NovelToon NovelToon

The Promise

Bab 1. Awal mula

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi King masih terbaring telentang dengan mata setengah terpejam dan mulut meracau tak keruan. Ia habis minum-minum bersama rekannya dan kembali dalam keadaan mabuk. Lusa waktunya ia dan semua rekannya yang bertugas di tempat itu akan kembali pulang, jadi malam itu King gunakan sisa waktunya di sana untuk sedikit bersenang-senang. Sementara di depannya, Joe rekannya yang lain yang tidak ikut dalam acaranya itu tengah duduk tegak di bangku kosong sembari mengucek mata, berusaha menahan kantuknya karena hingga saat sekarang King belum juga bangun dan beranjak dari tempat tidurnya.

“Ayolah, King. Ini sudah hampir pagi, Kau harus segera kembali ke kamarmu sendiri. Aku juga butuh istirahat.” Joe berdiri lalu membungkukkan setengah badannya, mengulurkan tangan untuk membantu menarik lengan King agar bangun dari tempatnya. Tapi tubuh besar King terlalu berat dan sama sekali tak bergerak sedikit pun.

“No no no!” King menggoyang-goyangkan satu jemarinya di depan hidung, bibirnya menyunggingkan senyum malas. “Aku nyaman di sini, bagaimana kalau Kau saja yang pergi.”

Setengah sadar, King merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci kamarnya. Ia lempar asal hingga jatuh ke lantai. Joe mendecak sebal lalu memungut benda itu, diiringi tawa kecil King. Kamar King berada di barak bagian atas, dan Joe harus berjalan melewati beberapa tangga panjang untuk menuju ke sana.

“Baiklah, untuk kali ini saja Aku akan tidur di kamarmu.” Joe mengalah. Ia menyambar jaketnya yang tergantung di belakang pintu dan memakainya langsung, lalu balik badan dan berjalan menuju lemari. Mengambil sesuatu dari dalam sana dan menyimpannya baik-baik dalam saku jaketnya.

King membuka mata, melirik sekilas dan menertawakan sikap Joe padanya. Ia sangat tahu apa yang dibawa rekannya itu. Selembar foto usang seseorang, ia bahkan tak berminat untuk melihatnya apalagi mengambilnya meski Joe kerap berusaha menyembunyikan foto itu darinya. “Kenapa Kau terus membawanya bersamamu. Percayalah, Aku tidak pernah tertarik untuk memilikinya.”

Joe diam sejenak, lalu balas menoleh dan menatap King lama. “Karena dia begitu berharga untukku, satu-satunya alasanku bertahan hidup hingga saat ini.” Ujar Joe sebelum berlalu dari hadapan King. "Selamat malam, King."

“Malam juga, Joe. Mimpi indah bersamanya,” balas King sambil tertawa tak jelas. “Dan jangan lupa matikan lampunya!”

Joe mendengkus sebal, meski begitu ia turuti perintah King padanya. Sebelum pergi ia matikan lampu dalam kamarnya itu dan hanya menyisakan cahaya remang yang berasal dari luar kaca jendela. Malam itu mereka berdua bertukar tempat tidur. King terlelap begitu cepat dan terbangun beberapa jam kemudian saat sesuatu dalam dirinya mendesak ingin keluar.

King berjalan sempoyongan dan membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Di ambang pintu ia berhenti sejenak untuk sekedar menghentikan rasa pening yang kini menyerang kepalanya. Ia menggoyangkan kepalanya, lalu cuping telinganya yang terlatih me negak secara tiba-tiba. Samar-samar didengarnya suara mencurigakan dari arah samping rumah. King menoleh cepat. Matanya memindai sekitarnya, lalu sebuah bayangan bergerak cepat melintas di sana.

Waspada! Itu yang sedang dilakukannya kini. Meski dalam keadaan setengah mabuk, King bisa merasakan bahaya sedang mengintainya. Suasana sepi memudahkannya untuk mendengar lebih jelas suara-suara yang bergerak di dekatnya.

Meongg!

Rrrrhhh!

