Seorang gadis kecil sedang bermain ayunan. Namun, kepalanya selalu menoleh ke salah satu arah blok perumahan elit di kawasan Jakarta yang dia tinggali bersama kedua orang tua dan seorang kakak laki-lakinya. Beberapa kali dia menghela napas dengan kasar saat seseorang yang ada dalam pikiran belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Dira pasti sedih banget kalau tahu Kevin dan keluarganya akan pindah ke Jogja,” bisik sang mama kepada suaminya yang memang sedang menemani kedua anaknya bermain di taman komplek.
Bermain di taman, apalagi saat weekend adalah rutinitas keluarga mereka. Namun sayangnya kali ini rasanya berbeda, karena hari itu mereka akan berpisah dengan salah satu tetangga yang memang sudah sangat akrab, layaknya saudara.
“Ya mau gimana lagi? Bisnis keluarga mereka sedang berkembang pesat. Mau nggak mau, ya, mereka memang harus pindah untuk melebarkan bisnis juga. Momen kaya gini untuk pebisnis nggak akan datang dua kali. Papa juga nggak akan pikir panjang kalau mendapat kesempatan bagus.”
Sang istri malas menanggapi. Lebih penting untuknya memperhatikan Dira, yang sudah hampir tiga puluh menit menekuk wajahnya karena merasa kesal menunggu kehadiran sosok yang selalu membuatnya tersenyum.
Lain halnya dengan Dira yang hanya bisa berdiam diri tanpa bisa menikmati ayunan, sang kakak, Eka rupanya lebih santai mengayuh sepeda mengelilingi lintasan sepeda di pinggir taman.
“Dira ...,” panggil seorang bocah laki-laki yang langsung membuat senyum Dira yang saat itu masih berusia empat tahun, langsung mengembang. Binar di matanya langsung membentuk gugusan bintang yang begitu indah.
Dira turun dari ayunan dengan tangan tetap berpegang pada tali. Dia memperhatikan bocah laki-laki yang berlari menghampirinya. Usia mereka mungkin terpaut delapan tahun, tetapi keduanya sangat akrab, karena Kevin yang selalu menemaninya bermain. Sangat jauh berbeda dengan Eka, yang selalu menolak bermain dengan sang adik.
“Kak Kevin, akhirnya dateng juga.” Dira menyugar rambut bagian samping ke balik telinganya.
“Vin, ayolah main! Ngapain sih, main sama Dira terus? Cowok tuh mainnya sama cowok!” ajak Eka yang langsung mengubah air muka Dira.
Sang gadis kecil memicingkan mata, pipinya seketika menggembung diikuti bibirnya yang manyun. Kedua tangan terlipat di pinggang.
“Kak Eka apaan sih? Suka-suka Kak Kevin dong mau main sama siapa. Harusnya Kak Eka tahu yang nemenin aku main!”
“Sudah, sudah. Aku ke sini sebenernya mau pamitan sama kalian semua,” ucap Kevin yang sebenarnya dia katakan dengan sangat berat hati.
Eka lantas turun dari sepeda, membiarkannya tergeletak begitu saja di tanah. Kemudian, dia berlari mendekat pada Kevin dan Dira.
“Kak Kevin mau pergi?” tanya Dira yang hanya diangguki oleh Kevin. “Jadi, hari ini aku cuma main sama Kak Eka?” lanjutnya.
Kevin menggelengkan kepala, lalu meraih tangan Dira untuk dia genggam. “Dir, hari ini aku akan pergi ke Jogja ....”
“Wah, mau liburan nih. Nanti kasih tahu, ya, Jogja tuh tempatnya kaya gimana!” sela Eka memotong kalimat Kevin.
“Nggak. Aku, mama, sama papa akan tinggal di Jogja. Jadi, mulai hari ini Dira mainnya berdua sama Eka aja.”
Mendengar hal itu, mama Dira pun bangkit menghampiri sang putri. Memegangi pundak putri kecilnya, memberinya kekuatan agar tidak menangis.
“Kevin ke sini nggak sama mama-papa?” tanya mama Dira sambil menundukkan tubuh.
“Sebentar lagi mereka ke sini, Tante.” Jawaban itu hanya mendapat anggukan kecil dari mama Dira.
“Jogja itu jauh?” tanya Dira yang masih berusaha mencerna kalimat yang Kevin utarakan.
“Kata mama sih, jauh banget.” Kevin merogoh sakunya untuk mengeluarkan sesuatu.
