NovelToon NovelToon

Don'T Take My Baby

Buku nikah di ruang kerja Mas Alva

Seorang wanita cantik tengah memoles lipstik merah cherry di bibirnya. Matanya menatap penuh ke arah cermin di mana memantulkan dirinya yang kini sedang mengenakan gaun malamnya. Senyuman cantik di bibirnya tergambar, membuat lesung pipinya tercetak dengan jelas. Hidungnya yang mancung dan bulu matanya yang lentik membuat wanita itu terlihat sangat cantik.

Dia mengibas rambut panjang gelombangnya, tatapannya pun tak terlepas dari cermin di hadapannya saat ini. Wanita itu begitu mengagumi kecantikannya malam ini. Namun, dia merasa ada sesuatu yang kurang. Tangannya langsung meraih parfum yang terletak di atas meja riasnya dan menyemprotkannya ke beberapa sisi tubuhnya. Aroma vanilla terc1um sangat pekat dari tubuh wanita itu.

Ting! Tong!

Suara bell berbunyi, wanita itu pun melebarkan senyumannya. Dia meletakkan kembali parfumnya dan bergegas memakai kimono gaunnya. Lalu, beranjak untuk membukakan pintu untuk orang yang sedari tadi dia tunggu kedatangannya.

Cklek.

Terlihat, seorang pria tampan berahang tegas menatap wanita yang membukakan pintu untuk nya dengan tatapan yang datar. Dia meneliti penampilan wanita itu dari atas hingga bawah sebelum membuka suaranya.

"Apa yang kamu lakukan dengan gaun ini, Yara?" Tanya pria itu dengan sorot mata tajamnya.

Yara Vianca, seorang wanita cantik berusia 25 tahun. Dirinya menikah dengan pria bernama Alva Logan, yang tak lain adalah pria di hadapannya. Pernikahan keduanya baru memasuki bulan ketiga. Namun, ini adalah ke lima kalinya Yara menyambut suaminya pulang. Mengapa? Karena Alva bekerja di luar kota, sehingga ia hanya bisa pulang dua kali dalam sebulan saja.

"Aku ...."

"Masuklah, kamu akan masuk angin dengan baju terbuka seperti itu." Ujar Alva seraya beranjak masuk dan membiarkan Yara berdiri di ambang pintu dengan tatapan melongo.

"Aneh, katanya suami senang di sambut dengan pakaian seperti ini. Apa ... aku nya aja yang terlalu berlebihan?" Gumam Yara.

Tak ada pikiran negatif apapun, Yara kembali menutup pintu dan menyusul suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mereka. Di kamar, terlihat Alva sedang membuka pakaian kantornya dengan tatapan serius. Takut mengagetkan, Yara berjalan pelan seraya menautkan jari jemarinya.

"Mas, mau aku buatkan kopi atau teh?" Tanya Yara dengan canggung.

"Kopi saja, jangan pakai gula. Aku tidak suka manis," ujar Alva sebelum dirinya masuk ke dalam kamar mandi.

Yara mengangguk, dia segera ke dapur untuk membuatkan kopi untuk suaminya. Seraya mengaduk kopi tersebut, Yara berpikir sejenak. "Mas Alva sejak awal juga sangat dingin, tapi bisa-bisanya dia menikahiku. Parahnya lagi, aku jatuh hati pada pandangan pertama. Astaga, pertemuan kami sangat manis." Gumam Yara seraya menahan senyumnya.

Pernikahan Yara dan Alva tak berlangsung lama, Yara yang sebagai resepsionis hotel tempat Alva menginap membuat keduanya sering bertemu. Kebetulan, Alva sedang membangun proyek di dekat hotel dimana Yara bekerja. Tak di sangka, Alva justru malah mengajak wanita itu menikah setelah proyeknya selesai di bangun. Keduanya hanya berkenalan selama kurang dari satu bulan, dan langsung memutuskan untuk menikah.

Cklek!

Yara kembali ke kamar dengan secangkir kopi di tangannya, wanita itu menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya, Alva berendam untuk merilekskan tubuhnya. Yara lalu memutuskan untuk menaruh cangkir kopi yang ia bawa ke atas nakas. Saat akan berbalik, Yara tak sengaja melihat pakaian kantor milik suaminya yang tadi pria itu kenakan tergeletak di atas ranjang.

"Ck, kebiasaan buruknya belum hilang juga yah ternyata. Sudah aku katakan ribuan kali, baju kotor taruh di tempatnya. Astaga, pria itu dingin dan kaku. Tapi, sangat pemalas. Sudahlah, mau bagaimana lagi? Dia suamiku." Celoteh Yara seraya membawa pakaian kotor itu ke ranjang kotor.

TANG!

"Eh?!" Yara melihat ada sesuatu yang jatuh dari jas suaminya. Benda itu menggelinding hingga menabrak lemari pakaian. Yara yang penasaran segera melihat benda yang mirip seperti cincin tersebut.

Wanita itu berjongkok, dia meraih benda tersebut dan melihatnya dengan teliti. itu adalah sebuah cincin pernikahannya dengan Alva yang seharusnya di pakai oleh pria itu. Namun, mengapa suaminya justru melepas cincin pernikahan mereka?

"Apa yang kamu lakukan di situ?" Suara berat Alva mengejutkan Yara, wanita itu berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sang suami.

"Ini, tadi aku ...." Perkataan Yara terhenti saat melihat suaminya sedang menggosok kepalanya dengan handuk kecil. Namun, bukan itu yang menjadi objek utama penglihatannya. Melainkan, sebuah cincin yang ada di jari manis tangan kanan suaminya. Cincin dengan desain yang berbeda tetapi Yara cukup tahu jika cincin itu adalah cincin pernikahan.

"Aku apa?" Tanya Alva kembali seraya membuka pintu lemari dan mengambil baju tidurnya. Sebab, saat ini dia hanya memakai handuk untuk menutupi area bawahnya saja.

