NovelToon NovelToon

Pernikahan 5 Bulan

Perjodohan

"Aku masih muda, Papah... Tiga puluh tahun itu masih muda. Teman-temanku masih bisa bermain kesana-kemari, sementara aku harus terkurung gitu. Mengurus anak, memasak, iuhhhhh. Aku nggak mau, pokoknya aku nggak mau!"

Telunjuk yang sudah beberapa kali terangkat sejak perdebatan tiga puluh menit lalu dimulai kembali menunjuk wajah dari gadis cantik dengan rambut hitam pekat sepunggung di depannya itu.

Dada Baron naik turun, sosok yang dihadapinya memiliki sifat keras kepala yang sama seperti dirinya. Tapi apa boleh buat, dia harus lebih keras sebab pernikahan itu harus terjadi. Calon menantu yang tampan rupawan dan setara dengan keluarganya, kapan lagi dia bisa didapatkan mengingat usia Amanda yang juga tidak muda lagi.

"Teman kamu yang mana, yang dari luar negri itu. Culture mereka berbeda dengan kita. Di sana tidak ada orang-orang yang akan mencibir perempuan matang yang belum menikah. sementara di sini, teman-teman Papah sudah membicarakan tentang kamu, Manda!"

"Ya, yaudah. Aku tinggal pindah ke luar negri. Semuanya beres kan..."

"Terus siapa yang akan mewarisi perusahaan Papah? Hmmm?"

Amanda menggigit bibir bawahnya. Ucapan apa yang barusan dia lontarkan di saat posisinya adalah sebagai anak tunggal.

"Radewa, dia bisa meneruskan perusahaan Papah. Dia punya background yang sama dengan kita. Kamu juga masih bisa jadi model kalau kamu mau. Papah nggak akan maksa kamu urus perusahaan karena Papah tau otak kamu nggak akan sampai!"

"Sampai, kok. Aku saja yang malas!"

Baron berdecih, menoyor dahi Manda dengan telunjuknya. "Malas saja dipelihara. Kalau bukan Papah yang kerja keras, sudah tinggal di kolong jembatan kamu. Nggak akan juga kamu bisa jadi model, bisa berteman dengan teman-temanmu yang kelewat bebas itu."

"Mau tidak mau, kamu harus setuju. Kalau kamu kekeh dengan pendirian kamu, terpaksa Papah suruh agensi model kamu itu untuk memecat kamu. Kamu harus belajar mengurus perusahaan biar kalau Papah mati, Papah bisa tenang."

"Apasih, Pah, ngomongnya gitu banget."

"Papah sudah tua!"

***

Amanda yang kesal masih terbayang-bayang dengan ucapan Baron tadi siang. Usia yang tidak muda, tapi kan bukan berarti lelaki itu akan pergi secepatnya. Gara-gara ucapan itu, Amanda jadi tidak bisa membantah lagi meskipun dia juga tidak mengiyakan.

Malam ini, terpaksa Amanda mau melakukan pertemuan dengan Radewa, lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Dia telah berhias seadanya dan tengah menunggu lelaki itu menjemputnya.

"Katanya jam tujuh, jam segini aja belum datang. Nggak tepat waktu. Lelaki yang nggak menghargai waktu kok dijadikan mantu!" Amanda ngedumel, di sebelahnya ada Baron dan Santika yang ikut menunggu kedatangan Radewa.

"Baru juga jam tujuh lewat dua menit udah dibilang telat. Keterlaluan kamu. Senyum yang cantik, dia datang." Baron berdiri, ada sorot lampu yang masuk dari jendela. Dia yakin sekali jika yang datang adalah calon menantunya.

Benar, kan, Radewa telah datang. Pakaiannya rapi sekali. Dia juga wangi dan murah senyum.

"Maaf, Om, saya terlambat," ucap Radewa sembari menjabat tangan Baron dan Santika.

"Tidak Dewa, ini masih jam tujuh. Hanya lewat tiga menit. Tidak dihitung sebagai keterlambatan."

"Bisa saja, Om. Jadi ini mau langsung pergi atau mau ngobrol dulu di dalam. Saya terserah Om Baron saja."

