NovelToon NovelToon

KEISHAKA : You'Re My Melody

P R O L O G

..."Kamu adalah langit yang aku cintai cerahnya, mendungnya, senjanya, badai dan petirnya, segalanya. Aku mencintai semua yang ada padamu."...

...- Keinarra Allea, 17 tahun -...

...Kamu tetap jadi tokoh utama yang selalu senang kuceritakan pada senja....

Dalam kisahku hari ini, juga dimasa depan, tidak ada yang bisa mengganti posisi itu.

Senang bisa menjadi bagian dari duniamu.

Sempat menjadi tempatmu bersandar.

Sempat menjadi orang yang kamu cari disetiap cerita.

Sempat menjadi arah matamu memandang kala bicara.

Sempat memenuhi setiap lembar halaman hidupmu.

Jika tidak sekarang, mungkin nanti.

Mari bertemu lagi, sebagai dua orang yang saling mencintai.

Aku siap untuk kembali melengkapi kosongmu.

Seperti kamu yang selalu siap memeluk rumitnya aku.

Disetiap baris aksara cerita ini, deret namamu selalu ada.

Dengan cinta,

Dengan penuh pengharapan,

Semoga kisah ini untuk kita.

Rintik air hujan turun dengan iramanya. Jalanan rumput terasa basah mengenai ujung kaki, beberapa terciprat dan menodai gaun hitam yang dikenakan seorang gadis yang tengah berjongkok disisi pusara yang masih baru. Lagi, entah keberapa kalinya ia menyeka air mata yang bandel tidak mau surut. Wangi tanah baru yang bercampur dengan wangi bunga bungaan yang bertabur di atas makam membuat dadanya sesak. Tapi dia enggan beranjak. Rasanya baru kemarin ia berkeliling kota dengan papanya, dinyanyikan lagu lagu manis, diberi hadiah hadiah tak terduga yang membuatnya tersenyum bahagia.

Dan kini raga itu terbaring diantara tanah basah yang dingin dan lembab. Meninggalkan dirinya terduduk menangis. Sedih. Rapuh.

"Ra sendiri sekarang, Pa... Siapa lagi yang bisa memperlakukan Ra kayak papa? Ra takut pa... Siapa yang bakal ngelindungin Ra?" Gadis itu berucap lirih, tersendat.

Dibelakangnya, seorang gadis lain memeluk bahunya, ikut menyeka air mata. Menyaksikan adiknya begitu berduka atas kehilangan sang papa membuatnya ikut sedih. Walaupun ia tidak begitu dekat dengan papanya sejak beberapa tahun terakhir.

"Udah ya, Ra, kita pulang, hujannya makin deras nanti kamu sakit."

"Kenapa aku nggak ikut aja sama papa, Kak?"

"Nggak, Ra. Kan, masih ada kakak yang mau kamu baik baik aja, masih ada mama yang selalu nanyain kabar kamu. Mungkin masih ada alasan lain kamu ada didunia. Kamu gak boleh ngomong gitu, Ra. Kita sayang sama papa tapi tuhan lebih sayang."

Sang adik menggeleng, terisak. "Ra bertahan karena papa, Kak..."

"Dan kamu bakal jadi alasan buat seseorang bertahan, Ra. Mama, kakak, Reno, banyak yang sayang sama kamu."

"Ada yang sesayang papa?"

"Ada, Ra. Bakal ada yang sayang sama kamu sesayang papa ke kamu.

Gadis itu terdiam. Tanpa dia tahu bahwa tuhan mendengar ucapan kakaknya. Tuhan mendengar doanya yang tidak bisa didengar oleh siapapun.

Hari ini dia menangis. Besok. Lusa. Sehari, dua hari, seminggu. Sedihnya tidak berkurang. Tapi hidupnya harus terus berlanjut. Waktu tidak akan menunggunya untuk sembuh. Dia tidak boleh menangis. Semuanya harus baik baik saja. Dia harus kuat demi papanya. Demi seseorang yang mungkin menjadikannya alasan untuk bertahan.

