NovelToon NovelToon

Langit Jingga

CHAPTER 1

SMA MERAH PUTIH

2008

*****

Kringggg krriinnggg

"Waduuhh... metong deh gue. Telat ini... yakali upacara di depan orang-orang." Ujar Jingga yang tengah berlari masuk ke sekolah.

"Pak Kardi, Pak Kardi, tunggu, tunggu, huft..." Ucap Jingga yang berlari cepat menghampiri pagar sekolah.

"Kamu nih, Ngga... hobi banget telat. Udah, buruan masuk sana. Daripada disuruh baris sama Mak Lampir. Hahaha..." Ujar Pak Kardi yang baik betul dengan Jingga.

Karena sesekali Jingga suka kasih kue, rokok, atau cangcimen ke doi. Buat di bukain pagar terus pas telat. Hahaha...

"Makasih Pak... the best." Ucap Jingga yang menunjukkan ibu jarinya kepada Pak Kardi.

Lalu Pak Kardi membalasnya dengan acungan ibu jari pula. Jingga masuk ke barisan kelasnya paling belakang.

"Ngga, Ngga... hobi banget telat dah luh." Ucap Nabila sang sahabat.

"Hehehe... gue gak bawa motor soalnya." Ujar Jingga.

"Lha, ngapa lu gak bawa motor?" Tanya Chika.

"Dipake sama Bapake. Motor doi dibengkelin." Ucap Jingga.

"Nah, ntuh lu bisa bareng sama si curut?" Ujar Mala.

Sahabatnya Jingga ini gak ada yang kenal malu. Udah gak punya malah urat malu. Udah disemayamkan itu yang namanya malu. Hahahaha....

"Mobilnya doi masuk bengkel katanya. Mogok. Jadi naik bus. Gak sengaja ketemu." Ujar Jingga.

"Sst... kalau mau ghibah nanti aja di masjid. Jangan disini." Ucap Tika.

"Lhaa... makin pe'a." Ujar Mala.

*****

Saat upacara guru mengumumkan juara-juara umum dari kelas 1 - 3. Untuk kelas 2 saingan ketat nih.

"Juara umum 1 yaitu Ananda Cakrawala Langit Brawijaya, dipersilahkan maju kedepan." Panggil Pak Tyo Guru Matematika.

"Lang, dipanggil tuh." Ucap Anto yang berbari bersebelahan dengan Langit.

Langit hanya diam tak bergeming. Dia berdiri dan masih asyik dengan games di handphonenya.

"Cakrawala Langit Brawijaya, masuk hari ini?" Panggil Pak Tyo untuk yang kedua kalinya.

"Hett... nih bocah. Maju kupret." Ucap Juna sang teman sepermainan sejak SMP.

"Cakrawala Langit Brawijaya, ada?" Panggil Pak Tyo yang ketiga kalinya.

"Maju." Ucap Jingga yang menepuk lengan Langit.

"Ngapain?" Tanya Langit yang sejak tadi asyik dengan games-nya

"Mau di kasih duit. Udah buruan." Ucap Jingga asal yang mendorong punggung Langit untuk maju kedepan.

"Lo punya pelet apaan sih, Ngga? Nurut banget tuh anak sama lo. Haha..." Ujar Bimo.

Jingga tak menanggapi dan hanya kembali ke barisannya. Bimo itu sudah lama suka dengan Jingga.

Tapi tak pernah sekalipun Jingga ladeni. Kasar orangnya. Jingga gak suka.

Sedingin-dinginnya Langit, tapi doi masih tau cara menghormati dan menghargai perempuan.

Back to the story

"Selanjutnya, juara umum ke 2. Ananda Aruna Jingga Maharani, silahkan maju kedepan." Panggil Pak Tyo.

Jingga segera maju dan berlari kecil di tengah lapangan seluas itu. Ia berdiri di sebelah Langit. Yang seperti galah tingginya.

"Juara umum 3 Ananda Dewangga Haribowo. Silahkan maju kedepan." Panggil Pak Tyo.

"Wuiidihh... kelas kita semua ini? Jan kasih kendor broo..." Ujar si kribo.

Nama aslinya Chiro. Tapi dipanggil kribo karena rambutnya yang seperti Edi Brokoli.

"Eh, iya ya. Langit, Jingga, Angga. Kok berasa cinta segitiga, ya?" Ucap Vira yang hobi berdandan. Tapi baik hati bukan main.

"Lo kalo ngomong jujur banget sih." Ucap Doni. Laki-laki yang disukai Vira dari kelas 1 SMA.

Vira hanya melihat baris sebelahnya. Laki-laki yang begitu dingin dan cuek kepadanya sekarang menanggapi ucapannya.

Berbunga-bunga sekali hatinya. Rona merah pipinya membuat Doni meliriknya. Membuatnya gemas ingin mencubitnya.

Sang juara menerima piagam dan piala penghargaan atas juara umumnya. Setelahnya mereka kembali ke barisan dan masuk kelas.

*****

"Ibu bangga sekali dengan kalian, Nak. Terima kasih sudah mengharumkan nama kelas kita." Ujar Bu Arini sang wali kelas.

Guru tersabar dan terbaik di sekolah. Paling cantik pula. Suaminya tampan kan maen...

"Iya, Bu. Kami juga mengucapkan terima kasih." Ucap Jingga yang mewakili kedua laki-laki disebelahnya.

Setelah dari ruang guru, mereka kembali ke kelas. Sampai di kelas 2 IPA 2 dan mereka mendapat sorakan serta hujan kertas dari teman-temannya.

Kalau ada yang bilang kelas IPA itu isinya anak pinter, iya benar. Tapi kalau ada yang bilang anak IPA itu pada hobi belajar. Salah. Nih, buktinya.

"Hari ini kita makan-makan... tiga orang sekaligus cuyy... Hahaha..." Ucap Ncek. Namanya Koko. Tapi karena matanya sipit, dipanggilnya Ncek.

"Titip." Ucap Langit kepada Jingga yang menaruh piala dan piagamnya di meja Jingga. Dan seenaknya doi ngeloyor pergi.

Jingga yang hanya melihat Langit keluar kelas dengan tatapan bingungnya.

"Kok ada laki seenak jidatnya gitu." Batinnya.

"Lang, jan lupa. Traktiran kali." Teriak kribo.

Langit hanya mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.

*****

"Pasti disini." Ujar Jingga yang menemukan Langit di atap gedung sekolah.

Langit yang sedang berbaring di bangku segera bangun karena Jingga datang.

"Ngapain?" Tanyanya.

"Roti." Ucap Jingga yang memberikan roti cokelat dan air mineral kepada Langit. Karena ia tau Langit belum sarapan pagi itu.

"Lo jadi pergi sama Angga?" Tanyanya buka suara.

"Pergi? Kemana?" Tanya Jingga bingung.

"Itu yang nyari buku." Jawab Langit.

"Ohh... gak sama Angga doang. Sama temen-temen yang lain juga." Terang Jingga.

Langit yang menatap Jingga dengan mata elangnya membuat Jingga salah tingkah.

"Mau kemana?" Tanya Langit yang menyergah Jingga dengan menggenggam pergelangan tangan Jingga.