“Kamu serius, Vin? Nggak balik-balik lagi dong ke sini?” celetuk Eka yang sontak membuat Dira merasa begitu sedih.
“Kata mama, kapan-kapan bisa kok ke sini lagi. Cuma nggak tahu, kapan pastinya.” Kevin mengeluarkan sebuah liontin yang tertulis namanya dan Dira di kedua sisinya. “Tante, boleh kan, kalau aku kasih kalung ini buat Dira, sebagai kenang-kenangan?”
“Uuu ... so sweet sekali. Pa, coba deh lihat, anak sekecil Kevin aja sweet banget loh, masa Papa kalah, sih?” rajuk mama Dira kepada sang suami yang hanya direspons dengan memutar bola matanya. “Iya, boleh Sayang, sini biar Tante yang pakein. Oh iya, kalungnya bagus banget. Siapa yang beli?”
Kevin menyerahkan kalung itu kepada mama Dira. “Semalem waktu mama ngajak aku ke mall, Tante. Di sana ada yang jual kaya gini dan bisa dikasih nama. Jadi aku beli. Aku juga beli buat Eka, tapi nanti katanya dibawa mama ke sini.”
“Kevin, sudah pamitan?” sapa seorang wanita cantik yang tak lain adalah mama Kevin.
“Sudah, Ma.” Sang bocah kecil lantas berlari dan berhambur ke pelukan sang mama, dan meraih sebuah paper bag yang dibawa untuk dia serahkan kepada sahabatnya, Eka.
“Thank’s ya, Vin. Nggak asyik nih bentar lagi mainnya sama Dira doang.”
“Mbak, aku pamit dulu ya. Penerbangannya tiga jam lagi. Takut kejebak macet.” Kali ini mama Kevin yang berpamitan kepada keluarga Dira. Keduanya begitu merasa terharu.
Dua keluarga itu memang sangat dekat, layaknya saudara. Tak heran apabila mereka sama-sama merasa sedih untuk perpisahan yang mereka sendiri tidak tahu, kapan bisa akan bertemu lagi.
“Sayang, Kak Kevin ikut Bunda dulu, ya. Nanti kalau ada waktu, kami akan ke sini lagi, atau kalian juga bisa ke Jogja. Oke. Jangan sedih, ya!” mama Kevin berpamitan kepada Dira, gadis kecil yang memang sudah dia anggap putrinya sendiri. Bagaimana tidak? Sejak hamil, dia sudah sering menemani mama Dira ke mana pun, terutama saat mengecek kandungan.
Tak jarang celetukan untuk menjadikan Dira menantunya sejak dalam kandungan, dilontarkan oleh mama Kevin. Sayangnya itu hanya direspons sebuah senyuman oleh ibu sang gadis cilik.
“Dir, tunggu aku ya, aku pasti balik ke sini!”
Dira mulai menitikkan air mata tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun. Tangisannya makin menjadi saat Kevin mulai melangkah menjauh darinya.
***
“Kak Kevin!” teriak Dira yang kemudian terbangun dari tidurnya.
Sekujur tubuhnya basah dengan keringat. Bayangan masa lalu itu tak henti mengganggu pikiran. Hanya liontin pemberian Kevin yang masih dia pakai yang mampu memberikan sedikit ketenangan.
Dira menyugar rambutnya dengan sangat kasar dan menariknya sedikit keras untuk menyadarkan hati, kalau kalimat terakhir Kevin itu hanya sebuah penenang. Nyatanya, lebih dari sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu belum juga menampakkan batang hidung di hadapannya.
“Lupain dia, Dir! Lupain! Dia nggak akan balik!” gumamnya pada diri sendiri.
Tak lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar yang diikuti suara bariton seorang pria memanggil namanya.
“Itu kan suaranya ....”
Dira bergegas bangkit dan membuka pintu kamar setelah melempar selimut yang telah menghangatkan tubuhnya semalaman, ke sembarang arah. Mata indah itu seketika berbinar diikuti lengkingan teriakan dari bibirnya yang kemerahan.
“Kak Eka ...,” ucap Dira yang langsung berhambur dalam pelukan sang kakak.
Saking bahagianya, Dira bahkan tak menyadari kalau pelukan itu terlalu kencang hingga membuat Eka merasa agak sesak. Beberapa kali pria yang kini menjalankan bisnis properti keluarganya itu menepuk tangan sang adik, berharap gadis itu akan melepaskannya.
