NovelToon NovelToon

RUNGKAD

Babu?

Menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak pun sudah dia lakukan. Meski dengan koyo menempel di sisi kedua pelipisnya, Rukayah tetap ikhlas melakukan semua pekerjaan rumah yang dibebankan untuknya.

Beban? Apakah satu kata itu terdengar terlalu berlebihan. Bukankah semua wanita yang sudah berkeluarga memang dituntut untuk menjadi 'babu' untuk keluarganya? Atau memang hanya Rukayah saja yang berpikir jika dirinya sajalah wanita yang menjadi keset setelah pernikahannya.

Bukan manja, tapi lihatlah... Setelah semua pekerjaan rumah telah wanita itu kerjakan, dengan perasaan campur aduk dia harus kembali mengulang apa yang tadi dia lakukan. Mengambil sapu dan pel untuk membuat lantai itu bisa dipakai untuk bercermin!

"Mas, sandal mu kotor. Kenapa masuk rumah langsung nyelonong nggak dilepas dulu gitu di luar. Aku capek habis bersihin ini semua sekarang malah mirip kandang sapi lagi." Keluh Rukayah.

"Berisik! Nyapu tinggal nyapu, ngepel tinggal ngepel kok banyak omes!"

"Masak apa? Aku laper!" Raden Manukan, lelaki itu tak peduli dengan protes yang disuarakan istrinya.

"Masak batu!" Rukayah kesal. Suara itu tidak sampai didengar oleh Raden tentunya.

"Ruuuuu.. Kok kamu masak sayur lompong sih (batang pohon talas). Kamu pikir aku bekicot apa kudu makan ginian. Ogah ogah, bikinin nasi goreng aja Ru!" Perintah yang mulia Raden Manukan.

"Itu enak mas. Dicoba dulu. Aku belum istirahat dari tadi. Jangan nambah capek ku sehari aja bisa?" Huuft rasanya ingin sekali menaruh kain pel pada mulut suaminya jika dia tak ingat dosa.

"Ruuuuu.. Buatin aku nasi goreng!!! Aku nggak mau makan makanan bekicot kayak gini!" Perintah yang mulia kembali terdengar.

Cukup! Rasanya semua ini nggak akan berakhir jika Rukayah tidak segera menuruti permintaan suaminya. Meski dengan hati mangkel, Rukayah tetap ke dapur untuk membuatkan suami manjanya itu nasi goreng.

Mengupas bawang, cabe dan kawan-kawannya menjadikan satu kesatuan bumbu nasi goreng yang ketika digoreng baunya menguar membuat indera penciuman berontak dan memerintahkan perut makin keroncongan. Sedangkan Ru, panggilan akrab orang-orang untuk Rukayah.. Sibuk dengan wajan dan peralatan dapur lainnya untuk memuaskan kebutuhan perut suaminya, Raden malah ongkang-ongkang kaki sambil main hp di depan televisi.

"Ini sih the real of babu." Rutuk Ru tak kuasa membendung kekesalannya.

"Buset Ru, kamu bikin nasgor lama amat! Bikin seporsi aja buat aku, nggak usah bikin buat se RT! Kelamaan oeee!!!" Teriakan Raden sudah mirip orang kelaparan yang memang belum makan selama beberapa hari.

Sepiring nasi goreng panas dengan telur dadar di atasnya tersaji di meja. Ru tidak bicara apapun, dia melenggang pergi mengambil kembali sapu yang tadi dia letakkan di dekat pintu dapur.

Mengulang pekerjaan rumah yang tertunda karena permintaan suaminya tadi, tangan lincah Ru sudah mengambil gagang pel sekarang. Sepuluh menit mondar-mandir dengan tongkat pel yang mirip senjata Cupatkai, akhirnya semua selesai. Pekerjaan rumah Ru kelar!

Tapi baru juga mengambil handuk hendak mengantarkan diri ke kamar mandi, Ru dibuat kaget dengan suara khas piring atau mungkin gelas yang pecah. Buru-buru Ru berjalan ke arah suara gemplontang pyaar tadi.