"Turun lah. Udah mau abis jam istirahat. Masuk aja yuk." Ucap Jingga sambil melepas genggaman Langit.

Langit yang berdiri malas akhirnya mengikuti ajakan Jingga. Merek turun dari atap gedung menuju kelas.

Maksud Jingga sebenarnya ingin mengajak Langit untuk masuk di mata pelajaran Matematika karena ia tak paham dengan pelajaran yang satu itu.

Butuh Langit. Jingga lebih paham jika Langit yang menjelaskan. Langitpun meng-iyakan ajakan Jingga karena ia tau. Jingga butuh dirinya.

"Jadi, lo pergi nyari buku sama Angga gak?" Tanya Langit yang masih menuruni tangga.

"Hahaha... yaampun Langiitt... lo masih mikirin itu???" Tanya Jingga dengan tawanya.

"Tawa lagi."

"Hahaha... habis lo lucu. Tinggal bilang gak usah pergi, Ngga. Gitu aja susah bener." Ujar Jingga.

"Apaan sih?" Ucap Langit dengan sungutannya.

"Jieehh... ngambek. Hahaa..." Ledek Jingga.

Tidak banyak bicara, Langit langsung mengalungkan lengannya di tengkuk Jingga dan mengapit kepala Jingga di ketiaknya.

Tawa riang mereka dilihat oleh genkgesnya tim Cuantikzz. Yang dikepalai oleh Angel. Tinggi, cantik, bohai aduhai. Digilai lelaki di SMA Merah Putih.

"Hai... Langit..." Sapa Angel dengan suara manis manjanya.

Jingga yang mengetahuinya langsung mejauhkan diri dari Langit dan melepas rengkuhan tangan kekar Langit.

Karena Jingga tau, jika sudah ada Angel, Jingga harus pergi. Langit tak banyak berkata. Ia pun ikut melengos pergi.

"Lha, lo ngapain ngikutin gue?" Tanya Jingga.

"Suka-suka gue." Jawabnya singkat.

Tuh, laki dinginnya ngalahin kutub utara-kutub selatan. Bener-bener deh. Tapi herannya masih ada aja cewek yang suka sama dia.

"Jingga itu siapanya Langit sih? Sok cantik banget dia!" Ujar Angel dengan ketus.

"Katanya sih, info yang gue tau, Jingga sama Langit itu udah temenan dari SMP, Ngel. Makanya deket." Ujar Tania yang gak kalah cantik dari Angel.

"Mau lu apain tuh si Jingga, Ngel?" Kompor banget si Clara.

"Liat aja. Gue gak akan biarin dia betah deket-deket sama Langit. Biar Langit betahnya sama gue." Ucapnya dengan senyum sinis

"Tapi, Ngel, Jingga itu bukan lawan yang gampang." Ujar Tania.

"Terus maksud lo, gue gak bisa gitu naklukin dia?!!" Tanya Angel dengan wajah memerah karena emosi.

"Enggak... bukan gitu. Gue yakin lo bisa kok." Ujar Tania yang meralat kembali ucapannya karena takut terkena amuk Angel.

*****

Jam pulang sekolah.

"Ayok" Ajak Langit yang menggandeng saja tangan Jingga.

"Eh, lo mau ngapain? Gue masih mau ngomongin soal mading. Langit!" Ucap Jingga dengan tegas.

"Sakit tauk." Ujar Jingga yang mengelus pergelangan tangannya yang merah karena genggaman tangan kokoh Langit.

"Maaf." Ucapnya sambil mengelus puncak kepala Jingga.

Tentu itu bukan hal biasa yang didengar oleh teman-teman kelasnya.

"Dimaafin. Lo mau ngapain deh? Narik-narik tangan orang gitu." Tanya Jingga yang masih mengelus pergelangan tangannya.

"Gue tunggu di bawah. Jangan lama-lama." Ucap Langit dengan ketus dan pergi meninggalkan kelas.

"Wuuiidihh... Langit minta maaf. Mabok doi semalam? Ckckck... Jinggaaa... lo pake pelet apaan itu." Ujar Chika yang terheran-heran dengan sikap Langit kepada Jingga.

"Mabok oncom." Jawab Jingga asal yang justru membuat teman-temannya tertawa geli.

*****

"Lama banget sih!" Ucap Langit dengan ketus.

"Kok nyebelin sih." Ujar Jingga yang kesal dengan sikap ketus Langit.

"Lo lama." Ucapnya yang kemudian merendahkan nada bicaranya.

Jingga tak berkata apa-apa. Ia hanya diam. Tapi Langit tau bahwa Jingga sedang berusaha sabar dengannya.

"Iya. Maaf."

"Udah, ayo pulang."

Mereka pulang dengan motor Ninja berwarna blacknya dan melesat dari sekolahnya.

Langit tak langsung mengajak Jingga untuk pulang. Mereka singgah di semacam tempat kongko yang ala-ala garden cafe gitu.

"Mau ngapain kesini?" Tanya Jingga bingung.

"Laper." Ujar Langit.

Mereka duduk lesehan di gazebo, di taman dekat kolam ikan. Asri sekali pemandangannya.

Suara gemericik kolam ikan tersebut membuat mereka saling pandang, saling tatap.

"Lucu." Ujar Langit.

"Apaan yang lucu?" Tanya Jingga.

"Ini nih..." Ucap Langit yang sambil mencubit pipi imutnya Jingga.

"Iihh... Langit! Nyebelin banget sih!" Ujar Jingga dengan sungutan bibirnya.

"Jangan kayak gitu." Ucap Jingga dengan memonyongkan bibirnya.

"Kenapa?" Tanya Langit yang berdiri dan mengambil kotak makanan ikan.

"Nanti gue makin sayang sama lo." Ujar Jingga yang sambil lalu mengambil sedotan di mejanya.

Langit yang mendengar sungguh terkejut. Tak percaya bahwa ia kecolongan start untuk bilang kepada Jingga.

"Udah, sini makan buruan. Ntar keburu dingin nasi gorengnya nih." Ucap Jingga dengan santai.

Langit heran sekali dengan perempuan ini. Begitu santainya ia mengungkapkan perasaannya dan sesantai itu ia bicara setelah mengungkapkan perasaan.

"Gue gak jadi pergi nyari buku yang ada Angga nya." Ucapnya sambil menyuap sop buahnya.

"Karena?"

"Karena gue maunya lo yang anterin gue." Ujar Jingga yang seketika membuat Langit bingung harus menyembunyikan rona merah pipinya.

"Kenapa?"

"Karena gue sukanya sama lo."

Sukses sudah Jingga membuat Langit hari itu merona tak ada habisnya.

"Jangan jatuh cinta balik." Ujar Jingga.

"Kenapa?"

"Nih, gue kasih tau ya. Mencintai seseorang dengan sebelah pihak, itu gak enak. Makanya, udah gue aja. Lo gak usah." Ucap Jingga dengan santainya kepada Langit.

"Kapan lo berangkat ke New York?" Tanya Jingga.

"Tau dari mana?" Langit heran. Perempuan ini tau semua tentangnya.

"Tau dong... Jingga gitu loh..."

"Lo gak kangen nanti sama gue?" Ledeknya.