"Tidak ada." Jawab Yara dengan kemah seraya menyembunyikan cincin itu di kepalan tangannya. Pikirannya langsung mengarah ke hal-hal negatif, mendadak dirinya menjadi overthinking.

Yara memilih untuk merebahkan dirinya di ranjang, dia pun memunggungi suaminya tidur dengan menghadap ke arah lemari. Hatinya tak bisa tenang, otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban tentang cincin yang di pakai oleh suaminya.

"Ada yang mau kamu ceritakan selama aku tinggal?" Tanya Alva seraya merebahkan dirinya di belakang Yara.

"Tidak ada." Jawab Yara dengan lirih.

Alva menaikkan satu alisnya, dia merasa ada yang aneh dengan istrinya. Pria itu pun menarik bahu Yara agar wanita itu menghadap ke ayahnya. "Ada apa? Kenapa kamu terlihat murung? Apa kamu ingin kita ...,"

"Bukan itu Mas." Sahut Yara dengan cepat.

"Lalu?" Heran Alva dengan menaikkan satu alisnya.

Yara menghela nafas pelan, rasanya dia takut bertanya tentang cincin yang saat ini di kenakan oleh suaminya. "Mas, bolehkan aku ikut kamu ke Jakarta? Biarkan aku tinggal bersamamu di sana, dari pada disini. Aku sendirian, lagian kan ... biar di sana kamu ada yang ngurus juga. Gak enak loh LDM begini." Ujar Yara yang meluapkan isi hatinya.

Alva terdiam, pria itu seakan tengah berpikir. Yara menantikan jawaban suaminya, dia berharap bisa ikut dengan suaminya dan memantau pria itu di sana. Yara tidak kau terus overthinking dengan apa yang suaminya lakukan di sana.

"Di Jakarta aku bekerja, bukan healing atau yang lainnya. Nantinya kamu di rumah selalu sendiri, sama seperti disini. Sebab, aku akan sering berada di lokasi proyek dan menginap di sana. Di kota ini juga kan ada ibumu dan adikmu, kalau kamu kesepian minta saja mereka untuk menemanimu disini." Tolak Alva dengan halus.

Pikiran Yara bertambah tidak karuan, entah mengapa dia memiliki firasat yang buruk tentang suaminya. "Enggak masalah kok aku di tinggal terus Mas! Aku bisa ...,"

"Tolong, mengertilah. Di sana aku bekerja, untuk kita. Untuk masa depan kita. Apalagi, kita berencana untuk punya anak secepatnya. Punya anak butuh biaya yang tidak sedikit, kita harus pastikan dia cukup secara materi." Ucapan Alva membuat Yara tak bisa lagi berkata-kata. Wanita itu hanya diam tanpa menatap ke arah yang berbeda.

Mengerti istrinya kecewa, Alva meraih pipi sang istri dan mengelusnya dengan lembut. Sorot mata tajam nya, kini berubah lembut. Seakan, pria itu adalah dua orang yang berbeda. "Apa sudah ada tanda-tanda kamu hamil?" Tanya Alva yang mana membuat Yara menggeleng ragu.

"Aku belum tahu, tapi sudah telat seminggu ini." Lirih Yara.

Senyum Alva merekah, "Kalau begitu, besok coba di testpack. Kamu masih punya testpack yang kita beli bulan lalu kan?" Seru Alva dengan semangat.

Kebahagiaan suaminya saat ini membuat Yara tersenyum, dia seakan lupa dengan kerisauannya tadi. Wanita itu pun mengangguk, dia akan melakukan apa yang suaminya minta. Dengan perasaan bahagia, Alva menarik Yara dalam pelukannya dan melabuhkan k3cupan hangat di kening wanita itu.

"Aku harap, kamu beneran hamil sayang." Bisik Alva.

Mendengar kata sayang dari suaminya saja sudah mampu menghangatkan hati Yara. Wanita tu membalas pelukan suaminya dengan erat. Keduanya lalu memejamkan matanya dan masuk ke dalam mimpi mereka masing-masing.

.

.

 .

Yara tengah menatap dua benda persegi panjang di atas wastafel kamar mandi miliknya. Dia sedang menunggu hasilnya apakah dirinya beneran hamil ataukah tidak. Tak lama, dua garis merah tercetak pada benda pipih persegi panjang itu. Senyum Yara merekah, dia menangis bahagia. Lalu, dia mengelus perutnya yang masih terasa datar.

"Kalau Mas Alva tahu tentang ini, dia pasti bahagia banget." Gumam Yara dan bergegas mengambil testpack itu dan membawanya keluar.

Senyum Yara surut, dia pikir suaminya masih ada di kamar. Ternyata, pria itu sudah keluar kamar entah kemana. Helaan nafas berat terdengar dari wanita itu, dia berniat menaruh testpack di atas nakas. Namun, tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya.

"Eh, apa aku buat kejutan saja untuk mas Alva? Aku taruh ini di ruang kerjanya, jadi ketika dia melihatnya. Mas Alva akan terkejut, dia pasti sangat bahagia." Gumam Yara dengan senyuman lebar.

Tanpa berlama-lama, Yara segera keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang kerja suaminya. Ruangan itu terlihat terbuka, jadi Yara tak perlu lagi membukanya. Dia pun masuk ke dalam ruang kerja suaminya dan segera mendekati meja yang biasanya pria itu gunakan untuk mengerjakan tugas kantornya.

"Mas Alva itu gila kerja, seminggu di rumah saja dia masih bekerja. Aku istrinya, selalu dia abaikan. Hais, terkadang aku iri dengan laptop dan tumpukan berkas miliknya." Gumam Yara seraya mencari tempat yang bagus untuk menyembunyikan testpack itu.

"Taruh dimana yah? Di laci aja kayaknya deh, biar gak langsung ketahuan." Gumam Yara dengan semangat.

Srett!

Dengan perasaan bahagia, Yara akan meletakkan testpack miliknya di dalam laci meja itu. Namun, tak sengaja tatapan Yara menangkap sebuah buku kecil berwarna hijau. "Eh, disini ternyata Mas Alva menyimpan buku nikah kami." Gumam Yara seraya mengambil buku kecil itu.Dia menjadi urung menaruh testpack disana.

