"Pikirkan secara baik-baik, Nay! Ingat juga kalau dulu pamanmu membiayai hidup dan sekolahmu saja tidak pakai pikir lama. Kalau bukan karena dia, mana bisa kamu sekolah sampai kuliah seperti sekarang? Kalau bukan karena dia, sudah pasti kamu jadi anak jalanan yang hidupnya terlunta-lunta tanpa ada yang membantu. Jadi sudah seharusnya kamu mau membantu kakak sepupumu yang sudah jelas-jelas membutuhkan bantuanmu."
Kanaya hanya terdiam di dalam kamar setelah mendengar ucapan tantenya yang terasa menusuk-nusuk di dalam hatinya. Memang benar jika dia hidup dengan hutang budi dari keluarga ini yang sekarang sedang membutuhkan bantuannya. Tapi apa mereka tidak mau memikirkan bagaimana perasaannya? Apa mereka tidak mau bertanya tentang mimpi-mimpinya yang banyak belum tercapai? Dia juga seorang wanita yang mempunyai perasaan dan banyak impian. Bukan hanya Vania yang kini sedang sakit dan rapuh yang harus diberi perhatian, namun dia juga masih membutuhkan perhatian dari orang-orang sekitarnya.
Usianya masih sembilan belas tahun sekarang ini, dia baru saja merasakan indahnya masa-masa kuliah di tahun pertama. Masih ada beberapa tahun mendatang untuk menyelesaikan studinya itu. Jika dia menerima tawaran dari Vania untuk menjadi istri kedua, otomatis kuliahnya terhenti dan impiannya akan hilang. Dia masih belum rela untuk itu.
Pikirannya masih kalut saat tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk.
"Nay, boleh paman masuk ke kamarmu sebentar?"
Suara pamannya yang terdengar lembut membuat Kanaya mau tak mau untuk membukakan pintu kamarnya.
"Ada apa, Paman? Jika paman ingin membicarakan soal pernikahan itu, aku ingin meminta waktu sebentar untuk berpikir secara jernih." Kanaya menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Toni, pamannya, yang selama ini selalu baik dalam memperlakukannya.
"Kamu tidak perlu menerima tawaran itu jika kamu memang tidak mau, Nay."
Kanaya mendongakkan kepala, melihat Toni sedang tersenyum hangat menatapnya.
"Itu bukan menjadi kewajibanmu untuk membantu kakakmu yang sedang sakit. Semua yang diucapkan oleh tantemu tadi juga jangan kamu ambil hati. Paman tulus menolongmu karena itu sudah menjadi kewajibanku untuk membantu anak yatim-piatu sepertimu. Apalagi dulu ayahmu sudah banyak membantu usaha paman hingga akhirnya berkembang sampai sekarang. Jadi kamu tidak usah berpikir macam-macam. Fokus saja pada pendidikanmu sekarang ini," lanjut Toni.
Kedua mata Kanaya mulai membasah. Hatinya merasa hangat mendengar ucapan Toni yang begitu tulus. Kanaya bersyukur, setidaknya di rumah ini Tuhan masih menitipkan seseorang yang peduli dengan hidup dan masa depannya. Kanaya langsung menghamburkan diri di tubuh Toni dan memeluknya. "Terima kasih, Paman. Kalau bukan karena paman, pasti aku udah hidup susah di luar sana sekarang ini."
"Kamu itu sudah anggap paman sebagai anak sendiri, Nay. Jadi jangan bersedih hati lagi ya..."
"Terima kasih, Paman."
***
Hati Kanaya terasa ringan setelah tadi pagi mendengar ucapan Toni yang seperti pelipur lara baginya. Memang sikap Toni sungguh berbeda dengan istrinya yang selalu bersikap sinis padanya.
Rencananya, dia akan mengerjakan tugasnya di rumah ini seperti biasa. Yakni berbelanja dan memasak untuk makan siang. Namun sialnya, saat menuju ke dapur, dia melihat tantenya, Helga, tengah duduk di depan meja makan dan menatap kedatangannya dengan tatapan tajam.
"Enak ya yang udah dapet pembelaan dari pamannya."
Kanaya memilih diam tak menanggapi ucapan Helga. Entah mengapa dia sudah merasa terbiasa selalu disindir oleh Helga.
"Nih daftar belanja. Jangan lupa nanti masak yang enak!"