"Emang boleh ya di kangenin? Hahaha..." Ucap Jingga yang mengundang senyum manis di bibir Langit.

"Jangan senyum." Ucap Jingga.

"Why?"

"Makin sayang." Ujar Jingga yang sukses membuat Langit mengacak rambut pendek Jingga.

"Udah, yuk pulang." Ajak Jingga yang melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 16:00.

"Lang, lain kali kalo bawa motor yang beneran dikit dong. Motor Ninja gini kan menang banyak di elu." Ujar Jingga dengan memonyongkan bibirnya.

"Lo kalo diajak naik mobil gak mau. Gue bawa motor ini juga lu masih ngoceh aja." Ucap Langit.

"Ya... Maap dah. Biasa bawa bebek, di kasih naik bison ya butuh adaptasi. Hehehe." Ujar Jingga yang mengundang senyum pasta giginya sang Langit.

*****

"Gak masuk dulu?" Tanya Jingga yang sudah sampai di depan rumah Jingga.

"Ada Ibu?" Tanya Langit.

"Ada kayaknya."

"Assalamualaikum" Sapa Jingga dan Langit.

"Waalaikumsalam." Jawab Bu Ratih Ibunda Jingga.

"Bu, sehat?" Tanya Langit dengan sopan.

"Eehh... Langiiitt... Alhamdulillah sehat. Kamu kemana aja. Udah lama Ibu gak ketemu." Ujar Bu Ratih yang heboh bertemu dengan Langit.

Langit sama Bu Ratih itu dekat banget. Sudah seperti anak sendiri buat Bu Ratih. Makanya Langit senang jika main ke rumah Jingga. Bukan ngobrol sama Jingga tapi ngobrol sama Bu Ratih yang buat dia betah.

"Bapak belum pulang kerja Bu?" Tanya Langit.

"Bapak lagi tugas keluar kota. Lagi di Yogya. Tugas kantor. Biasa..."

"Oh, yaudah kalau gitu. Langit pulang dulu ya, Bu." Ujarnya.

"Kok buru-buru? Gak makan dulu? Belum selesai ngobrol juga." Ucap Bu Ratih.

"Makan mah udah Bu. Lain kali kita ngobrol lagi deh. Pamit, ya Bu. Assalamualaikum." Ujar Langit.

"Iya. Hati-hati ya Langit." Ucap Bu Ratih.

Jingga yang sejak tadi berdiri di teras depan untuk menyimpan sepatunya, menemani Langit hingga garasi depan rumah.

"Gue balik ya."

"Yooo... thank you."

Langit menjawab dengan lambaian tangannya.

*****

"Pi, harus banget Langit kuliah di New York?" Tanya Langit.

"Kamu gak usah yang aneh-aneh. Papi sudah urus semua. Kamu tinggal berangkat setelah ujian nasional nanti." Ujar Papi.

Haris Fusena Brawijaya atau biasa dipanggil Papi Haris dan Harini Gantari yang biasa dipanggil Mami Rini.

"Kalian selalu seperti itu. Tidak pernah mendengarkan pendapatku!!" Ujar Langit dengan emosi. Marah dan kesal campur aduk.

Langit masuk ke kamar, dan membantingkan dirinya di tempat tidur luasnya.

"Jinggaaa... gue harus gimana?" Ucapnya lirih di bibir Langitnya.

*****

CHAPTER 2

2 IPA 2

"Lha, baru gue doang yang dateng?" Ucap Jingga pada diri sendiri.

"Annyeong, ohayo gozimasu, zao shang hao, good morning, selamat pagiii...." Ucap Chika anak imut yang bikin tutup telinga karena suaranya.

"Morning, Chik." Jingga jawabnya datar karena sudah biasa dengan Chika. Ya iya, temenan dari SMP.

"Ngga, kok tumben lo udah dateng?" Chika.

"Iya. Gue naik bus tadi. Kan motor gue masih di kantor Bapake." Terang Jingga.

"Lah, kok bisa nginep gitu?" Tanya Chika bingung.

"Bapake tuh aneh aja. Motor gue dipinjem buat doi ke kantor kan. Sampai di kantor doi dapet tugas dinas keluar kota. Ya, motor di tinggal. Orang pergi dinasnya gak bawa motor. Naik pesawat. Emang dah, Bapake. Jadi gue beberapa hari ini naik bus." Jelas Jingga.

"Kan mobil bokap lo ada, Ngga. Pake aja mobil bokap lo." Ujar Chika.

"Jiaahh... mobil. Bawa motor aja gue minta izinnya setengah budeg. Mobil mah ada noh di rumah. Tapi kan ada Kanjeng Ratu. Gak akan diizinin." Terang Jingga.

"Lah, iya bener. Tapi lo bisa nyetir kan?" Tanya Chika.

"Bisaa... cuma belum lihai banget. Tapi bisalah, gocek-gocek di jalan mah. Hahaha..." Tawa Jingga.

"Ngga, perasaan lo pucet deh. Lo sakit ya?" Tanya Chika yang berbalik badan dan pindah ke meja Jingga.

Si empunya meja masih meletakkan kepala dikedua tangan sambil dilipat. Chika memegang kening Jingga dan benar saja. Jingga demam.

"Agak anget badan gue. Pas bangun tidur tadi pagi gue ngerasanya. Udah minum obat sebenarnya. Tadinya Kanjeng Ratu gak izinin gue sekolah. Tapi kan hari ini jadwal mading terbit. Ya kali gue gak masuk." Jelas Jingga.

"Lo mah, Ngga... hujan badai aja lo tetep sekolah. Emang rajin banget luh. Kalau pusing, bilang ya Beiibb..." Ucap Chika dengan gaya suara di manja-manja. Membuat Jingga bergidik ngeri. Tapi Chika malah tertawa.

"Lo udah sarapan? Nyari sarapan yuk." Ajak Chika ke kantin sekolah.

"Gue udah sarapan. Gue temenin aja, ya. Ayo." Jawab Jingga.

*****

Di kantin Jingga dan Chika duduk dekat taman belakang sekolah yang penuh dengan tanaman sayuran. Kadang di sekolah suka ada kegiatan bercocok tanam.

"Chik, itu Bimo bukan sih?" Tunjuk Jingga pada sekumpulan anak laki-laki yang sedang berbaring di taman sambil memegang botol topi miring.

"Hah?! Iya dah. Samperin, Ngga. Itu dia kenapa?" Ujar Chika.

Sekolah saat itu belum ramai karena masih jam 5:40. Pagi banget sih emang. Kantin juga belum semua buka.

"Bimo?" Panggil Jingga. Ia membangunkan Bimo sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Ngga, itu dia mabok ya?" Tanya Chika yang sudah takut. Sebenarnya Jingga juga takut. Tapi gimana... masa mabok di taman belakang sekolah gini.

"Bimoo..." Panggil Jingga sekali lagi yang menggoyang-goyangkan tubuh Bimo.

"Ngga, udah yuk. Biarin aja. Gue takut, Ngga." Ujar Chika yang sudah gemetar ketakutan karena salah satu dari mereka sudah mulai menggeliat untuk bangun.