"Waah, kenapa Mas Alva tidak bilang yah kalau buku nikah kami sudah jadi. Tau gitu kan, aku menyimpan buku nikah ini." Ujar Yara lalu ia membuka buku kecil itu. Tiga bulan menikah, Yara belum mendapatkan buku nikah. Alva berkata, jika pria itu akan segera mengurusnya karena alasan yang tidak Yara mengerti.

"Eh, ini fotonya mas Alva. Ih tampan banget, pasti fotoku juga can ...,"

Deghh!

Senyum Yara luntur seketika, jantungnya berdegup kencang. Matanya menatap nanar ke arah foto seorang wanita yang bersanding dengan suaminya. Buku nikah itu memang milik suaminya, tapi bukan bersamanya. Tentunya, Yara merasa di khianati. Tubuhnya bergetar hebat, air matanya pun luruh.

"Yara, apa yang kamu lakukan disini?"

Pandangan Yara terangkat, matanya menatap tajam suaminya yang melangkah mendekat ke arahnya. Sorot mata penuh kebahagiaannya tadi berubah menjadi tatapan kekecewaan dan penuh kebencian. Tanpa di duga, Yara melempar buku nikah itu pada wajah Alva yang mana membuat pria itu menghentikan langkahnya.

"Pantas kamu tidak mau aku ikut kamu ke Jakarta. Ternyata, kamu menyembunyikan selingkuhan kamu itu kan? Enggak perlu mengelak, semuanya sudah jelas. Buku nikah itu membuktikan kebusukan yang selama ini kamu simpan!" Sentak Yara dengan emosinya yang menggebu.

Alva memungut buku nikah miliknya yang sempat terjatuh. Dengan tenang, pria itu menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah buku nikah yang baru saja di lempar oleh sang istri.

"TEGA KAMU MENIKAH DENGAN WANITA LAIN MAS!" Teriak Yara dengan histeris.

"Kamu benar, aku juga menikah dengan wanita lain. Dia Dayana, istri pertamaku." Penjelasan suaminya membuat dunia Yara serasa runtuh. Ternyata, ia adalah istri kedua suaminya.

Tubuh Yara luruh seketika, wanita itu memandang kosong ke arah lantai di hadapannya. Raut wajahnya terlihat datar, tapi air matanya terus turun. Fakta mengejutkan yang suaminya katakan barusan memberi pukulan kuat untuk perasaan wanita itu.

"Jadi, aku ... istri kedua? Itulah alasan mengapa buku nikah kita belum ada sampai sekarang. Karena pernikahanku denganmu belum di sahkan negara." Yara tertawa sumbang, wanita itu mendongak dan menatap suaminya yang seakan tak ada niatan untuk membujuknya.

"Apa aku hanya di jadikan sebagai pelampiasan mu saat kamu bosan dengan istrimu, bukan begitu Mas? Pantas saja, selama ini kamu bersikap cuek dan dingin. Aku pikir, memang itu sifat aslimu. Aku pikir, kamu sangat mencintaiku. Tapi ternyata ...." Yara kembali tertawa sumbang, dia mentertawakan kenyataan yang baru saja dia terima.

"Karena aku hanyalah istri kedua."

___

Keputusan Yara

Sejak itu, Yara memilih mengurung dirinya di kamar. Dia tak ingin bertemu dengan suaminya, bahkan untuk makan pun Yara sulit. Di kamar, Yara hanya bisa menangis. Dia seakan lupa tentang kondisi calon bayinya yang masih terlalu muda. Wanita itu menatap ke arah testpack yang tidak jadi dia perlihatkan pada suaminya.

Tok!

Tok!

Tok!

"Yara! Mau sampai kapan kamu mengurung diri di kamar?! Keluarlah dan makan, kau bisa kehabisan tenaga kalau terus seperti ini!" Seru Alva dari balik pintu.

Yara menaruh testpack miliknya di laci nakas, lalu dia menutupnya kembali sebelum berjalan ke arah pintu.

Cklek!

Alva terkejut dengan keadaan Yara saat ini, wajah istrinya itu terlihat sangat pucat. Bahkan, kantung mata hitam tercetak jelas di bawah mata wanita itu.

"Kenapa wajahmu pucat sekali, apa ...,"

Plak!

Yara menepis tangan Alva yang akan menyentuh pipinya, wanita itu menatap tajam ke arah suaminya yang memandang dingin ke arahnya. "Lebih baik kamu pergi dari rumah ini, dan kembali pada istri pertamamu! AKu tidak mau di cap sebagai perusak rumah tangga orang! Cukup lepaskan aku sekarang juga!" Sentak Yara dengan tatapan tajam.

Alva tersenyum, tetapi senyumannya terlihat menyeramkan bagi Yara. Pria itu melangkah maju, yang mana membuat Yara terpaksa memundurkan langkahnya. "Aku memang jarang pulang untuk menemui mu, tapi ... bukankah kita masih berhubungan tiga minggu yang lalu? Siapa tahu, saat ini Kamu sedang hamil. Sebelum bercerai, aku harus pastikan jika tak ada benihku yang kamu bawa." Ujar Alva. Reflek, Yara memegang perutnya.

Pria itu berbalik, "Aku harus kembali ke Jakarta, jangan lupa jaga kesehatan. Mungkin, aku akan kembali di pekan ini dan membawamu ke dokter kandungan." Ujar Alva dan meninggalkan Yara yang menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian.

Yara benci di bohongi, Yara benci di khianati. Namun, saat ini dia tak bisa mengambil keputusan. Dia harus berpikir matang-matang, tentang keputusan yang akan dia ambil. Dirinya tak ingin di cap sebagai pelakor, tetapi bagaimana dengan anak yang ia kandung?

