suruh bayar kas," suruh Wulan kembali.

Salma yang mengerti, bergeser badan menepuk pundaknya. "Git, bangun Git."

Gita menyingkir tangan yang menyentuh dirinya. "Jangan ganggu," ucapnya selagi melampirkan ke arah lain.

"Bangun, Git. Wulan ada disini."

Gita menahan emosi atas gangguan waktu tidurnya dengan membuka buku tadi, menggerakkan kepala ke atas lagi. "Ada apa sih? Ganggu orang tidur." Sepasang mata berat berusaha ditahan.

"Pagi-pagi masih tidur." Wulan memperhatikan wajah temannya dengan mata yang digaruk. "Uang lima ribu." Dengan nada dipaksakan, Wulan memaksa murid itu untuk segera membayar.

"Astaga, hanya lima ribu saja sampai segitunya," Gita merogoh kantong, mencari barang.

"Uang lima ribu juga berguna," Wulan memberi jawaban.

Gita menyalurkan uang kepada Salma, lalu diserahkan menuju Wulan.

Setelahnya, Wulan memasukkan pada dompet tadi, mencatat perkembangan uang yang selama ini Gita berikan kepada bendahara.

"Untuk apa kamu selalu menagih uang ke semua anak? Di kelas ini juga tidak ada kemajuan. Paling juga digunakan untuk membeli peralatan alat tulis."

Wulan diam sementara untuk mencatat sesuatu, setelah itu melihat satu murid yang terlihat menyinyir keadaan kelas.

"Git," Salma menarik lengan seragam milik Gita.

"Apa?" Gita melirik Salma. "Itu benar, kan?"

"Begitu maumu?" Wulan menghentikan menulis, mendongak melihat perempuan yang jauh dari tempat ia berdiri. "Kalau kalian tidak mau pendingin ruangan, ya itu terserah kalian saja." Akhirnya menaikkan kedua bahu, pertanda tidak peduli.

"Ac, maksudmu?" Gita membangunkan tubuhnya hingga dapat berdiri tegak.

"Ya. Kalau tidak, ya pakai kipas saja. Hemat, kan? Jadi uang kas tidak berkurang, deh."

"Hei, aku hanya bercanda saja, Wul. Kamu tidak bilang sejak awal, sih."

Wulan menatap datar.

"Kapan mau beli?" Kali ini Gita menatap fokus, tidak jadi kembali tidur seperti tadi.

"Secepatnya, kalau kelas ini bisa segera lunas." Wulan meninggalkan kedua temannya, setelah selesai menagih uang tadi.

"Paling juga bohong," Gita kembali menjatuhkan diri. Meletakkan kepala di atas lengan yang dilipatkan di mejanya. Memejam mata.

"Hei, kok malah tidur lagi, sih?" Salma memandang temannya ke aktifitas semula. "Bangun, Git." Salma menggoyangkan tubuh teman di samping bangkunya.

Siswi berseragam putih dengan rok biru, tidak bisa melakukan apa-apa lagi selama anak berkucir rambut bergerak menutup mata.

Jika sudah seperti itu, sulit untuk membangunkan.

Meskipun murid-murid di dalam aktif bersuara lancang dan mengeluarkan suara gaduh, anak perempuan yang tertidur di kelas tidak akan terganggu dengan suara-suara berisik.

Hingga suara bel berbunyi keras, tampaknya tidak ada perubahan yang terjadi.

Dua puluh lima anak dikumpulkan di dalam satu ruangan. Berlari menuju bangku-bangku kursi yang telah lama dipersiapkan. Satu per satu anak bergegas mempersiapkan buku pelajaran yang akan digunakan pada jam pertama hingga terakhir.

Salma melakukan hal yang sama.

Suara langkah sepatu hak tinggi yang ditekan sedikit, menyertai masuk kedalam ruangan kelas.

Semua anak melirik gerakan dari sang guru yang bertugas. Membawa tas kecil, beberapa buku yang tidak muat diletakkan di dalam tas harus ditenteng. Menarik kursi cepat, meletakkan tubuhnya disana.