Dia terus memantapkan hati. Demi kakaknya. Demi mamanya. Demi kekasihnya. Ia harus bertahan. Setidaknya ia harus mencari alasan kenapa harus bertahan untuk dirinya sendiri.

Dan semesta akan menjawab doanya.

Di seberang jarak yang tidak pernah dia sangka. Lelaki itu menatap sebuah potret seorang gadis didepan rintikan air hujan. Tersenyum getir. Ada luka masa lalu disetiap sudut foto itu. Luka yang ia harap akan sembuh. Ada bahagia untuk menggantikannya.

Semoga.

Secepatnya.

XOXO<3

- Zia -

KOTA BARU

KEINARRA Allea susah payah menyeret koper besarnya dengan sisa tenaga setelah perjalanan panjang selama berjam jam diatas pesawat. Gadis itu menghela napas sekali lagi, lalu mulai menyeret koper beserta tas jinjing—yang juga besar—miliknya melewati keramaian bandara. Dengung suara manusia memenuhi langit langit, satu dua orang sama sepertinya, menyeret koper besar, sambil bertelepon, terlihat sibuk. Satu dua lainnya memilih beristirahat di bangku bangku yang ada. Anak kecil merengek pada ibunya yang sibuk membenahi barang, memeriksa memastikan tidak ada yang tertinggal didalam pesawat. Astaga, kepala Nara ikut pusing melihatnya. Entah sepusing apa ibu ibu itu, Nara tidak mau memikirkannya.

Nara tiba di lobi. Matanya dengan cepat menangkap dua sosok perempuan yang celingukan mencari dirinya. Aduh, kaki Nara pegal sekali sekarang, masa harus dia juga yang menghampiri mereka?

“NARA!”

Akhirnya, dua orang itu menemukan posisi Nara berdiri dengan kaki nyaris gemetar. High heels di kaki jenjangnya sedikit merepotkan.

Nara tersenyum cerah, melambaikan tangan, membuat dua orang perempuan tadi segera mendekat ke arahnya dengan wajah penuh haru.

“Aduh, Ra! Akhirnya ketemu juga! Makin cantik aja deh adik gue!”

Perempuan yang segera memeluk Nara erat erat itu adalah kakaknya, Serenna Agatha. Dengan selisih usia lima tahun dengan Nara. Terakhir mereka bertemu adalah sebulan yang lalu saat pemakaman papa mereka, itupun setelah empat tahun tidak bertemu.

Agatha mengurai pelukan, memeriksa kondisi Nara dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan gadis itu baik baik saja. “Gimana penerbangannya? Lancar? Kamu gak pusing atau apa gitu?”

Nara menggeleng cepat, “Nggak, Kak, aku nggak apa apa, cuma pegel aja.”

“Syukur kalau gitu.” Agatha menghela napas lega.

Nara beralih pada satu gadis lain disebelah Agatha, itu sepupu sekaligus teman bermain Nara saat masih kecil, sebelum ikut papanya pindah. Alzetta Tasyara. Teman sebaya Nara, sepupu yang menyenangkan. “Halo, Sya.” Segera Nara memberikan pelukan, hampir tertawa karena Tasya terlihat menyeka pipi, dia terharu bertemu lagi dengan Nara setelah sekian lama.

“Gue kangen banget sama lo, Ra. Long time no see, sepupu cerewet gue…”

“I miss you too, Sya, udah dong jangan nangis.” Nara tertawa kecil.

“Aduh, sorry, mengharukan banget lagian.”

Mereka mengurai pelukan.

Agatha mengambil alih koper besar Nara, dan Tasya mengambil tas jinjingnya. “Sini biar kita yang bawain, kamu pasti capek. Habis ini kita langsung pulang, mama masak makanan kesukaan kamu dirumah.” Kata Agatha.

Mata Nara berbinar, “Oh ya?”

Tasya mengangguk membenarkan, “iya tahu, kita udah disuruh jemput lo cepet cepet, biar bisa makan malam bareng,”

“Lah kamu gak pulang, Sya?” Tanya Agatha.

Tasya cemberut, dia diusir. “Ish kak Gatha, aku ikut makan lah, orang tadi tante juga ngajak aku.”

