Namaku Nayla Syarifa Nur Fadhilah. Saat ini aku kuliah di sebuah universitas negeri di kota sebelah, jauh dari keluarga, teman dekat dan orang tua. Di kotaku tidak ada universitas seperti di kota-kota lain, karena kotaku termasuk kota terpencil. Hanya ada Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan ada beberapa pondok pesantren juga.
Setelah menjalani ospek selama seminggu yang cukup menguras tenaga, waktu, dan dompet, akhirnya aku sudah resmi menjadi mahasiswi di kampus ini. Bayangkan saja, ospek kemarin harus membawa ***** bengek barang yang aneh dan dalam jumlah cukup banyak. Kadang menurutku, tidak begitu berguna. Ujung-ujungnya dibuang.
Mubazir.
Pagi ini, aku ada kuliah pagi. Kulihat dari kejauhan ada Rani, sahabatku, yang sudah datang. Ia sedang duduk di kantin sendirian, sambil senyum senyum menatap ponsel pintarnya yang mahal itu.
Aku sedikit berlari ke arahnya. Sejak ospek kemarin kami jarang bertemu, sibuk dengan urusan masing-masing. Sudah jarang pergi bersama, tidak seperti saat SMU dulu.
"Rani!" teriakku.
"Hai, Nay ... sini!" Senyum sumringah terukir di wajahnya.
BRUGH!
Suara dentuman cukup terdengar, walau samar, namun mampu membuat beberapa orang terdekat menoleh.
"Auw ...,"erangku kesakitan.
Aku menabrak seseorang karena tidak memperhatikan jalan. Bahkan, tanganku juga lecet.
"Makanya, hati-hati," kata seseorang sambil mengulurkan tangannya padaku.
Kuraih tangannya dan mencoba berdiri. "Duh, sakit!" kataku bicara sendiri. Kuperhatikan tanganku yang lecet.
"Sini, aku balut dulu, biar nggak kotor. Nanti infeksi." Dia mengambil sapu tangan yang ada di kantungnya lalu membalut tanganku, dan mengikatnya tak terlalu kencang.
Kuamati lekat-lekat wajahnya. Tampan ... Siapa ya, dia?
Seperti ada getaran-getaran aneh saat dia menyentuhku.
"Nanti selesai kuliah, mendingan langsung diobatin," sarannya sambil menunjuk luka ini.
"Iya, makasih," kataku masih terkesima menatapnya tanpa berkedip.
"Kalau kamu sering nggak fokus gini, aku yakin kalau kita bakal sering ketemu dengan cara ini," katanya sambil menatapku dalam.
Jantungku berdetak lebih kencang. Alhasil, aku yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip, kini tersipu malu. Kualihkan pandanganku ke arah lain.
"Maaf ... oh ya, sapu tangan kamu besok aku kembaliin," kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Nggak perlu. Buat kamu aja," katanya lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Entah kenapa hatiku dag dig dug tak karuan. Wajahku bahkan terasa hangat, mungkin merona merah jika dilihat.
"Nay ... bengong aja!" Tanpa kusadari, Rani ternyata sudah ada di sampingku.
"Eh, Ran ... sorry ...." kataku yang tersadar dari lamunan.
"Namanya Wira. Dia asdos di sini," katanya tiba-tiba sambil menatap Wira yang berjalan menjauhi kantin.
"Eh, apaan sih?" kataku malu.
"Alah, aku tahu kok, kamu terkesima sama Wira. Ngaku deh! Hayoo ...," cecarnya.
"Sok tahu!" elakku, lalu berjalan ke meja yang tadi diduduki Rani.
Rani pun mengikutiku. "Tapi, Nay ... mending lupain deh Wira. Nggak usah terlalu berharap lebih," katanya sambil meminum es teh manisnya.
"Kenapa? Dia udah punya pacar?" tanyaku penasaran.
"Bukan! Katanya dia aneh," bisik Rani di telingaku.
"Aneh gimana, sih?"
"Entahlah, gosipnya sih begitu."
"Digosok makin siiip?" gurauku.
"Yee ... kamu nih, dibilangin juga," katanya kesal.
Kami memang sudah bersahabat sejak SMA. Selama kuliah di sini, aku tinggal di kos yang tidak terlalu jauh dari kampus, karena rumahku ada di luar kota. Sedangkan Rani, dia sekarang tinggal bersama Papanya. Karena kedua orang tuanya sudah bercerai.
Saat SMA, dia tinggal bersama Mamanya. Namun sekarang, dia tinggal bersama Papanya karena Papanya adalah salah satu dekan di kampus kami. Jadi, wajar kalau Rani ini tahu segala informasi yang berbau kampus.
Kami masuk ke kelas masing masing. Aku berjalan menuju kelasku dengan langkah yang santai dan bernyanyi-nyanyi kecil.
Sampai di kelas, aku terlambat.
Deggg! Mampus!
Kok Wira ada di sini? Dia asdosku rupanya? Astaga ...
Tok ... tok ... tok ...
"Maaf, saya terlambat," kataku tak enak.
Wira yang sedang menulis di depan, berhenti lalu menatapku datar.
"Baru hari pertama udah telat. Jangan nongkrong di kantin terus makanya," katanya santai, namun tatapan matanya tajam.