"Astaghfirullah hal adzim!"

Ru melihat piring yang tadi dipakai suaminya makan sudah jatuh ke lantai, berserakan dengan sisa sedikit nasi di sana yang makin menambah ambyarnya pemandangan. Lantai putih suci murni yang baru saja dibersihkan itu sekarang laksana tempat playground para ayam tetangga dengan beberapa hiasan tembelek di sana.

"Mas!! Ini kok ada banyak ayam masuk rumah kamu biarin aja sih?! Kamu gimana lho, aku capek tahu nggak nyapu ngepel nyapu lagi ngepel lagi. Kayak hidupku dipakai buat ngurus lantai aja!"

Di mana Raden? Dia di kamar. Menyalakan kipas angin dan rebahan santai sambil bertelanjang dada. Menikmati musik campursari dari pemutar musik di ponselnya. Jelas saja dia tak mendengar keributan para ayam tetangga yang tiba-tiba bertamu ke rumahnya wong di kedua telinganya dia sumpal dengan headset full bass miliknya.

"Maaas!!' Ru berdiri bagai nini kunti di depan Raden sambil melotot tajam.

"Apa sih Ru apa?? Kamu ganggu aku tau nggak! Aku ngantuk mau tidur!" Lelaki itu menambah volume di ponselnya. Lalu membelakangi istrinya yang masih berdiri di depannya yang terus beristigfar dalam hati agar tidak nekat mencekik laki-laki yang menjadi suaminya itu.

Sebuah guling melayang di punggung Raden. Dengan kesal Raden berbalik dan menatap lebih garang ke arah Ru. Mau perang nih kayaknya!

"Bangun! Abis makan tidur, kena stroke kamu ntar!"

"Kamu nyumpahin aku??"

"Nggak!! Aku ngasih tau!! Lagian itu kenapa kamu taruh piring di meja gitu aja, pecah piringnya kena senggol ayam. Mana pintu juga nggak kamu tutup lagi, itu lho banyak ayam masuk ngasih oleh-oleh tainya!!" Ru mencurahkan isi jeroannya.

"Tinggal bersihin apa susahnya sih Ru?"

Gitu doang? Iya emang gitu doang. Terdengar sepele tapi asli bikin mangkel semangkel mangkelnya!

"Yang salah ayam tetangga, napa sewotnya ke aku coba? Istri ku itu emang ada gila-gilanya." Keluh Raden saat Ru memilih mengalah dan keluar dari kamar.

Ingin rasanya mengumpat, tapi umpatan tak menyelesaikan semua hasil karya para ayam di lantainya. Dengan hembusan nafas kasar Ru kembali mengambil pentungan pel yang baru beberapa menit dia letakkan. Ngepel lagi? Iya.. Mau bagaimana lagi.

Terlintas ide jahil di kepala Ru, dia ambil baju di jemuran. Baju suaminya! Kaos putih kerah V yang biasa Raden pakai untuk hahahihi di warung kopi bersama teman-temannya. Dengan membayangkan muka suaminya, Ru menaruh asal kaos itu di lantai bernodakan tembelek ayam tadi, dia kesat-kesut dengan kakinya. Dibejek-bejek sesuka hati. Rasanya puas sekali setelah tahu kaos putih itu sekarang punya warna coklat khas tai ayam yang memenuhi benda tak berdosa milik suaminya itu.

Selesai. Ru ingin sejenak mengistirahatkan badannya. Dari pagi sampai siang hari dia bekerja layaknya kuli, tapi tak dibayar sama sekali. Raden Manukan, suaminya itu cuma menang di tampang selebihnya banyak sifatnya yang jika dituliskan akan sepanjang jalan kenangan!

Pelit, suka ngatur, sering bentak, banyak maunya, egois, pemalas dan yang paling bikin Ru kesal dari semua sifat suaminya adalah suka ngadu ke orang tuanya jika sedang ada masalah rumah tangga dengan Ru. Alhasil bukan penyelesaian masalah yang didapat tapi menambah masalah baru karena di mata orang tua Raden, Ru adalah wanita yang seburuk itu.