Agatha dan Nara tertawa, Agatha hanya bercanda. “Oke, sorry, bercanda.”

Tasya menggerutu tidak jelas.

Mereka lantas berjalan beriringan meninggalkan bandara, menuju rumah masa kecil Nara ditengah ibu kota.

...*** ...

“Hei, akhirnya putri bungsu mama pulang! Ya ampun sayang, mama kangen sekali sama kamu, Ra…”

“Ra juga kangen sama mama…”

Acara peluk pelukan haru antara Nara dan Varida sang mama tidak bisa dihindari. Varida terlihat begitu bahagia bisa menyambut lagi putri bungsunya di rumah. Wanita yang hampir separuh baya itu sibuk memeluk Nara lama, menciumi wajahnya, menangis terharu, membuat Nara ikut menyeka pipi, menangis bahagia.

“Apa kabar sayang? Sehat, Nak?”

Nara mengangguk mantap, memegang tangan mamanya lembut. “Nara sehat, ma, baik baik aja kok, semuanya lancar. Mama gimana?”

“Ah, mama masih begini begini aja, tapi sekarang bahagia, akhirnya anak mama pulang, mama bisa bebas lihat kamu setiap saat sekarang, gak perlu repot telpon telpon, habisin kuota.”

Semua orang kompak tertawa renyah.

“Mama udah ngerti kuota sekarang?”

Tanya Agatha.

“Aduh, Gatha, begini begini mama-mu ini update, mama gaul,”

Tawa kembali terdengar hangat.

“Sudah, sudah ketawanya, ayo duduk semua, mama udah masak makanan enak malam ini. Ayo Ra, Tasya juga duduk, Nak, makan bareng kita.”

Tasya memasang gaya hormat bendera. “Siap tante! Laksanakan!”

“Gatha tolong ambil piring piringnya didapur, sekalian minumnya tadi sudah mama siapkan.” Suruh Varida.

“Siap ma!” Agatha bergegas ke dapur.

Makan malam berlangsung menyenangkan. Diselingi percakapan dan tawa hangat. Tasya memberitahu bahwa Nara bisa mulai sekolah besok pagi di SMA yang sama dengannya. Semua dokumen sudah diurus oleh papa Tasya dan Nara sudah dapat kelas, besok tinggal datang saja.

Obrolan pindah membahas tempat Nara tinggal selama empat tahun terakhir. Sekolahnya disana, teman temannya, tempat wisata, bahkan pacar Nara. Semua orang sibuk menggodanya, menyuruh lelaki pujaan Nara itu untuk berkunjung kerumah, membuat Nara kerepotan mengalihkan topik pembicaraan.

Susah payah Nara loncat ke topik lain, kali ini membahas tentang Agatha dan kuliahnya. Bertanya banyak hal, sesekali juga menggoda Agatha tentang pacarnya. Juga topik berganti obrolan seputar Tasya dan sekolahnya, orang yang Tasya taksir disekolah, bergantian saling menggoda. Meja makan ramai oleh tawa diatara dentingan suara sendok dan piring.

Makanan makanan tandas. Agatha membenahi alat makan, membawanya ke dapur. Tasya dan Nara gotong royong membawa koper dan tas jinjing ke lantai dua, tempat kamar Nara berada, membenahi isi koper kedalam lemari.

Pukul sembilan malam. Tasya pamit pulang, bilang besok akan menjemput Nara untuk pergi sekolah bersama. Lalu sepeninggal Tasya, Varida menyuruh Nara segera naik, beristirahat, besok dia harus langsung masuk sekolah. Nara menurut, naik ke kamarnya, membersihkan diri.

Lima belas menit setelahnya. Dengan keadaan tubuh yang letih, Nara segera naik keatas kasur, dengan cepat terlelap.

Tidak ada waktu untuk memikirkan apapun lagi. Termasuk bagaimana sekolah barunya besok. Atau siapa saja yang akan Nara temui keesokan hari.

Malam ini Nara tidur nyenyak, tanpa tahu bahwa besok, dan hari hari selanjutnya dalam hidup Nara tidak akan lagi sama.