“Aku seneng banget, akhirnya Kak Eka pulang. Aku kangen tau!” ucap Dira dengan girang, tanpa melepas pelukannya pada sang kakak.
Hingga akhirnya, Eka yang benar-benar merasakan sakit di lehernya, meminta Dira untuk membebaskannya detik itu juga.
“Sakit, Dir. Sumpah! Astaga! Untung aja nggak patah nih leher! Coba kalau sampai patah, nggak ada suku cadangnya. Dipikir buatan China, apa?” gerutu Eka seraya memijit leher yang memang terasa nyeri.
Dira hanya tersenyum dengan memainkan jarinya, merasa sedikit bersalah. “Ya maaf, sih. Aku kan seneng lihat kakak aku pulang.”
“Yaelah, malah cengengesan lagi. Nggak ada gitu rasa bersalahnya.”
“Kan udah minta maaf.” Bibir Eka hanya diam, tetapi tatapannya begitu tajam merespons ucapan sang adik. “Eh iya, Kak Eka kapan dateng?”
“Semalem,” jawab Eka dengan nada ketus.
“Ish ... kebiasaan. Nggak bisa apa, ke adik sendiri tuh ngomongnya alus, nadanya yang lembut gitu?”
“Nggak bisa! Udah, buruan mandi, terus kita sarapan bareng. Nanti aku yang antar kamu ke kampus!”
“Oh my God! Gue lupa!” Dira menepuk keningnya sendiri saat sang kakak membahas tentang kampus. “Pagi ini, jam delapan ada quiz dari Pak Usman, si dosen yang nggak pernah senyum itu!” Sang gadis lantas berlari masuk kembali ke kamarnya setelah mendaratkan sebuah ciuman di pipi kakak kesayangannya.
“Astaga, Dira! Lo jorok banget, sih! Belum mandi, masih bau jigong juga malah cium-cium gue!” teriak Eka seraya mengusap pipi bekas ciuman Dira.
Dira tak menggubris hal itu, dan justru lebih memilih menertawai Eka dengan keras dari dalam kamarnya. Sesungguhnya Eka tidak benar-benar kesal mendapat perlakuan tersebut dari Dira. Dia tahu betul kalau sang adik memang sangat suka bercanda.
Eka yang memang sudah sangat siap dengan penampilannya, kembali turun menuju meja makan, di mana mama dan papanya sudah berkumpul dan siap menyantap sarapan.
“Dira belum bangun juga?” tanya sang mama saat melihat Eka turun hanya seorang diri.
“Udah, kok. Sekarang lagi mandi.” Eka lantas duduk di salah satu kursi dan menyajikan nasi goreng yang sudah disiapkan ke pirinya.
“Astaga, Eka! Kamu tahu, kan, adik kamu itu kalau dandan lama. Bisa telat dia ....”
“Ma, Dira bukan anak kecil lagi. Dia mungkin dandannya lama, tapi dia tahu kok, jadwalnya dan kapan harus berangkat,” sela Eka.
“Betul kata Eka. Mama jangan terlalu mikirin keseharian Dira. Dia udah gede ....” Papa Dira kini mulai bersuara.
“Dan yang paling penting, sebentar lagi dia akan jadi istri!” sambung Eka lagi yang mulai melahap makanan favoritnya sejak kecil, nasi goreng jawa buatan Mbok Nah, ART yang sudah bekerja untuk keluarga mereka sejak dia masih kecil.
“Siapa yang akan jadi istri?” tanya Dira sambil terburu-buru menuruni anak tangga yang memang berada tepat di sebelah ruang makan.
“Nyamber aja lo, kaya bajaj! Udah siap kan?” tanya Eka yang lalu menyuapkan suapan terakhir ke mulutnya.
Dira memicingkan mata, sedetik kemudian meletakkan buku-buku yang hendak dia bawa kuliah dengan kasar ke atas meja.
“Gue leper, Kak. Sarapan dululah!” Dira menuang Air ke dalam gelas gosong kemudian meneguknya sampai habis. Dia hendak duduk dan membalikkan piring kosong di hadapannya. Namun, dengan cepat Eka meletakkan sebuah kotak bekal di hadapan Dira. “Apaan nih?”
“Itu kotak bekal. Buta?” Lagi-lagi Eka bersikap judes pada sang adik. Beruntung Dira tak pernah menanggapinya dengan serius. Dia kenal betul bagaimana sang kakak yang memang jarang bersikap manis. Kadang kala, hal itulah yang membuatnya teringat dan merindukan sosok Kevin.