Kanaya meraih secarik kertas yang diberikan Helga, berisi daftar belanjaan yang harus dia beli di pasar nanti.
"Kok belanjanya banyak banget?" Kanaya masih memperhatikan daftar sayur mayur yang jarang dibeli oleh Helga untuk makanan sehari-hari mereka.
"Vania sama suaminya mau menginap di sini nanti."
Perasaan Kanaya menjadi tak enak, tanpa dia sadari, dia sudah meremas keras secarik kertas yang baru saja dibacanya. Dia takut jika nanti mereka akan kembali membicarakan perihal pernikahan.
"Kenapa bukan Tania aja sih yang membantu Mbak Vania? Kenapa harus aku yang terus-terusan dipaksa?" Entah keberanian darimana Kanaya akhirnya berani untuk bersuara.
"Apa kamu bilang?" Helga yang tadinya ingin beranjak pergi pun mengurungkan. "Kamu tanya kenapa bukan Tania?"
"Kan Mbak Vania butuh adik madu untuk memberinya seorang anak. Lalu kenapa bukan Tania saja yang merupakan adik kandungnya? Aku yakin dia juga bisa kok memberi Mbak Vania seorang anak."
Plak!!!
Sebuah tamparan yang keras mendarat begitu saja di pipi kanan Kanaya. Terdengar hembusan napas yang keluar dari mulut Helga.
"Mulai lancang kamu ya!" Jari telunjuk Helga mengacung tepat di wajah Kanaya yang sedang menatapnya tak percaya dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu ini sudah hidup gratis di rumah ini. Sudah seharusnya membayar hutang budi, bukan malah bersikap seenaknya dan memberontak seperti ini."
"Memang ya, buah itu tak jatuh jauh dari pohonnya. Melihatmu sekarang ini, membuatku ingat dengan sikap ibumu yang menjijikkan itu! Sudah dibantu malah tak tahu malu." Helga benar-benar muak melihat wajah Kanaya.
"Aku tahu kalau tante tak suka denganku. Tapi jangan pernah berani menyeret nama ibu dan menjelek-jelekkannya. Cukup aku saja." Kedua tangan Kanaya mengepal erat menahan amarah.
Helga tertawa meledek mendengarnya. "Menjelek-jelekkannya katamu? Tanpa aku menjelek-jelekkannya pun, dia memang sudah jelek sifatnya. Asal kamu tahu, dia itu sudah aku bantu tapi malah berani menusukku dengan selingkuh dengan suamiku!"
Mata Kanaya terbelalak lebar hingga kedua pupil matanya bergetar. "A-apa maksud dari ucapan tante?"
Sakit bagi Helga jika harus mengingat kembali masa lalunya yang begitu pahit. Sekuat tenaga Helga menahan air matanya di depan Kanaya. "Kamu itu adalah hasil dari perselingkuhan ibumu dengan pamanmu alias suamiku sendiri."
"Jangan becanda!" teriak Kanaya tak terima.
"Kalau bukan karena kedua anakku, aku tak akan sudi bertahan dalam pernikahan yang sudah penuh duri dari awalnya."
"Pamanmu itu rupanya sudah berselingkuh lama dengan ibumu sampai ibumu hamil kamu. Ayahmu dan aku bahkan tak mengetahui itu sampai di saat kamu kecelakaan dan kamu membutuhkan donor darah. Golongan darahmu rupanya berbeda dengan ayah dan ibumu. Di saat itulah ayahmu mulai mencari kebenaran yang akhirnya perlahan terkuak kalau kamu adalah anak hasil perselingkuhan istrinya dengan adiknya sendiri."
Lutut Kanaya langsung terasa lemas setelah mendengarnya. Seluruh tubuh Kanaya bergetar hebat. Kesedihan dalam hati yang tadinya dia tahan, kini memuncak seketika hingga air matanya tumpah ruah begitu saja.
Sungguh akhirnya Kanaya mengerti alasan Helga yang selalu bersikap ketus padanya.
"Jika kamu masih tidak memiliki hati. Silahkan tinggal di rumah ini seolah tidak terjadi apa-apa dan melanjutkan hidupmu dengan tenang." Helga melenggang pergi meninggalkan Kanaya yang masih terisak atas kenyataan pahit yang baru saja didengarnya.