Salma meneguk air liur dikarenakan rasa cemas, dan takut. Dia mengalihkan pandangan ke temannya yang tidak mau bangun mengikuti pembelajaran di pagi hari.

"Git... Gita. Bangun, Git. Guru Bahasa Inggris sudah datang." Salma berbisik menepuk cepat, selama guru pertama di kelas ini datang melihat anak muridnya.

Karena itulah, kelas yang awalnya ceria, menjadi diam, tegang, dan membisu.

"Pagi, Anak-anak," Bu Indah mengucapkan kalimat pertama kali.

"Pagi, Bu," lirih, dua puluh lima murid menjawab.

"Pagi-pagi kok lemas." Guru pertama diawali dengan mengomentari ucapan anak didiknya. "Baiklah, kita teruskan materi saja." Membuka lembaran buku.

Salma menghela lega, sementara.

"Silahkan untuk menyerahkan buku latihan kemarin. Ibu sudah memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Kumpulkan bagi yang merasa sudah selesai."

Anak-anak yang mendengar, bergerak berdiri menuju meja depan. Membawa buku, menumpuk sampai tinggi.

"Git! Bangun, Git," desak Salma menekan suara. "Bu Indah menyuruh kita mengumpulkan tugas." Salma sekali lagi mendesak temannya agar segera bangun.

Seiring waktu berputar, sedikit anak berdiri mengumpulkan, seperti Salma yang berjuang sendiri menuju meja guru.

Bu Indah memulai menghitung jumlah buku yang berhasil diterima.

Anak-anak didik, tidak berbicara lagi. Diam menunduk, setengah lagi menonton gerakan guru mereka selagi sibuk mencatat siapa saja yang sudah mengumpulkan.

"Oke, ibu sudah mencatat siapa saja yang masuk ke dalam buku nilai ibu. Cuma, masih ada satu anak yang belum ada."

Salma menggerakkan kaki-kaki dengan cepat. Mengetahui temannya tidur pada bagian belakang, sekali lagi Salma menepuk keras punggungnya.

"Atas nama..." Bu Indah menunjuk daftar anak-anak di bukunya. "Atas nama Gita Nur Alesha."

Guru Inggris mendongak mengamati di matanya. "Ayo, mana anak yang bernama Gita Nur Alesha."

Salma bergerak panik ketika nama temannya akhirnya dipanggil terakhir.

"Cepat, mana anak itu." Guru mereka semakin menunggu tak sabaran. Melipat tangan, menyender punggung ke bagian sandaran kayu kursi.

Tetapi, guru kami mengalihkan pandangan dengan cepat, karena perhatiannya teralihkan oleh satu murid perempuan yang terlihat menempelkan wajah di atas meja kayu.

Bu Indah membangunkan diri dari sandaran tadi. "Itu, yang lagi tidur disana. Tolong dibangunkan." Jari telunjuk mengarah ke deretan ketiga di dekat tembok.

Salma menengok temannya.

"Ada apa sih, Sal?" Gita bersuara, namun sepasang matanya masih menutup rapat.

Karena tidak ada pergerakan yang muncul, guru kami menekan spidol kearah meja.

Keras suaranya, dan menggelegar.

Gita tersentak bangun. Kaget mendengar suara mengejutkan, seperti bunyi ledakan pada salah satu berita yang pernah ditayangkan di televisi.

"Bangun!" Perempuan berseragam cokelat muda membuka suara tegas. "Bukannya belajar, malah tidur."

"Ma-maaf, Bu." Gita berdiri, menundukkan kepala beberapa kali sebagai rasa permintaan maaf.

"Mana buku tulismu? Ibu mau cek pekerjaan rumah." Bu Indah memberitahu. "Sini. Kumpulan." Telapak tangan yang dibuka-tutup, menandakan bahwa guru itu menunggu hasil pekerjaan muridnya.