“Anak TK juga tahu kali ini kotak bekal. Maksudnya buat apaan? Gue kan nggak minta ini!”
Eka tak merespons pertanyaan itu dengan sebuah perkataan, dia hanya menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hal itu sontak membuat mata Alya membulat sempurna.
“Masih mau sarapan? Lo tahu, kan, perjalanan kita dari rumah ini ke kampus lo ....” Belum sempat Eka melanjutkan perkataannya, Dira langsung meraih buku-bukunya kembali dan menarik lengan kekar sang kakak.
“Eh, Dir, bekal kamu ....” teriak sang mama sambil meraih kotak makan dan hendak mengejar kedua anaknya.
“Nggak usah, Ma. Ribet. Nanti aku beli makanan di kampus aja!” teriak Dira.
Eka melajukan mobil dengan agak cepat, karena tak ingin sang adik terlambat.
Selama di perjalanan, tak ada satu pun di antara keduanya yang mencoba membuka obrolan. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya.
Dira terus saja melihat ke arah samping, tangannya tak henti memegangi liontin yang sudah melekat di lehernya sejak dirinya berusia lima tahun.
Hal itu rupanya tak luput dari perhatian sang kakak. Hingga membuat Eka berinisiatif membuka percakapan.
“Masih belum bisa move on?” tanya Eka membuyarkan lamunan gadis yang kini sedang menempuh pendidikan manajemen bisnis di salah satu kampus ternama di Jakarta.
Dira menoleh ke arah bangku pengemudi. “Maksudnya?” tanya balik Dira pura-pura tidak memahami maksud pertanyaan sang kakak.
“Kevin,” jawab Eka singkat, padat, jelas, tanpa sensor.
Dira menghela napas, lalu membuka liontin dan menampilkan wajah dua bocah kecil di sana. Telunjuknya mengusap foto bocah laki-laki yang sedang tersenyum.
“Mungkin nggak sih, Kak, kalau cinta masa kecil itu bener-bener akan jadi jodoh kita?” tanya Dira yang kini sedang ingin berbicara serius dengan sang kakak.
“Bisa ya, bisa nggak. Lo tahu sendiri kan, jodoh, maut, rezeki, itu udah diatur sama Tuhan. Lo emang harus berbaik sangka sama takdir Tuhan, tapi bukan berarti lo biarin diri lo berdiam diri nunggu takdir itu terjadi. C’mon, Dir, cowok di dunia ini nggak hanya dia. Lo masih muda, dan lo harus bisa nikmatin hal ini. Kalau emang kalian jodoh, nggak akan ke mana, kok!”
“Nggak mudah, Kak. Lo bisa anggap gue bucin tolol, karena emang itu kenyataannya ....”
“Usia Kevin dan gue itu sama. Usia kami ini udah mateng banget buat nikah. Misalnya lo ketemu dia lagi, tapi ternyata dia udah nikah dan lupa sama lo gimana?”
Pertanyaan yang sesungguhnya membuat hati Dira terasa sakit. Namun, logikanya tak bisa menyangkal, hal itu memang bisa saja terjadi.
“Dir, menurut penelitian, cowok itu melupakan sebagian besar janjinya. Gue aja kadang lupa kan, kalau ada janji sama lo, atau nyokap? Ya emang sih, gue dan Kevin nggak bisa disamakan, tapi rata-rata cowok ya emang gitu.”
“Gue akan lupain Kevin kalau emang ternyata dia udah punya istri,” pungkas Dira yang kemudian meminta sang kakak menurunkannya di depan gerbang kampus.
Jarak dari gerbang ke fakultas Dira memang cukup jauh, dan jalan kaki ke sana akan sangat melelahkan. Akan tetapi, lebih melelahkan mendengar ocehan sang kakak yang terus saja mengatakan hal buruk tentang Kevin.
Dira berjalan kaki dengan agak cepat. Bibirnya terus menggerutu mengingat hal-hal buruk yang dilontarkan Eka. Hal itu tentu membuat fokusnya berkurang dan tak memperhatikan jalanan.
“Au,” pekik Dira saat terjatuh, karena tak sengaja diserempet sebuah mobil hitam bermerek Mercedez. Buku-buku yang dia peluk pun berhamburan di jalanan.
Si pengemudi langsung turun dan menghampiri Dira seraya meminta maaf karena telah teledor, menyetir sambil bermain ponsel.
“Kamu nggak pa-pa, kan? Apa perlu ke rumah sakit? Saya antar sekarang?” tanya si pengemudi yang ternyata adalah seorang laki-laki.