"Kalian langsung pergi saja, biar waktu kenalannya lama. kalau di rumah dulu, yang ada kamu bakal diajak mengobrol sama Om Baron," sela Santika.

"Nah iya, benar. Pergi saja sekarang. Hati-hati di jalan."

Radewa mengangguk, membukakan pintu mobil untuk Amanda.

Dengan perawakan tinggi serta wajah tampan, Radewa memang menarik di mata gadis yang telah duduk tenang di bangku sebelah kemudi itu. Tapi ketertarikan itu hanya sekilas karena Amanda memang belum berniat menikah. Dia masih ingin bersenang-senang. Baginya, lelaki hanya akan menjadi penghambat hidupnya saja.

Mobil melaju dengan cepat. Jalanan padat merayap. Amanda dan Radewa saling diam. Mereka fokus pada jalanan di depan tanpa saling menoleh.

"Jangan berharap lebih, saya juga tidak mau dijodohkan."

Celetukan singkat dari Radewa membuat Amanda terkekeh. Sudah diduganya jika sikap Radewa tadi memang tidak murni. Makannya dia juga diam sedari tadi.

"Jangan besar kepala, saya juga tidak sudi!" balas Amanda enggan bersikap lemah lembut.

"Ck, ternyata kamu memang tidak sepolos itu. Baguslah, saya tidak perlu sungkan dalam bersikap."

"Jadi bagaimana, to the point saja." Radewa menepikan mobilnya. Di salah satu jalan kecil yang sepi kendaraan.

"Terserah, yang jelas saya tidak mau menikah dengan anda!"

"Calm, girl. Saya pun sama. Tapi ... saya juga tidak mungkin menghindari perjodohan ini. Jadi kita harus tetap menikah."

"What!!"

"Dengan perjanjian." Radewa menaikkan satu alisnya.

"Perjanjian apa, kalau enggak menguntungkan buat saya, saya nggak mau!"

"Harus mau, bukannya Papah kamu akan terus memaksa."

"Sialan!" Amanda merutuk dalam hati. Papahnya pastilah sudah berbincang-bincang dengan Radewa. Banyak hal penting yang mungkin saja sudah dibicarakan melihat bagaimana mereka yang terlihat akrab tadi.

"Sudah saya bilang, tenang. Lagi pula perjanjian ini juga tidak akan merugikan kamu. Saya juga dipaksa oleh Omah saya."

"Jadi apa perjanjiannya. Bertele-tele!"

Radewa mengukir smirk. Dia mulai paham sifat dari gadis di sebelahnya itu. "Kita tetap menikah, setelah lima bulan kita bercerai. Bilang saja kalau tidak ada kecocokan di antara kita. Saya juga tidak akan mengambil perusahaan yang Papah kamu janjikan. Saya masih bisa mengurus perusahaan saya sendiri atau malah membuat perusahaan baru yang jauh lebih besar dari milik orang tua kamu."

"Kalau mereka tidak percaya jika kita tidak punya kecocokan bagaimana?"

"I will punch you. KDRT akan membuat Papah kamu marah pada saya."

"Enak saja. Saya yang pukul kamu!" Amanda tidak terima. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang selalu dijaga tidak boleh sedikitpun terluka.

"Silahkan kalau kamu bisa. Tangan sekecil itu, butuh berapa pukulan untuk membuat luka lebam. Membuang waktu saja," ejek Radewa melirikkan matanya pada tangan putih Amanda.

Gadis yang memakai dress hitam itu mendengkus. Radewa sangat menjengkelkan hatinya. Sial sekali dia harus berurusan dengan cowok seperti itu.

"Deal or no. Kita tetap harus menikah, Amanda Kinanta Tezara."

"Fine. hanya lima bulan. Awas kalau anda jatuh cinta dengan saya. Saya tidak akan mau dengan anda!"

"Will never, kamu jauh dari selera saya!"

"Cih, memangnya saya selera dengan kamu!"