"Sarapan, Pak. Bukan nongkrong." Aku mengelak.
"Pak, Pak! Emang saya Bapak kamu?"
"Eh, iya ... Mas, Bang, Aa ... apa dong manggilnya? Hehe."
"Kak Wira!"
"Oke, Kak Wira. Aku udah boleh masuk?" tanyaku sambil tersenyum ke arahnya.
Dia diam sebentar lalu mengangguk.
"Ya udah, sana. Lain kali kamu saya hukum kalau telat lagi!" tegasnya.
"Oke, Kak," jawabku sambil melenggang masuk lalu duduk.
Aku memilih duduk di deretan paling depan. Semua orang menatapku heran, termasuk Wira.
Aku tahu bangku depan adalah bangku keramat.
"Kenapa?" tanyaku sambil memandang semua teman-temanku di kelas.
"Kamu yakin mau duduk di situ?" tanya Wira.
"Yakin. Emang kenapa? Salah ya? Apa ada setannya ya? Jadi harus dikosongin?" tanyaku dengan ekspresi ngeri.
"Bukan begitu, teman-teman kamu nggak ada yang mau duduk di deretan depan loh," kata Wira lagi.
"Ya biar aja, Kak. Aku maunya di depan," jawabku santai.
"Kenapa?"
"Harus pake alasan?" Aku mengangkat sebelah alisku.
"Ya, kalau kamu nggak keberatan jawab. Siapa tahu, yang lain bisa termotivasi duduk di depan juga, biar nggak umpel-umpelan kaya itu tuh!" tunjuk Wira ke deretan belakang yang penuh sesak.
"Simple. Biar jelas aja ngelihat Kak Wira ..."
'Ups ... Salah ngomong ... Mampus!'
"Apa?" Wira kaget hingga matanya membulat.
"Wuuu!" sorak sorai teman-temanku membuat kelas kami menjadi bising.
"Eh ... maksudnya, biar jelas aja ngelihat penjelasan Kak Wira. Soalnya aku nggak bawa kacamata. Mataku minus." ucapku bohong.
Sebenernya, alasan pertama juga benar sih. Hihihihi
"Oh gitu. Ya udah. Kita mulai lagi ya. Oh iya, nama kamu siapa? Saya belum tahu." tanya Wira sambil menunjukku.
"Saya? Nayla," kataku.
"Oke!" Lalu, Wira melanjutkan mengajar.
Sepanjang pelajarannya, aku menatapnya terus. Fokusku terbagi, antara mata kuliah dan pengajarnya. Sepertinya, dia menyadarinya. Tapi, tidak berkomentar apapun.
"Kita lanjutkan besok. Jangan lupa tugasnya dikerjakan!" kata Wira mengakhiri sesi mengajar hari ini.
"Hah? Udah? Cepat banget?" kataku spontan. Tidak terima jika mata kuliah ini selesai.
"Kamu belum ngerti sama penjelasan saya tadi?" tanya Wira heran.
"Iya, Kak. Aku ... masih ada yang nggak ngerti. Tapi besok aja kali ya lanjutin lagi. Hehe," kataku lalu membereskan mejaku dan memasukan bukuku ke dalam tas.
"Kalau kamu mau kita bisa bimbingan di luar!"
Gleekk.
Aku menelan ludah, tidak menyangka Wira akan mengatakan itu.
Yakin nih? Bimbingan di luar yang otomatis aku bakal berduaan sama dia. hehehehe
"Oh gitu? Boleh deh. Kalo Kak Wira nggak keberatan."
Satu persatu teman-teman sekelasku keluar. Aku masih tidak percaya Wira akan memberikan bimbingan di luar jam kuliah. Bahkan aku membereskan buku-bukuku dengan pelan.
Ini nyata atau halusinasi? Kupikir dia orangnya dingin dan jutek, ternyata aku salah.
"Kamu nggak mau keluar? Berani di kelas sendirian?" tanya Wira yang entah sejak kapan berdiri di hadapanku, hanya dengan jarak setengah meter.
"Eh, iya. Bentar. Tungguin ... jangan ditinggalin," rengekku manja.
"Ya udah, buruan," katanya sambil menyilangkan tangan di depan dan terus memperhatikanku.
"Kak, ngeliatinnya segitu amat. Nanti naksir loh!" ledekku bermaksud agar dia senyum.
"Aku atau kamu yang naksir?" tanyanya telak.
"Hehe … bisa aja, Kak Wira." Aku beranjak dari tempatku duduk. Namun, kakiku tersandung meja.
Brugh!!!
Wira menangkapku dan aku jatuh ke pelukannya.
"Udah dibilang. Fokus!" katanya datar.
"Maaf ...." Kulepaskan pelukannya.
Lalu, berjalan keluar kelas dengan menunduk malu, "aku duluan ya, Kak!"
Aku benar-benar salah tingkah.
'Aaah!' teriakku frustasi dalam hati.
Dia hanya mengangguk, namun tetap menatapku dalam. Bahkan saat aku sudah yakin jauh darinya, kucoba untuk menoleh dan dia masih berdiri dengan posisi yang sama. Menatapku seperti tadi.
Bener juga kata Rani, dia aneh. Tapi, aku suka. Ya ampun.