Sejenak, Yara tak mau memikirkan hal itu Dia ingin mandi agar tampilannya lebih fresh. Setelah itu, Yara berniat untuk sarapan yang sudah di beli oleh Alva. Sekecewa apapun, Yara harus memikirkan kesehatan calon bayinya. Namun, saat dia akan masuk ke ruang makan. Tiba-tiba saja bell rumahnya berbunyi, tak adanya pembantu membuat Yara harus membuka pintu itu sendiri.

Ckelk!

Yara pikir, suaminya kembali. Namun, ternyata dugaannya salah. Seorang wanita dengan fashion mewahnya tengah berdiri di hadapannya. Wanita itu membuka kaca mata hitamnya, membuat Yara seketika membulatkan matanya. Dia hafal dengan wajah wanita di hadapannya saat ini persis seperti yang ada di buku nikah milik suaminya.

"Yara, boleh aku masuk?" Tanya wanita itu dengan sopan dan lembut.

"Mbak tahu namaku?" Heran Yara.

Wanita itu tersenyum, "Tentu, aku tahu semua tentangmu. Boleh kita mengobrol sebentar di dalam?" Tanya kembali wanita itu.

"Bo-boleh Mba, silahkan." Dengan perasaan gugup, Yara mempersilahkan wanita itu masuk.

Keduanya kini duduk berhadapan di ruang tamu, Yara menyajikan segelas air putih dan memberikannya untuk wanita di hadapannya itu.

"Pasti kamu sudah tahu siapa aku, Mas Alva sudah cerita kalau kamu sudah mengetahui hubungan kami." ujar wanita bernama Dayana itu, istri pertama Alva yang baru saja Yara ketahui.

Yara menunduk, dia bingung harus mengatakan apa. Rasanya, dia sangat malu berhadapan langsung dengan istri pertama suaminya. Dirinya bukan pelakor, tetapi posisinya menggambarkan seperti itu.

"Mas Alva itu ... bukan pria biasa. Dia merupakan CEO sekaligus penerus keluarga Elgard." Celetuk Dayana yang mana membuat Yara terkejut.

"Mba, aku benar-benar tidak tahu kalau Mas Alva sudah menikah. Kalau aku tahu sejak awal, aku tidak ...."

"Menikah dengannya? Itulah mengapa Mas Alva menyembunyikan pernikahan kami darimu." Perkataan Dayana membuat Yara merasa heran.

"Maksudnya apa yah Mba?" Bingung Yara.

Dayana tersenyum, dia meraih segelas air putih yang Yara sajikan dan meminumnya beberapa teguk. Lalu, dia kembali fokus menatap wanita yang usianya lebih muda darinya.

"Yara, sebelumnya maaf jika Mas Alva memalsukan statusnya ketika menikahi mu. Itulah kenapa, kamu tidak mendapatkan surat nikah resmi. Semuanya sudah Mas Alva susun dengan baik, agar kamu tidak mengetahuinya." ujar Dayana dengan tenang.

"Mba, aku semakin bingung. Jadi pernikahanku dan Mas Alva tidak sah secara negara?" Bingung Yara.

Dayana mengangguk, "Bukan tidak, tapi belum. Setelah kamu melahirkan, mungkin saja Mas Alva berubah pikiran dan menikahimu secara sah negara. Tapi untuk saat ini, seperti nya tidak." Terang Dayana yang mana membuat Yara membulatkan matanya.

Brak!

Yara memukul meja dengan kuat, emosinya menggebu-gebu. Wanita yang sedang hamil itu menatap tajam ke arah Dayana yang memandangnya dengan santai. Entah apa yang ada di pikirannya, Yara tak tahu apa yang wanita itu rencanakan.

"Mba! Mba jangan egois! Disini aku adalah korban! Aku juga tidak mau seperti ini! Kalau sejak awal kalian jujur, aku tidak mau menjadi yang kedua! Siapa yang mau menjadi istri tak di anggap Mba?! Kita sesama wanita, kenapa Mba tega menipuku seperti ini?! Kalian berdua benar-benar jahat! Lebih baik Mba minta Mas Alva untuk menceraikanku!" Sentak Yara dengan suara bergetar.

Dayana berdiri, dia memutari meja untuk mendekat ke arah Yara. Perlahan, Dayana meraih tangan Yara dan mengenggamnya dengan lembut. Kedua wanita itu saling menatap dengan tatapan berkaca-kaca. Yara heran, mengapa sorot mata Dayana menunjukkan rasa putus asa? Apa mungkin, dirinya salah melihat?

"Yara, aku minta tolong padamu. Aku mohon, jangan cerai dari Mas Alva. Berikan dia keturunan, karena aku tidak bisa memberikannya. Aku ... aku wanita yang tidak memiliki rahim." Ujar Dayana yang aman membuat Yara syok bukan main.

"Hanya kamu harapan satu-satunya agar aku bisa bertahan. Keluarga Mas Alva tidak ada yang tahu tentang kekuranganku. Mereka terus menuntut agar aku segera hamil. Usia pernikahan kami yang sudah berjalan lima tahun membuat tanda tanya bagi mereka. Mana mungkin aku bisa hamil jika tidak memiliki rahim?" Pinta Dayana.

Yara menggelengkan kepalanya, "Jika mas Alva memiliki anak denganku, itu adalah anakku dan Mas Alva. Sama saja, Mba tetap akan di tuntut oleh mereka." lirih Yara.

Dayana menggeleng, dia melepaskan genggamannya pada tangan Yara dan memegang kedua bahu wanita di hadapannya itu. Mata Dayana menatap Yara dengan tatapan lekat.

"Setelah anak kamu lahir, nantinya anak itu akan aku rawat bersama Mas Alva. Setelah itu, kamu bisa bebas dan melanjutkan kehidupan yang kamu mau." Penjelasan Dayana, membuat emosi Yara meningkat.

"KALIAN GILA?! APA BUAT KALIAN AKU INI MESIN PENCETAK ANAK?!" Bentak Yara seraya mendorong kuat tubuh Dayana.