King refleks menarik kakinya saat merasakan sesuatu yang berbulu melintas begitu cepat di dekat kakinya, dan ia baru menyadari kalau ujung sepatunya tadi tanpa sengaja telah mengenai kucing hitam yang berlari kencang dan menghantam drum sampah di sudut rumah.

“Ups!” ujarnya seraya menatap kucing hitam itu, yang menatapnya nyalang dengan ekornya yang tegak. “Hush! Pergi sana,” usir King sambil mengentakkan kakinya, hingga kucing itu berlari dan menghilang di kerimbunan tanaman di bawah sana.

“Baiklah, sepertinya hanya kucing hitam yang sedang mencari makan!” Menunggu hingga beberapa saat, King harus tetap siaga dan menahan diri, namun suasana terlihat aman dan tak ada sesuatu yang terjadi setelahnya. King pun memutuskan untuk segera beranjak menuju kamar mandi yang terletak di bagian paling ujung barak yang ditempatinya.

Bummm!

Duaarr!

Hanya selang beberapa menit, King yang baru saja keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke kamarnya lagi, secara tiba-tiba tubuhnya terlempar dan tersungkur jatuh hingga menyentuh tanah di bawahnya dengan begitu keras. Ia meringis merasakan nyeri hebat pada lengan juga punggungnya. King berusaha bangun, meraba pelipisnya yang berdarah. Sudut bibirnya yang terluka menimbulkan rasa asin di mulutnya.

King mengangkat tangan melindungi wajahnya ketika terdengar suara ledakan berikutnya. Ia kembali jatuh dan terhempas hingga menabrak pagar kayu di belakangnya. “Apa yang sedang terjadi sebenarnya?”

King mencoba kembali bangun, dan matanya terbelalak menatap pemandangan di depan matanya. “Joe!” teriaknya lantang setelah mengingat sesuatu. Tubuhnya gemetar menyadari kalau sahabatnya itu sedang tertidur di kamarnya yang berada di barak atas, di mana sebagian bangunan di sana sudah dilalap api.

Bunyi ledakan nyaring berikutnya disertai kobaran api yang menyembur tinggi dan seketika meluluh lantakkan beberapa bangunan di sekitarnya. Kaca dinding rumah pecah berhamburan, suara logam beradu menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Jerit kesakitan disusul tubuh korban yang terbakar dan berusaha keluar menyelamatkan diri seketika jadi pemandangan yang menyayat hati.

“Joe!” teriak King lagi. Ia berlari menuju arah api berasal, dari arah sebelah kanan dan kirinya tampak berhamburan keluar rekan-rekannya yang lain. “Selamatkan diri kalian semua!” teriak seseorang lantang.

Serangan musuh yang datang secara tiba-tiba di pagi hari buta membuat panik semua orang. Beberapa hari belakangan suasana tampak aman, setelah pasukan berhasil memukul mundur para perusuh bersenjata itu hingga lari dan bersembunyi di hutan. Tak mengira kalau musuh akan datang dan kembali menyerang, melumpuhkan para penjaga di barisan depan dan membakar kamp tempat tinggal mereka.

King berhasil mencapai kamarnya, ia mendobrak pintu yang terkunci dan mendapati Joe hampir tak sadarkan diri. Api membakar hampir seluruh bangunan, beberapa tiang jatuh dan hampir mengenai mereka. Beruntung King sempat menghindar hingga tak mengenai tubuhnya. King membantu Joe berdiri dan memapahnya keluar, tapi tubuh sahabatnya itu tampak begitu lemah dan malah terjatuh di dekat kakinya.

“Naik ke punggungku, sekarang. Aku akan menggendongmu. Cepat!” teriak King gusar, ia berjongkok dengan menekuk satu kaki di depan Joe.

“King ...”

Joe memegangi dada kirinya, wajahnya tampak pucat. Napasnya tersengal menahan sakit, dan King baru menyadari rekannya itu terluka di bagian dadanya. Darah merembes keluar dari luka yang terbuka itu, luka tembak yang didapat Joe dari jarak cukup dekat saat berhadapan dengan musuh.

