NovelToon NovelToon

Cinta Yang Tak Terlupakan

1. Siapa Gadis itu?

Sepasang kekasih yang sedang menghabiskan liburan mereka berkunjung di salah satu tempat liburan di mana banyak taman nasional yang menjadi destinasi wisata di tempat itu.

Wira memotret beberapa tempat yang dianggap menarik baginya. Kebetulan Wira adalah seorang fotografer profesional namun ia tidak bisa menyalurkan hobinya itu sebagai suatu profesi karena keluarganya memintanya menjadi CEO di sebuah rumah sakit milik keluarganya karena background pendidikannya adalah seorang dokter.

"Sayang. Kita foto di tengah jembatan kaca itu..!" Ajak Vini pada Wira yang mengangguk setuju karena view nya cukup sangat bagus di tebing tinggi di seberang jembatan ditumbuhi berbagai bunga liar tersusun sangat indah membentuk suatu hiasan bunga seakan berada di sebuah pot raksasa.

Keduanya memposisikan ekspresi wajah lucu mereka dengan tongsis yang di buat lebih memanjang agar gambar yang didapatkan dari kamera ponsel mereka terlihat lebih menawan.

"Sudah siap sayang?" tanya Wira pada kekasihnya.

"Sudah. Cheese...!" senyum keduanya merekah sambil menunggu tiga detik kamera siap memotret.

Deggggg...

Wajah Wira menegang manakala melihat sesosok perempuan berpakaian biru muda berdiri di atas tebing curam itu membuatnya menoleh ke belakang.

"Ayo sekali lagi, sayang..! Kenapa kamu lihat ke belakang?" sungut Vini pada Wira yang tidak fokus saat mereka sedang melakukan selfie.

"Ok." Memasang ekspresi terbaik mereka menjadi sebuah gambar yang akan diabadikan di dalam galeri foto ponsel mereka.

Setelah mengambil gambar tiga kali mereka kembali berjalan menyusuri jembatan gantung dengan kekuatan besi baja diantara dua bukit, namun Wira mengambil kameranya untuk memotret seorang wanita yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Wira melakukan zoom pada kameranya untuk menangkap jelas wajah wanita itu beberapa detik sebelum akhirnya menghilang dari lensa kameranya.

"Ke mana dia?" batin Wira menurunkan kameranya sambil memperhatikan tebing itu yang sudah tidak ada lagi wanita itu berdiri di sana.

Namun sesaat kemudian, Wira sempat melihat lagi wanita itu berjalan dengan anggun dari kejauhan entah ke mana lagi tujuannya. Karena gaunnya yang berwarna biru terang memudahkan Wira mampu menangkap bayangan tubuh wanita itu yang membuat hatinya tersentuh.

"Wira. Nanti kita jalan-jalan ke pusat perbelanjaan ya..! sebelum kamu kembali ke tanah air...!" pinta Vini terlihat manja pada sang kekasih.

Vini adalah seorang gadis muda berusia 17 tahun yang ingin mengenyam pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di Canada. Saat ini orangtua dan kekasihnya Wira mengantarnya ke negara tersebut. Sebelum kembali ke tanah air, Wira mengunjungi tempat wisata di negara tersebut untuk menghabiskan masa cutinya.

Wira yang sibuk dengan pikirannya sendiri tidak mendengarkan permintaan sang kekasih membuat Vini menjadi kesal.

"Kamu kenapa sih Wira? Apakah perkataanku kurang jelas?" sungut Vini mengerucutkan bibirnya.

"Eh iya. Maaf aku tidak dengar, Vini. Kamu minta apa?" tanya Wira dengan pikirannya terbagi dua.

"Tidak jadi. Lebih baik aku mengajak kedua orangtuaku saja." Meninggalkan Wira berjalan lebih cepat menuju ke mobilnya.

Wira yang sudah berusia cukup matang diusianya yang ke 30 tahun memaklumi sikap Vini yang masih muda darinya.

Lagian hubungan mereka hanya berdasarkan sebuah perjodohan dan kebetulan Vini sudah jatuh cinta lebih dulu pada Wira saat usianya menginjak 16 tahun saat itu hanya saja ia tidak menyangka saat usianya 17 tahun kedua orangtua mereka mereka menjodohkan mereka karena hubungan bisnis keluarga.