...*** ...

SATU UNGGULAN

PAGI pagi Nara sudah siap dengan seragam sekolah baru yang terlihat pas di tubuhnya yang tidak begitu tinggi. Ia mematut diri didepan cermin besar di sisi kanan lemari, duduk di bangku rias. Mata Nara tanpa sengaja melihat pada sebuah figura yang ada dinakas sebelah meja riasnya, tepatnya potret dirinya di waktu kecil. Nara meraih figura itu, dia masih terlihat seperti anak kecil bandel yang suka membuat mamanya mengomel. Di foto itu Nara terlihat lucu, hanya berantakan dengan sisa sisa eskrim di baju dan wajahnya. Dia tersenyum, lalu beralih menatap dirinya didalam cermin.

Genap tujuh belas tahun dirinya sekarang. Anak kecil didalam foto itu sudah berubah menjadi gadis remaja dengan rambut hitam panjang dan sedikit mengombak. Kulit putih pucat yang terawat, mata bundar dengan retina hitam yang terlihat menawan, hidung mancung, bibir tipis merah muda dengan senyum secerah matahari pagi. Berlebihan? Tidak. Nara memang cantik, semua orang tahu itu.

Nara kembali menaruh figura itu ditempat semula. Semua kejadian dalam hidupnya terjadi cepat sekali. Orang tuanya berpisah saat Nara umur tiga belas, ia ikut pindah dengan papanya, sementara Agatha tetap dikota ini dengan mama. Tinggal dengan papa tidak pernah sama seperti tinggal dengan mama, karena itulah Nara lebih mandiri, lebih kuat, sebab papanya terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, karena itulah pehatian perhatian besar yang sesekali Nara dapat dari sang papa begitu membekas dikepalanya.

Setahun lalu papanya sakit, divonis memiliki penyakit serius dengan jantungnya. Lantas Nara sibuk mengurus sang papa, hingga napas terakhir papanya, Nara ada disana. Sebulan yang lalu papanya meninggal dunia, jasadnya dikebumikan dikota ini. Nara akhirnya menurut untuk pindah dan kembali tinggal dengan mama dan kakak perempuannya. Di kota ini, tempatnya lahir, juga tempatnya tumbuh, juga tempat papanya dikebumikan.

“Ra? Udah siap? Tasya udah ada tuh dibawah,”

Lamunan Nara terputus. Ia menoleh, menemukan Agatha di ambang pintu kamarnya. “Oh, udah kok, tinggal ngambil tas.”

“Hari ini sarapan di sekolah aja ya, mama udah berangkat ke butik, ada urusan ngedadak, oke?”

Nara mengangguk, segera beranjak dari bangku rias. “Oke, nanti di kantin aja bareng Tasya.”

“Yaudah turun cepet, Tasya udah nunggu.”

“Iya.”

Setelah menyampirkan tasnya, Nara sekali lagi membenahi penampilan, lalu keluar dari kamar, menuruni anak tangga. Tasya terlihat sudah rapi, duduk diruang tengah, sedang mengotak ngatik ponselnya.

“Hei, Sya.”

Tasya mendongak sekilas, “Hai. Eh, Ra, kita naik taksi online aja ya, papa gak bisa nganterin, ada rapat penting.”

Nara mengangguk, dia tidak keberatan. “Oke.”

“Tasya nanti temenin Nara sarapan ya.” Suara Agatha yang melintas membuat Tasya mendongak, lalu mengangguk singkat.

“Siap kak.”

...***...

“Baik baik loh disekolah baru, kalau ada yang kamu butuh bisa bilang ke saya, anggap saya orang tua kamu juga disekolah.”

Nara mengangguk sopan. “Iya, Bu.”

“Yasudah, ibu antar ke kelas baru kamu kalau git—”

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Sebentar ya.”