“Tolong, bertahan sebentar lagi, Joe.” King menggendong tubuh rekan sekaligus sahabatnya yang terluka itu, membawanya menjauh untuk menyelamatkan diri. “Aku akan segera membawamu keluar dari tempat ini.”

Asap putih tebal membumbung tinggi di atas sana, desing peluru melintas dekat sekali di atas kepala mereka. King berlari menggendong Joe di punggungnya.

“Aku sudah tidak tahan lagi ...”

“Aku mohon, bertahanlah.” King menggertakkan giginya, ia menerobos kepungan api dan berhasil meloloskan diri. Sayang kakinya tergelincir saat akan melewati hutan, mereka jatuh ke jurang dan Joe langsung tak sadarkan diri.

“Joe! Bangun, sadarlah kawan!” King menepuk pipi Joe, tanpa terasa sudut matanya berair. Baju di bagian depan Joe sudah penuh dengan darah, demikian pula dengan bagian punggung King sendiri. King menekan luka di bagian dada Joe untuk menghentikan darah yang terus mengalir keluar, dan berulang kali pula ia berusaha menyadarkan Joe agar membuka matanya. “Joe, bangun! Bertahanlah kawan!”

Mata itu bergerak perlahan, mengerjap lemah sebelum terbuka sepenuhnya. Bibir pucat Joe tersenyum, sebelah tangannya yang lemah bergerak menangkup tangan King yang berada di atas dadanya.

“Kita akan pergi dari tempat ini, kita akan pulang dan kembali ke rumah. Kau harus tetap bertahan, Joe.” Ucap King dengan suara tertahan.

Lelaki bertubuh besar itu menangis, tak tahan melihat Joe sahabatnya tampak kesulitan bernapas. Joe seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya, ia mencengkeram baju King dengan sisa tenaganya yang masih ada. “Men-dekatlah, King. Aku ingin bicara sesuatu padamu ...”

King mendekatkan telinganya di bibir Joe. “Katakan padaku, kawan. Aku akan melakukannya untukmu.”

Tangan Joe merogoh saku bajunya, mengeluarkan sebuah foto usang dan memberikannya pada King dengan jemari bergetar. Mulutnya terbatuk kecil dan mengeluarkan darah segar. Suaranya terbata-bata saat bicara pada King. Matanya berkabut dan bulir bening mengalir di pipinya. Hingga di akhir ucapannya, Joe meminta King berjanji padanya. “Hanya Kau yang Aku percaya saat ini. Berjanjilah untukku, hanya dia satu-satunya ...”

Suara Joe semakin melemah, King mengangguk sebagai jawaban. Tangannya menggenggam erat foto yang diberikan Joe padanya. “Aku berjanji padamu. Aku akan melakukannya seperti apa yang Kau minta.”

“Terima kasih, King. Aku percayakan dia padamu.” Tangan Joe yang mencengkeram bajunya itu perlahan mengendur sebelum akhirnya jatuh terkulai di sisi tubuhnya.

“Joe!” King menggoyang tubuh sahabatnya itu, tapi mata Joe terpejam rapat dan bibirnya tampak tersenyum meski matanya terlihat basah. “Joe!”

Suara teriakan panjang King menggema, lalu tak lama kemudian tubuhnya pun terkulai jatuh tak sadarkan diri masih dengan tangan memeluk erat tubuh Joe yang sudah tak bernyawa lagi. Angin kencang berpusar di sekitarnya, King masih tak sadarkan diri ketika helikopter penolong turun dan menyelamatkan dirinya lalu membawanya pergi dari tempat itu.

☆☆☆

Bab 2. Pertemuan pertama

“Mika, ada yang mencarimu!”

Mika yang tengah merapikan buku-buku menggambar murid-muridnya langsung menghentikan gerakannya. Ia menoleh cepat ke arah pintu di sampingnya dan bibirnya langsung mencebik melihat Dita sahabatnya sesama pengajar di playgroup Mayapada itu berdiri menyembulkan kepala di balik pintu seraya mengedipkan sebelah mata dan tersenyum tak jelas padanya.