"Jangan marah dong, Vini....! Ok aku tadi tidak fokus karena memikirkan pekerjaanku. Aku minta maaf. Tapi aku janji akan menebus kesalahanku padamu dengan mengikuti permintaanmu..!" akhirnya mengalah kan egonya karena tidak ingin berurusan dengan gadis manja seperti Vini.

"Janji...!" menyodorkan kelingkingnya sebagai bentuk janji diikuti oleh Wira yang harus memposisikan dirinya sesuai usia Vini.

"Hmm!" Deheman Wira meyakinkan calon istrinya itu.

...----------------...

Malam harinya, Wira membuka lagi foto hasil jepretannya tadi pagi bersama Vini di danau yang mereka datangi untuk melihat gadis yang berdiri dipinggir tebing seakan ingin bunuh diri tapi tidak jadi. Itu yang ada dalam pikiran Wira.

"Apa yang kamu ingin lakukan di pinggir tebing itu, nona? Apakah ada yang menyakiti hatimu? Apakah ada yang membuatmu putus asa? Siapa kamu sebenarnya?" tanya Wira seraya memperbesar foto itu namun wajahnya gadis itu terlihat bias atau tidak jelas.

"Apakah aku harus mengunjungi tempat itu besok? Mungkin saja dia akan datang lagi besok ke tempat itu?" betapa Wira merasa sangat penasaran dengan gadis penyendiri itu.

Wira melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia menghampiri tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Berharap bertemu dengan gadis misterius itu di dalam mimpinya.

Keesokan harinya, Wira berkunjung sendiri ke tempat gadis itu berdiri di tebing itu dan berharap bisa bertemu dengan gadis yang kemarin difotonya itu.

Wira berdiri dipinggir tebing untuk menunggu kedatangan gadis itu namun tidak tampak juga hingga sudah memasuki waktu siang.

Merasa bosan, Wira kemudian beranjak pergi. Saat hendak masuk ke mobil, ia melihat ada seorang lelaki seperti polisi hutan sedang berpatroli di tempat itu. Wira mengurungkan niatnya untuk pergi dari tempat itu dan ingin menanyakan tentang gadis yang dilihatnya kemarin.

"Permisi tuan...!" sapa Wira menghentikan langkahnya polisi itu.

"Ada yang bisa saya bantu tuan?" santun polisi yang berusia 40 puluhan itu.

"Begini tuan. Apakah tuan kemarin melihat seorang gadis yang berdiri di tebing itu? Dia mengenakan gaun berwarna biru," tanya Wira.

"Oh...! Apakah gadis yang tuan maksud itu adalah nona Anna?" tanya petugas polisi itu.

"Iya benar tuan." Wira mengangguk cepat walaupun ia tidak tahu menahu nama gadis itu.

"Gadis itu telah kehilangan suaminya di tempat ini yang sampai saat ini tidak bisa ia temukan. Mereka saat itu adalah sepasang pengantin baru.

Karena kecerobohan mereka yang berselfi di pinggir jurang menyebabkan nona Anna jatuh. Suaminya itu langsung menolongnya dan nona Anna bisa di selamatkan olehnya. Namun sayangnya saat suaminya hendak naik ke atas tebing itu, rupanya dahan pohon yang ia injak sebagai penopang tubuhnya tiba-tiba patah membuat tubuhnya langsung jatuh ke dalam danau itu.

Nona Anna panik dan memanggil polisi yang sedang patroli saat itu untuk menyelamatkan suaminya. Setelah memanggil tim SAR untuk melakukan penyelaman ke dalam danau itu namun tidak ditemukan selama sebulan.

Setelah itu pencarian dihentikan dan korban dianggap meninggal dunia dan keluarganya pasrah begitu saja dan mengikhlaskan kepergian putra mereka namun tidak dengan nona Anna yang mengenang terus sang suami yang baru menikahinya tiga hari itu," ungkap polisi hutan itu yang bernama tuan Nigel.