Malam sudah tiba. Bahan-bahan sudah tersedia dan Kanaya masih sibuk menyiapkan masakan dengan wajahnya yang sembab dan bengkak.
Sebentar lagi makan malam akan dilaksanakan namun Vania dan suaminya masih belum datang. Berulang kali Kanaya membasuh wajahnya yang membasah oleh air mata. Sakit di hatinya masih terasa hingga dia tak mampu memberhentikan air mata yang terus mengalir ke pipinya.
"Apa kamu masih belum selesai, Nay?" Toni duduk di depan meja makan sambil mencomot tempe goreng yang masih mengeluarkan asap panas di atasnya. Dia melihat punggung Kanaya yang sedikit membungkuk dan memperhatikan sikap Kanaya yang nampak diam saja.
"Kamu kenapa? Sakit ya?" Toni mendatangi Kanaya dan memperhatikan wajahnya yang sembab dari arah samping. "Kamu habis nangis?"
Kanaya yang tadinya sedang menyuci sendok pun memberhentikan kegiatannya. Dia membiarkan Toni melihat wajahnya yang basah oleh air mata.
"Kamu kenapa sih? Masih mikirin soal tadi?" tanya Toni sedikit memaksa. "Gak usah ka-"
"Apa benar kalau aku..." Kata itu terasa tercekat di tenggorokan Kanaya. Dia merasa tak mampu untuk melanjutkannya.
"Apa benar kalau aku adalah anak kandungnya paman?" tanyanya menatap Toni dengan deraian air mata.
Toni terdiam sejenak. Wajahnya mulai mengeras dengan mata yang mulai memerah. "Apa tantemu yang memberitahukan itu?"
Kanaya menganggukkan kepalanya.
Toni memejamkan matanya, berusaha memikirkan jawaban atas situasi yang belum pernah terbayangkan oleh dirinya sebelumnya.
"Kenapa paman tidak menjawab? Aku butuh jawabannya sekarang."
"Ya. Memang benar kalau kamu adalah anak kandungku."
Pengakuan Toni semakin membuat hatinya teriris dan terluka. Kenyataan pahit yang dia dengar kedua kalinya rupanya tak membuat hatinya terbiasa. Begitu bodohnya selama ini dia hidup biasa saja tanpa mengetahui kenyataan gila yang tersimpan selama ini.
"Aku bisa menjelaskan semua ini, Nay." Toni berusaha menenangkan Kanaya yang nampak menderita.
"Kenapa? Kenapa paman menyembunyikannya selama ini? Kalau saja paman memberitahuku yang sebenarnya dari awal, aku tak mungkin mau hidup sebagai benalu di rumah ini."
"Kamu itu anakku, Nay. Bukan benalu, jadi tidak mungkin aku akan membiarkanmu hidup sendirian di luaran sana. Aku mohon tenanglah..." Toni takut jika Kanaya histeris, akan ada yang mendengar pembicaraan mereka. Toni belum siap akan hal itu.
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang sedang selama ini ada hati seorang wanita yang terluka? Wanita itu telah hidup bersama dengan seorang anak dari selingkuhan suaminya. Entah sudah seberapa dalam luka yang didapatnya. Apa paman tak pernah memikirkan itu?"
Pertanyaan dari Kanaya seperti menusuk relung hati Toni yang terdalam. Memang selama ini dia merasa bersalah dengan istrinya, Helga. Namun dia sendiri tak pernah membayangkan akan mendengar pertanyaan itu dari mulut putrinya sendiri.
Lidah Toni terasa kelu untuk menjawabnya. Dia sendiri tak tahu jawaban apa yang akan dia keluarkan jika persoalan yang menyangkut tentang istrinya itu. Di sisi lain, dia sendiri masih menyimpan rasa cinta pada ibunya Kanaya namun dia juga tak dapat melepaskan Helga.
Saat keheningan yang cukup lama terjadi di dalam dapur, terdengar suara berisik dari arah luar yang semakin lama semakin mendekat.
"Tadi ibu udah masakin kalian banyak makanan lho." Suara Helga terdengar riang dari arah luar dan diiringi oleh suara Vania beserta Tania.
"Sebaiknya kamu ke kamar dulu dan membasuh wajahmu yang sembab," saran Toni pada Kanaya.