"Bentar, Chik. Kasian Bimo. Nanti kalau kena skors lagi gimana." Ujar Jingga.

"Bimo, bangun." Panggil Jingga yang sekarang berhasil membuat Bimo menggeliat bangun dari baringannya.

Jingga memundurkan tubuhnya karena sudah melihat Bimo bangun. Ia beranjak berdiri. Namun, salah satu tangan Jingga ditarik oleh Bimo hingga Jingga jatuh terduduk.

Bimo mendekatkan wajahnya ke wajah Jingga dengan matanya yang masih mengerjap.

Jingga refleks memundurkan wajahnya. Aroma tubuh Bimo berbau alkohol semua. Hembusan nafasnya juga rokok semua.

"Astagfirullah!" Ucap Chika refleks ketika salah satu dari mereka menggenggam tangan Chika.

Jingga melihat sekelilingnya masih sepi. Si tukang kantinnya juga pergi entah kemana. Benar-benar sepi hanya Jingga dan Chika yang berada disana.

"Chik, kita pergi sekarang. Hitungan ke 3 kita lari. 1... 2..." Belum sampai 3 Jingga hitung, Chika sudah berlari. Jingga menyusulnya dari belakang sambil berdecak sebal. Ditinggal masa... tapi ketika itu Jingga...

Brruugh

"Auw... aduh... sakit..." Ucap Jingga yang terduduk di lantai.

"Ngapain lo?!" Tanya Langit ketus.

"Ngapain? Menurut lo?!" Jingga membersihkan tangannya dan berdiri dari jatuhnya.

"Maksud gue, lo ngapain lari-lari?" Tanya Langit dengan nada yang agak lebih rendah.

"Oh, iya. Bimo, Bimo, dia di taman belakang." Ucap Jingga yang terburu-buru dan menarik tangan Langit untuk mengajaknya ke taman belakang.

"Lo apaan sih, tarik-tarik gue! Jingga!" Ucap Langit dengan marah.

"Lang... ituu.. merekaa..." Tunjuk Jingga pada sekumpulan laki-laki yang masih memegang botol minuman.

"Brengsek!! Sampah!!" Ucap Langit lirih dengan hujatannya.

"Ngga, ke ruang guru. Panggil salah satu guru." Ujar Langit.

"Tapi belum ada guru yang dateng Lang..." Ucap Jingga dengan pelan.

"Ada. Coba lo kesana dulu."

"Tapi masa lo sendiri. Gak mau ah."

"Jinggaa... ini gak bisa kita aja yang disini. Ini bukan teritorial kita. Panggil guru." Ucap Langit dengan nada lirihnya.

Jingga pun akhirnya menurut dan pergi meninggalkan Langit sendiri. Ia ke ruang guru. Mencari siapapun guru untuk melihat kejadian di taman belakang.

"Permisi..." Ucap Jingga.

"Iyaa... eh... Jingga. Ada apa Ngga?" Tanya Pak Tomo guru Olah Raga.

"Pak Tomo, boleh tolong ke taman belakang? Ada beberapa anak yang berbaring di taman. Langit lagi coba membangunkan mereka namun sepertinya mereka setengah sadar karena pengaruh alkohol." Jelas Jingga.

"Apa??!! Mabok??!! Berani-beraninnya mereka melakukan hal itu di sekolah. Pak Romi, ayo kita kesana!!" Ucap Pak Tomo dengan geram dan mengajak Pak Romi (Guru Fisika) ke taman belakang sekolah.

"Ada apa ini?!!" Teriak Pak Tomo.

Taman itu sudah gaduh dengan para pemuda yang mabok. Mereka semua digiring oleh Pak Tomo dan Pak Romi yang menggiring mereka ke ruang guru.

Bimo tidak ada di tempat itu. Langit pun juga tidak ada. Jingga yang kini bingung, kemana mereka, batin Jingga.

"Bim! Sadar!" Teriak Langit yang membawa Bimo ke padang ilalang.

"Lo ngapain masih peduli sama gue? Hah?!" Jawab Bimo setengah sadar dan tubuh yang sempoyongan.

"Terserah lo!" Ucap Langit. Yang kemudian pergi berbalik meninggalkan Bimo.

"Lo baik sama gue karena merasa bersalah udah buat Intan meninggal, kan? Iya?!!" Teriak Bimo kepada Langit.

"Inget, Lang! Lo gak akan pernah bisa buat Intan hidup lagi dengan baik sama gue. An***g!!" Ucap Bimo dengan suara bergetarnya.

"Kalau lo kayak gini, apa sih untungnya buat lo?" Tanya Langit dengan suara yang tenang.

"Buat lo semakin bersalah!! Buat hidup lo semakin menderita!! Buat lo sadar!! Bahwa uang gak akan menyelesaiakan apapun!! Mo***t!!!" Terang Bimo yang benar-benar terbakar amarah saat itu.

Langit tak menanggapi apapun. Dibalik ilalang Jingga mendengar semua pembicaraan mereka. Sakit sekali...

"Langit..." Panggil Jingga yang melihat Langit berjalan menjauh dari Bimo.

"Jingga?!" Ucap Langit yang terkejut melihat Jingga disana.

"Ke kelas, ayo. Udah mau masuk." Ujar Jingga kepada Langit.

Ia berjalan mendahului Langit. Langit berjalan di belakangnya.

"Ngga," Panggil Langit.

"Iya. Gue tau kok. Maaf ya, gak sengaja dengar. Udah nanti aja bahasnya."

Ajak Jingga kepada Langit dan menarik kemeja putih dengan jari telunjuk dan ibu jarinya yang berlambang SMA Merah Putih.

"Tapi__" Ucapan Langit belum selesai dan Jingga sudah memotongnya.

"Nanti aja. Gue belum ngerjain PR MTK. Nyontek yak. Hehehe..." Ujarnya dengan senyum yang menyembunyikan kesedihannya. Hanya untuk membuat Langit tidak khawatir.

*****

Entah kenapa hari ini membuat Jingga terlihat lelah karena banyak kejutan yang membuatnya untuk lebih bisa menerima tentang hidup.

"Ngga!" Panggil Nabila.

"Eh, kenapa?" Jawab Jingga yang terkejut karena panggilan Nabila.

"Yeee... dipanggil diajak diskusi dari tadi malah bengong." Ujar Nabila.

"Sorry, sorry. Hehehe..." Ucap Jingga yang memang sakit hari itu.

"Lo sakit ya, Ngga? Kok pucet gitu sih mukanya?" Tanya Mala yang khawatir dengan kondisi Jingga.

"Tadi pagi lo bilang, demam. Pas ada kejadian si Bimo, gue gak tau lagi Jingga gimana kondisinya. Soalnya gue lari ngeri." Ujar Chika.

"Lo mah emang mentingin diri sendiri. Temen susah. Malah ditinggalin." Ucap Nabila.

"Maaf ya Jingga..." Ujar Chika dengan menundukkan kepalanya.

"Iyaa... Chika cantik... gak apa. Lagipula gue juga takut itu. Kalo gak ada Langit, mana berani gue kesana lagi. Ngeringkus mereka. Hehehe..." Ucapnya dengan tawa riangnya.