“Siapa?”

“Emm, siapa ya? Aku juga baru pertama kali melihatnya, sepertinya dia bukan warga sini.” Dita mengetukkan jari tangan ke bibir dengan mata mengarah ke atas seperti berpikir. “Nah, itu dia! Laki-laki itu belum mengenalkan namanya tadi. Tapi dia bilang ...”

“Ya, sudah. Katakan saja padanya kalau sekarang Aku sedang sibuk,” sahut Mika acuh dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Merapikan meja kerjanya, mengabaikan Dita yang masih berdiri menunggunya.

Sebagai tenaga pengajar baru di playgroup Mayapada, wajah Mika yang cantik juga sikapnya yang sedikit cuek menjadi magnet tersendiri untuk mereka yang ingin kenal lebih dekat dengannya. Terutama kaum pria. Bukan kali ini saja ada tamu laki-laki yang datang sekedar ingin bertemu dan berkenalan dengannya dan mengaku sebagai om atau keluarga muridnya.

“Hei, Aku belum selesai bicara!” tukas Dita, ia berjalan masuk dan menghampiri Mika di mejanya. Duduk di tepi meja dan mengawasi setiap gerak-gerik sahabatnya itu.

“Katakan saja pada tamu pria itu, temui lagi Aku besok. Sekarang Aku sedang ada urusan,” sahut Mika sambil meraih blazer yang ia sampirkan di belakang tempat duduknya dan memakainya.

Sudah hampir jam dua belas siang, semua muridnya sudah pulang dan pekerjaannya kini sudah ia selesaikan. Ia pun harus segera pulang, Jam dua siang nanti ia ada janji bertemu dengan seseorang, salah satu agen properti yang akan membantunya mencarikan rumah tinggal baru untuknya.

“Kali ini Kau akan menyesal jika tak segera menemuinya,” ujar Dita lagi, lalu menarik lengan Mika agar menghadap ke arahnya. Ia abaikan protes yang keluar dari mulut sahabatnya itu dan melihat ke dalam manik matanya, lalu menghela napas sejenak sebelum melanjutkan bicara. “Dia mengaku sebagai sahabat Joe, dan ingin sekali bertemu denganmu.”

Seketika raut wajah Mika berubah, mendengar nama Joe disebutkan tak ayal kesedihan tampak membayang jelas di wajah cantiknya. Mengingat Joe membuat matanya kembali berembun. Belum genap sebulan kakak lelaki satu-satunya itu pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

“Mika, dia menunggumu di ruang guru,” ucap Dita mengingatkan, perlahan tangannya mengusap lengan Mika. Ia tahu sekali apa yang ada dalam pikiran sahabatnya itu saat ini, bangkit dari rasa terpuruk karena kehilangan sandaran dalam hidupnya selama ini pastilah sangat tidak mudah dilakukan. Ia pun ikut merasakan kesedihan yang dialami Mika.

“Ah, mengganggu saja. Apa dia tidak tahu bagaimana sibuknya kita akhir-akhir ini?” Mika berucap lirih, berusaha tersenyum meski sudut matanya basah dan menitikkan air mata. “Aku akan menemuinya sekarang,” ujar Mika kemudian setelah mengusap sudut matanya dengan ujung jarinya, lalu melangkah keluar untuk menemui tamunya.

☆☆☆

Tiga hari lamanya King tak sadarkan diri, ia dirawat di sebuah rumah sakit kota setempat bersama rekan-rekannya yang juga terluka. Selama itu pula dokter dan perawat terus berjaga sepanjang waktu untuk membuatnya sadar dan kembali. Jasad Joe sudah dibawa pulang ke rumah keluarga dan segera dimakamkan dengan upacara militer.

Hari keempat King mulai sadar, dan secara perlahan memorinya kembali mengingat dengan jelas peristiwa yang ia alami. Saat teringat Joe, King tak dapat menahan air matanya. King mengamuk hingga harus ditenangkan oleh dokter dengan memberinya obat penenang.