"Aku berharap kamu tidak membuat keributan dengan fakta yang baru saja kamu dengar," ujar Toni dengan penuh harap.
Kanaya tersenyum pahit mendengarnya. Tidak membuat keributan katanya, batinnya sungguh sakit diwanti-wanti seperti itu oleh Toni.
***
Seperti yang diharapkan oleh Toni, Kanaya tadi pergi dari dapur melewati pintu yang mengarah keluar. Kanaya membasuh wajah dan memoles sedikit makeup untuk menutupi wajahnya yang sembab dan sedikit pucat.
Dan di sinilah sekarang. Kanaya sudah duduk diantara yang lain sedang menikmati hidangan makan malam seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia lebih banyak menundukkan kepalanya menatap piring yang masih penuh dengan nasi dan lauk. Pikirannya masih kalut tentang fakta-fakta menyakitkan tadi hingga tak terlalu mendengar pembicaraan yang terjadi di sekitarnya.
"Aku sudah bilang, jangan memaksanya untuk mau menjadi adik madumu, Van!" Tiba-tiba suara Toni yang keras membuyarkan lamunan panjang Kanaya.
"Kenapa tiba-tiba papa malah seperti marah terhadapku? Aku hanya meminta bantuannya secara baik-baik." Vania mulai berkaca-kaca. Wanita itu memang lemah jika ada yang membentaknya dengan nada yang tinggi seperti yang dilakukan oleh Toni barusan.
Adnan, sang suami pun mulai mengelus bahu Vania untuk menenangkannya.
Perasaan Kanaya mulai merasa tidak karuan. Ucapan Toni padanya terakhir kali tadi terus terngiang-ngiang dalam benaknya. 'Jangan membuat keributan!'
"Sebenarnya aku ini anak papa apa bukan sih?" gumam Vania yang tentu saja didengar oleh banyak orang.
"Iya nih, papa dari dulu selalu bela Kanaya. Aku curiga deh apa jangan-jangan..." Tania tak mampu meneruskan bicaranya, dia hanya menatap tak suka pada Kanaya yang masih menundukkan kepalanya.
"Puas kamu, Mas? Demi membela dia, kamu sudah menyakiti kedua anakmu." Helga geram melihat kelakuan Toni yang selalu membela Kanaya.
Kanaya memejamkan mata, kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Berbagai percakapan antara dirinya dengan Helga dan Toni pun terus berputar-putar dalam pikirannya. "Aku akan menerimanya."
Semua pandangan mengarah pada Kanaya.
Kedua mata Kanaya terbuka dan dia mendongakkan kepalanya, menatap tajam pada Toni yang berada di seberangnya. "Aku setuju untuk jadi istri kedua."
Toni mengeratkan giginya erat, berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Ingin rasanya dia menahan keputusan Kanaya namun dia masih tetap ingin mempertahankan rumah tangganya.
"Serius, Nay?" Vania menatap Kanaya tak percaya.
"Serius kok, Mbak. Mbak mau aku menikah kapan? Besok? Lusa? Atau... nanti malam?" Kanaya tersenyum manis menatap Vania.
Vania tertawa lirih. "Gak nanti malam juga kali, Nay. Nanti aku akan atur waktunya secepat mungkin deh. Terima kasih ya."
"Seharusnya aku yang berterima kasih. Hutang budiku akan terbayar lunas kan kalau aku menolong keluarga ini?" Kali ini Kanaya menatap Helga yang wajahnya sudah memerah dengan mata tajamnya.
"Baguslah kalau kamu mengerti. Beban keluarga ini akan berkurang kalau kamu keluar dari rumah ini." Kedua tangan Tania melipat kedua tangannya di depan dada, menatap remeh pada Kanaya. Sifatnya memang sebelas dua belas seperti ibunya.
"Terima kasih, Tania. Pastikan setelah aku keluar dari rumah ini, kamu tidak akan menjadi target babu yang selanjutnya."
"Naya!" bentak Toni. Dia sudah tak bisa menahan Kanaya yang saat ini sikapnya seperti tak biasanya.
Kanaya langsung berdiri dan menatap tajam pada semua orang. "Mbak Vania, aku ingin menikah dengan suamimu besok. Jika tidak, aku akan berubah pikiran dan menolak tawaran darimu."