"Buku PR, rumah?" Gita menoleh kepada Salma.

"Buku, Git. Buku tulis-mu." Salma berbisik sembari melotot. "Buku Bahasa Inggris."

Gita mencoba mengumpulkan energi, karena tatapan matanya sempat mengalami linglung, membingungkan.

Segera, anak berkucir kuda membalikkan badan, membuka penutup tas, merogoh benda yang sangat dicari sekarang.

Semua orang menunggu gerakan dari salah satu murid bernama Gita, sejak tadi.

Tetapi, semakin dalam Gita mencari benda yang dibutuhkan sekarang, jantungnya berdebar lebih kencang.

"Ayolah, buku. Kamu ada dimana, sih?"

Bab 2

"Duh, gimana ini?" Dengan suara panik dikarenakan anak itu terus mencari keberadaan buku tulisnya, tangan-tangan miliknya selalu menggeser barang-barang di dalam tasnya.

Gita," sekali lagi, Bu Indah memanggil namanya.

"Tidak ada, lagi. Mana guru mengerikan itu manggil namaku, lagi." Gita mengernyit tidak menemukan buku tulisnya.

"Git, dipanggil, tuh, kamu." Salma menepuk cepat, pundaknya.

"Iya, ih, sabar." Gita menggoyangkan pundaknya, hingga tangan milik Salma harusdilepaskan.

"Gita, ayo, Gita." Ibu Indah menunggu lagi.

Percuma saja dengan hasil tadi. Gita tidak berhasil menemukan benda yang dibutuhkan sekarang. Penyesalan selalu datang terakhir, seperti nasib buruk yang menimpa Gita, untuk sekarang.

"Iya, Bu." Gita berdiri setelah namanya dipanggil untuk kesekian kalinya. Perempuan itu berdiri mematung takut.

"Sudah ketemu, bukunya? Ibu mau cek hasil kerjaan kamu." Bu Indah menekuk tangan. "Ibu tunggu lagi. Kalau kamu belum memberikan buku itu, kamu harus berdiri di depan."

"Soal itu, bu," ucap perempuan berbaju putih, menggaruk rambut.

"Kenapa lagi?"

"Soal itu... Gita lupa membawa buku, Bu."

"Kok bisa, huh? Bawa buku saja kok sampai lupa. Mau jadi apa kamu, kalau sering lupa." Bu Indah menarik napas dan menghembuskan sebelum melanjutkan bicaranya. "Sama satu hal lagi tentang tadi. Kamu selalu tidur di kelas, kan? Kamu kira ini rumahmu, apa?" Guru Bahasa Inggris mencoret kotak-kotak kosong di dalam buku nilai milik guru itu. "Dah sana, berdiri di dekat papan tulis."

Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah menerima hal baru. Omelan dari kakakku ternyata benar-benar terjadi. Karena sejak kemarin malam, diriku sibuk bermain ponsel hingga tengah malam. Sekolah tidak mengizinkan kami untuk bermain. Melampiaskan kekesalan serta muak akan pelajaran di sekolah adalah bermain game sampai puas.

Berjalan maju adalah penerimaan dari kekalahan bagi Gita, untuk tetap mengikuti pembelajaran. Tidak ada cara lagi selama menuruti kemauan dari guru kami. Mengawasi teman-temannya, sekaligus mendengarkan pelajaran adalah pekerjaan sampingan, dikarenakan hampir setiap hari ia melakukan itu.

Sekarang, Gita telah berdiri menghadap mereka.

"Oke, kita teruskan." Guru pelajaran mengubah posisi nyaman.

Lembaran per lembaran buku telah dibacakan. Satu guru beranjak bangun untuk menuliskan materi baru. Mata per mata mereka mengantuk menahan materi yang dituliskan. Sungguh, itu adalah bagian membosankan selama mereka menetap di dalam kelas.

"Sampai kapan harus begini," Gita menghela napas lelah. Bosan memantau temannya di bangku masing-masing. "Tukang bakso buka gak, ya?" Anak itu beralih memikirkan semangkok bakso panas.