***

hai hai hai

selamat datang di cerita baru Dande

Berikan cinta kalian pada cerita ini ya

Dukung author dengan like dan komen kalian, terima kasih❤️❤️❤️

Pernikahan Radewa dan Amanda

Siapa sangka bahwa sebuah perjanjian singkat di malam yang damai tujuh hari lalu menjadi kenyataan. Pernikahan Amanda dan Radewa juga dipersiapkan sesingkat perjanjian mereka.

Berlangsung di sebuah gedung mewah dengan dekor yang megah. Karpet merah yang terbentai telah dipenuhi manusia juga rentetan meja dan kursi. Perjanjian pernikahan telah dilakukan tiga puluh menit lalu dan berlanjut dengan acara resepsi.

Hidangan dan hiburan penyanyi yang menampilkan suara merdunya menambah keramaian acara pernikahan. Sementara Manda dan Dewa berdiri bersama berpura-pura menikmati suasana.

"Kapan acaranya selesai?" Manda bertanya, menutupi bibirnya dengan buket bunga.

"Saya tidak tahu," jawab Dewa, cuek.

Manda berdecih. Dia pikir Dewa akan tahu karena dia yang terlibat lebih banyak pada persiapan acara.

"Ada banyak pasang mata, jangan menunjukan ketidaksukaan kamu. Saya tidak mau ada asumsi buruk tentang saya."

"Iya!"

Terbayang sudah akan semenyebalkan apa kehidupan pernikahan mereka nanti. Amanda beberapa kali mencari tahu detail kehidupan Dewa. Laki-laki itu tidak sefleksibel hidupnya. Ada banyak sekali kekakuan, dan image baik yang harus dijunjung baik-baik. Bahkan tidak ada foto dimana dia bersenang-senang di luar.

Berbeda sekali dengan kehidupan Amanda yang penuh huru-hara. Model glamour yang kerap kali bepergian dengan kawan sejawatnya. Pamer kebahagiaan sudah menjadi rutinitasnya setiap hari.

Menit demi menit berlalu, tamu satu persatu meninggalkan acara. Ballroom yang ramai perlahan sepi.

"Pah, kita sudah boleh istirahat, kan. Aku lelah sekali," rayu Manda pada Baron.

Keluarga dari Dewa ikut mendekat. Sedayu yang merupakan Omah dari Dewa menepuk bahu cucu menantunya. "Pergilah, kalian memang harus menghabiskan waktu berdua."

"Dewa, tuntun Manda baik-baik. Kamar kalian, sudah tahu kan?"

"Sudah, Omah. Kalau begitu, Dewa pamit dulu."

Radewa dan Amanda bertingkah sangat baik. Mereka saling bertukar senyum sembari meninggalkan ruangan. Dewa juga menuntun istrinya sesuai permintaan Sedayu. Tapi begitu keduanya masuk ke dalam lift yang akan menghantarkan mereka menuju kamar hotel yang telah disiapkan, sikap mereka kembali seperti semula.

Dewa melepas tangannya, menepuk telapaknya pelan-pelan. Begitu juga dengan Amanda, dia mengusap kedua lengannya yang tadi disentuh suaminya.

"Kamu tidur di sofa," celetuk Dewa.

"Ya."

"Ckk, tidak mau membantah?"

"Malas berdebat!"

"Baguslah. Kalau bisa terus menjadi penurut seperti ini. Saya tidak suka perempuan pembangkang."

"Pandai menginjak rupanya," lirih Manda.

"Maksud kamu!"

"Tidak apa." Manda melangkah lebih keluar lebih dulu saat pintu lift telah terbuka. Dia mengangkat gaunnya yang sedikit berat, "kamar yang mana?" tanyanya.

"Ada penjaga di luar pintu, bersikap seperti tadi." Dewa kembali menyentuh kedua lengan Manda yang pasrah, memutar bola matanya.

Dari posisi lift, keduanya berbelok ke kiri. Benar kata Radewa jika kamar mereka dijaga oleh dua orang dengan pakaian serba hitam.

"Kalian istirahat saja. Saya bisa menjaga diri saya," kata Dewa.

"Baik, Tuan."