Nara mengangguk lagi, membiarkan Bu Sara—wali kelasnya—berdiri, menerima telepon sebelum mengantarnya ke kelas. Ruangan berukuran cukup besar yang berfungsi sebagai ruang guru ini sepi, semua guru—kecuali Bu Sara—sudah berangkat menuju aula rapat. Entah apa yang perlu dirapatkan, Nara tidak punya urusan untuk tahu. Meja meja berjajar rapi, sejak Nara menginjak gerbang didepan tadi semuanya memang tertata rapi, gedung gedung kelas, taman, lorong lorong, lapangan, semuanya mengagumkan, tak heran sekolah ini menjadi sekolah seni favorit.

Dan disinilah Nara sekarang, di SMA Artaca yang selalu dibanggakan Tasya. Nara hobi bermain piano, walaupun tidak mahir sepertinya dia mulai tidak sabar akan seperti apa ruang musik di sekolah ini. Alasan sederhana dirinya masuk sekolah seni bukan karena Nara berbakat di bidang itu, melainkan karena Tasya juga sekolah disini. Sesederhana itu.

“Wah, hahaha, hebat sekali, kalau begini saya bisa membuatkan lemari khusus untuk penghargaan penghargaan yang kamu dapat atas nama sekolah. Aduh, ini sudah piala ke berapa yang kamu dapat hah? Orang tua kamu pasti bangga sekali punya anak berbakat seperti kamu.”

“Ah, nggak juga, Pak. Semua juga, kan, atas dukungan bapak dan sekolah yang selalu membimbing saya.”

Nara menoleh mendengar suara percakapan dua orang yang berasal dari pintu masuk. Seorang pria paruh baya dengan setelah rapi yang bisa Nara tebak adalah kepala sekolah, terlihat mengacung ngacungkan sebuah piala seraya menepuk nepuk bahu siswa didekatnya yang berdiri sopan, pak kepala sekolah terlihat bangga sekali.

“Kamu memang pandai menangin hati bapak.” Pak Kepala Sekolah tertawa renyah, tersenyum penuh penghargaan pada siswa itu.

Nara diam memperhatikan. Sepertinya siswa laki laki itu baru saja memenangkan sebuah perlombaan, mungkin sudah sering dapat, makanya reaksi Pak Kepala Sekolah begitu bangga.

“Heh, kamu ngapain masih di ruang guru? Kelas berapa kamu?”

Nara mengerjap. Eh? Itu pertanyaan untuknya? Ia menoleh ke kanan dan kiri.

“Iya kamu, memangnya saya bertanya pada siapa lagi? Hantu?”

Oh, ya ampun. Nara tersenyum canggung,”E-eh, saya murid baru.”

Pak Kepala Sekolah ber-oh pendek, manggut manggut mengerti. “Bagus kamu masuk sekolah disini. Lihat, dia ini murid kebanggan sekolah, prestasinya banyak sekali, murid teladan juga, pokoknya patut dicontoh, saya harap kamu juga bisa membanggakan sekolah seperti dia.”

Nara mengangguk pelan, sekilas melihat pada siswa laki laki yang lagi lagi dibanggakan Pak Kepala Sekolah. Aduh, belum apa apa Nara sudah ‘dituntut’ untuk berprestasi. Nara juga tidak tahu persis maksud ‘teladan’ nya itu bagaimana, kenal saja tidak. Bagaimana Nara tahu apa yang harus dicontoh darinya selain membawa pulang piala besar?

“Yasudah kalau gitu, saya pamit ke kelas, Pak, mau melanjutkan pelajaran.” Pamit ‘murid teladan’ itu.

“Oh, yasudah, silahkan, selamat belajar, bapak simpan piala kamu di lemari kaca.”

“Terima kasih, Pak.”

Belum sempat si murid teladan meninggalkan ruang guru, Bu Sara telah kembali dari menerima telepon, membuat langkahnya tertahan, harus menyalimi dulu Bu Sara. “Eh, Yesha, masih disini?” Tanya Bu Sara.

“Iya, dia lagi lagi setor piala. Hebat emang anak didik Bu Sara ini.” Itu pujian kesekian yang dilontarkan Pak Kepala Sekolah hari ini. Nara sampai bosan mendengarnya.

Bu Sara tertawa kecil, menatap muridnya penuh penghargaan. “Selamat ya Yesha, kamu selalu membanggakan memang. Sekolah ini bangga punya murid seperti kamu, guru guru bakal senang dengar kejuaraan kamu lagi.”