Wira membekap mulutnya merasa sangat sedih atas apa yang dialami oleh nona Anna.

"Sejak saat itu nona Anna seakan sedang menghukum dirinya sendiri karena kematian suaminya atas keceribohannya. Ia menjadi gadis penyendiri selama dua tahun ini," lanjut tuan Nigel.

"Apakah dia tinggal di sekitar sini?" tanya Wira penasaran.

"Dia membeli salah satu villa di daerah sini. Nama villanya seperti singkatan nama dia dan suaminya. Nama vila itu Ananda," ucap tuan Nigel.

"Ananda? Seperti nama orang Indonesia?" gumam Wira tersenyum sendiri.

"Terimakasih tuan untuk informasinya. Kalau begitu saya permisi dulu." Wira kembali ke dalam mobilnya dengan perasaan lega walaupun ia sendiri belum bertemu dengan Anna.

2. Penasaran

Demi ingin bertemu langsung dengan Anna, Wira mendatangi villa milik Anna. Ia mengamati villa itu sesaat. Villa bergaya bangunan Eropa itu terkesan mewah namun terlihat sangat gersang dan kesepian.

Ada raut sedih yang terpancar dari bangunan villa itu seperti sedang mencerminkan kepribadian pemiliknya yang selalu menyendiri.

Petugas penjaga villa itu menghampiri Wira yang berdiri mematung menatap gaya bangunan villa itu namun pikirannya terlihat hampa.

"Permisi tuan...! Apakah ada yang bisa kami bantu?" tanya penjaga villa itu santun.

"Aku ingin bertemu dengan pemilik villa ini. Apakah orangnya ada di dalam?" tanya Wira tanpa menatap wajah penjaga villa tersebut dan lebih cenderung memperhatikan pintu atau jendela yang ada di kamar atas.

"Nona Anna sudah kembali ke negaranya semalam, tuan. Apakah tuan sudah buat janji dengan nona Anna?" tanya penjaga villa itu yang mengira Wira akan menyewa villa itu karena nona Anna sudah mengiklankan villa miliknya untuk disewa oleh orang lain selama dirinya tidak menempati villanya.

"Di mana negaranya?"

"Indonesia."

Deggggg....

"Jadi gadis itu berasal dari Indonesia?" batin Wira menyeringai puas.

"Terimakasih pak. Kalau begitu aku permisi dulu."

"Baik."

Wira kembali ke mobilnya. Ia bertekad ingin mencaritahu keberadaan nona Anna sendiri tanpa menanyakan kepada penjaga villa itu. Ia begitu penasaran seperti apa tampang Anna jika dirinya bisa menemukan gadis itu.

Wira berencana ingin kembali secepatnya ke Jakarta malam ini juga. Entah mengapa ia menjadi malas berlama-lama menemani kekasihnya Vini. Hatinya lebih terpanggil untuk mencari Anna. Gadis kesepian yang selalu menyendiri dan berdiri di atas tebing.

Tiba di hotel tempatnya menginap, Wira mengemasi pakaiannya ke dalam koper karena ia sudah memesan tiket pesawat untuk kembali ke tanah air.

Tanpa berpamitan dengan sang kekasih, Wira cabut dari hotel mewah itu dan langsung berangkat ke air port.

"Aku akan mengabari kepulanganku pada Vini melalui pesan saja. Ia pasti mengerti karena aku adalah seorang dokter yang dibutuhkan oleh pasienku," gumam Wira membenarkan keputusannya demi mengikuti kata hatinya.

Atau mungkin saja ia sedang mengejar obsesinya pada seorang gadis yang tidak ia kenal sama sekali namun tubuhnya ingin bertemu dengan gadis misterius itu.

Tiba di ruang tunggu, Wira mengeluarkan ponselnya. Memberi kabar kepada Vini tentang kepulangannya ke Indonesia.

Rupanya saat ini Vini sedang berkutat dengan buku pelajarannya. Ia enggan melihat ponselnya karena hanya sebuah pesan tidak penting yang ia kira dari teman atau keluarganya.