"Eh, tapi Bimo gak ada katanya. Kemana deh?" Tanya Mala.

"Gak paham gue." Tungkas Jingga yang tidak ingin membahasnya.

Nabila yang sudah mengenal Jingga dari bangku TK hingga sekarang tau betul bahwa Jingga ada cerita yang tidak dia ceritakan.

Tapi Nabila hanya diam. Karena ia tau, Jingga akan cerita suatu saat nanti jika ia sudah siap.

Jingga, Mala, Nabila dan Chika sedang berada di ruang mading karena mading terbit hari ini.

Mereka sibuk mengetik, mengeprint, membuat hiasan pernak-pernik dan ada juga yang menggunting-gunting.

"Ngga, besok sabtu lo ikut gak?" Tanya Mala.

"Ikut kemana?" Tanya Jingga bingung.

"Lah... doi lupa, cuy." Ucap Nabila.

"Kan kita besok mau ngeliput pertandingan basket, cantiikk..." Ucap Chika.

"Astagfirullah. Gue lupa." Ujar Jingga sambil menepuk keningnya.

"Iya, iya. Gue ikut. Kamera sama siapa ya kemarin?" Tanya Jingga.

"Sama gue." Jawab Mala.

"Besok minta tolong bawain ya, Mal." Ucap Jingga.

"Siap. Juragan." Ujarnya yang mengundang tawa teman-temannya yang lain.

Langit memperhatikan Jingga dari kaca jendela. Ia terlihat senang dan sama sekali tidak memperlihatkan wajah sendunya.

"Hallo" Sapa Langit yang membuka pintu ruang mading dan menyapa Jingga serta teman-temannya.

"Haii... ganteng... tumben kesini..." Ucap Chika dengan manja dan centil. Membuat semua bergidik.

"Ngga" Ajak Langit yang memberi kode dengan tangannya untuk mengajak Jingga keluar ruangan.

"Yaah... om, saya juga cantik lho... masa yang dipanggil Jingga aja..." Ledek Mala. Mengundang semua tertawa.

Jingga dan Langit mengobrol diluar ruangan. Langit ingin membahas soal yang tadi di padang ilalang. Tentang Bimo. Tentang Intan. Kejadian 2 tahun lalu yang merenggut nyawa Intan.

Flashback On

Sore itu, Bimo dan Langit sudah punya janji untuk bertemu di sebuah taman. Membahas tentang Bimo, Langit, dan Intan.

Intan ini teman mereka namun beda sekolah. Intan teman kecil Bimo dan Langit. Mereka selalu bermain, bersanda gurau bersama.

Namun semakin mereka dewasa, mereka semakin berubah. Yang laki-laki semakin ganteng dan yang perempuan semakin cantik.

Terjadilah perlibatan asmara diantara ketiganya. Bimo suka dengan Intan, Intan suka dengan Langit, dan Langit mendukung Bimo dan Intan, namun Intannya tidak ingin dengan Bimo. Tapi Langitnya hanya ingin bersahabat dengan Intan.

Tapi Bimo tau bahwa Intan suka dengan Langit. Makanya, Bimo meminta Langit untuk jadi pacar Intan. Namun, Langit tidak mau. Karena ia tau bahwa itu akan menyakiti semuanya. Lambat laun Intan akan tau bahwa Langit hanya berpura-pura.

Pertemuan mereka hari itu karena Intan tau semua rencana mereka. Rencana Bimo lebih tepatnya. Namun, Intan tidak cerita kepada mereka. Intan sengaja datang di tengah-tengah mereka.

"Bim, gue gak bisa pokoknya kalau harus pur-pura untuk jadi pacar Intan." Ujar Langit yang duduk bersila di rumput taman tersebut.

"Tolonglah, Lang... Intan sayang banget sama lo. Kasian dia kalau harus sakit hati terus lihat lo sama dia." Ujar Bimo yang memohon kepada Langit.

"Enggak!! Gue gak mau!! Terserah lo mau bilang apa. Yang jelas gue gak mau!!" Tegas Langit.

"Lang!! Cuma sementara aja. Kenapa sih, segitunya banget lo gak mau bantuin gue?!" Ucap Bimo yang sama emosinya seperti Langit.

"Bim, hati, gak bisa dimainin!" Tegas Langit.

"Gue tau banget karakter Intan gimana. Dia itu hatinya lembut banget. Polos banget anaknya. Makanya gue gak mau jadiin dia pacar gue karena dia udah gua anggap seperti adik gue sendiri. Gak lebih dari itu."

"Lo bisa bayangin, gimana sakit hatinya Intan, kecewanya Intan, kalau tau ini cuma pura-pura? Lo pernah mikir sampe situ gak sih? Sebrengsek-brengseknya gue. Gue gak akan pernah ngelibatin perempuan disekitar gue kena imbasnya. Gak akan, Bim!!" Jelas Langit panjang x lebar.

Intan yang mendengar pembicaraan tersebut begitu marah dan sakit hati mendengarnya. Tapi karena Intan begitu mencintai Langit, ia nekat menghampiri Langit dan menerima rencana bodoh Bimo.

"Langit!" Panggil Intan dengan suara lantangnya.

"Intan?" Ucap Bimo yang berdiri dari duduknya.

"Gue gak masalah jadi cewek lo yang pura-pura itu. Ayo, kita pacaran." Ucap Intan dengan mudahnya.

Ia sekuat tenaga menyembunyikan wajah sedih dan sakit hatinya mendengar pernyataan Langit yang tidak menyukainya dan menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih dari itu.

"Ntan! Lo udah gila ya?! Gue gak mau!!" Jawab Langit tegas tanpa jeda. Ia pergi meninggalkan Intan dan Bimo di taman.

"Langit!! Yang penting gue cinta sama lo. Itu udah cukup!" Ucap Intan yang mengejar Langit dan menarik tangannya.

"Intan!! Cukup!! Gue muak sama lo berdua. Memperalat gue??!! Hah??!!" Ucap Langit dengan amarahnya.

"Lang!! Lo salah paham. Gue cuma mau lihat Intan bahagia dengan laki-laki pilihannya dan laki-laki itu lo. Bukan gue!" Ujar Bimo dengan pilu mengucapkannya.

"Dan gue tidak memilih Intan!!" Terang Langit dengan sangat tegas. Ia melangkahkan kakinya dengan kokoh.

Langit tau Intan memanggilnya. Tapi, tidak ia hiraukan. Sampai terdengar suara decit mobil.

Bbrraakk !!!

Langkah kaki Langit berhenti. Ia terlalu takut untuk menengok kebelakang. Saat ia memaksakan tubuhnya menengok kebelakang, ia melihat Intan sudah terbaring bersimbah darah. Intan tertabrak mobil.

Tanpa kata dan bicara mereka membawa Intan ke RS. Intan dioperasi. Namun, operasinya gagal karena Intan kehilangan banyak darah.

Dari kecil Intan tinggal hanya bersama Neneknya. Karena Mama dan Papanya sudah bercerai. Mereka sudah hidup dengan kehidupannya masing-masing. Walau keperluan sehari-hari Intan mereka tetap tanggung.