Dayana berlutut, dia menangkupkan tangannya di hadapan Yara yang mana membuat wanita itu terkejut bukan main. Dia segera meminta Dayana berdiri, karena bagaimana pun juga berlutut di hadapannya itu adalah hal yang salah.

"Yara, aku mohon. Kamu masih bisa memiliki banyak anak nantinya. Tapi, aku tidak. Kita sesama perempuan, kamu pasti mengerti bagaimana posisi ku. Aku sangat mencintai Mas Alva hiks ... aku tidak ingin di pisah kan dengannya hiks ... kalau keluarga Mas Alva tahu aku tak bisa memberikan Mas Alva keturunan, mereka pasti akan meminta Mas Alva menceraikanku. Karena keluarga Elgard, tidak mengizinkan seorang pewaris memiliki lebih dari satu istri. Aku mohon Yara, bantu aku." Ujar Dayana yang tetap pada posisinya.

Yara menggeleng, dia menjauh dan menghapus air matanya dengan kasar. "Sebaiknya Mba pergi dari rumahku sekarang juga!" Titah Yara dengan tatapan tajam.

Dayana berdiri, pandangannya yang tadi lembut berubah datar. "Kamu tidak akan pernah tahu rasanya menjadi aku Yara. Hanya Mas Alva satu-satunya pria yang mau menerima wanita penuh kekurangan ini. Apa kamu tidak memiliki hati?"

"YANG TIDAK MEMILIKI HATI ITU KAMU DAN MAS ALVA!" Teriak Yara dengan histeris.

"Dimana hati nuranimu memisahkan ibu dari anak kandungnya?! Lebih baik Mba adopsi anak dan berbohonglah seperti kalian berbohong padaku. Kalian handal dalam berbohong kan? Maka, lakukanlah. tapi jangan ambil bayiku!" Ujar Yara dan memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Meninggalkan Dayana yang memandangnya dengan tatapan sendu.

.

.

.

.

Malam hari, Yara memikirkan tentang perkataan Dayana. Jujur saja, Yara dilema. Di satu sisi, dia sangat mencintai Alva. Namun, disisi lain Yara tidak ingin anaknya di ambil begitu saja. dia bisa saja memiliki anak lagi, tetapi jelas saja dia tidak mau di pisah kan oleh buah hatinya. Apalagi, dia begitu kaget saat mengetahui jika ternyata Alva adalah penerus keluarga Elgard.

"Aku mencintaimu Mas, tapi, aku tidak mau di pisah kan dari anak kita. Aku tidak mau hiks ... jika kalian mengambilnya, besar nanti dia akan membenciku dan menganggapku membuangnya. Aku tidak mau hiks ...."

Yara mengelus perutnya yang datar, dia seakan tengah merasakan kehadiran calon bayinya lewat sentuhan tangannya. "Bunda memilihmu sayang." Lirih Yara.

Lalu, Yara menghapus cepat air matanya. dia beranjak berdiri dan berjalan menuju lemari. Wanita itu dengan cepat mengambil koper miliknya yang ada di sana dan memasukkan semua baju-bajunya. Yara memutuskan, untuk melepas suaminya dari pada memberikan anaknya. Yara tidak ingin, suaminya dan madunya mengambil anak yang di kandungnya. Yara tidak akan pernah membiarkan mereka mengambil anaknya.

"Aku sudah putus kan Mas, aku akan melepasmu demi bayiku. Aku rela kehilangan mu di bandingkan harus kehilangan bayiku. Kamu bukan hanya milikku saja, tapi milik Mba Dayana juga. Sedangkan bayiku, dia milikku sepenuhnya. Kalian, tidak berhak mengambilnya dariku." Lirih Yara seraya menatap tajam cincin nikah miliknya yang ada di genggamannya.

"Aku melepasmu Mas." Ujar kembali Yara dan menaruh cincin miliknya di atas nakas tepat di atas cincin milik Alva yang sempat dia temukan. Lalu, dia meninggalkan rumah yang Alva beli atas namanya.

.

.

.

Alva buru-buru kembali ke rumahnya dan Yara setelah tahu jika Dayana datang menemui Yara. Hati Alva tak menentu, dia merasa sedikit khawatir dengan Yara. Apalagi, Dayana berkata jika dia membocorkan tujuan Alva menikah dengan Yara.

Cklek!

"Yara?!" Alva tak menemui Yara di kamar mereka, pria itu dengan panik berjalan menuju lemari pakaian dan membukanya dengan kasar. Naas, pakaian milik istrinya sama sekali tak ada yang tertinggal. Di lemari itu hanya tertinggal pakaian kerja miliknya yang memang beberapa tersimpan di sana.

"Yara." Gumam Alva dengan tatapan lemah. Pria itu jatuh terduduk di kasur, matanya menatap ke arah cincin pernikahannya yang Yara taruh di sana. Perlahan, dia mengambil cincin itu dan menatapnya dengan helaan nafas berat.

"Astaga, dia benar-benar pergi." Lirih Alva.

Derrtt!

Ponsel Alva berdering, bergegas ia melihat siapa yang menelponnya. Nama Dayana dengan emot love membuat Alva berdecak kesal. Dia lalu, mengangkatnya dengan cepat.

"Sudah Mas bilang, jangan temui dia! Lihat sekarang! Dia pergi dari rumah! Mas belum memastikan dia hamil atau tidak! Bagaimana jika dia sedang hamil?! Hanya sedikit lagi apa yang kamu impikan berhasil, kenapa kamu begitu gegabah!" Bentak Alva dengan emosinya yang tersulut.

Brak!

Alva melempar ponselnya ke lantai, pria itu menyisir kasar rambutnya dan memegangi kepalanya yang terasa pening. Bayangan Yara yang selalu menyambutnya dengan senyuman hangat mengganggu pikirannya saat ini.

"Dia pasti di rumah ibu." Gumam Alva dengan tatapan penuh harap. Pria itu lalu menyambar kunci mobilnya dan bergegas menemui rumah ibu mertuanya.