Aduh, semua orang tampaknya bangga sekali padanya. Nara geleng geleng kepala, memang dia semembanggakan itu ya?

“Oh iya Pak, saya harus ngantar anak baru ke kelas.” Ucap Bu Sara.

Pak Kepala Sekolah menatap Nara sekilas, lalu mengangguk. “Yasudah, silahkan, saya juga harus ke ruang rapat lagi, sampai rela saya tinggal rapatnya demi lihat pialanya Yesha, ya ampun,” geleng geleng kepala seraya terkekeh, Pak Kepala Sekolah melanjutkan, “setelah itu Bu Sara bergabung rapat ya. Segera.”

“Baik, Pak.” Bu Sara mengangguk sopan.

Pak Kepala Sekolah meninggalkan ruang guru.

Sampai rela meninggalkan rapat? Nara tidak habis pikir.

“Nara, ayo, ibu antar. Yesha juga ayo, sekalian kita ke kelas bareng.”

Si murid teladan yang masih berdiri ditempatnya mengangguk takzim. “Iya Bu.”

Nara beranjak dari bangku, membenarkan roknya yang sedikit terlipat, berjalan menghampiri Bu Sara.

“Selagi jalan Yesha gak mau memperkenalkan diri ke teman barunya?” Tanya Bu Sara, menoleh ke kanan. Mulai memimpin langkah.

“Eh? Dia di kelas kita, Bu?”

Bu Sara mengangguk. “Iya, kenalan dong. Nara, ayo kenalan.”

Nara nyengir canggung, menoleh ke kanan. “E-eh, gue Nara.”

Sebuah senyum terlempar, entah kenapa membuat Nara sedikit kaget mendapat senyum selebar itu di pertemuan pertama yang super canggung ini. “Gue Yeshaka, salam kenal ya.”

Nara tersenyum tipis, mengagguk kaku.

“Cuma itu? Dasar kalian ini.” Bu Sara terkekeh, geleng geleng kepala. “Yesha itu murid yang membanggakan lho, Ra. Nanti kamu juga tahu sendiri, bisa belajar banyak dari dia. Ibu harap kalian berteman baik ya.”

Tidak ada percakapan lain lagi selama perjalanan menuju kelas. Sesekali Nara melirik kekanan, pada seseorang disamping Bu Sara yang berjalan beriringan dengannya. Sepertinya mereka akan sekelas. Nara jadi penasaran, sebenarnya apa yang telah dimenangkan oleh Yesha? Ditilik dari wajahnya, dia memang terlihat berbakat. Tapi hanya sebatas itu. Sedikit tampan. Eh? Nara mengerjap, bukan begitu maksudnya—

“Nah, ini kelas kamu.”

Langkah mereka terhenti didepan sebuah kelas berplang XI SENI 3. Bu Sara membuka pintu kelas, melangkah masuk, diikuti Yesha dan Nara dibelakangnya.

Yesha langsung duduk menuju bangkunya, sementara Nara berdiri didepan kelas, membuat semua atensi murid yang ada beralih padanya. Nara menelan ludah, dia tidak pernah terbiasa menjadi pusat perhatian begini.

“Anak anak, ada murid baru pindahan, silahkan memperkenalkan diri, Ra.”

Nara mengangguk, menghela napas, menatap seluruh kelas. “Halo, aku Keinarra Allea, biasa dipanggil Nara, pindahan dari SMA Ardhijuana.”

Bu Sara tersenyum, memeluk bahu Nara dari samping. “Nah, ibu harap kalian bisa berteman baik dengan Nara ya. Ketua kelas…” Bu Sara beralih menatap seorang murid laki laki yang duduk dibarisan depan.

“Iya Bu.”

“Tolong dibantu ya kalau Nara butuh apa apa,”

“Siap Bu.”

Bu Sara beralih pada Nara, “Nara, itu Ryan, ketua kelas. Kalau ada apa apa bisa tanya dia ya.”

Nara mengangguk, “iya Bu.”