Setelah meratapi nasib yang berujung tak dapat tidur malam secara benar. Kanaya keluar dari kamarnya di siang hari dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Meski begitu, dia tak lupa untuk tetap memperhatikan penampilan agar dia tak mudah diremehkan.
Tadi malam, dia sudah bertekad untuk merubah diri agar dia tidak lemah. Kanaya sudah merancang apa-apa saja yang bisa dia lakukan agar masa depannya masih bisa terselamatkan. Usianya masih muda, dia tak mau terjebak selamanya di dalam rumah tangga orang. Kelak dia ingin menggapai impiannya yang sudah terkubur lama dan mencari cinta sejatinya sendiri di masa depan.
Jadi, Kanaya sudah membuat surat perjanjian untuk menyelamatkan masa depannya itu. Dengan berbekal secarik kertas yang sudah lengkap berisi keinginannya, Kanaya menyodorkan kertas tersebut di atas meja ruang tamu yang dimana di situ sudah ada Vania dan Adnan.
"Apa ini?" tanya Vania setelah meraih kertas tersebut.
"Surat perjanjian? Kamu menginginkan perjanjian dari pernikahan ini?" tanyanya lagi.
"Iya. Keinginanku hanya sederhana, jika aku sudah berhasil memberikan kalian seorang anak nanti. Aku ingin cerai dan kalian harus memberiku uang untuk kuliah dan bertahan hidup sampai aku lulus." Kanaya menatap serius pada wajah-wajah yang nantinya akan menghiasi hari-hari kedepannya.
"Hanya itu?"
Kanaya mengangguk pelan.
"Jika hanya itu keinginanmu, aku bisa kok menyanggupinya. Aku malah bersyukur jika kamu malah membuatnya menjadi mudah." Vania mencari sesuatu di sekitar meja. "Dimana bolpoinnya? Dimana juga aku harus tanda tangan?"
"Sayang... kenapa kamu selalu bertindak tanpa meminta saranku terlebih dahulu?" Adnan mencoba mencegah Vania yang hendak mengambil sebuah bolpoin.
Sedari awal, Adnan sudah mencoba diam dengan kelakuan istrinya yang menurutnya di luar nalar. Adnan sudah berulangkali menolak keinginan Vania namun demi wanita yang dia cintai itu, Adnan akhirnya mengalah dan menyerahkan semua urusan pada Vania.
Tapi Adnan tak mengetahui jika akan ada surat perjanjian yang dia sendiri tak tahu apa isinya.
"Tenanglah, Sayang. Isi surat ini sesuai dengan apa yang diucapkan Kanaya."
Adnan menyipitkan mata menatap Kanaya. Dia mencurigai segala hal yang diperbuatnya termasuk isi perjanjian itu. Padahal, awalnya Kanaya menolak dengan pernikahan ini. Namun tiba-tiba saja dia menyetujui namun dengan persyaratan yang tertulis.
"Aku sudah tanda tangan. Oh iya, bagaimana kalau pernikahannya dilaksanakan besok. Aku dan mas Adnan sudah menyiapkan segalanya. Kamu tinggal menyiapkan diri saja," ujar Vania dengan antusias.
Kanaya seperti tak habis pikir melihat sikap Vania yang terlampaui senang. Bukankah wanita normal akan sedih dan sakit hati jika harus berbagi suami?
"Tunggu sebentar, aku harus mencocokkan cincin yang baru saja aku beli ke jari manismu nanti." Vania bergegas pergi untuk mencari cincin emas yang masih berada di dalam mobil.
Setelah kepergian Vania, hanya ada kecanggungan yang terjadi antara Adnan dengan Kanaya.
Kanaya tak terlalu mengenal Adnan sebelumnya. Bahkan Kanaya tak mengingat apakah dia pernah terlibat percakapan sebelumnya dengan pria bermata elang itu.
"Apa motifmu yang sebenarnya?" Suara bariton yang rendah cukup membuat Kanaya sedikit terkejut
"Motif? Aku tidak ada motif apapun."
"Jika dari awal kau sudah menolak, kenapa sekarang malah menyetujui pernikahan ini? Apa memang kau suka menjadi yang kedua?" Tak ada basa-basi dari yang diutarakan Adnan. Dia bukanlah tipe orang yang suka bertele-tele.