Sambil menepuk-nepuk telapak tangan dengan niat membersihkan debu dan kerikil kecil yang sedikit menempel, Dira melirik ke samping, di mana pria yang sudah menabraknya berada. Tutur katanya begitu lembut dan rasanya cukup membuat tenang.
Siapa dia? Sepertinya nggak asing. Mata itu .... Perasaan ini juga tenang. Harusnya gue marah karena dia udah nabrak. Tapi ....
“Halo, kenapa diam? Mari saya antar ke dokter, takutnya kamu ada lecet atau luka dalam,” tawar sang pria yang lagi-lagi membuat hati Dira bergetar.
Dira tak begitu jelas melihat wajah sang pria. Hati gadis itu begitu tak karuan hanya mendengar suaranya saja.
“Sa-saya nggak pa-pa. Maaf, saya buru-buru karena pagi ini ada kelas,” ucap Dira yang masih merasa enggan menatap mata pria yang sudah membuatnya terjatuh.
Dira bergegas merapikan semua buku yang tercecer di tanah, kemudian dengan cepat pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
“Hei, tunggu,” panggil sang pria tetapi Dira tetap tak menggubrisnya. Dia pun hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Kedua tangannya lantas dimasukkan ke dalam saku celana. “Ternyata nggak pernah ada yang berubah. Kepala itu selalu tertunduk saat berhadapan dengan laki-laki lain.”
Sang pria kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya menuju fakultas ekonomi dan bisnis. Di sana, dia memarkirkan mobilnya di depan ruang dosen.
Lima menit lagi, kelas Dira akan dimulai, tetapi sang gadis belum juga menampakkan batang hidungnya. Aira dan Jonatan, dua sahabat Dira yang selalu menemaninya dalam keadaan apa pun, begitu cemas menantikan gadis itu.
Berkali-kali Aira dan Jo (sapaan akrab Jonatan) melihat ke jam tangan masing-masing. Mereka bahkan celingukan ke kiri dan kanan, berharap segera mendapati sang sahabat.
“Dira bener-bener, ya. Masa dia lupa kalau pagi ini ada kelasnya Pak Usman? Kalau telat, dia nggak akan dibolehin masuk. Mana quiz lagi, hari ini. Ya ampun,” omel Aira yang memang merasa cemas pada Dira.
“Mungkin dia kesiangan, terus sekarang lagi kejebak macet. Kenapa nggak lo jemput aja sih, tadi, Ra?” Kali ini Jo justru mengomel pada Aira yang padahal tak tahu menahu soal keterlambatan Dira.
Mahasiswa lain mulai berhamburan masuk ke dalam kelas, saat dosen berperawakan kurus dan tak terlalu tinggi itu mulai terlihat batang hidungnya. Secara penampilan, mungkin Pak Usman terlihat biasa saja, tak semenyeramkan dosen lain yang berpostur tinggi berotot. Namun, ketegasan dan kedisiplinannya membuat para mahasiswa pun menjadi segan dan takut padanya. Tak jarang dia memberi nilai D atau E pada mahasiswanya yang dirasa tak menerapkan kedisiplinan dalam mata kuliah yang diampunya.
“Guys, belum masuk, kan?” tanya Dira yang baru saja tiba sambil terengah-engah.
“Astaga, Dira, bisa nggak, jangan selalu bikin orang khawatir?” omel Aira.
“Udah, udah, jangan ngomel dulu. Kita masuk aja sekarang, tuh si botak udah deket. Bisa-bisa kita dikunciin kalau keduluan dia yang masuk kelas,” lerai Jo seraya menarik Dira masuk ke dalam kelas, dan membiarkan Aira menyusul.
“Kebiasaan. Dira doang yang dipeduliin. Gue kagak!” gerutu Aira melihat perlakuan Jonatan.
Mata kuliah Pak Usman berjalan lancar. Semua mahasiswa bernapas lega saat dosen yang dicap galak itu keluar dari kelas.
Aira yang sudah merasa lapar, lantas mengajak Dira dan Jo ke kantin. Namun, tak langsung mendapat respons dari Dira yang justru tampak diam dan tak berkedip sedikit pun.
Jo dan Aira beradu tatap, memberi kode dengan memicingkan mata dan menggerakkan kepala, seolah saling bertanya, apa yang terjadi pada sahabat mereka.
“Dira, lo lagi mikirin apa?” tanya Aira seraya menepuk pundak Dira, mengagetkan sang pemilik tubuh.