Intan meninggal tepat di hari ulang tahunnya. Dari Langit, ia berbicara jujur kepada Nenek, Mama dan Papa Intan tentang semua kejadian tersebut.

Mereka hanya mengangguk pasrah. Karena mau marah pun percuma. Intan tak lagi bangun. Ia sudah terbujur kaku.

Sejak itu, Bimo tak pernah bisa memaafkan Langit karena keegoisannya. Itu menurut pendapat Bimo. Tapi Langit tak pernah berkomentar apa-apa. Langit hanya diam.

Karena percuma dia berbicara dan memberikan penjelasan tapi kalau yang diberikan penjelasan selalu menganggapnya salah, gak akan pernah berhasil. Akhirnya hubungan pertemanan mereka pun renggang hingga kini.

Ini salah satu sikap Langit yang begitu dingin terhadap perempuan. Ia tidak ingin perempuan-perempuan itu menyukainya. Ia sangat risih jika ada yang seperti itu.

Hanya Jingga yang mampu untuk membuatnya nyaman.

*Kalau sudah nyaman, susah pindahnya.

*Asek... 😆

*Bodoamat thor 😑

Flashback off

*****

"Kenapa Lang?" Tanya Jingga.

"Eh, iya, besok gue ngeliput basket. Lo main kan?" Tanya Jingga dengan mata yang berbinar.

"Iya. Lo kesana besok?" Tanya Langit.

Jingga hanya mengangguk dengan semangat.

"Lo balik jam berapa?" Tanyanya.

"Hmm... gak tau... lo liat aja tuh meja mading masih berserakan kertas." Ujarnya sambil memonyongkan bibirnya.

"Yaudah, ntar kabarin kalo udah selesai." Ujarnya sambil berlalu.

"Lo mau kemana emang?" Tanya Jingga.

"Basket."

"Jangan capek-capek." Ucap Jingga yang membuat Langit menghentikan langkahnya dan berbalik badan.

"Kenapa?"

"Aku tuh syeedihh kalau lyihat kamyuu syakit... hahaha..." Ucap Jingga dengan candanya.

"Kampret!" Ujar Langit sambil melengos. Meski hatinya berkedut tak menentu karena rayuan pulau kelapanya Jingga.

Jingga tau, Langit itu sebenarnya laki-laki yang lembut terhadap perempuan. Hanya saja ia terlalu kaku untuk mengungkapkan isi hatinya.

Covernya sih ganteng, tegas, garis rahang yang memikat hati perempuan manapun. Galak, jutek, ketus, gak peduli. Tapi sebenarnya hatinya itu rapuh, mudah luluh. Melankolis-Koleris sekali dia.

Jingga kembali ke ruangan mading dengan senyum-senyum karena sudah mengerjai Langit.

Sahabat-sahabatnya hanya menggeleng-geleng. Tak heran lagi dengan Jingga dan Langit.

*****

kalau langitku sendu

aku tak mampu melihatnya

kalau akunya rindu

ku hanya mampu merasakannya

*****

CHAPTER 3

PERTANDINGAN BASKET

"Mal, Mal, itu buru pemain sekolah kita fotoin." Ujar Nabila.

Hari itu Jingga, Mala, Nabila, dan Chika disibukkan dengan menjadi seksi dokumentasi pertandingan basket Sekolah Merah Putih dan Sekolah Kebangsaan.

Dua sekolah ini mempunyai tim basket yang unggul. Akan menjadi pertandingan yang sengit jika kedua tim dipertemukan.

"Jingga!" Panggil Langit.

"Lho, kok lo masih disini?" Tanya Jingga.

Langit menghampiri Jingga dan mengacak-acak rambut Jingga. Senang sekali Langit melakukan hal itu kepada Jingga.

"Kenapa deh?" Tanya Jingga bingung.

"Nyari vitamin." Ujar Langit yang membuat Jingga semakin bingung. Udah bikin bingung, ngeloyor aja gitu.

*Hadeuuh... dasar kenyamanan. 😑

*Lo aja yang baper thor 😂

"Si Langit ngapain dah Ngga?" Tanya Nabila.

"Tau tuh. Nyari vitamin katanya." Ujar Jingga yang ngeloyor pergi dari Nabila.

Nabila hanya senyum-senyum saja melihat sahabatnya yang polosnya bukan meong. Hingga kadang ia kesal sekali. Gak paham-paham. Ngasih kode doang.

Pertandingan basket hari itu berlangsung meriah tapi sengit. Gimana gak meriah, cowok-cowok tamvaan disana semua. Hari itu GOR Basket full sama ciwik-ciwik supporter para Babang tamvaannn...

Sampai-sampai ada yang bikin banner dengan tulisan "We ❤ Langit!!"

"Wuidih, itu tulisan, berasa nonton konsernya Langit gue. Hahaha..." Ucap Mala.

"Tulisan yang mana?" Tanya Jingga.

"Itu, yang di tribun 3. Di tengah-tengah. Anak mana itu yak?" Tanya Mala.

"Itu bukannya adek kelas ya? Satu sekolah sama kita." Ujar Chika.

Lambenya tim mading dengan berbagai info terkini. Kalah Breaking News sama dia. 😂

"Itu genk ges nya sekolah kita. Si Cuantikzz genks. Angel noh... wuidiih... gak pake baju." Ujar Nabila.

Sontak membuat Mala, Chika, dan Jingga tertawa geli.

"Ya kali, anak orang gak pake baju." Ucap Jingga yang masih tertawa geli.

Tapi saat itu tawa Jingga terhenti ketika ia membidikan kameranya pada sebuah kejadian dimana Langit disikut perutnya oleh Bara. Ketua basket tim SMA Kebangsaan.

"Lho, kok dia curang!" Ujar Chika yang melihat juga kejadian Langit disikut oleh Bara.

Jingga hanya diam. Ia takut kalau Langit akan emosi dan membuat keributan. Tapi, nyatanya tidak. Langit begitu tenang. Ia justru tersenyum menyambut tepukan di pundaknya.

Semua perempuan yang mendukungnya di GOR Basket berteriak serentak karena melihat Langit tersenyum.

Jingga, Nabila, Mala dan Chika sontak terkejut karena sorak sorai penonton melihat senyum Langit.

"Set deh... rame aja. Emang si Langit ngapain dah?" Tanya Mala heran.

"Langit senyum doang heboh. Apa kabar Langit punya pacar? Diamuk tuh pacarnya. Hahaha..." Ujar Chika yang tertawa terbahak-bahak.

"Semangat Ngga... yang pentingkan hatinya Langit sama Jingga." Ucap Nabila yang memberikan sinyal hati dengan tangannya.

"Kok jadi gue??" Tanya Jingga bingung.

Pertandingan di babak ini sungguh menegangkan. Jingga ingin menghampiri Langit mengecek kondisinya. Namun, ia urungkan niatnya karena sudah terlalu penuh di bangku tersebut.

"Jingga!" Panggil Angel yang berjalan menghampiri Jingga dan menarik Jingga ke pojok lapangan basket.

"Ada apa ya?" Tanya Jingga santai. Meski tubuhnya sakit karena didorong hingga menghantam dinding.