Kepala mengarah kepada hal lain, tentu saja membuat guru tadi menoleh kepada anak yang dihukum.

"Tegak berdiri, Gita." Bu Indah kembali meneriaki namanya. "Lihat teman-temanmu ini. Jangan melamun saja." Bu Indah menampar papan tulis.

Suara menggelegar, mengagetkan dia puluh murid. Mata-mata yang mengantuk, mendadak tegang membuka.

"Iya, Bu." Gita tersentak sadar, kemudian menghadap depan. Sesekali menguap namun mencoba menahan kantuk.

Lutut-lutut bergerak otomatis selama anak yang dihukum tetap berdiri. Resiko seperti ini sangat umum terjadi ada yang melanggar peraturan dari guru itu.

Gita masih memantau kondisi teman-temannya. Membaca, menulis, menuruti kemauan guru, dengan menjawab soal dan soal disana. Meneriaki siapa saja yang bisa menjawab.

Alur sekolah semacam ini, sudah berlangsung selama hidupnya. Sekolah, belajar, istirahat, belajar lagi, istirahat, belajar, dan berakhir pulang.

Hal membosankan selalu terjadi setiap hari, bagi Gita.

Sekolah maupun rumah, sama saja.

...***...

Deringan bel membangunkan anak-anak yang lemas.

Yang awalnya mengantuk, mendadak bangun ceria. Mudah beralih emosi dalam wajah-wajah mereka. Bahagia karena guru kami akhirnya menyelesaikan waktu pelajarannya sampai ke detik terakhir dimana ia mengajari kami.

"Baik, Ibu berhenti mengajar kalian. Sekian hari ini. Jangan lupakan untuk selalu membaca materi."

"Baik, Bu. Terima kasih banyak," sebagian anak-anak mengucapkan kalimat itu. Sebagian lagi, sibuk menurunkan peralatan tulis.

Pelajaran pertama berakhir cukup lega, untuk beberapa menit.

Sang guru menutup bukunya, merapikan awal barang yang dibawa ke dalam tas kecil, mendorong kursi, berdiri meninggalkan murid.

Sebelum semakin jauh, Bu Indah mengeluarkan diri, ia memandang tajam kepada anak yang tadi menghukumnya.

Gita tidak bisa bergerak, selagi sepasang mata tajam diarahkan kepadanya.

"Jangan ulangi lagi ke depannya. Ibu tidak bisa mengharap apa-apa lagi, dengan nilamu, jika kamu meninggalkan buku tulis lagi. Pekerjaan rumah sangat bergantung untuk kenaikan kelas. Ingat itu."

Kemudian, guru berseragam cokelat melanjutkan jalan.

Cahaya putih seakan memakan tubuh guru Bahasa Inggris.

Hilang dari pandangan Gita, sebagai siswi yang selalu melakukan kesalahan. Seperti sekarang ini.

Gita dapat menghirup udara bebas.

Lutut-lutut digerakkan kembali sebagai olahraga kecil-kecilan. Melemas tangan, kaki, kepala yang menegang, bahu, jari-jari tangan, mengelap telapak tangan yang berkeringat.

Diarahkan jalannya menuju bangku miliknya, Gita menganggap kejadian hal seperti ini sepele.

Kehidupan lama kembali terulang untuk menunggu pelajaran berikutnya.

Setapak jalan kecil diantara meja-meja kayu, telah dilewati dengan mudah. Mereka tetap berada dalam posisi awal, sementara si anak dengan hukuman tadi, telah singgah ke meja yang mengenai dinding kelas.

Semilir angin menyegarkan dirinya, serta kedua matanya yang lelah. Memejamkan mata untuk berhenti berpikir berlebihan juga merupakan kunci dalam menghadapi permasalahan.