Bangun tidur ku terus mandi.. Maaf ini bukan tentang lagu anak-anak itu. Karena memang setelah bangun dari tidurnya, Raden menapakkan diri ke kamar mandi. Dia hanya melewati Ru yang ada di ruang tamu sedang nyetrika sambil sesekali memperhatikan satu-satunya hiburan di rumahnya, televisi ketap-ketip dengan layar jenong seperti jidat ikan lohan.

"Kaosku mana Ru?" Raden membelitkan handuk di pinggangnya. Bertanya pada Ru yang membuat kesibukan baru dengan tumpukan baju yang akan dia susun di lemari.

"Tuh banyak." Tunjuk Ru dengan dagunya ke arah tumpukan baju rapi milik suaminya.

"Yang putih itu lho." Mencari dengan asal. Dan akhirnya, tumpukan rapi itu jadi kena gempa oleh ulah tak bertanggungjawab Raden.

"Ya Allah Gusti!!! Cuma cari baju sebijik kan nggak perlu berantakin baju di lemari mas!! Emang bajumu cuma satu itu aja apa???" Ru tak mau kalah. Emang udah ngebul dari pagi soalnya.

"Rapiin lagi kan bisa! Aku suka kaos itu. Mana, cepet cariin. Atau belum kamu cuci ya??"

Raden berjalan masih dengan belitan handuk ke arah keranjang baju kotor tapi tidak menemukan apa yang dia cari.

"Gila!! Ini apa Ruuuuu?! Ruuu sini!!" Raden berteriak seperti akan melahirkan anak saja.

"Apa??"

"Ini kaos ku kan? Edan kowe, kenapa bisa kena tai ayam semua gini?!"

"Eh kok bisa.. Aduh ini pasti jatuh pas aku angkat jemuran tadi. Mana jatuhnya pas di lantai yang ada tai ayamnya lagi." Ujar Ru polos dibuat-buat.

"Asu lah!" Raden misuh saking kesalnya.

"Kamu ngatain aku mas??!"

"Ngatain ayamnya Ruuuu, ngatain ayamnya!! Masuk rumah cuma nyampah aja, besok-besok kalo ada ayam masuk rumah lagi langsung tangkap aja. Sembelih, dibikin opor!"

'Wes reti kui pitik kok didarani asu..' (Udah tau itu ayam kok dikatain anjing..)

Ru bisa tersenyum juga hari ini.

Minta jatah skidipapap

"Ru.. Bangun Ru, Aku minta itu Ru."

Raden yang baru pulang dari tempat nongkrongnya membangunkan Ru yang sudah terlelap meski tanpa suaminya.

Sudah biasa, Raden lelaki 28 tahun itu memang gemar ngopi cantik dan nongkrong manja bersama teman-temannya di warung kopi milik mbak janda dekat kuburan sana. Agak lain memang, kenapa mbak-mbak itu membuka usaha di tempat menyeramkan seperti itu? Alasannya.. Ya biar beda aja. Siapa tau ada genderuwo atau kolor ijo yang butuh penyegaran dan suasana baru akibat penat oleh rutinitas mereka menakuti para manusia durjana setiap hari!

Oke, ini bukan tentang genderuwo atau kolor ijo itu, ini tentang Raden yang membangunkan istrinya paksa untuk menuntaskan kebutuhan biologisnya.

"Ruu.. Bangun. Ayo aku mau skidipapap sama kamu. Kemarin katanya masih halangan, tadi aku cek punyamu aman aja. Kamu nggak pake roti kempit itu lagi.." Rengek Raden menyebalkan.

Mata Ru terbuka sempurna. Bisa-bisanya suaminya itu gre_pe gre_pein dia nyampe ngecek bagian terdalam miliknya dan dia nggak sadar udah diraba-raba seperti itu.

"Aku ngantuk mas." Ucap Ru malas.