Wira tidak begitu berharap Vini membalas pesannya. Saat ini pria tampan ini seperti sedang mabuk asmara. Jatuh cinta pada sosok Anna yang belum ia kenal namun membuat hatinya bergetar setiap mengingat gadis itu.

Wira membuka galeri foto di mana tangkapan gambar sosok Anna yang terlihat dari kejauhan yang sedang berdiri ditepi tebing. Sekalipun ia memperbesar sosok gadis yang berdiri di atas tebing itu namun wajahnya Anna tidak bisa terlihat jelas.

"Anna... Anna.... Anna...! Apakah kita akan bertemu suatu hari nanti? Bagaimana caraku untuk bisa menemukanmu?" pertanyaan tentang Anna memenuhi kepala Wira.

Pesawat komersial yang membawa kembali dirinya ke negri asal memang masih lama. Namun seorang Wira Adiguna tidak sabar lagi untuk menemui wanitanya. Ia tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini pada wanita sekalipun itu adalah kekasihnya Vini.

Wira berusaha memejamkan matanya kala menyadari penumpang first class semuanya sedang tidur saat ini karena mereka mengambil penerbangan di malam hari.

"Baiklah. Aku akan tidur dan semoga aku bisa bertemu dengan Anna walaupun hanya dalam mimpi. Walaupun aku tidak tahu seperti apa wajah Anna." Wira tersenyum sendiri menertawai dirinya yang gila akan cinta.

...----------------...

Dua hari setelah beristirahat di rumahnya sepulang dari luar negeri, Wira kembali ke rumah sakit untuk menjalankan tugasnya sebagai CEO rumah sakit tersebut.

Walaupun menjadi seorang CEO, ia juga merangkap menjadi seorang dokter psikiater di rumah sakit mewah tersebut.

Asisten pribadinya yaitu Agam memberitahukan jadwal praktek Wira hari itu. Wira terlihat tidak begitu menyimak ucapan asistennya membuat Agam hanya bisa menarik nafas berat.

"Ada apa? apakah masih teringat pada Vini? kenapa tidak langsung menikah saja?" tanya Agam meletakkan tabletnya di atas meja kerjanya Wira.

"Aku sedang memikirkan seorang gadis. Tapi dia bukan Vini. Namanya Anna. Hanya saja aku belum mengenalnya," jelas Wira pada asistennya itu yang tidak lain adalah saudara sepupunya sendiri.

"Anna...? Kamu tidak mengenalnya kenapa malah memikirkan gadis itu?"

"Entahlah, Agam. Hatiku seakan terpanggil untuk mendekatinya. Tapi aku tidak tahu di mana dia tinggal. Kabarnya dia orang Indonesia dan tinggal di Jakarta.

Aku melihatnya di dalam foto ini. Sayangnya aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas," ucap Wira terlihat sendu sambil menunjukkan foto Anna yang diambil dari kejauhan.

Agam berpikir sesaat. Ia lalu memberikan ide cemerlang pada bosnya itu." Kenapa foto itu tidak di pajang di galeri seni atau masukkan ke tik tok atau Instragram. Dengan begitu si Anna mu itu akan menghubungi kamu. Bagaimana...? Mudah bukan?" ucap Agam membuat wajah murung Wira kembali berbinar.

"Ide bagus. Tapi, Vini akan marah jika aku memajang foto gadis lain di laman Instagram aku." Wajah Wira kembali murung.

"Itu gampang. Kamu bisa buat akun baru. Dengan begitu Vini tidak akan mengetahuinya."

"Baiklah. Akan aku coba. Tapi bagaimana kalau dia tidak mau menghubungi aku? Apalagi dia sedang kehilangan kekasihnya. Mana mungkin bisa move on dan mau membuka hatinya untuk pria lain?" keluh Wira.

"Itu resiko kalau cinta ditolak. Setidaknya usaha itu penting. Dengan begitu dia akan merasa penasaran dengan kamu walaupun hatinya tertutup untuk kamu," ucap Agam.

"Cinta bertepuk sebelah tangan itu tidak enak Agam. Apalagi berurusan dengan wanita yang mungkin saat ini mengalami depresi."