Alva melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia tak peduli kan pengendara lain yang mungkin akan celaka akibat ulahnya. Tak lama, mobil Alva terhenti di sebuah rumah sederhana yang terlihat sangat asri. Tanpa berlama-lama, Alva segera turun dari mobilnya dan bergegas mengetuk pintu rumah itu

Tok!

Tok!

Cklek!

Pintu terbuka, terlihat seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun keluar dari balik pintu. Keningnya mengerut dalam saat melihat Alva datang menemuinya.

"Bang Alva?!" Kaget pemuda itu.

"Azka, apa kakakmu di dalam? Minta dia keluar, Abang mau bicara padanya!" Titah Alva yang mana membuat adik dari Yara itu terlihat bingung.

"Kak Yara bukannya di rumah Abang? Kenapa ...,"

"Eh, Alva. Kamu kesini nak? Mana Yara?" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dan memutus obrolan mereka.

"Apa Yara tidak disini? Aku pikir dia disini." Ujar Alva dengan tatapan terkejut.

Wanita paruh baya itu terlihat sangat syok, dia menatap Alva seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak Alva, Yara tidak mungkin kembali tanpa izin darimu. Anak ibu begitu patuh, dia tidak mungkin pergi tanpa bilang dulu padamu. Apa kalian sedang ada masalah? Apa yang telah kamu lakukan pada putri ibu." Ujar wanita paruh baya itu dengan suara bergetar.

Setelah suaminya meninggal, Salma yang membesarkan kedua anaknya seorang diri. Wanita paruh baya itu bahkan sangat menyayangi Yara melebihi putranya. Dia begitu mendidik putrinya menjadi seorang wanita yang baik. Dia tahu persis bagaimana putrinya itu. Tak mungkin Yara pergi begitu saja jika tidak ada masalah yang besar.

"Bu maaf, aku memiliki istri selain Yara." Ujar Alva dengan menundukkan kepalanya.

"Apa?!"

Si kembar yang menggemaskan

"KAMU MENGKHIANATI PUTRIKU HAH?! KAMU MENGKHINANATINYA!" Teriak Salma seraya memukuli Alva. Pria itu tak membalas, dia membiarkan ibu mertuanya melampiaskan amarahnya.

"Bu, udah Bu! Udah!" Seru Azka seraya menahan tangan sang ibu yang akan kembali memukuli abang iparnya.

Salma menangis, dia khawatir dengan keadaan putrinya saat ini. Sedangkan Azka, dia menatap tajam Alva yang saat ini tengah menunduk dengan perasaan bersalah. Tak lama, Alva mengangkat pandangannya, dia menatap nanar ke arah ibu mertuanya yang memanggil-manggil nama Yara.

"Bu, maaf. Maafkan Alva, Alva tidak jujur sedari awal jika Alva sudah memiliki istri. Maafkan Alva." Lirih Alva.

Mendengar itu, Salma menghentikan tangisnya, dia menatap penuh kecewa Alva yang masih berani menatapnya. Perlahan, Salma maju melangkah. Tatapannya tak lepas dari pria yang telah menikahi putrinya.

PLAK!

Azka membulatkan matanya, dia segera meminta ibunya untuk menjauh setelah menampar Alva.

"PERGI! PERGI KAMU DARI SINI! SEBELUM PUTRIKU KEMBALI, JANGAN HARAP KAMU MENDAPAT MAAF DARIKU!" Bentak Salma.

"Dan ingat, setelah dia kembali. Ceraikan dia dan kembalikan dia pada Ibu! Kamu tidak berhak membuat putriku menderita!" Ujar kembali Salma seraya menunjuk lemah pada Alva

Alva berbalik, dia beranjak pergi dan tak berani menoleh kembali. Tubuh Salma luruh, Azka pun segera memeluk ibunya dengan menahan tangisnya. "Cari kakakmu Dek, cari kakakmu hiks ... dia pasti tengah terpukul. Dia pasti sedang terpukul saat ini hiks ...." Isak Salma.

"Aku akan mencari kakak Bu, aku akan mencarinya." Ujar Azka dengan menitikkan air matanya.

Alva menatap Azka dan Salma dari balik jendela mobilnya, pria itu menyorot keduanya dengan tatapan sendu. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, yang jelas Alva merasa bersalah pada keduanya.

"Yara tahu aku akan mencarinya di rumah ibunya, makanya dia tidak pulang kesini. Lalu, kemana perginya Yara?" Batin Alva, memikirkan kondisi istri keduanya itu.

.

.

.

Lima tahun kemudian.

Seorang wanita cantik terlihat baru saja menghentikan motornya di depan rumah sederhana miliknya. Dia membuka helmnya yang sedari tadi memberatkan kepalanya. Setelah itu, dia turun dari motornya dan mengambil belanjaan yang tadi dirinya beli.

"Eh Bu Yara, belanja Bu?" Seorang tetangga datang dan menyapa wanita yang tak lain adalah Yara.

"Eh Bu Leni, iya nih bu. Si kembar lagi pengen makan ayam, jadinya harus beli dulu ke pasar." Sahut Yara dengan ramah.

"Kebetulan saya masak ayam, sebentar yah saya ambilkan! Tunggu dulu!" Seru ibu itu ketika tahu yang menginginkan ayam tersebut.

"Eh Bu, jangan. Gak usah!" Seru Yara dengan panik. Namun, Bu Leni pergi begitu saja. Meninggalkan Yara yang kebingungan di buatnya.

Prang!

Teng!

Brak!

Kening Yara mengerut dalam, dia mendengar ada suara panci yang di benturkan dengan panci lain. Penasaran, wanita itu segera masuk. Tak lupa, ia membawa serta belanjaan ke dalam rumahnya.

Prang!

"Apa lah abang ini hiks ... di culuhna aku cuci piling telus hiks ... nda cuka juga hiks ... hwek! Ini juga, bicana gocong p4nt4tna! Hitam kali hiks ....,"

Langkah Yara terhenti setibanya dia di kamar mandi. Matanya melotot sempurna saat melihat gadis kecil sedang berjongkok dengan wajan dan beberapa alat masak yang kotor lainnya.