“Yasudah anak anak, ibu ada rapat dengan guru guru hari ini, kemungkinan besar kalian tidak belajar sampai jam istirahat pertama, jadi jangan berisik ya.”

“YEAYY!!” Seisi kelas bersorak senang, beberapa bahkan melakukan tos dengan temannya. Nara masih berdiri didepan.

“Nara silahkan duduk.”

Bangku kosong yang berada dijajaran kedua akhirnya menjadi tempat duduk Nara. Ia menyimpan tas di laci meja, menatap kepergian Bu Sara dari kelas. Nara tahu, sebagian besar murid dikelas ini sekarang menatapnya. Aduh, situasi aneh macam apa ini?

“Hai, Nara.”

Nara menoleh ke kiri, pada seorang gadis yang duduk di bangku sebelahnya dengan rambut diikat rapi menjadi satu, mata sedikit sipit, dan senyum yang manis. “Gue Rania. Sherania Aressy. Lo yang sepupunya Tasya, kan?”

Nara mengangguk membenarkan. “Lo kenal Tasya?”

“Kenal dong!” Rania menjawab mantap, “Gue temen SMP-nya Tasya, dan masih jadi temennya sampai sekarang. Temen Tasya berarti temen gue juga, so, welcome to our circle, Nara! Nanti gue kenalin ke Laudy juga, kita pasti jadi temen baik.”

Nara tersenyum lebar, mengangguk lebih semangat. “Thanks, Ran.”

...***...

Kantin ramai. Dan meja sebelah utara sana tak kalah ramai. Seorang lelaki yang makan dengan empat gadis sekaligus. Ya, kalian tidak salah baca. Empat. Benar benar empat orang yang mengerubutinya—ah tidak, sisa gadis lainnya masih menunggu di meja meja lain dekat sana. Mereka sibuk tertawa manis. Tepatnya pura pura manis. Untuk menarik perhatian lelaki populer itu.

Astaga.

Nara bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Apalagi saat ini Tasya hendak ikut ikutan pergi kesana. Membawa mangkuk baksonya. Aduh, apa sih yang mereka pikirkan? Dan Tasya? Bisa bisanya—

“Kalian gak boleh menghalangi jalan gue gitu dong, siapa tahu diantara mereka semua itu Yesha kepincutnya sama gue.” Wajah Tasya melas, jelas jelas dia ingin kesana.

Vara Laudytha, seorang teman baru Nara yang lain mencegah, menggeleng tegas. “Harga diri lo, Sya.”

Nara mengangguk setuju. Harga diri.

“Gue itu jual mahal ke semua cowok, tapi kalau ke Yesha gue rela banting harga.”

“STRES ANJIR. SINTING LO.” Rania bergidik, geleng geleng kepala.

“Lo boleh suka sama Yesha, Sya, gak ada yang larang lo, tapi sewajarnya aja.” Nasihat Laudy yang tentu hanya akan membuat Tasya tuli. Mana mau dia mendengarkan.

“Ini yang paling wajar buat gue jadi stop larang gue!”

“EH, SYA! ADUH!”

Pencegahan kali ini gagal. Tasya sudah ngacir, membawa mangkuk baksonya menuju meja yang dekat dengan meja Yesha. Menyapa lelaki itu dengan senyum SuperManis. Melarutkan diri dengan topik obrolan Yesha.

Nara yang sejak tadi memperhatikan sampai menganga menyaksikan itu, menepuk dahi, tidak percaya sepupunya bisa sebrutal itu dalam menyukai seseorang.

“Dia emang gitu ya?” Tanya Nara pada Rania dan Laudy.

“Segitu belum puncak beringasnya,” Laudy menggeleng.

Nara membelalak, belum apanya?

“Biasanya dia suka ngintilin Yesha kemanapun dia pergi, udah kayak sasaeng.”

“Demi apa?”

Rania mengangguk membenarkan, menyuapkan sepotong bakso ke mulutnya dengan garpu, ber-hah kepedasan. “Setahun ini Yesha sukses bikin Tasya kayak orang gila.”