"Gak usah belaga pilon deh lo! Sok polos! Sok cantik! Pake pelet apa lo bisa deket kayak gitu sama Langit? Hah?!" Ucap Angel dengan geram dan menangkupkan satu telapak tangannya di pipi Jingga.

"Udah, Ngel... habisin aja. GPL (Gak Pake Lama)." Ucap Clara.

"Dasar cewek brengsek!!" Angel sudah siap untuk menampar Jingga tapi di tangkis oleh Jingga. Justru Jingga yang memelintir tangan Angel kebelakang punggungnya.

"Klo emang lo beneran suka sama Langit, bilang langsung sama orangnya. Gak usah pake cara menjijikkan kayak gini. Gue bukan cewek lemah yang bisa lo tindas seenaknya!!"

Ucap Jingga sambil mendorong tubuh Angel dan pergi meninggalkan mereka. Jingga membuat Angel, Clara dan Tania diam tak berkutik.

"Lo dari mana, deh?" Tanya Nabila yang bingung sejak tadi mencari Jingga.

"Toilet. Gimana pertandingannya?" Tanya Jingga.

"Langit gak fokus dari tadi. Ngeliat ke tribun mulu." Ucap Nabila sambil makan cemilannya.

Jingga berdiri dari duduknya dan melambaikan tangannya ke bawah. Kepada Langit yang melihat kembali ke tribun.

Mala, Chika dan Nabila saling pandang dan bertanya-tanya ada apa dengan Langit dan Jingga. Kok auranya beda... ada aura bunga-bunga gitu rasanya. 🌼🌼🌼

Pertandingan basket hari itu beda tipis. Kemenangan berada di pihak SMA Merah Putih. Tim suksesnya Langit.

"Lang, ayolah kita kumpul. Makan-makan. Masa lo gak pernah ikutan." Ajak Daffa ketua Basket. Yang pendiam nan bijaksana.

"Eh, tim mading boleh ikutan lho... biar makin rame. Pasti seru. Ya, ya," Ujar Akbar sang Kakak Kelas yang ramah dan baik hati.

"Kribo ikut kali... kan aku juga mau dimanja..." Ujarnya dengan genit kepada Taqi. Si alim. Yang sontak membuat Taqi bergidik ngeri dengan Kribo.

"Bodoamat" Jawab Taqi.

"Gimana, Lang? Ikut ya..." Tanya Daffa kembali.

"Ok, deh. Tapi gue nyusul ya. Ada urusan dulu bentar. Kabarin aja lokasinya dimana." Ucap Langit.

"Okeeh..." Jawab Daffa.

"Tim mading gimana? Ikutan ya..." Tanya Aiko pacarnya Si Ncek. Ada Koko dan Cici. Hehehe...

"Yaudah. Tapi beneran gak ganggu?" Tanya Nabila.

"Enggak. Santai... kita yang makasih karena sudah dikasih kesempatan untuk mengukir moment bersama." Ujar Akbar.

"Yak elah... modus banget." Sahut Kribo yang ditanggapi dengan senyum malu-malu Nabila dan Akbar.

"Ngga, ikut gue bentar." Ajak Langit yang menarik Jingga dari keramaian.

Jingga dengan gelagapan bingung, ia menyerahkan kameranya kepada Mala.

"Tadi waktu disikut, perutnya luka gak?" Tanya Jingga dengan mendongakkan kepalanya.

Langit tinggi banget. Sama kayak namanya. Kadang Jingga suka pegel lehernya kalau ngobrol sama Langit. 😄

"Tunggu bentar disini. Gue ganti baju dulu." Ujar Langit.

"Eh, ntar dulu. Gue liat dulu coba. Sini," Ucap Jingga yang mendekat kepada Langit dan mengangkat baju basketnya.

Langit yang bingung dan memerah pipinya karena malu, sontak menjadi keki.

"Iihh... ntar dulu. Itu nanti makin biru kalo gak diobatin." Ujar Jingga yang menepuk punggung tangan Langit untuk menyingkir yang memegang kaos basketnya lekat-lekat.

Akhirnya pasrah saja Langit membiarkan Jingga mengobati lukanya.

"Tuh, kan... bener. Biru, ungu-ungu gini?? Udah kayak ubi ungu. Ini malem pasti berasa sakitnya. Dioles bentar pake salep ini pasti ilang nyerinya." Terang Jingga yang dengan lihai mengobati memar di perut Langit.

"Udah. Beres." Ucapnya sambil tersenyum puas. Sedangkan Langit membuang muka karena malu. Lucunya ekspresi mereka.

Tak lama Langit berganti baju, ia mengajak Jingga ke sebuah tempat. Pemakaman.

"Lo benci banget sama gue ya, Lang?" Tanya Jingga dengan muka memelasnya.

"Hah?!! Maksudnya?! Gak ngerti." Ucap Langit yang gak paham dengan Jingga.

"Ini, lo bawa gue ke pemakaman. Lo mau ngubur gue hidup-hidup? Biar gak berisik?" Tanya Jingga yang semakin ketakutan.

Langit tertawa geli mendengar Jingga bicara seperti itu. Tapi ia hanya menggandeng Jingga untuk naik ke bukit.

Ya. Mereka berada di makam Intan. Langit hanya ingin memberitahu Jingga tentang Intan.

Jingga membaca papan nisannya bertuliskan "Intan Rahayu Siswoyo". Jingga melihat kepada Langit memastikan bahwa jawabannya benar. Intan yang ada disini adalah sahabat Langit dan Bimo.

Langit berjongkok di makam Intan. Disusul dengan Jingga yang memanjatkan doa untuk Intan. Langit mengusap papan nisan Intan dan berdiri. Tapi, tidak dengan Jingga.

"Hai, aku Jingga. Salam kenal ya, Intan." Ucap Jingga. Langit bingung dengan sikap Jingga. Jingga tidak marah. Tidak bertanya juga.

Langit suka Jingga.

"Kamu sendiri disana ya? Tak apa. Langit dan Bimo setia kok sama kamu. Makasih ya, Intan. Sudah mencintai Langit selama ini." Ujar Jingga.

"Terima kasih karena masih mencintai Langit sampai ajal menjemputmu. Kali ini, tidak perlu khawatir. Aku yang akan jaga Langit. Kamu bisa tenang disana."

"Hari ini, Langit tanding basket. Kamu pasti tau kan, kalau Langit itu dari dulu suka basket dan jago banget main basketnya."

"Oh, iya. Tim basketnya Langit menang lho... malam ini kita mau makan-makan merayakan kemenangan tim basketnya Langit."

"Intan, tau gak? Waktu di GOR Basket tadi, berasa kayak bukan nonton basket. Tapi kayak nonton konsernya Langit. Kenapa? Banner tulisan " We ❤ Langit" bertebaran di mana-mana. Hahaha... lucu sih. Tapi aneh aja."

"Bantu Jingga juga ya, buat bikin Langit gak batu lagi. Gak keras kepala lagi. Nyebelin soalnya kalo udah keras kepala."

"Yang lebih nyebelinnya lagi, nyebelinnya Langit itu bikin kangen. Makin sebel gak tuh."

Ucap Jingga yang masih menghadap ke batu nisan Intan. Sedangkan Langit sedang berusaha menutupi rona merah pipinya.