Dua minggu lamanya King harus menjalani perawatan, kesehatan dirinya berangsur-angsur membaik. Pemulihannya pun berlangsung cepat, tak ada luka serius di tubuhnya. Hanya menyisakan lebam kebiruan yang mulai tampak samar di sekitar lengan dan punggungnya saja.

Tapi bayangan kematian Joe dalam pelukannya tak bisa ia hapus begitu saja, setiap malam tidur King gelisah dan selalu teringat pada peristiwa itu. Ia menyesali sikapnya malam itu hingga mereka berdua harus bertukar tempat tidur, dan peristiwa naas itu terjadi beberapa jam setelahnya. Joe yang terbangun dari tempat tidur dan terkejut saat musuh tiba-tiba saja datang menyerang dan melesakkan senjata secara membabi-buta hingga peluru itu bersarang dan menembus dada kirinya.

Setiap kali mengingat peristiwa itu, King akan selalu menatap foto usang milik Joe yang kini tersimpan di dalam dompetnya. “Tolong ampuni Aku, Tuhan.” Bisiknya dalam hati sambil menengadahkan wajahnya menatap langit-langit ruangan tempatnya berada kini.

Hal pertama yang dilakukannya setelah keluar dari rumah sakit adalah pergi mencari keberadaan wanita dalam foto itu, dan ia memutuskan untuk mengakhiri kariernya sebagai seorang anggota marinir. Kehilangan sahabat cukup membuatnya trauma, dan itu terus saja menghantuinya hingga kini.

“Selamat siang.”

Suara halus di dekatnya itu seketika menyadarkan King dari lamunan panjangnya, ia menoleh dan tertegun menatap wanita muda yang kini berdiri tak jauh darinya itu. Pandangan keduanya bertemu. Selama beberapa detik keheningan tercipta di antara mereka, King terpaku di tempatnya. Tenggorokannya seolah tercekat, tak mampu bersuara meski untuk sekedar membalas sapaan wanita di depannya itu.

Hal yang sama dirasakan Mika, jantungnya berdegup keras. Dalam jarak dekat dan untuk pertama kalinya dapat melihat langsung wajah rupawan sahabat kakak lelakinya itu. Ia mengusap keringat di telapak tangannya dengan selembar tisu yang sudah menggumpal dalam genggamannya.

“Aku Mika,” ujar Mika setelah berhasil meredakan debur jantungnya dan lebih dulu menguasai keadaan, ia mengulurkan tangan untuk mengenalkan diri.

“King Haqqi,” sahut King mengulas senyum sembari berdiri menyambut uluran tangan Mika. “Maafkan sikapku barusan. Aku terlalu terkejut karena tak mengira kalau adik sahabatku Joe secantik ini,” lanjut King terus terang, sontak saja ucapannya itu membuat pipi Mika seketika merona.

Lelaki di depannya itu memiliki perawakan tinggi besar, di atas rata-rata laki-laki pada umumnya. Mika bisa mengukur tubuhnya hanya setinggi dada King saat saling berhadapan tadi. Alis matanya tebal, bibir penuh dan kumis tipis menghias di atasnya. Hidung mancung dan rambut ikalnya tercukur pendek dan rapi.

Menyadari sikapnya yang seolah sedang menilai King, cepat-cepat Mika menarik tangannya yang masih berada dalam genggaman tangan lelaki itu, sambil mencoba mengatasi perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelinap masuk dalam hatinya. Ia lalu duduk di salah satu kursi, dan King pun melakukan hal yang sama.

Mika menarik ke atas rok selutut yang dipakainya dan merapatkan kakinya. Gerakannya tampak canggung karena mata King yang terus menatap ke arahnya. “Oh, ya. Ada keperluan apa Tuan datang ke tempat ini?” tanya Mika, mengabaikan ucapan King tadi.

Ditodong langsung dengan pertanyaan seperti itu membuat King sedikit kelabakan. Ia menghela napas sejenak dan mengembuskannya perlahan. Ia tatap sekali lagi wajah cantik di hadapannya itu sebelum merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan selembar foto usang dari dalam dompetnya. Sekelebat bayangan masa lalu melintas dalam ingatannya.