"Dosa kamu Ru nolak pengennya suaminya. Kualat masuk kuali neraka kamu!"

"Dari pada kamu gosong di neraka mending kita cari pahala aja gimana? Kamu diem aja, biar aku yang gerak" Tawaran mengiurkan bukan? Tentu bukan!

"Kamu tuh apa sih mas, minta mulu tapi nggak pernah ngasih duit belanja! Pegel aku tau nggak!" Suara Ru protes.

Raden terkesiap. Dia yang tadinya menggebu-gebu jadi manyun kehilangan senyum mesum di wajahnya.

"Kayak lon_te aja kamu Ru, suami minta aserehe kok kamu todong duit! Mending bayar cewek di luar aja kalo tau gini." Raden berdiri kehilangan nafsunya.

"Kamu bilang aku apa?? Lon_te?? Mulutmu mas mas! Kalau kamu minta jatah kelon tiap hari, tiap malem trus nyamain aku sama lon_,te.. Ya udah sini itung-itungan! Bayar tarif ku kalo kamu mau nyentuh aku!" Kemarahan yang dipicu oleh Raden membuat Ru tak ingin mengalah malam ini.

"Aku diem bukan berarti kamu bisa semau mu. Kamu itu kepala rumah tangga, imam buat ku. Tapi imam apa yang ngajak sholat aja nggak pernah! Kamu lebih rajin ke warung kopi timbang ke masjid buat nuntasin kewajiban sama Tuhan mu! Ingat mas, di deket warung kopi itu kuburan! Pernah mikir nggak abis ngopi ketawa ketiwi tau-tau di gerebek malaikat maut??" Ru ikut berdiri mempertahankan asumsinya. Tidak ada lagi rasa kantuk yang tadi menggelayuti matanya. Hilang bersama kesabaran yang sudah setipis tisu dibelah tujuh!

"Heh Ru, jaga mulutmu. Jangan asal njeplak kalo ngomong! Aku di warung kopi kan juga tanya-tanya kerjaan. Kamu mana ngerti, orang kamu taunya cuma makan tidur makan tidur doang!" Nada suara Raden sedikit meninggi.

Jika dulu Ru lebih milih diam tak menjawab apapun kalimat panjang bernada tinggi dengan tema menghina fisik Ru juga menjatuhkan mentalnya untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya, tidak dengan sekarang! Dia lelah harus terus menunduk pada lelaki yang semaunya sendiri ini.

"Makan tidur dengkulmu itu mas! Yang bersihin rumah ini siapa aku tanya? Yang mastiin perutmu nggak kelaparan dan masak setiap hari siapa ku tanya?? Yang kamu marahin kamu bentak-bentak di depan orang tuamu, kamu tuduh males tapi masih nyuci baju-baju mu siapa aku tanya??? Yang kamu genjot tiap malem meski udah tau aku. capek, aku pegel, bahkan sakit tetep manut sama keinginan mu siapa aku tanya????"

Glek.

Raden merasa dipaksa menelan batu kerikil tanpa mengunyahnya. Dia mau menjawab tapi mikir dulu kalimat apa yang pas untuk membalas kata-kata istrinya.

"Itu kan tugas kamu Ru, kamu kan-"

"Tugas ku? Oke tugas ku. Bilang itu tugas babu yang kudu aku kerjakan setelah aku jadi istrimu. Tapi kita suami istri, jika aku punya tugas dan tanggung jawab, itu artinya kamu juga demikian mas! Kamu juga kudu ngelakuin apa yang jadi tugasmu! Minimal jangan pelit lah! Kamu mau makan tempe goreng sambel terasi aja nggak cukup pake uang lima ribu perak mas, lha kamu seenaknya ngasih uang seminggu tiga puluh ribu! Dapet apa???"

"Selama ini kamu nggak ngeluh kenapa baru sekarang protes lho Ru?" Tanya Raden kesal mendengar jeritan hati Ru yang akhirnya muncul ke permukaan.