“Ah, kenapa?” tanya Dira polos dan itu sungguh membuat Aira geregetan.
“Lo kenapa sih? Tadi dateng telat, sekarang bengong mulu. Kesambet apaan?” tanya Aira sekali lagi.
Dira menggelengkan kepala dan hendak menjawab pertanyaan sang sahabat, tetapi pertanyaan Jo selanjutnya sukses menginterupsinya.
“Lengan lo lecet, lo kenapa? Abis jatuh apa kenapa?” Jo menunjuk ke lengan Dira yang saat itu memang mengenakan kemeja body fit berwarna biru muda. Terlihat juga ada sedikit noda lumpur di baju gadis itu.
Dira tak serta merta menjawab pertanyaan Jonatan. Dia masih melihat kondisi lengannya yang ditunjuk oleh Jonatan. Seketika pikirannya terlempar ke kejadian pagi tadi, sekaligus makin membuat Dira memikirkan sosok pria yang sudah membuatnya harus mendapat pertanyaan dari Jo.
“Oh, ini ... tadi nggak sengaja keserempet ....”
“Kok bisa? Siapa yang berani-beraninya nyerempet lo? Anak kampus ini juga? Jurusan apa? Gue samperin sekarang juga ....” Jonatan terlalu emosi, sungguh dia tidak ingin terjadi sesuatu sedikit pun pada Dira.
Dira langsung bangkit, dan menahan Jonatan yang sudah hendak keluar kelas. “Bukan, bukan mahasiswa di sini deh kayanya. Soalnya penampilan dia rapi, pakai kemeja dan celana kain. Sekilas aku lihat sih, kayanya seumuran sama Kak Eka.”
“Jangan-jangan itu dosen baru yang lagi banyak diomongin anak-anak,” celetuk Aira.
“Dosen baru?” tanya Dira dan Jonatan bersamaan.
Aira berpindah tempat dan duduk di antara kedua sahabatnya. Tak lupa, dia juga meletakkan tas yang dia bawa ke atas meja. Dia pun mengangguk sebelum menjawab pertanyaan Dira dan Jonatan.
“Yeppy, jadi, Bu Salma kan lagi cuti melahirkan. Nah, denger-denger yang gantiin beliau itu dosen baru, cowok, cakep, ya emang seumuran gitulah sama Kak Eka desas-desusnya,” terang Aira.
Jangan-jangan bener kata mama, ucap Jo dalam hati.
“Katanya juga, masih single,” lanjut Aira.
“Huuu, inget, Ra! Kita di sini tuh kuliah, buat cari ilmu. Cowok mulu yang lo pikirin!”
“Sewot aja lo jadi orang! Inget ya, Jo! Kita udah kuliah, bukan lagi siswa sekolah yang emang dilarang kawin ....”
“Nikah dulu, Ra, nikah. Napa jadi kawin coba,” celetuk Dira seraya merapikan buku dan tasnya, kemudian bangkit berniat pergi ke kantin.
“Ya, itu maksud gue. Nikah. Eh, by the way, nanti kan mata kuliahnya Bu Salma, berarti bentar lagi kita bakal ketemu dosen baru itu dong,” ucap Aira dengan senang hati.
“Cowok terus yang lo pikirin, Ra! Jomlo akut, sih!” ledek Jonatan yang kemudian menyusul Dira, karena lebih dulu pergi.
“Eh, buset! Tadi gue ngajak ke kantin nggak ada yang respons. Sekarang gue lagi ngehalu dosen tampan, kalian malah ninggalin gue. Kampret emang ye!” omel Aira mengejar kedua sahabatnya menuju ke kantin. “Wey, tunggu napa sih! Astaga, buru-buru amat kalian!”
“Gue laper, Ra, tadi belum sempet sarapan,” ungkap Dira sambil menoleh ke belakang, karena Aira berjalan sangat pelan bagaikan siput.
“Dir, awas!” teriak Jonatan yang hendak menarik tubuh sang sahabat, karena akan menabrak seseorang. Namun, sayangnya terlambat, Dira sudah lebih dulu menghantam tubuh seorang pria hingga tumpukan kertas yang dia pegang, berhamburan ke lantai.
“Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.” Dira langsung membantu merapikan kertas-kertas yang berserakan, sebagai rasa tanggung jawab karena sudah menabrak orang tersebut.
“Lain kali, lebih hati-hati lagi.” Suara itu sukses membuat Dira menghentikan aktivitasnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!