“Kau tahu, kenapa Aku selalu menyimpan foto ini dan menyembunyikannya darimu. Karena Aku tahu, saat Kau melihatnya Kau akan jatuh cinta pada adikku Mika. Dan Aku tak menginginkan hal itu terjadi pada adikku. Aku tak ingin ia jatuh ke tangan pria petualang macam dirimu yang tak pernah merasa cukup dengan satu wanita.”

Saat itu mereka berdua sedang duduk bersantai setelah piket malam, King mengajaknya menemui teman wanitanya tapi ditolak Joe. King hanya tertawa menanggapi ucapan sahabatnya waktu itu. Meski ia suka bergonta-ganti pasangan, tapi ia tak pernah melakukan hal di luar batas. Ia masih tahu batasan dan tidak pernah merusak wanita yang dekat dengannya.

“Lihat saja nanti, Kau yang akan datang dan menyerahkan adikmu itu padaku untuk jadi milikku.”

King tertawa keras dan mendapat hadiah tendangan di pinggangnya oleh Joe. Dan sekarang ucapannya itu terbukti, Joe memintanya untuk menjaga Mika layaknya dirinya. Ia pun membenarkan dalam hati ucapan Joe padanya, melihat Mika pertama kali telah membuat dadanya berdesir aneh. Hal yang tak pernah dialaminya saat bersama dengan teman wanitanya yang lain.

“Sebelum kematiannya, Joe memberikan foto ini padaku. Ia ingin Aku menemuimu dan memberikannya padamu.” King meletakkan foto itu ke atas meja, mencoba menebak reaksi Mika setelah melihatnya.

Apa yang dilihatnya selanjutnya sanggup membuat hatinya seperti terkoyak. Wajah Mika berubah pias, matanya melebar dan mulutnya terbuka. Sudut matanya mengembun, dengan jemari bergetar Mika meraih foto itu dan mendekapnya di dada. Sekuat tenaga wanita itu terlihat menahan tangisnya hingga kemudian terdengar suaranya yang bergetar berucap lirih menyebut nama Joe.

☆☆☆

Bab 3. Hujan

Mata Mika mendadak basah. Ia palingkan wajahnya ke arah lain, menghindar dari tatapan tajam mata King yang terus mengawasinya, berusaha menyembunyikan kesedihan yang kini tengah dirasakannya. Digenggamnya erat foto di tangannya itu, foto lama dirinya saat masih berseragam putih abu-abu bersama Joe yang mengenakan seragam marinirnya dan tengah memeluk bahunya. Sedari tadi ia berusaha menahan air matanya hingga dadanya terasa sesak, tapi tetap saja bulir bening itu jatuh dan menetes di pipinya.

Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat, saat itu Mika masih remaja dan Joe sedang dalam masa pendidikan militernya. Kehidupannya seketika berubah drastis. Di usia muda ia dituntut untuk bisa mandiri, melakukan segala sesuatunya sendiri. Hanya Joe satu-satunya saudara yang ia miliki, tapi Mika tidak ingin mengacaukan cita-cita juga karier sang kakak yang sudah jadi impiannya sejak lama. Dan Mika merasa sendirian kini, karena Joe pun telah pergi untuk selamanya.

“Ah, kenapa jadi melow begini, sih?” Mika mengerjapkan mata seraya menengadahkan wajahnya, foto di tangannya itu ia kipas-kipaskan di dekat matanya.

“Maaf, Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. Aku ...” ucapan King menggantung di udara, dan mendadak pandangannya terpaku pada wajah cantik wanita di depannya itu yang mencoba tetap tersenyum dan balas menatapnya.

Bulir bening di pipi Mika tampak berkilauan. Ingin rasanya memeluk tubuh mungil itu dalam dekapannya dan memberinya kata-kata penghiburan seperti yang biasa ia lakukan pada teman wanitanya di saat mereka bersedih. Tapi, pikiran itu segera ia tepis. Mereka baru bertemu dan saling mengenal, tak mungkin melakukan hal itu pada Mika. Bagaimana kalau wanita itu menolak dan malah marah padanya? Oh, No! Ia akan kesulitan mendekati wanita itu lagi.