"Intan... maafin Bimo dan Langit ya... mereka sayang sama kamu. Kamu beruntung punya sahabat seperti Bimo yang mencintaimu penuh perasaan dan Langit yang seperti pengawalmu. Menjagamu dimanapun kamu berada."

"Bahagia disana ya... dan..." Ucapan Jingga terhenti. Ia mengucapkannya dalam hati.

"Dan aku minta izin untuk menjaga dan mencintai Langit." Batin Jingga.

"Dan apa?" Tanya Langit kemudian.

"Dan bila esok, akan kembali." Jawab Jingga dengan candanya dan malah bernyanyi.

"Orang ditanya. Malah nyanyi." Jawab Langit.

Jingga tak menjawab. Ia kemudian berdiri dari jongkoknya. Namun, Jingga merasa sempoyongan, kakinya kesemutan. Dengan sigap Langit menopang tubuh Jingga.

"Hahaha... idih, gue kayak nenek-nenek. Baru jongkok sebentar udah kesemutan." Ucap Jingga.

Langit tak berbicara, ia menggendong Jingga hingga parkiran motor karena melihat Jingga kesulitan berjalan.

Sontak membuat Jingga terkejut dan merona pipinya. Ia memukul-mukul pundak Langit yang kekar. Percuma juga, kalah badan. Sampai di parkiran motor. Jingga langsung menepuk pundak Langit.

"Iihh.. nyebelin. Jangan main gendong-gendong gitu dong. Kan gue kaget." Ucap Jingga yang memonyongkan bibirnya.

"Udah gak usah manyun. Pakai helmnya." Sahut Langit kepada Jingga.

Kali itu motor Langit bukan Ninja lagi. Ia membawa motor koplingnya. Yaa... mendingan deh. Daripada Ninja.

"Ini jadi ketemu anak-anak kan?" Tanya Jingga kepada Langit.

"Iya." Jawabnya sambil menyalakan motor.

"Pegangan." Ucap Langit.

"Udah kok." Jawab Jingga yang memegang jaket kulit warna hitamnya Langit.

"Yang erat pegangannya."

"Iya. Ini udah Langiiit..."

"Serius mau gitu aja? Kalo jatoh gue gak tanggung ya."

"Iyaaa... ini udah pegangan."

"Oh, yaudah." Langit gas motornya dan membuat Jingga terjengkang kebelakang.

"Langiiittt !!!" Teriak Jingga sambil menepuk punggungnya dan memeluk Langit dari belakang.

"Kan tadi udah dibilangin pegangan." Ujar Langit dengan senyum sumringahnya.

"Iiihh... nyebelin." Ujar Jingga yang kesal sekali dengan Langit.

"Makanya, kalau dibilang pegangan ya pegangan. Jangan ngeyel." Ucap Langit.

"Nih, ini pegangang yang erat namanya." Ujar Langit yang memberhentikan motornya di pinggir jalan dan melingkarkan tangan Jingga di pinggangnya. Jingga hanya menurut saja. mengikuti Langit.

"Langitnya indah banget deh." Ucap Jingga yang sedang melihat langit.

"Gue indah? Gue Langit. Kok Indah?" Ujar Langit dengan candanya.

"Kalo Langit ini nih jelek namanya. Hahaha..." Ujar Jingga sambil menunjuk pipi Langit dengan telunjuknya.

Entah mengapa mereka merasakan aura yang berbeda. Begitu dekat, hangat, dan nyaman. Kebawa suasana sore mungkin.

Mereka bersinggah di pom bensin. Langit isi bensin dahulu. Jingga ke toilet mau buang air kecil. Pipis. Selang beberapa menit, Jingga kembali. Langit sedang menunggunya setelah isi bensin.

"Lang... masih jauh ya?" Tanya Jingga dengan suara manjanya.

"Kenapa? Ngantuk ya?" Tanya Langit yang mengusap puncak kepala Jingga.

"Agak ngantuk. Kena semilir angin mungkin. Hehehe..." Ujar Jingga yang sedang dipakaikan helmnya sama Langit.

"Yaudah, tidur aja." Jawab Langit dengan santai.

"Yee... ntar gue kejengkang kayak tadi klo tidur."

"Hahaha... lagian udah dibilang pegangan ngeyel." Ledek Langit kepada Jingga.

"Iya dah... ketawa deh ketawa. Sepuas anda." Ucap Jingga dengan wajah jutek.

"Maaf, maaf... udah dong, jangan manyun aja. Monas kalah tingginya sama bibir lo. Wkwkwk..." Ujar Langit yang senang sekali membully Jingga.

"Ya kali, bibir gue tinggi banget. Bodoamat Lang..." Ucapnya sambil tersenyum.

"Nah... klo senyum kan cantik."

"Klo ganteng itu, kamu."

Sontak keduanya tertawa terbahak-bahak. Gembira sekali mereka hari ini.

"Lang" Panggil Jingga.

"Apa? Ngantuk banget ya?" Tanya Langit yang mengkhawatirkan Jingga.

"Enggak kok. Izin peluk bentar ya..." Ujarnya yang mendekap Langit dan memeluk punggungnya.

"Kan gue belum izinin. Kok udah peluk?" Tanya Langit dengan candanya.

"Oh, iya. Maaf." Jawab Jingga.

"Hahaha... ngambek lagi. Turunin nih kalo ngambek mulu." Ujar Langit.

"Mana tangannya?" Tanya Langit. Yang lalu Jingga menjulurkan tangannya.

"Ini peluk namanya." Ucap Langit yang melingkarkan tangan Jingga di pinggangnya.

"Lo demam ya?" Tanya Langit.

"Dari kemaren juga demam."

"Kok gak bilang sih?"

"Ngapain. Orang cuma demam doang."

Langit memberhentikan motornya dipinggir jalan dan meminta tas punggungnya yang dibawa Jingga. Ia mengeluarkan sweater berwarna hitam miliknya.

"Pake."

"Ini gede banget gak sih?"

"Daripada demam lo makin nambah? Udah buru pake. Apa perlu gue yang pakein?" Ucapnya kepada Jingga.

"Eehh... gak usah. Gue pake sendiri."

"Kita pulang aja ya."

"Yaah... kok pulang."

"Kan lo lagi demam. Nanti makin parah demamnya."

"Gak apa. Kasian yang lain udah nunggu."

"Orang lo sakit gini."

"Gak mau. Tadi Chika udah sms, nungguin katanya."

"Terserah."

Langit yang kesal langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Jingga tau bahwa Langit mengkhawatirkannya. Tapi Jingga juga tau kalo teman-temannya pasti menunggunya.

"Masih inget ada gue gak?" Tanya Jingga dengan mendekatkan wajahnya ke telinga Langit. Langit langsung memelankan laju motornya.

"Jangan marah, ya. I'm fine." Ucap Jingga sembari melingkarkan tangannya di pinggang Langit dan menyandarkan wajahnya di punggung Langit yang bidang tersebut.

Langit tak berbicara apapun. Tapi Jingga tau bahwa marahnya sudah mulai mereda.

*****

tak saling berkata

hanya saling tatap

tapi rasa yang berbicara

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!