"Kalau menyukai seorang wanita itu tidak perlu mengharapkan balasan. Cukup tunjukkan rasa peduli kita padanya. Dengan begitu dia akan mempertimbangkan lagi kebaikan kita padanya.

Lelaki yang memberikan cintanya dengan tulus, insya Allah akan Allah balas dengan kebaikan yang sama," balas Agam.

Dretttt....

Bunyi ponsel milik Agam dan Wira berdering bersamaan. Keduanya menerima panggilan itu secara kompak.

"Dokter Wira. Ada pasien yang sedang mengalami depresi ingin mengakhiri hidupnya. Apakah dokter bisa ke ruang IGD sekarang untuk menenangkan pasiennya karena ia menolak untuk diobati," ucap dokter Ema.

"Baik. Saya akan ke sana sekarang...!" Wira segera beranjak ke luar menuju ruang IGD yang jaraknya cukup jauh dengan kantornya.

Setibanya di ruang IGD itu, Wira menyaksikan seorang wanita muda dengan pergelangan tangan berdarah menjauhi para tim medis yang ingin menolongnya.

Untuk sesaat hati tuan Wira bergetar walaupun wajah wanita itu tidak bisa ia lihat dengan jelas karena tertutup oleh rambut panjangnya.

"Jauhi aku....! Aku tidak ingin berobat. Aku mau mati. Aku hanya ingin mati," gumamnya histeris.

Wira meminta rekannya untuk meninggalkan dirinya berdua saja dengan wanita itu hanya dengan memberikan isyarat melalui gerakan tangannya. Tim medis menuruti permintaan Wira agar membuat sang pasien merasa aman dalam pengawasan Wira. Begitu tidak ada orang lagi di ruang IGD itu, Wira mengajak wanita depresi itu bicara.

"Baiklah nona. Apakah kamu benar-benar ingin mati? Kalau begitu silahkan tusuk dirimu sendiri dengan pisau ini dengan begitu keluargamu tidak pusing memikirkan keadaanmu yang terlihat menyedihkan." Wira melempar pisau bedah ke arah wanita depresi itu.

Deggggg...

3. Menantang Balik

Melihat ada pisau di depannya membuat sang pasien menatap tajam ke pisau itu. Walaupun begitu Wira tetap siaga agar lebih cepat sigap merebut pisau itu seandainya sang pasien nekat mengambilnya.

Benar saja apa yang dipikirkan oleh Wira kalau sang pasien memang sudah mengalami depresi berat. Dengan cepat ia menyambar pisau yang ada di hadapannya.

"Jangan mendekat....! Biarkan aku mati...!" ucap nya sambil mengarahkan pisaunya ke nadi lehernya.

Melihat wajah sang pasien yang menatapnya, jantung Wira berdegup kencang. Seperti ia sedang menemukan orang yang selama ini ia rindukan.

"Anna..!" desis Wira namun tidak terdengar oleh sang pasien.

Walaupun sangat syok tapi dokter Wira tidak mau kalah dengan pasiennya ini.

"Ayo...! tunggu apa lagi? Bukankah kamu ingin bunuh diri? Atau kamu mau aku merekamnya dan meng-upload ke setiap media untuk aksimu ini? Ayo...! Kenapa diam? Dengan begitu kedua orangtuamu tidak akan lagi setress menghadapi anaknya yang tidak pandai bersyukur sepertimu. Memalukan...! Cantik tapi bodoh...!" umpat Wira untuk memancing emosinya sang pasien.

"Aku tidak bodoh...!" melempar pisau itu ke arah Wira yang langsung melindungi dirinya dengan lengannya namun pisau itu melukai punggung tangannya Wira.

"Akkhhh...!" desis kesakitan yang dirasakan Wira melihat punggung tangannya mengeluarkan darah segar membuat wajah sang pasien tegang.

Ia segera mendekati Wira lalu meminta maaf pada Wira. Dokter yang lain yang sedari tadi mengintip keduanya hendak masuk namun Wira mengusir lagi mereka untuk meninggalkan dirinya agar bisa menangani pasiennya sendiri. Wira memberi isyarat melalui ekspresi wajahnya.