“Tuan tidak perlu minta maaf. Aku saja yang terlalu terbawa suasana,” ucap Mika seraya menyeka sudut matanya dengan ujung jarinya, ia tampak lebih tenang dari sebelumnya setelah beberapa saat. “Terima kasih sudah mau menyempatkan waktunya datang dan memberikan foto ini kembali padaku.”

“Bukan masalah,” sahut King cepat, merasa lega melihat perubahan sikap Mika. “Lagi pula, Aku sudah berjanji pada Joe untuk datang menemuimu dan memberikan foto itu padamu.”

“Terima kasih,” ucap Mika sekali lagi masih dengan bibir tersenyum.

Hening setelahnya, tak ada yang bersuara. King yang biasanya banyak bicara seperti kehabisan kata-kata saat menghadapi sikap tenang dan tutur lembut Mika. Ia berdeham sejenak untuk mengusir suasana canggung yang tiba-tiba saja tercipta di antara mereka, dan Mika langsung teringat sesuatu.

“Maaf, Aku jadi lupa menyuguhkan minuman untuk Tuan. Sebentar,” ucap Mika bergegas berdiri dan beranjak hendak menuju dapur.

“Kok?” King mengernyit lalu ikutan berdiri, berniat mencegah Mika pergi. “Hei, tidak perlu repot-repot. Lagi pula Aku juga tidak haus.”

“Tuan duduk saja di situ, Aku hanya sebentar kok.” Sahut Mika tanpa menolehkan wajahnya. King hanya bisa menggaruk rambutnya, ia menurut dan duduk kembali di kursinya menunggu wanita itu membawakan minuman untuknya.

Mika melangkah cepat menuju dapur. Baru beberapa langkah, tahu-tahu Dita muncul dari balik pintu membawa nampan di tangan lengkap dengan segelas minuman segar dan stoples makanan ringan. Seketika keningnya berkerut melihat sahabatnya itu belum pulang. “Tumben?”

“Beres kalau sama Aku, mah. Selalu tahu apa yang dibutuhkan sahabatnya,” sahut Dita dengan mimik menggoda, ia serahkan nampan di tangannya pada Mika. “Nih, bawa sana.”

“Nanggung banget!” Balas Mika dengan bibir mengerucut. “Kenapa gak sekalian kasih ke tamunya?”

“Ogah! Tamunya situ, juga.” Dita balas mencebikkan bibirnya. Mika terkekeh, nampan itu pun berpindah tangan. Ia kembali untuk menemui King, dan Dita berjanji untuk menunggunya di sana sampai tamunya itu pulang. Mereka berdua akan pergi menemui agen properti bersama.

Setelah menghabiskan minumnya, King tak segera pergi. Ia sengaja berlama-lama di tempat itu. Seolah mendapat bahan, ia mengajak bicara Mika dan bertanya banyak tentang profesinya sebagai pengajar di playgroup Mayapada. Apa yang melatarbelakangi wanita itu hingga memilih pekerjaannya yang sekarang, karena menurutnya Mika bisa saja mendapatkan pekerjaan lain dengan gaji besar.

“Aku memilih pekerjaan ini karena Aku sangat menyukai anak-anak. Aku juga menyukai pekerjaanku sekarang. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan, Aku sering kali dibuat kerepotan karena harus mengawasi mereka bermain satu persatu. Mereka sangat aktif. Dan menariknya, mereka selalu saja ingin diperhatikan oleh kita gurunya.”

Mika yang pada dasarnya berhati lembut, tak bisa menolak saat tamunya itu bertanya banyak hal padanya. Cara bicara King yang santai dan menyenangkan membuat Mika larut dalam obrolan panjang, hingga ia hampir melupakan janjinya pada seseorang juga Dita yang menunggunya sejak tadi. Ponselnya yang bergetar menyadarkan Mika soal janjinya. Ia melirik arlojinya dan terkejut melihat waktu yang sudah ia habiskan mengobrol bersama King.