Kamu udah gila, Nay ... Sumpah ... gila! Gila karena Wira.
Dari siang tadi, aku berada di rumah Rani. Aku menemaninya karena papahnya lembur sampai malam. Dia ini penakut sekali, sama seperti aku sebenarnya.
"Ran, Wira jadi asdos di kelasku tadi ...," kataku sambil mencomot camilan yang sudah hampir habis.
Kami sedang ada di kamar Rani dan asyik membaca buku yang kami pinjam di Perpus.
"Oh ya? Terus? Kamu seneng dong, ngeliatin dia terus. Haha …." tawanya menggelegar bagai badai.
"Kamu nih ... kalo ngomong suka benar aja. Hehe." Dia memang tau apa yang kupikirkan.
"Btw, Nay, kok kamu bisa naksir dia? Kalo dari segi tampang nih, gantengan si Beni deh perasaan. Beni juga tajir, pinter, wah perfecto banget deh, Nay. Kok bisa sih kamu tolak cowok kayak Beni? Malah naksir Wira, cowok aneh misterius itu?" tanya Rani heran.
"Entahlah, aku nggak tahu. Sejak ketemu dia tadi, gimana gitu ya, Ran. Aku belum pernah ngerasain gini sebelumnya. Dia unik," kataku sambil melamunkan Wira.
"Tapi, Nay. Kamu hati-hati loh. Aku udah peringatin ya, sama kamu, dia aneh, misterius. Kalau bisa sih, kamu lupain dia, itu pun kalau bisa," saran Rani serius.
Tin…. tin …
Suara klakson mobil dari halaman Rani.
"Papahku udah pulang deh, kayanya."
Aku melihat jam tanganku. Sudah cukup malam juga, ya.
"Ya udah, aku balik ya, Ran. Ada tugas nih," kataku lalu beranjak dari dudukku.
"Diantar ya, Nay. Bentar aku bilang papah," kata Rani.
"Eh, enggak usah, Ran. Aku naik taksi aja. Lagian, kasian papah kamu, capek pasti pulang kerja. Ya udah ya, see you ...," kataku lalu keluar kamar Rani. Sebelumnya, aku cipika cipiki dulu sama rani.
Sampai di teras, papah Rani masih di sana, sedang menerima panggilan telpon.
"Om, saya permisi mau pulang dulu," pamitku ke papahnya Rani.
"Oh iya, Nay. Makasih ya, udah nemenin rani. Kamu pulang naik apa?" tanya papahnya Rani.
"Naik taksi, Om."
"Saya antar aja gimana? Udah malam, loh?" tawar papahnya Rani ramah.
"Gak usah, Om. Nayla mau mampir juga ini. Makasih tawarannya, kalau gitu Nayla permisi dulu ya, Om."
"Ya sudah, hati-hati, Nay."
Lalu, aku berjalan keluar menuju gerbang rumah Rani. Rumah ini memang besar sekali. Sebenarnya ada seorang pembantu dan tukang kebun. Hanya saja, Rani yang kelewat manja, mintanya ditemenin aku.
Sampai di luar gerbang, kuedarkan pandanganku di jalan, tapi taksi tak kunjung lewat.
Akhirnya, aku berjalan sambil mencari taksi. Malam memang sudah larut, agak takut sebenarnya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku harus segera sampai kostku. Ada tugas untuk besok. Kalo nggak ngerjain, bisa-bisa aku dapet nilai D.
Saat aku berjalan di tempat yang agak sepi, kulihat ada beberapa gerombol pria yang sedang duduk di pinggir jalan. Perasaanku tak enak. Ingin balik, namun rumah Rani sudah jauh. Kalau meneruskan, aku takut mereka akan berbuat hal buruk kepadaku. Biasanya, kalau gerombolan cowok gitu pasti jelalatan kalo liat cewek jalan sendirian. Akhirnya, aku nekat berjalan melewati mereka. Semoga, mereka hanya duduk saja di sana.
Saat hampir melewati mereka, langkahku dihentikan seseorang di depanku.Salah satu dari mereka menghalangi jalanku.
"Mau kemana, cantik?" tanyanya.
Aku berusaha menghindar. Namun, yang lain malah ikut mendekat. Karena situasiku buruk, aku berusaha melawan. Kuinjak kakinya dan kutendang kemaluannya dengan keras, sehingga ia jatuh tersungkur. Karena ada kesempatan bagus, aku berlari menjauh dari mereka.
"Sialan! Kejar tuh cewek!" kata salah seorang dari mereka.
Mendengar itu aku makin mempercepat lariku.
"Tolong! Tolong!" teriakku ketakutan.
Aku terus berlari. Namun, langkah mereka jauh lebih cepat dariku. Dan benar saja, mereka dapat meraihku dengan cepat. Rambutku ditarik dengan kencang, hingga aku jatuh tersungkur di trotoar jalan.
"Auw... aduh..."
"Haha.. kamu ngapain lari?" tanya salah satu dari mereka dengan memandang rendah padaku.
"Mau apa kalian? Aku teriak nih!" ancamku.
"Teriak saja. Mana ada yang akan menolongmu!" Mereka menatapku jenaka, seolah aku sedang melontarkan sebuah lelucon.