"Astaga! Vara ngapain sayang?!" Seru Yara yang mengejutkan bocah menggemaskan itu.

"Ekheee Bundaaa! Vala capek hiks ... Vala capek hiks ... abang culuh Vala ...,"

"Jangan mengada-ngada kamu!"

Keduanya di kejutkan dengan kedatangan anak kaki-laki tampan yang sedang membawa plastik hitam di tangannya. Yara menepuk keningnya pelan, dia menaruh belanjaannya dan menatap kedua bocah menggemaskan itu.

"Nda ada, ada! Memang adana ada! Abang culuh Vala cuci piling ini cemua, telus ...,"

"Buat lagi slime yang ada di Gotub itu. Buat nah lagi! Ambil panci Bunda buat slime itu! Biar di omelin Bunda kamu!" Omelnya pada si gadis kecil di dekatnya.

Empat tahun yang lalu, Yara berhasil melahirkan sepasang bayi kembar. Anak pertamanya laki-laki, bernama Jovan Alvaro. Sedangkan si bungsu bernama Vara Alviza. Keduanya memiliki sifat yang berbeda. Jovan memiliki pola pikir lebih dewasa, dia bisa dengan cepat belajar. Daya tangkapnya jauh lebih kuat di bandingkan dengan sang adik. Sementara Vara, di usianya yang beberapa bulan lagi akan menginjak tahun ke lima, masih ada beberapa huruf yang belum benar ia ucap.

"Slime?" Tanya Yara dengan bingung.

"Iya, habis sampo sama dia! Bunda tahu ini apa? Ini sampo, sabun cuci piring, sabun mandi, di tambah minyak goreng dia pakai semua bahan buat bikin slime! Buang aja anak begitu Bun! Nyusahin!" Seru Jovan dengan tatapan kesal.

"ABAAANGG JANAN JADI KOMPOOOLL!" Teriak Vara dengan kesal.

Yara menghela nafas berat, dia menatap putrinya yang menunduk seraya memainkan sabun. "Terus, itu kenapa pancinya gosong? Apa kalian bermain api? Sudah Bunda bilang berapa kali, jangan nyalakan kompor. Bunda tau, kalian bisa menyalakannya. Tapi, itu bahaya sayang." Tegur Yara dengan lembut.

"Tuh! Omelin Bunda! Omelin!" Seru Jovan mengompori sang bunda.

"ABANG JANAN KOMPOLIN BUNDAAA DI BILANGNAAA! HUAAA!" Vara yang kesal pun akhirnya menangis keras. Bukannya membantu abang nya malah mengompori bunda mereka.

"Hais, sudah-sudah. Vara cuci tangan dan kaki gih, abis itu ganti bajunya." Titah Yara seraya menggulung tangan bajunya. Dia berniat akan menggantikan putrinya mencuci semua cucian itu.

"KEMBAR! BIBI BAWA AYAM SEMUR NIH!" Seru Bu Leni yang mana membuat tangisan Vara terhenti. Senyumnya merekah, dia segera melakukan apa yang bundanya seru dan menyambut tetangga mereka.

"CEMUUUL, AKU DATAAANGG!" Seru Vara dan berlari menghampiri sang tamu.

Yara menggelengkan kepalanya, dia berjongkok dan bersiap akan mencuci kekacauan yang putrinya buat. Namun, saat menoleh. Dia terkejut mendapati Jovan yang turut berjongkok di sebelahnya.

"Jovan ngapain nak?" Bingung Yara.

"Jovan bantu, Bunda kan udah capek ngurus kita. Masa harus ngurus kekacauan yang adek buat, biar Jovan juga tanggung jawab." Ujar Jovan dengan tatapan seriusnya.

Yara menghela nafas pelan, "Jovan, umurmu sama dengan Vara. Coba berpikir seperti anak seusiamu, jangan cepat dewasa." Ujar Yara dengan tatapan sendu.

"Kalau Jovan kayak Vara, gak ada yang jaga Bunda dan Vara. Kan, Jovan mau jaga kalian." Serunya dengan menampilkan senyumnya.

Yara sungguh terharu, dia mengusap pelan rambut hitam tebal milik putranya dan mengelus pipinya dengan lembut. "Kamu memang pangeran Bunda, yasudah ... ayo kita bereskan kekacauan yang adikmu buat." Seru Yara dengan semangat.

.

.

.

Malam hari, si kembar sedang menonton siaran di televisi. Sementara Yara, dia tengah menghitung uang hasil penjualannya. Selama tinggal di kota kecil ini, Yara menghidupi dirinya dengan berjualan kue yang dirinya ambil dari toko dan menjualnya. Terkadang, dia berkeliling dan menawarkan pada setiap orang, dan terkadang juga dia mendapat pesanan. Walau begitu, Yara merasa hidupnya banyak di berikan kebahagiaan setelah anak kembarnya lahir.

"Si kembar gak lama lagi memasuki usia lima tahun, mereka akan masuk sekolah TK. Biaya masuk sekolah juga gak sedikit, apalagi dua anak. Pendapatan sehari saja paling banyak seratus ribu, dan aku harus membagi untuk keperluan lain." Lirih Yara.

"Bunda."

Yara terkesiap, dia menoleh dan mendapati putranya berdiri di ambang pintu kamarnya dengan sorot mata yang aneh. Yara mencoba tersenyum, dia melambaikan tangannya meminta sang putra mendekatinya. Perlahan, Jovan mendekat, dia duduk di sebelah sang bunda.

"Abang boleh tanya?" Izin Jovan.

"Tentu saja, putra Bunda ini ingin tanya apa hm?" Sahut Yara seraya memegang dagu putranya.