"Aku diam karena bersabar. Aku diam karena berharap suatu saat kamu berubah dan ngerti, tapi apa? Kamu masih gini-gini aja."

Sejenak keduanya diam. Raden mengeluarkan uang selembar lima puluh ribu, menaruhnya di atas bantal.

"Tuh. Nggak usah ribut. Udah malem aku mau tidur!"

Nafas Ru terengah-engah, bukan karena olah raga malam bersama suaminya tapi habis melepaskan emosi yang tertancap di hati. Rasanya belum puas tapi mau bagaimana lagi, Ru juga harus ingat ini malam hari. Geger di jam segitu bisa bikin tetangga bangun dan nguping keributan berbau pertengkaran antara mereka. Besok paginya dia bisa viral akibat para emak-emak samping kanan kiri rumahnya berubah jadi intel tanpa pelatihan sebelumnya. Digosipin atau ngegosip udah jadi makanan sehari-hari pada ibu rumah tangga.

Raden tidur dengan punggung sebagai pemandangan yang harus dilihat Ru. Dan Ru sendiri tak bisa kembali merasakan kantuk, dia memilih keluar dari kamar. Mengambil baju-baju kotor dan membawanya ke kamar mandi.

Mendengar gemericik air di jam 02.10 dini hari, Raden terpaksa membuka matanya. Dia tidak melihat keberadaan Ru di dalam kamar. Saat kakinya sudah sampai di kamar mandi dia menyaksikan istrinya itu terisak sambil menyikati baju-baju kotor.

"Kamu ngapain kisrak-kisrik jam segini! Mau tak dibilang bego kok nggak tega." Perkataan Raden mancing emosi Ru lagi.

"Nggak usah bilang nggak tega kalo udah ngatain aku bego juga." Balas Ru tak menghentikan gerak tangannya menyikat baju.

Raden menarik tangan Ru. Memaksa wanitanya mengikuti derap langkahnya menuju kamar.

"Tadi aku masih bisa nahan diri tapi kamu mancing aku terus!"

Raden melempar tubuh Ru ke ranjang. Memaksa membuka seluruh penutup badan yang Ru kenakan. Ru menghela nafas berat, melawan pun percuma. Bagaimanapun juga lelaki yang sekarang menindihnya itu masih berstatus suaminya. Dia tidak mungkin teriak-teriak tengah malam meminta tolong agar di dengar tetangga jika dia akan digagahi suaminya.

"Aaah.." Desah kenikmatan Raden terdengar saat berhasil memasukkan senjatanya ke dalam area pribadi istrinya.

Jika Raden sibuk mencari kepuasan dengan gerakan absurd yang dia buat untuk menggempur milik Ru, Ru justru memalingkan wajah tak ingin menatap apapun yang lelaki itu perbuat atas dirinya.

"Kamu bilang nggak mau tapi tetep menikmati.. Munafik!" Ucap Raden masih melakukan tarian skidipapap ala dia.

"Menikmati apanya? Punyamu aja nggak kerasa sama sekali ada di dalam sana."

Pyaaaar!

Seketika semangat yang tadi menggebu-gebu ketika mengajak paculnya membajak sawah milik Ru langsung down dengan menyusutnya senjata di dalam sana.

"Nah kan.. Digituin aja langsung mengkerut. Udah awas aku mau mandi."

"Ruuuuuuu!!!!"

"Berisik mas."

Bekerja nyabutin singkong

Hari ini Ru diajak tetangganya bernama Lita memanen singkong milik juragan kaya raya di pinggiran kota tempat mereka tinggal. Tak menolak karena memang dia butuh uang, Ru mengiyakan pekerjaan yang ditawarkan Lita untuknya. Memang bukan pekerjaan tetap dengan gaji besar tapi setidaknya beberapa lembar uang puluhan ribu bisa dia dapatkan jika mau ikut gerakin badan di kebon singkong milik juragan Maulana.

"Kamu mbontot Ru? Ngapain? Kan nanti kita dikasih sarapan sama makan siang sama mandornya di sana." Lita heran melihat perbekalan yang ada di tas Ru.