" Tolong! Tolong!" teriakku lagi.
Saat salah satu dari mereka menarikku dengan kasar kepelukannya, aku berontak.
"Lepas!" Suaraku bergetar, karena aku sudah benar-benar ketakutan. Bahkan, bajuku sudah robek karena ditarik dengan kasar oleh mereka.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
"Heh, lepaskan dia!" Suara seseorang terdengar di telingaku. Ah, aku mengenali suara ini. Namun, aku berbalik untuk memastikan.
"Kak Wira?" aku kaget mendapati Wira berdiri di hadapanku.
"Kamu nggak apa-apa, Nay?" tanyanya dengan nada datar, namun wajahnya menunjukkan raut khawatir.
"Tolong aku kak!" rengekku dengan suara yang sudah bergetar. Aku benar-benar takut.
"Kamu tenang aja, Nay. Aku pasti nolongin kamu." katanya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk. Mataku sudah berkaca-kaca.
"Kalau kalian tidak melepasnya, aku jamin kalian akan menyesal!" ancam Wira dengan tatapan tajam ke arah preman-preman itu.
"Banyak omong lo! Hajar!" teriak salah satu dari mereka.
Mereka maju bersamaan dan bersiap menghajar Wira. Kulihat Wira tidak gentar, padahal mereka membawa senjata tajam juga.Aku yang melihatnya malah khawatir. Aku takut dia celaka karena menolongku.
Namun, apa yang kulihat malah membuatku tercengang. Dengan mudahnya, Wira menghajar mereka satu persatu sampai mereka tak bergerak lagi.Sisanya, tinggal pria yang memegangiku sekarang.
"Pilih lepasin dia atau aku bikin kamu sengsara kayak mereka?" ancam Wira serius.
Dia melepaskanku dengan ketakutan, lalu berlari meninggalkan kami. Aku masih bingung dan takut. Wira mendekatiku, lalu melepas jaket yang dipakainya dan memakaikannya padaku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut, sambil menghapus air mata yg sudah membanjiri pipiku.
Kini, Wira terlihat lebih lembut. Berbeda dari saat kami di kampus tadi, dia terlihat dingin. Aku hanya mengangguk, rasanya aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun sekarang.
"Ya udah, aku antar kamu pulang."
Lalu, dia menggandeng tanganku menuju sebuah motor sport yang terparkir di pinggir jalan. Dia memakaikan helmnya padaku.
Sedangkan aku hanya diam saja dari tadi.
"Ayo naik!" perintahnya.
Lalu, aku menaiki motornya.
"Pegangan, Nay … nanti kamu jatuh"
Aku pun berpegangan pada pinggang Wira dengan sungkan. Wira malah menarik tanganku dan membuatku memeluknya dari belakang.
"Pegangan yang kencang ya!" perintahnya.
Aku pun menurut. Rasanya nyaman, saat berada di dekatnya. Aku bahkan bersandar di punggungnya. Dalam perjalanan ke kostku, aku hanya diam menikmati moment ini. Rasanya, aku ingin terus begini.
Tak lama, Wira berhenti.
"Hei, udah sampai. Kamu tidur, Nay?" tanyanya sambil sedikit menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Hah? Sampai? Kok cepat banget?" tanyaku heran.
"Kamu maunya lama? Oke, kita putar lagi gimana?" tanyanya dengan nada melucu.
"Hehe, enggak usah." Lalu, aku segera turun. Suasana hatiku sudah lebih baik kali ini.
Tunggu!
Aku memang sampai di kostku dengan selamat. Tapi,darimana dia tahu kalau aku kost di sini? Perasaan, aku belum memberitahunya.
"Eh, Kak Wira. Kok tahu aku kost di sini? Perasaan, aku belum bilang deh?" tanyaku heran.
Kulihat Wira agak kaget dengan pertanyaanku.
"Kamu lupa? Tadi kamu bilang, kalau kost kamu di sini." katanya.
Namun, aku tahu dia berbohong.
Aku tidak mungkin lupa, dia belum bertanya apapun sepanjang perjalanan tadi.
"Masa sih? Hm, ya udah deh," kataku pasrah. Aku malas berdebat. Rasanya badanku masih bergetar karena takut akan kejadian tadi.
"Ya udah, masuk gih. Udah malem," katanya.
"Iya. Aku masuk ya, makasih udah nolongin aku," kataku lalu berbalik hendak masuk.
Entah kenapa kakiku lemas sekali, sehingga langkahku malah membuatku terjatuh.
"Aduh …."
Wira turun dari motornya. Lalu, ia membantuku berdiri.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Kakiku lemas. Aku masih takut," jawabku jujur.
Dia tersenyum sangat manis. Baru kali ini, aku melihatnya tersenyum semanis ini.Tanpa bertanya terlebih dulu, dia langsung membopongku ala bridal style. Lalu ia membawaku masuk ke dalam.
"Kamar kamu yang mana?" tanyanya.
"Lantai atas," kataku sambil berpegangan di lehernya. Aku memandanginya terus. aku tahu dia menyadarinya. Namun, dia tidak bereaksi apa-apa dan tetap berjalan menuju kamarku di lantai atas.
"Kamar nomor berapa?" tanyanya.
"10."