Sebenarnya, tingkah Gita turut diamati juga oleh Salma, teman sebangku. Gadis itu hanya memperhatikan hal sial yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Salma, hanya menyerah memberitahu tentang tugas-tugas, dan semua hal yang terkait dengan sekolah.

"Kalau kamu melakukan itu lagi, Git, aku tidak tau harus berbuat seperti apa."

Gita yang memandang arah luar, beralih melihat temannya. "Iya, kamu tidak perlu risau, Sal. Aku bisa atasi ini sendiri."

"Memangnya, di rumah, tidak ada yang membantu mempersiapkan kebutuhan sekolah? Membantu mengerjakan tugas, begitu?"

"Tidak," jawab Gita dengan suara datar. "Mengapa kamu tanya itu? Sekarang bukan lagi anak kecil. Sekarang sudah dewasa. Bisa mengurus diri sendiri."

"Bukan begitu, aku hanya bertanya saja, Git. Berbeda dengan keluargaku. Ibuku akan selalu marah kalau aku lupa mengerjakan tugas. Itupun hari-hari biasa. Kalau hari libur, ya tetap sama saja, sih."

"Bagus lah, kalau ibumu begitu. Jadi, aku bisa menyontek, deh." Gita menyengir kepadanya.

"Tetap tidak bisa. Mau bagaimana pun, tugas tetap dikerjakan sendiri-sendiri. Kamu mau kalau nanti sudah bekerja, selau meminta jawaban ke teman kerja? Tidak, 'kan?"

Salma melanjutkan kegiatan, mengambil buku baru untuk mempersiapkan pelajaran selanjutnya.

Gita memangku wajah, memandang temannya, membuka buku, lalu membaca apa saja. "Kamu beruntung, Sal. Ada yang mau mengajari di rumah. Kalau aku, paling belajar sendiri. Kakaku juga selalu pulang malam. Tidak ada yang mau membantu. Pusing, sudah."

Salma memaling pandangan kepada Gita. "Ya... Kamu bisa meminta bantuan kalau hari libur. Orang-orang kantoran kan, liburnya selalu sabtu-minggu. Seperti kita."

"Jangan harap, Sal. Bagaimanapun juga, dia tidak mau diganggu selama dua hari itu. Yasudah, aku belajar sendiri. Rumah selalu sepi. Tidak ada yang keren disana."

"Sepi juga, ya, rumahmu?"

"Begitulah. Sudah nasib. Bosan lama-lama. Main televisi, itu-itu saja acaranya." Gita menggaruk pipi, karena gatal.

Memperhatikan gerakan Salma, membuat Gita memikirkan sebuah rencana. Terlintas begitu saja di kepalanya.

"Bagaimana kalau setelah pulang, kita nongkrong? Aku lihat ada cafe di dekat sekolah. Kata orang-orang disini, bilang enak. Mau, ya?"

"Aku tidak bisa, Git. Hari ini harus pulanh cepat. Aku harus menjaga adikku yang bayi, harus menjaga rumah. Ibuku selalu sibuk di rumah. Tidak ada yang membantu, selain aku sendiri."

"Benar juga," Gita mengangguk. Pertanyaan tadi seakan menurun saya semangatnya akan ajakan untuk pergi bersama-sama.

"Kapan-kapan saja, ya? Kalau keadaan sedang baik-baik saja. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan rumah, walaupun harus bersekolah juga."

"Ternyata, kamu anak yang berbakti ke orang tuamu. Jadi iri saja." Gita hanya memberikan senyuman pendek kepada temannya.

Bukan masalah sepele saja. Berbakti kepada kedua orang tua adalah hal mulia. Namun, itu tidak akan pernah bisa dilakukan lagi oleh Gita. 

Anak perempuan itu, tidak pernah merasakan kehangatan sebuah keluarga, setelah tragedi mengerikan yang pernah menimpa keluarga kecil milik Gita Nur Alesha, serta kakaknya, Nita Nur Danisha.

Kecelakaan mobil, menewaskan sebanyak tiga penumpang. Ayah, ibu, dan neneknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!