Kening Nara terlipat, tidak mengerti. “Kenapa bisa gitu sih? Tadi pagi juga gue liat Pak Kepsek sama Bu Sara sampai bangga banggain dia banget. Sampai agak berlebihan sih menurut gue.”

“Yesha, kan, baru menangin kompetisi main piano tingkat nasional entah yang ke berapa belas kali sepanjang dia sekolah disini. Itu mungkin kejuaraan ke delapan belas atau sembilan belas gitu, gak ngitungin juga gue, saking banyaknya dia menang lomba.” Jelas Rania.

Nara tertegun sesaat, “Main piano?”

Rania mengangguk antusias. “Gak cuma main piano, dia juga jago nyanyi, ngelukis, main gitar—ah pokoknya he’s the king of art. Pelajaran biasa disekolah juga kita gak bisa sepelein dia, tahun lalu, Yesha dapet peringkat tiga paralel! Lo bisa bayangin, kan, seberapa genius otaknya? Udah gitu guanteng poll lagi, kaya raya, sempurna banget gak sih?”

“Kenapa malah jadi kayak elo yang naksir Yesha, Ran?”

Uhuk! Demi mendengar ucapan Laudy, Rania tersedak bakso pedasnya. Terbatuk beberapa kali, wajahnya dengan cepat memerah. Nara jadi ikut panik, menyodorkan segelas es teh pada Rania. Buru buru Rania menegak minumannya, tenggorokannya terasa perih sekarang. Kasihan sekali.

Laudy nyengir, “Sorry, gue, kan, bercanda, biasa aja kali.”

“Mulut lo gue cabein ya!” Rania tersengal, menatap Laudy sebal, masih mengusap dadanya yang sakit.

“Ya kalau gitu wajar aja sih guru guru sebangga itu sama Yesha, apalagi cewek cewek yang naksir dia sampai sebanyak itu. Masuk akal.” Sejujurnya Nara lebih tertarik pada Yesha yang mahir bermain piano. Jika dalam setahun dia bisa memenangkan piala sebanyak itu, berarti memang dia benar benar jago. Tapi Nara takut dikira naksir Yesha juga kalau mau menanyakan lebih tentang lelaki itu. Padahal dia hanya penasaran.

Laudy mengangguk, setuju dengan ucapan Nara. “Iya, kan? Tapi sayang banget nggak semudah itu buat dapetin Yesha,”

Nara menggernyit, “Kenapa?”

Kepala Laudy bergerak kekanan dan kekiri, menggeleng. “Nggak tahu, susah aja katanya. Kata Ryan, Yesha susah percaya sama orang, susah suka juga, harus Yesha yang suka duluan, mantannya juga cuma satu, itu juga nggak lama pacarannya.”

Nara manggut manggut mengerti, lalu, “Ryan? Ryan yang ketua kelas XI 3?”

Wajah Laudy memerah seketika.

Rania segera sibuk ber-ehem ehem ria, tersenyum menggoda Laudy. “Iya, Ryandra Stefano yang ketua kelas kita, mereka lagi PDKT-an.”

Mulut Nara membentuk huruf O besar, mengangguk paham, ikut tersenyum menggoda Laudy. “Yang itu, kan?” Ia menunjuk seorang lelaki di meja yang tak jauh dari meja Yesha, sedang berkumpul bersama dua temannya.

Rania mengangguk, “Iya, temen se-circle-nya Yesha juga,”

“Dua cowok itu juga?”

“Iya, yang depan Ryan, itu namanya Fizra Hananta, terus yang sebelahnya Jeano Abidzar. Mereka bestie bestie kepercayaannya Yesha, dari SMP katanya.”

“Ohh gitu.” Nara manggut manggut mengerti, “Pantes ya, lo sama Tasya pura pura nyamperin gue ke kelas, ngajak ke kantin, padahal yang satu mau caper ke Yesha, yang satu mau caper ke Ryan—”

“GAK GITU YA!” Sembur Laudy.

Nara tertawa, juga Rania yang menepuk nepuk bahu Nara dengan bangga. Bangga karena sudah sukses membuat wajah Laudy merah padam sekarang. Aduh, belum saja mereka dilempar mangkuk bakso oleh Laudy.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!