Saat sampai di depan pintu kamar kostku, dia diam.
"Kamu mau masuk ke dalam atau mau terus memandangiku? Asal kamu tahu, kamu berat banget," katanya tanpa memandang ku.
"Eh, maaf, hehe. Berat ya?" Lalu, aku turun dari gendongannya.
Kucari kunci kamarku di dalam tas. Lalu segera kubuka pintu kamar kostku. Kostku ini memang termasuk kost yang bebas, jadi tidak masalah jika aku membawa teman laki-laki masuk ke dalam.
Ceklek.
Pintu terbuka, Wira masih menatap kamar kostku. Entah apa yang dia pikirkan.
"Mampir dulu kak?" tanyaku basa basi.
"Oke." Dia langsung masuk dan tiduran di ranjangku.
Padahal, tadi aku cuma basa basi.
"Eum, mau minum apa kak?" tanyaku canggung.
"Kopi."
"Oke, sebentar." Lalu, aku segera membuatkannya kopi.
Kamarku ini memang komplit, ada kompor juga. Karena, aku memang lebih suka masak sendiri dari pada membeli matang.
Secangkir kopi dan segelas susu hangat sudah kubuat dan kutaruh di meja.
Wira beranjak menuju jendela, dia seperti mengecek jendelaku. Lalu, ia berjalan lagi ke balkon kamarku.
"Kamu sering lupa kunci pintu balkon ya, Nay?" tanyanya.
"Eum, iya sih, lupa kadang. Tapi aman kok, Kak," kataku sambil meneguk susu hangat yang kubuat tadi.
Dia melongok ke bawah dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tak lama, dia menutup pintu itu dan menguncinya.Dia kemudian berjalan menuju ke arahku, lalu duduk sambil menyambar kopi yg baru kubuat.
"Eh, panas ...," ucapku pelan.
Namun, aku kaget karena dia sudah meneguk kopinya bahkan habis setengah cangkir lalu menatapku.
"Nggak panas kok," katanya sambil menaikkan kedua alisnya.
Serius? Enggak panas? Itu baru matang loh kopinya, dan airnya tadi mendidih. Tapi, dia meneguknya seperti minum air putih saja.
"Bengong lagi nih anak," katanya.
"Hah? Ah, enggak. Kamu hebat kak, itu kopi baru matang loh," kataku masih memandangnya tak percaya.
"Udah dingin, Nay. Gak percaya?" tanyanya.
"Enggak," jawabku polos.
"Haha. Kamu lucu ya, Nay," katanya sambil terkekeh.
"Lucu? Emang aku badut?" tanyaku sambil manyun.
"Ih jelek deh, bibirnya manyun kaya Donald. Coba aku ukur pake penggaris, berapa panjangnya," katanya sambil sok sibuk mencari penggaris.
Diraihnya penggaris di meja dekat laptopku, lalu dia benar-benar mengukurnya.
"Ulangin coba?" pintanya.
"Ah, Kak Wira!" Aku memukul dadanya pelan. Sedangkan, ia tertawa sambil berusaha menahan tanganku.
"Oke, oke. Sorry, Nay. Becanda," katanya.
Lalu, mataku dan matanya bertemu dalam jarak yang cukup dekat.Tawanya berhenti, berganti dengan pandangan mata yang tajam. Aku pun menghentikan pukulanku, lalu menunduk malu.
"Ya udah, aku balik sekarang ya, Nay," katanya.
Sepertinya, dia juga merasa sungkan.
"Oh iya kak, makasih ya."
"Oke." Lalu, dia berjalan keluar dari kamarku.
"Kak, jaketnya," kataku lalu melepas jaket yang kupakai.
"Oh iya, aku lupa. Sampai ketemu besok di kampus, Nay." Dia mendekat ke wajahku, membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, bahkan tiga kali lebih cepat, mungkin.
Cup ...
Dia mencium keningku, lalu membelai pipiku lembut. Jika hatiku terbuat dari es krim, mungkin aku sudah meleleh karena perlakuan darinya.
"Kamu hati-hati," katanya lembut lalu pergi meninggalkanku.
Astaga, dia mencium keningku? Ya ampun...
Aku masuk ke kamar, lalu berlari ke balkon. Kulihat dia dari balik pintu balkon yang memang terbuat dari kaca.Aku melihatnya berjalan ke arah motornya, lalu menatapku dan tersenyum. Dia juga melambaikan tangannya dan pergi melesat dengan motornya.
Dia, sebenarnya apa yang dia lakukan? Kenapa dia melakukan itu kepadaku? Apa maksudnya menciumku seperti tadi?
"Argh!" teriakku frustasi.
Pagi ini aku ada kuliah, dengan mata kuliah yang sama seperti kemarin, otomatis aku akan bertemu Wira.
Dengan semangat 45, aku berangkat ke kampus lebih pagi, mampir ke minimarket sebentar untuk membeli 2 sandwich dan sekotak susu. Aku takut kalau aku sarapan di kantin, aku akan terlambat seperti kemarin. Karena sepertinya, Wira sangat on time.
Saat akan ke kasir, tanpa sengaja aku menyenggol botol minuman yang terbuat dari kaca.
Karena takut pecah, refleks, aku sampai memejamkan mata sambil menutup mata dan telingaku menggunakan kedua tanganku.