Kanaya menarik salah satu sudut bibirnya. "Memangnya kenapa jadi orang yang kedua? Aku pikir, menjadi orang kedua bukanlah sebuah dosa yang besar. Apalagi istrimu sendiri yang memintanya."
Baru Adnan ketahui jika Kanaya adalah wanita yang berani dan percaya diri. Selama ini, Adnan tak pernah menyapa apalagi bertatap muka dengannya. Gadis itu selalu menundukkan kepalanya meski ada orang disekitarnya. Seolah gadis itu pemalu dan memiliki dunianya sendiri. Namun apa yang Adnan lihat kali ini sangatlah berbeda. Ada yang menarik dari sorot matanya yang berwarna kecokelatan.
"Yakin?" Adnan mencondongkan kepalanya mendekat ke arah Kanaya yang duduk diseberang. "Bukan karena ingin balas dendam pada ayah kandungmu yang sebenarnya itu?" bisiknya.
Saraf tubuh Kanaya langsung menegang. Hilang sudah senyum palsu yang selalu dipasangnya. "Kau... tahu sampai mana?"
"Aku tahu semuanya saat malam itu." Adnan kembali menyenderkan punggung ke sandaran kursinya dan menaruh kaki kanan di atas kaki kirinya. "Aku tak akan membuatmu sulit kalau kau berjanji tidak membeberkan fakta itu pada Vania. Kau tahu kan, dia itu punya penyakit jantung. Akan fatal kalau kau memberitahukan itu padanya nanti. Dia itu hanyalah wanita yang polos dan lemah. Jangan sampai dia sakit karena perasaan pribadimu itu!"
Kanaya mengeratkan gigi-giginya. Dia merutuki kecerobohannya saat berbincang serius dengan Toni kemarin malam. Seharusnya dia bertanya hal itu di tempat yang sepi dan aman. Bukan malah berada di dapur dan akhirnya diketahui oleh orang luar seperti Adnan.
"Ini dia cincinnya." Vania datang dengan menyodorkan cincin di atas meja. Napasnya terdengar terengah-engah saat sudah duduk di atas kursi. "Huft!"
Adnan menyingkap anak rambut yang menutupi dahi istrinya. Tatapannya begitu lembut sekaligus khawatir dengan wajah Vania yang terlihat pucat. "Kamu terlihat capek. Apa sebaiknya kita langsung pulang saja?"
Vania menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak. Aku masih kuat. Lagipula, masih ada banyak hal yang harus aku urus untuk pernikahanmu besok."
Adnan masih tak habis pikir dengan sikap Vania. "Kenapa kamu malah terlihat antusias? Padahal aku akan menikah dengan wanita lain lho..."
Vania tertawa kecil mendengarnya. "Iya ya, aku sendiri juga gak ngerti kenapa aku malah jadi antusias. Emm... mungkin karena sebentar lagi impian kita akan segera terwujud?"
Mendengar itu, Adnan merapatkan tubuh Vania dan memeluknya erat. "Percayalah... sebenarnya meski tanpa ada seorang anak pun, aku masih tetap akan mencintaimu, Sayang."
"Aku tahu, tapi aku masih tetap ingin setidaknya kamu memiliki keturunan, meski itu bukan lahir dari rahimku sendiri." Vania membenamkan wajahnya di dada Adnan, menyembunyikan kedua matanya yang mulai membasah.
Vania sangat mencintai Adnan hingga dia merasa bersalah karena tak dapat memberikannya seorang keturunan. Jika bukan karena penyakitnya, mungkin dia sudah melahirkan satu atau dua anak mengingat usia pernikahannya yang sudah berjalan lebih dari tujuh tahun.
Karena cinta itulah dia mengorbankan perasaannya agar Adnan bisa memiliki anak dari darah dagingnya sendiri. Vania juga ingin jika wanita yang akan memberikan Adnan seorang anak masih ada garis keturunan darinya. Selain itu, Vania ingin anak tersebut lahir dari pernikahan yang sah. Oleh karena itu dia bersikeras agar Adnan mau menikahi Kanaya.
Tanpa mereka berdua sadari, sedari tadi ada Kanaya yang tengah memperhatikan mereka berdua. Dia menatap lelah pada kedua insan yang sedang saling memberi kasih dan perhatian seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
'Apa aku akan melihat pemandangan yang seperti ini untuk seterusnya nanti?' batinnya sedikit kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!