"Maafkan aku...! Apakah sangat sakit?" tanya sang pasien yang tidak lain adalah Anna. Namun sayangnya Anna menggunakan nama aslinya yaitu Hanna Montana. Dan kedua orangtuanya memanggilnya Hanna bukan Anna. Anna adalah nama kesayangan suaminya Anna yang menyelipkan nama itu pada Hanna sejak mereka baru kenal.

Wira menatap wajah Anna dari dekat. Begitu juga dengan Anna. Tatapan keduanya terkunci. Ada benih-benih cinta yang berseliweran di hati dan benak mereka. Seakan mereka sudah pernah saling kenal satu sama lain dan kembali dipertemukan oleh keadaan.

Tatapan mata teduh Anna membuat Wira tidak kuat menatapnya lama. Ia kembali meringis kesakitan. Anna makin dibuatnya rasa bersalah. Keadaan ini dimanfaatkan Wira untuk membuat Anna lupa akan masalahnya sendiri.

"Kamu mau mengobati lukaku?" tanya Wira dengan lembut dan Anna langsung mengangguk untuk menebus rasa bersalahnya.

"Itu ada perlengkapan untuk membalut luka. Ambil obat dan yang lainnya sesuai arahan ku dan lakukan dengan hati-hati dan tenang. Apakah kamu bisa?"

"Hmm!" Anna mengangguk dengan mantap dan mengambil perlengkapan obat yang ada di troli medis yang disebutkan oleh Wira.

Anna melakukannya dengan baik sambil sesekali meniup lukanya Wira. Dalam keadaan dirinya sedang sibuk mengobati luka Wira, Wira menatap wajah cantik Anna.

"Kenapa aku merasa sudah menemukan Anna? Apakah dia gadis yang saat ini sedang aku cari?" batin Wira tanpa melepaskan tatapannya pada Anna yang hampir selesai membalut luka ditangannya.

"Siapa namamu?" tanya Wira untuk membuka obrolan diantara mereka setelah sekian menit terdiam.

"Hanna." Jawaban itu membuat Wira sedikit kecewa.

"Apakah kamu sudah bekerja?"

"Iya."

"Di mana? Sebagai apa?"

"Di perusahaan milik keluarga."

"Sudah berkeluarga?" tanya Wira lagi karena usia Anna tidak jauh beda dengan dirinya berarti sudah menikah pastinya.

Anna terdiam dan kembali murung. Wira merubah pertanyaannya agar Anna tidak merasa sedih.

"Maafkan aku karena terlalu bawel. Terimakasih kamu sudah membalut lukaku dengan sangat baik," puji Wira.

"Hmm."

"Astagfirullah. Lukamu sendiri belum di obati. Mau aku obati atau sama dokter lain?" tanya Wira yang melihat darah di pergelangan tangan Anna sudah mulai mengering dengan sendirinya.

"Kamu saja. Aku tidak suka dengan yang lain. Mereka menyentuh bagian tubuhku seperti robot yang tak punya hati," sahut Anna yang terlihat mulai jinak pada Wira. Mungkin ketampanan Wira yang menyita perhatian Anna saat ini.

Sebenarnya tangan Wira juga sakit untuk mengobati pergelangan tangan Anna. Tapi hanya dia yang dipercaya oleh Anna membuat dirinya harus menahan sakit di tangannya agar Anna mau diobati tangannya.

"Mengapa kamu ingin mengakhiri hidupmu?" tanya Wira disela-sela dia membalut pergelangan tangan Anna dengan perban.

"Karena aku terus dikejar rasa bersalah. Hatiku sakit setiap kali mengenang hal yang membuatku merasa seperti seorang pembunuh.

Mereka pantas menyebutku seorang pembunuh karena aku sudah mengantarkan dia ke jurang kematian," tutur Anna yang sudah terpancing oleh pertanyaan Wira.

"Apakah karena itu kamu merasa hidupmu tidak berguna dan menghukum dirimu seperti ini? Apakah kamu lupa kalau hidup mati seseorang sudah digariskan oleh takdir.

Saatnya kita mati ya mati dengan cara yang Allah inginkan dan kebetulan cara kematian orang yang kamu maksud terlihat tragis yang terjadi dihadapanmu sendiri. Itulah bagian dari ujian hidup.