"Aah!" pekikku.
Kok sepi, gak bunyi ada pecahan botol atau apapun itu. Kubuka mataku melihat apa yang terjadi. Kulihat Wira sudah berdiri di hadapanku, memegang botol itu dan menyunggingkan senyum manis seperti semalam.
"Kak Wira? Lagi ngapain?" tanyaku kaget, karena mendapatinya sudah ada di hadapanku.
"Beli rokok. Kamu sendiri?" tanyanya balik sambil menatap barang yg kupegang.
"Beli sarapan kak. Takut telat di kelas kakak. Ntar, aku dihukum lagi," kataku sambil memajukan bibirku.
"Ini hidung sama bibir hampir sama panjangnya," katanya mencubit hidungku gemas.
Kupukul dadanya sekali dengan menunjukan wajah bete. Lalu, aku berjalan ke arah belakangnya menuju kasir untuk membayar barang yang kubeli.Dia mengikutiku juga.
"Ini aja mba?" tanya petugas minimarket.
Aku yang masih mencari dompetku di tas pun mendongak, "oh iya mba, itu aja."
"Sama ini mba," kata Wira meletakan rokok yang dia beli lalu memberikan selembar uang ratusan ribu.
Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum.
"Makasih kak, sering-sering kalau bisa, hehe."
"Enak aja! Ganti nanti," katanya cuek.
"Eum, ganti?" tanyaku bingung.
"Bayarin makan siang dong." katanya lagi.
"Oh itu. Beres," kataku senang.
Setelah Wira menerima uang kembalian, kami berjalan keluar bersama.
"Bareng yuk ke kampus," ajak Wira.
Aku yang sedang melihat isi kantung kresek di tanganku melongo.
"Hah? Serius?" tanyaku lagi.
"Iya, lagian kita searah kan? Kenapa? Gak mau? Kalo gak mau, ya udah," katanya cuek lalu berjalan ke motornya.
"Eh, mau mau," kataku sambil menahan tangannya.
Dia menoleh lalu menaikan sebelah bibirnya.
"Ayo, nanti kita telat," katanya lagi sambil gantian memegang tanganku dan menuntunku sampai dekat motornya.
Seeer . Hatiku serasa tersengat listrik.
"Ayo naik," ajaknya membuyarkan lamunanku.
Aku segera naik berpegangan pada pundak Wira.
"Siap?" tanyanya sedikit menoleh ke belakang.
"Siap," sahutku pelan.
"Gak pegangan?" tanyanya lagi.
"Eum, harus, ya?" tanyaku balik.
"Ya udah, kalo gak mau." Lalu, dia menghidupkan mesin motornya dan melesat cepat.
"Aah, Kak Wira!" pekikku panik, sambil memukul punggungnya.
Dia berhenti tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyanya sedikit berteriak karena suara bising kendaraan yang lewat di sekitar kami.
"Cepat banget. Aku kaget tahu, nanti kalo jatuh gimana?" tanyaku manja.
"Salah sendiri nggak mau pegangan," jawabnya santai.
Akhirnya, aku pegangan di pinggangnya. Lagi-lagi, dia menarik tanganku hingga ke perutnya, membuatku memeluknya dari belakang.
Rasa nyaman itu muncul kembali. Aku pun hanya diam sambil tersenyum di balik punggungnya. Wira kembali menjalankan motornya dan melesat menuju kampus.
Sampai di kampus, beberapa pasang mata melihat kami dengan pandangan yg bermacam-macam. Aku agak sedikit risih, namun Wira terlihat cuek saja.
Setelah motor terparkir, aku segera turun, begitu pun Wira. "Ya udah, kamu ke kelas gih, sarapan dulu. Nanti aku nyusul," katanya sambil melepas helmnya.
"Iya,"kataku pelan.
Rasanya, hatiku masih berdebar tak karuan. Bukan karena cara mengendarai motor Wira yang kencang, namun karena keakraban kami pagi ini.
Hatiku dag dig dug...
Saat aku akan berbalik meninggalkannya, Wira menahan tanganku sambil menatapku lekat-lekat. Lalu, dia membereskan rambutku yg berantakan. "Udah rapi. Sana masuk kelas, nanti kalau telat aku hukum," katanya sambil mendekatkan wajahnya dengan wajahku, lalu tersenyum hangat.
Aku makin salah tingkah kali ini. Lalu, aku pergi begitu saja, bahkan sedikit berlari demi menyembunyikan wajahku yang merona karena malu.
Sampai kelas, aku memilih bangku yang kemarin lalu kubuka sandwich yang tadi kubeli. Beberapa temanku sudah ada yang berangkat dan terlihat sedang mengobrol bersama yang lain. Dengan santainya, aku melahap sandwichku sambil membuka laptop.
"Nay, tumben udah dateng?" tanya Riva sambil duduk di sampingku.
"Iya, kalo telat nanti aku dihukum sama asdos," kataku cuek masih menatap laptop di depanku.
"Kamu kok duduk di sini lagi?" Dia mengerutkan keningnya.
"Gak boleh, ya? Seneng aja di depan, jadi fokus sama pelajaran," jawabku sambil menatapnya.
"Oh gitu. Nay, nanti nonton yuk," ajaknya.