"Dimana ayah? Kenapa ayah menelantarkan kita? Ayah gak pernah nemuin Bunda, abang dan adek. Ayah biarin bunda cari uang sendiri, ayah biarin kita susah. Kenapa ayah jahat sama kita?" Pertanyaan Jovan membuat jantung Yara serasa berhenti berdetak. Mata wanita itu berkaca-kaca, tetapi bibirnya mencoba tersenyum.

"Ehm begini nak, ada hal yang belum saatnya Jovan tahu. Nanti Bunda akan ceritakan, saat umurmu sudah cukup untuk mencernanya. Yah sayang," ujar Yara dengan penuh kelembutan.

Jovan tak membantah, dia mengangguk mengiyakan. Pria kecil itu hanya merasa, mengapa sang ayah tak pernah datang menemuinya? Melihat bundanya yang mengurusnya dan sang kembaran, di tambah harus berjualan agar mendapatkan uang, rasanya Jovan tak tega.

"Kalau gitu, Jovan main sama adek dulu yah. Badan Bunda rasanya pegal, Bunda mau istirahat dulu. Karena kan besok pagi Bunda harus ambil pesanan lagi." Titah Yara.

Jovan beranjak pergi tampa mengucapkan apapun, tak lama dia kembali dengan toples permen di pelukannya. Kening Yara mengerut sempurna, dia tak mengerti apa yang putranya itu maksudkan. Setibanya Jovan di sisi Yara, dia langsung membuka kaleng permen itu dan menuang isinya ke atas kasur.

"Eh ...." Yara terkejut ketika mendapati banyaknya uang dua ribuan dari dalam kaleng itu.

"Bunda, besok libur saja. Jovan masih ada uang, jadi besok Bunda bisa istirahat." Ujar Jovan dengan tatapan polosnya.

Yara menitikkan air matanya, dia menatap kumpulan uang dua ribu itu dengan hati teriris. "Berapa lama kamu tidak jajan sayang? Sehari jajanmu hanya dua ribu, bagaimana bisa kamu tidak menjajaninya." Lirih Yara.

"Jovan enggak suka jajan, jadi semua uang Jovan tabung." Jelas Jovan dengan tersenyum tipis.

Yara memeluk tubuh putranya, air matanya luruh. "Elgard, ayahmu itu keturunan keluarga Elgard. Seharusnya kamu hidup di istananya, bukan hidup sulit bersama Bunda disini. Bunda egois, maafkan Bunda nak. Maafkan Bunda." Batin Yara menangis karena merasa sedih atas kehidupan anak-anaknya.

.

.

.

Hari ini, Yara membantu tetangganya yang sedang mengadakan acara hajatan. Dia bersama ibu-ibu yang lainnya turut membantu menyiapkan stok kue dan juga beberapa minuman untuk tamu yang datang. Di saat asik menata makanan itu, tiba-tiba saja Bu Leni menepuk bahunya.

"Eh, mana si kembar?" Tanya Bu Leni dengan ramah.

"Biasa bu, main sama yang lain." Sahut Yara.

"Seharusnya bawa kesini, apalagi Vara senang banget jajan." Pinta Bu Leni.

"Gak enak Bu sama yang punya acara, apalagi Vara sangat aktif." Balas Yara.

Bu Leni mengangguk pelan, "Oh iya, kamu lagi cari uang tambahan gak? Kebetulan, ada pengerjaan proyek di dekat kantor lurah. Tanahnya pak lurah di jual, buat di bikin hotel. Nah, kebetulan Pak lurah lagi nyari orang yang bisa masak makanan buat para pekerja. Kamu kan masakannya enak, coba aja kamu ajuin ke Pak lurah." Saran Bu Leni.

Yara terdiam, dia memikirkan ucapan Bu Leni ada benarnya. Lumayan, uangnya bisa untuk tambahan tabungan untuk sekolah si kembar nantinya.

"Boleh deh Bu," ujar Yara dengan tersenyum ramah.

"Nah! Nanti habis ini kita ke rumah Pak Lurah!" Seru Bu Leni dengan semangat.

Sementara itu, Vara sedang bermain dengan teman-temannya yang lain. Mereka biasa main dari rumah ke rumah yang lain menghampiri teman yang belum datang.

"Ih panasna, Vala mau pulang aja lah. Mau minta uang Bunda beli es dogel." ujar Vara dan berbalik pergi meninggalkan para temannya. Dia menghiraukan panggilan mereka yang memintanya kembali.

"Minum yang cegel-cegel enak ini, beli es dogel laaaahh ...." Gumam Vara dengan tersenyum lebar.

Bugh!

Tak sengaja, Vara menabrak seseorang. Dia memegangi keningnya yang terasa sakit. Matanya menatap kaki jenjang seorang pria di depannya, perlahan dia mendongak untuk melihat jelas siapa yang menabraknya. Terlihat, seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah yang tampan, sedang memandang ke arah Vara yang baru saja menabraknya dari balik kaca mata hitamnya.

"Tinggi kali, cepelti tiang lictlik." Gumam Vara.

"Apa kamu tidak apa-apa?" Tanya pria itu seraya berjongkok di hadapan Vara. Lalu, dia membuka kaca mata hitamnya agar bisa melihat Vara dengan jelas.

"Eh, gantengnaaaa ...." Pekik Vara dalam hatinya.

"Apa yang sakit? Katakan?" Ujar pria itu seraya mengelus kening Vara.

Vara memundurkan langkahnya, "Jangan buat jantungna Vala beldebal-debal cepelti liat uang melah." Celetuk Vara yang mana membuat pria itu tersenyum.

"Namamu Vala?" Tanya pria itu.

Vara menggeleng, "Bukan pake L, tapi L! Gimana ci, kok cama?! Tau lah, pokokna bedaaa!" Vara kesulitan berbicara R.

"Oh, Vara ... Vara yah. Kenalkan, nama om Alva." Ujar pria itu yang tak lain adalah Alva.

Alva menatap lekat ke arah Vara yang tersenyum menatapnya. Lesung pipi yang terletak di pipi kanan gadis kecil itu mengingatkannya pada seseorang.

"Om Alpa, ada indomaletna nda?"

"Eh?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!