Kebetulan kamu yang Allah pilih untuk melewati ujian ini. Semua kembali kepadamu bukan karena kecaman mereka padamu," nasehat Wira bersamaan dengan balutan perban di pergelangan tangan Anna selesai.

Anna terdiam mencerna setiap perkataan Wira yang belum ia dengar dari mulut orang lain.

"Tapi dia mati karena mencoba menyelamatkan hidupku," sangkal Anna.

"Menyesali kebodohan kita itu manusiawi. Tapi, bukan berarti kita harus menebus rasa bersalah kita dengan mengakhiri hidup kita sendiri.

Seperti kamu merasa bersalah dan berusaha bertanggungjawab setelah melukai tanganku. Itu jauh lebih terhormat dengan kamu memperbaiki keadaan bukan sebaliknya. Setelah itu kamu merasa tenang, bukan?" imbuh Wira cukup menggugah sanubari Anna.

Anna terdiam beberapa saat. Wira seakan sedang memberinya syok terapi padanya. Bahwa setiap kesalahan butuh perbaikan walaupun itu sangat berat.

"Hidup itu tidak selamanya terlihat indah dan berkesan sesuai yang kita inginkan. Tidak bisa memilih kadar ujian yang akan kita jalani yang ringan atau yang berat.

Allah tahu porsi kita memikul ujian dariNya tergantung cara kita menyikapi setiap musibah yang datang pada kita dengan cara yang tidak kita sangka-sangka.

Berhentilah memikirkan penilaian orang lain padamu karena hidup mereka sendiri tidak lebih baik hidupnya dari kehidupan kita terutama kamu. Hanya saja aib mereka Allah sedang menyembunyikannya," nasehat Wira.

Bulir bening itu menetes perlahan-lahan hingga terdengar isak tangisnya Anna. Tidak ada yang menasehatinya setenang dan sesabar Wira selama dalam masa terpuruknya.

Kadang ketulusan yang kita rasakan akan membuat kita lulus menjalani ujian. Kadang hal yang buruk yang diberikan oleh orang lain akan membuat kita makin terpuruk.

"Perbaiki dulu hubunganmu dengan Allah melalui sholat. Mintalah ampunan kepadaNya sebanyak yang kamu bisa. Mohon perlindungan Allah untuk selalu melindungi hatimu dari cercaan orang-orang yang berusaha menyakitimu yang ada di sekitarmu.

Tetap bersabar dan memperbanyak sedekah. Aku yakin Allah akan menguatkan hati dan jiwamu untuk mudah bangkit membenahi diri. Abaikan setiap nyinyiran orang lain yang ingin melihatmu hancur dengan begitu mereka mudah mempengaruhi kedua orangtuamu untuk bangkit setelah kematianmu," jelas Wira.

Untuk sesaat keduanya kembali diam dengan pikiran mereka masing-masing. Wira tetap menunggu reaksi Anna selanjutnya.

Wira berharap kata-katanya mampu menyentuh hati Anna.

"Kamu tahu kalau perbuatan bunuh diri itu dosa besar. Di akhirat nanti seorang yang menghilangkan nyawanya sendiri akan melakukan hal yang sama di akhirat nanti dengan berulang kali.

Bukan hanya di dunia ini saja perilaku bunuh diri itu yang terjadi sekali lalu mati tapi di akhirat siksaan sakit yang kalian rasakan saat merenggut nyawa kalian sendiri sementara orang yang beramal Sholeh sibuk mencari delapan pintu surga yang akan mereka masuki sesuai amal perbuatannya mereka," imbuh Wira yang melakukan pendekatan secara persuasif pada setiap pasiennya dengan agama yang dianut oleh si pasien.

"Jangan biarkan setan masuk dan mengusai jiwamu untuk ia sesatkan dengan kesedihan yang kamu alami. Dekati lah Allah dengan begitu kesedihanmu akan terhapuskan olehNya karena hati manusia ada dalam genggamanNya," lanjut Wira membuat Anna baru menyadari kesalahannya selama ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!