"Gimana ya, liat nanti deh," kataku ragu.
Tak lama, Wira masuk kelas sambil menenteng laptopnya. Dia langsung menatapku dan Riva dengan tatapan tajam, seperti ingin membunuh saja.
"Selamat pagi semua," sapanya sambil meletakan laptop di mejanya lalu menatap kami satu persatu.
Riva malah memilih duduk di sampingku sekarang.
Duh, gawat nih...
Selama beberapa menit di kelas, perasaanku tidak enak karena Wira sering sekali melirik ke arahku dan Riva. Kulihat Riva juga agak aneh, dia seringkali menekan tengkuknya sambil menengok.
Ini anak kenapa?
"Kenapa?" tanyaku sambil berbisik di telinga Riva.
"Gak tahu nih, kok aku merinding gini ya, Nay," katanya sambil melirik ke arah sampingnya.
"Masa?" Aku tidak percaya.
"Iya nih. Duh, kenapa ya?" Dia terlihat takut.
"Kalian berdua malah ngobrol!" bentak Wira.
"Maaf kak, ini si Riva," kataku pelan sambil menunjuk Riva yang masih bersikap aneh.
"Kamu kenapa?" tanya Wira sembari menatap Riva dengan tajam.
"Eum, saya pindah belakang aja deh kalo gitu," kata Riva lalu membereskan buku serta laptopnya dan pindah ke bangku paling belakang.
Kulihat sekilas Wira tersenyum tipis. Hm ... mencurigakan.
Setelah 2 jam di kelas, akhirnya mata kuliah hari ini selesai.Beberapa temanku langsung berhambur keluar kelas, tinggal aku dan Wira yang berada di dalam.Dengan santai, aku melenggang keluar saat semua barangku sudah kumasukan tas. Namun, Wira menahan tanganku. Aku menatapnya sambil menaikkan satu alisku ke atas.
"Kenapa kak?" tanyaku.
"Katanya kamu mau bimbingan di luar? Jadi nggak? Mumpung hari ini aku lagi gak sibuk," katanya.
"Eum, sekarang?" tanyaku sambil berpikir.
Dia mengangguk penuh harap.
"Kamu ada janji sama cowok tadi? Jadi nggak mau bimbingan hari ini?" tanyanya.
Hah? Kok dia tahu Riva mengajakku nonton? Padahal kan, Riva ngajaknya pas Wira belum masuk ke dalam kelas. Ini anak emang aneh.
"Aku aneh? Kalau kamu takut sama aku seperti yang lain, ya udah, nggak masalah. Lupain tawaranku tadi," katanya ketus, lalu menghempaskan tanganku dengan agak kasar.
'Eh, kok dia seolah tau apa yang kufikirkan ya?' batinku
"Kak ...." Kali ini aku yg menahan tangannya. Dia menoleh dengan wajah keruh.
"Gitu aja ngambek ... Iya, aku mau. Cuma tadi tuh, aku mau pergi dulu sebentar ke toko buku. Kalo habis dari toko buku aja gimana?" tanyaku sambil mengedipkan mata.
Dia tersenyum lebar, seolah tidak pernah marah sebelumnya.
"Boleh. Ya udah, aku antar sekalian aja," katanya semangat.
Lalu, kami pergi keluar kelas berdua, menuju parkiran motornya yang tidak begitu jauh dari kelas.Kami melesat dengan cepat naik motor wira, seperti biasa. Kali ini tanpa disuruh, aku langsung memeluknya erat. Karena, dia ini seperti pembalap saja.Kami sampai di toko buku langgananku. Kami masuk ke dalam toko, lalu aku segera mencari buku yang kumaksud itu. Sedangkan, Wira hanya mengikutiku saja. Dia tidak tertarik pada buku, mungkin. Tapi, dia ini sangat pintar. Prestasinya sudah cukup banyak dikenal orang.
Sepertinya, aku harus bertanya tips bagaimana cara dia belajar selama ini. Karena asyik memilih buku, aku sampai tidak sadar kalau hari sudah siang.
"Udah belum?" tanya Wira dengan muka bete.
Aku terkekeh melihat ekspresinya.
Pletak...
Dia menjitak kepalaku pelan.
"Ah, Kak Wira ... sakit tahu...." Kubalas dengan cubitan bertubi-tubi di perutnya.
"Awas kamu ya, aku kelitikin sampai nangis nanti," katanya dengan tatapan tajam dan senyum liciknya.
"Gak takut, wlee," ledekku sambil sedikit berlari menjauh darinya.
Dia pun mengejarku. Kami malah bermain kejar-kejaran di sini.
"Maaf, bisa tolong tenang Mas, Mba...," kata Pak Satpam dengan wajah yang kurang mengenakkan.
Kami lalu berhenti dan tersenyum ke arah Pak Satpam. Wajahnya nampak merah padam, karena menahan amarah.
"Maaf pak," kata Wira berusaha ramah.
Karena efek kelelahan, perutku berbunyi. Aku tertawa mendengar bunyi perutku sendiri. Untunglah, sepertinya Wira tak mendengarnya.Kami lalu menuju kasir untuk membayar buku yang sudah kupilih. Ada 7 buku dengan jenis yang berbeda.