“Maaf, sepertinya obrolan kita harus berhenti sampai di sini. Aku harus pergi menemui seseorang,” ujar Mika, ia bangkit dari kursinya dan meringis saat menoleh dan mendapati Dita berdiri menunggunya dengan raut tak sabar di balik pintu ruang guru yang terbuka lebar.

“Aku juga berencana pergi setelah hujan sedikit reda,” sahut King sambil mengarahkan pandangan keluar ruangan. Ia merasa senang sekali bisa berbincang banyak dengan Mika. Permulaan yang bagus menurutnya, sepertinya akan mudah jalannya untuk mendekati Mika dan mewujudkan janjinya pada kakak wanita itu.

“Yaah, hujan. Bagaimana ini?” terlalu asyik mengobrol, Mika tak menyadari hujan yang turun di luar sana. “Cuaca memang sulit diprediksi. Padahal tadi ramalan cuaca hari ini cerah, tapi mendadak hujan gini.”

“Kamu kan tadi di dalam lama, mana liat itu langit mendung gelap dari tadi.” Dita mencebik sambil melirik King yang berdiri tak jauh dari mereka, sedikit kesal karena harus menunggu lama.

“Ya, kan Aku gak tahu.” Balas Mika tak kalah manyun.

“Ya udah, kita pakai jas hujan saja gimana?” sahut Dita lagi seraya menarik lengan Mika untuk segera keluar dari tempat itu, mengabaikan King yang berada di dekat mereka.

“Gak, ah. Deras gitu!” Sergah Mika membayangkan harus mengendarai motornya di bawah guyuran hujan deras, terlalu berisiko.

“Nunggu reda lama, say. Ini hujan bakal awet sampai sore. Lihat langitnya gelap rata gitu.” Dita menunjuk langit.

“Aku telpon lagi aja orang propertinya kali aja mau nunggu,” sahut Mika bersiap menelepon kembali.

“Ekhem!” sontak keduanya menoleh ke asal suara, dan Mika urung menelepon. King tersenyum dan langsung menawarkan solusi. Ia berniat mengantar kedua orang wanita itu dengan mobilnya.

“Gimana?” tanya Dita menyikut lengan Mika, menunggu jawaban. “Udah, terima aja. Dari pada lama.”

Mika tampak ragu, mereka baru saja saling kenal. Rasanya tak elok jika harus merepotkan lelaki itu. Ia menggeleng pada Dita, sebagai isyarat penolakan dan berbisik akan segera menghubungi agen properti yang menunggunya. “Terima kasih, Tuan. Kami tidak ingin merepotkan Tuan. Aku akan menghubungi mereka dan meminta untuk menunggu. Mereka pasti maklum karena cuaca sedang hujan.”

“Aku sama sekali tidak merasa direpotkan,” jawab King.

“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih sekali lagi. Tapi kami akan menunggu hujan reda saja.”

“Kamu yakin? Bagaimana kalau mereka yang tak mau menunggu dan memilih untuk membatalkan pertemuan kalian?”

“Saya yakin sekali mereka akan menunggu. Terima kasih sekali lagi untuk kebaikan hati Tuan,” sahut Mika lagi, ia tak peduli meski Dita berulang kali mencubit gemas lengannya karena bertahan menolak tawaran King.

“Baiklah kalau begitu. Aku pamit sekarang.” Ada ketegangan di wajah King, ia pun melangkah keluar ruangan. Ia terlalu percaya diri kalau Mika akan langsung menerima ajakannya. Sama sekali tak menyangka kalau Mika akan menolaknya.

Tak berapa lama ponsel Mika bergetar lagi, sekilas ia melirik nama yang tertera di sana. Secepatnya Mika mengangkat telepon, berulang kali berucap maaf dan berjanji akan segera datang. Tak lama ia pun menutup sambungan teleponnya dan setengah berlari mengejar King yang belum lama berjalan keluar dari sana.

“Tuan King!” teriak Mika dan langsung menghadang langkah laki-laki itu di depannya. “Apa tawaran Tuan tadi masih berlaku?”

☆☆☆

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!