"Biarin lah Ta, daripada nasinya nggak kemakan juga." Ru menjawab sekenanya.

"Lho emang suamimu 'si Raden yang nggak perkasa' itu nggak makan di rumah?" Tanya Lita mulai terengah-engah karena jalan yang mereka tapaki sedikit terjal mendaki.

"Kalau menurut dia di rumah nggak ada apa-apa ya dia ngempan di rumah emak bapaknya." Keringat mulai mengucur di kening Ru juga Lita.

"Aduh.. Ini masih jauh nggak Ta? Kok perasaan lama banget kita jalan." Ucap Ru berusaha mengalihkan pembicaraan juga penasaran di mana letak kebun singkong milik juragan Maulana itu berada.

"Bentar lagi sampai. Lagian kamu juga sih, aku ajak berangkat pagi biar bisa ikut mobil engkel juragan Maulana tapi kamu kelamaan ngendon di rumah! Repot sendiri kan jadinya."

"Aku nyuci dulu Ta, kalau sehari nggak nyuci rumah ku udah kayak tempat penampungan baju bekas pakai! Baju ada di kursi, di ranjang, di pinggir bak mandi, pernah naruh celana kotor di atas mejikom." Keluh Ru akhirnya membuka aib suaminya sendiri.

"Eh buset, suamimu ada gila-gilanya ya. Kok sembarangan gitu naruh baju celana kotor, emang nggak ada keranjang tempat baju kotor di rumah mu? Minimal ember lah." Lita tak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Ada. Tapi kalo naruh baju kotor itu di tempatnya, nanti babu nya ini nggak ada kerjaan dong." Sambil tersenyum masam.

Lita bukan prihatin malah tertawa terbahak-bahak oleh kalimat yang tidak ada lucu-lucunya menurut Ru.

"Sakit nih anak." Ru geleng kepala.

Tiba di lahan luas dengan hamparan tumbuhan bernama ilmiah manihot utilissima, Ru dan Lita segera ikut nimbrung dengan para pekerja yang lain untuk memulai pekerjaan mereka.

Bertarung dengan teriknya sinar sang surya di siang hari bukan hanya menguras tenaga dan menciptakan cucuran keringat saja tapi juga bisa meningkatkan level emosi di dalam hati yang mudah naik ke ubun-ubun.

"Ruuu! Udah sini makan dulu, nyabut singkongnya nanti lagi. Sama mandor udah disuruh ngaso!" Lita berteriak mengalahi nyaringnya suara Tarzan ketika memanggil para teman di hutan.

"Kamu duluan Ta, masih tanggung ini. Tinggal satu pohon lagi!" Suara Ru juga sama ngegasnya seperti Lita. Suara lantang mereka akan berguna jika mereka ikut kampanye pemilu!

Dengan kekuatan ditumpukan pada kedua tangannya, Ru berusaha mendongkrak pohon singkong ramping, kecil, mungil di depannya. Namun ternyata semua tidak semudah yang Ru bayangkan.. Bukannya berhasil menarik paksa pohon yang tingginya tak lebih dari tinggi badannya, Ru malah terpelanting ke belakang. Dia jatuh terjungkal tidak berhasil mencabut singkong dari tanah.

"Kamu itu ngapain ngejengkang begitu? Masa kecil kurang bahagia apa gimana?"

Suara yang belum pernah Ru dengar sebelumya. Ru sampai mendongak untuk melihat siapa pemilik suara tersebut.

"Bangun. Bisa sendiri kan?"

"Bisa bisa pak Man bisa." Jawab Ru asal.

"Man? Siapa Man?"

"Lha bapak ini, bapak mandornya di sini kan?"

"Kamu nggak tau siapa aku?" Lelaki tadi sungguh kehilangan pesonanya di depan Ru.

"Tau. Bapak ini mandor." Lagi-lagi bicara ceplas-ceplos tanpa tahu jika orang yang dia ajak bicara adalah pemilik kebun singkong juga beberapa hektar tanaman palawija lainnya.