"Kamu itu mau jualan buku?" tanya Wira menatap tumpukan buku yg ada di meja kasir.
Mba penjaga kasir hanya tersenyum mendengar perkataan Wira.
"Enggak, buat nimpukin kamu nanti...," jawabku asal.
"Oh gitu, oke ... aku kasih nilai D nanti," katanya bercanda. Bahkan, matanya berkilat jenaka.
"Coba aja. Aku laporin Pak Roni nanti, kalau asdosnya semena-mena sama mahasiswa," ancamku.
"Bilang aja, aku nggak takut!" kata Wira sembari menatap mataku dalam.
"Maaf, semuanya jadi 268 ribu Mas, Mba." Mba penjaga kasir membuyarkan pertengkaran kami.
"Oh, iya Mba," kataku malu sambil kuambil 3 lembar uang seratus ribuan.
Setelah menerima kembalian, kami bergegas menuju ke arah motor Wira.
"Makan dulu ya, kamu pasti lapar. Udah siang juga," ajak Wira.
"Oke," kataku lalu segera naik motornya.
Kami makan di sebuah cafe yg tidak jauh dari toko buku tadi.
Saat makan pun, kami masih sering bercanda dan terkadang saling melontarkan ejekan.
"Udah yuk, nanti kesorean lagi bimbingan nya," kata Wira.
Sesuai perjanjian tadi, aku yang mentraktir makanannya. Kami berjalan ke parkiran depan, masih dengan ledekan yang kulontarkan ke Wira.Tiba-tiba, dari arah jalan raya ada sebuah mobil yang oleng tak terkendali. Mobil itu melesat cepat ke arah kami. Wira mendorongku menjauh, hingga aku terjatuh di trotoar jalan.
Brak!
Mobil itu menabrak Wira tepat di depan mataku. Aku bisa melihat darahnya yang muncrat. Wira lalu menghantam tembok yang ada di belakangnya hingga tembok itu hancur.
Astaga, Wira!
Hatiku sakit sekali melihatnya.
Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Aku terbengong menatap mobil yang sudah menabrak Wira. Kudekati perlahan, dengan kondisi kakiku yang lemas tak bertenaga.
Tak lama, beberapa orang menghampiriku.
"Wira! Kak Wira!" teriakku diiringi tangisan yang sudah tidak terbendung.
Aku berjalan sempoyongan ke mobil itu dan mencari di mana keberadaan Wira. Kubuang satu persatu runtuhan tembok guna mencari keberadaan Wira dengan isak tangis yang mulai terdengar. Ada seorang ibu yang memelukku agar aku menjauh dari sana. Beberapa orang mulai mengerumuni mobil tadi dan berusaha membantu.
"Kak Wira! Temen saya di sana, Pak, tolongin!" pintaku memelas dengan derai air mata yang membuat wajahku basah.
"Nanti, kami coba lihat ya, Mba?" kata salah satu bapak-bapak yang ada di sana.
Mereka mulai mencari dan membuka reruntuhan tembok. Korban di dalam mobil sudah dikeluarkan, tinggal mencari keberadaan Wira.
"Mba, nggak ada orang gitu kok?" kata bapak tadi sambil menatapku heran.
"Nggak mungkin, Pak. Pasti ada temen saya. Tadi dia dorong saya biar nggak ketabrak. Pasti dia di sana, Pak," kataku masih bersikeras.
"Nay …."
Suara ini ... Wira? Apa aku halusinasi ya? Sampai-sampai suaranya dapat kudengar dengan jelas. Namun, ternyata dia sudah berdiri di hadapanku tanpa luka sedikit pun. Ternyata, aku tidak berhalusinasi. Aku berdiri menatapnya. Kuamati setiap inci tubuhnya, guna mencari luka di sana.
"Oh, ini temannya, Mba? Gak apa-apa gitu kok, Masnya," kata bapak tadi, sembari ikut memperhatikan Wira yang kini berdiri di hadapanku.
"Iya pak, tadi saya sempat menghindar," jelas Wira sopan.
Orang-orang di sana mulai menjauh dariku dan Wira, karena kami selamat. Lalu, mereka membantu mengamankan TKP tadi. Aku berdiri, masih menatapnya bingung. Lalu, kupeluk dia sembari terisak.
"Hei ... aku gak apa-apa, Nay," kata Wira lembut sambil membelai kepalaku.
"Aku takut banget kamu kenapa-napa tadi. Aku pikir kamu ketabrak, Kak. Hiks...."
"Udah, yang penting aku gak apa-apa kan? Yuk, kita balik," ajaknya seraya melepas pelukanku dan menggandengku menuju motornya.
Kupeluk dia lebih erat dari sebelumnya. Aku masih merasa takut karena bayangan saat dia tertabrak tadi, masih sangat jelas di mataku.
Ah, benar. Aku memang melihatnya tertabrak mobil tadi. Aku yakin, bahwa aku tidak salah lihat. Tapi, bagaimana bisa dia selamat tanpa luka sedikit pun?
Tanpa kusadari, kami sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Letaknya ada di pinggir kota, jauh dari keramaian. Bahkan, sejauh mataku memandang, hanya rumah ini satu-satunya yang ada di sekitar sini.
Apa ... ini rumah Wira?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!