"Makan dulu sana. Waktunya makan ya makan. Kerja dilanjut lagi nanti." Lelaki bernama Maulana itu pergi tanpa memberi tahu siapa dirinya.

"Iya pak Man. Terimakasih sudah ngasih saya kerjaan di sini. Besok boleh ikut nyabut singkong lagi kan pak?" Kata Ru yang sudah ditinggal pergi beberapa langkah oleh Maulana.

"Boleh." Jawab Maulana singkat.

Bukan main senangnya hati Ru. Dia bisa kembali bekerja esok harinya. Dengan suka cita dia berjalan ke tempat di mana Lita dan pekerja lain menikmati makan siang.

Sebuah nasi bungkus dengan lauk telur balado dan sayur nangka membuat nafsu makan Ru meningkat. Lagi pula tadi pagi dia juga belum sempat sarapan karena terburu-buru setelah Lita nyamperin dirinya. Ketika ingin menyuapkan nasi ke dalam mulut, Ru ingat jika dia membawa bekal dari rumah. Tak ambil pusing dengan pandangan orang lain padanya, dia mengeluarkan bekal nasi putih sambel terasi dan tempe goreng berselimut tepung yang sudah mentul-mentul bentuknya akibat terlalu lama disimpan dalam plastik bening dalam keadaan panas.

"Kamu makan dua porsi? Jatah dua hari kamu libas dua menit." Lita geleng kepala.

"Sayang Ta, beras mahalnya bukan main. Basi di dalam perut masih mending besok paginya keluar dalam bentuk lain. Dari pada basi di luar terus kebuang."

Lita melongo mendengar penuturan Ru.

"Eh Ta, aku tadi ketemu mandornya. Dia baik ya Ta, besok aku boleh ikut nyabut singkong lagi lho." Ucapnya setelah meneguk setengah botol air mineral yang disediakan untuk para pekerja.

"Mandor? Di mana kamu ketemunya?"

"Di sana. Tadi. Pas aku kejengkang gara-gara nggak kuat nyabut singkong terakhir. Kenapa?"

"Orangnya itu bukan?" Lita menunjuk ke arah bapak tua dengan separuh uban di kepalanya. Gigi emas sebagai tanda kesejahteraan, menurut orang itu sendiri tentunya.

"Bukan. Orangnya ganteng. Masih muda. Keliatan sopan. Ya ampun, itu siapa yang kamu tunjuk? Giginya bikin silau alam semesta!"

Meski dengan suara tak jelas karena bicara bercampur tertawa. Lita menjawab pertanyaan Ru, "Heh ragi tempe, itu tuh mandor kita dul! Matamu udah rabun apa gimana kok ngatain pak Slamet ganteng dan masih muda huahahaha."

"Kok Slamet? Aku tadi manggil dia Man. Pak Man."

"Anjir Man siapa lagi? Gila kamu bakat jadi pelawak Ru.. Aduh perutku." Lita masih ngakak so hard.

"Man. Singkatan dari mandor! Nah itu dia.. Liat Ta Lita, liat itu lho mandor yang tadi ngijinin aku besok nyabutin singkong di sini lagi." Ru menunjuk diam-diam ke arah lelaki yang berjalan pelan ke arah Slamet, mandor yang sesungguhnya.

"Anjir anjir.. Itu mah mas Maulana guambleh! Dia bos kita! Yang punya kebon ini! Besok tuh kita nggak lagi nyabutin singkong Ru, kita panen belimbing di tempat lain. Kamu di suruh ke sini bukaan buat nyabut singkong kali Ru.."

"Lha terus?"

"Nyabutin bulu idungnya pak Slamet itu hahahaha."

"Mulutmu Ta, belum pernah rasain disumpal sama singkong kan?!" Bukannya marah, Lita malah tertawa makin menggema. Jika orang tidak tahu, pasti mengira Lita kena sawan jin yang menunggu pohon singkong saking absurdnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!