Dengan sekali perintah, kamar berpenjaga itu lenggang. Mandan kembali melangkah lebih dulu. Dia yang tahu jika beberapa barangnya telah dipindahkan ke sana segera membuka koper. Sungguh, dia lelah sekali, ingin segera berganti pakaian, menghapus make up dan tidur.

"Saya yang mandi lebih dulu. Kamu pasti salah satu manusia lelet, saya tidak suka membuang waktu," celetuk Dewa tanpa melihat.

"Hmm," Manda membalas tak kalah cueknya. Dia mengambil pouch make up dan mulai membersihkan wajahnya.

Manda lelah dan pasrah meski dia tidak suka dikatai sebagai perempuan lelet. Hanya saja, energinya telah habis untuk meladeni Dewa yang sepertinya memang tengah menguji kesabarannya sejak tadi.

Waktu berlalu kembali. Dua puluh menit berlalu dan Dewa telah selesai dengan bebersihnya. Tanpa disuruh, Manda yang telah menunggu segera masuk ke dalam kamar mandi, menguncinya rapat-rapat.

"Perempuan aneh. Tapi syukurnya dia tidak banyak bicara." Dewa menghela napas, duduk di tepian ranjang, membuka ponsel yang sejak acara berlangsung dimatikan.

Rentetan ucapan selamat satu persatu masuk. Entah dari aplikasi pesan khusus atau fiture pesan di aplikasi sosial media memenuhi notifikasinya, namun yang menjadi tujuan utama adalah pesan khusus dari salah satu orang spesial. Dewa beranjak dari duduk dan keluar dari kamar itu tanpa meninggalkan pesan sedikitpun untuk Manda.

Berlari, masuk ke dalam lift, Dewa terburu-buru sekali menuju lobby hotel di mana ada orang spesial itu.

Dewa berlari kembali saat matanya menangkap orang spesial itu hendak berlari darinya.

"Din, mau ke mana. Saya di sini!" seru Dewa berhasil menahan lengan Dinda, kekasihnya. Iya, Radewa memang memiliki kekasih, tapi sayang hubungannya tidak disetujui Sedayu karena perbedaan derajat mereka.

"Aku pikir kamu nggak akan keluar. Aku sudah menunggu dua jam, sudah lama sekali. Kakiku mulai pegal, jadi aku pikir aku harus menyelamatkan diriku sendiri. Aku mau pulang, kamu kembali saja, Dewa. Istri kamu pasti mencari kamu." Dinda yang memakai topi mendongakan kepalanya.

"Enggak, Din. Jangan pergi. Aku butuh kamu, aku antar kamu pulang ya. Kita mengobrol sampai pagi."

"Jangan Dewa, jangan jadi laki-laki jahat. Jangan membuat aku menjadi jahat. Kasian istri kamu."

"Aku nggak peduli, Dinda. Yang aku cinta hanya kamu. Toh kamu juga tahu perjanjian itu. Pernikahan ini hanya sementara."

"Jangan kotori pernikahan itu sekalipun pernikahan kalian hanyalah sementara. Kita harus tetap menjaga jarak, jangan mengotori nama baik kamu. Aku pulang sendiri ya, dengan melihat kamu sekarang, rindu yang aku pendam sejak tadi sudah lunas rasanya."

"Kamu selaku baik. Aku nggak akan pernah menemukan perempuan sebaik kamu. Maafkan aku karena membuat hubungan kita berada dalam masalah rumit seperti ini."

"Bukan salah kamu, Dewa. Salahku yang tidak tahu diri mencin..."

Dewa memberi kecupan di bibir Dinda. Dia menurunkan topi Dinda untuk semakin menutupi wajahnya. "Saya antar. Saya tidak peduli jika ada orang yang melihat. Tunggu di sini."

Mobil yang terparkir di depan lobby dimasukki oleh Dewa. Dia menyiapkan mobil itu sebelumnya karena dia dan Dinda juga sempat membuat perjanjian untuk bertemu seusai acara pernikahan.

****

Mengantar dengan selamat, sempat mengobrol setidaknya satu jam, suasan hati Dewa damai sekali. Dia kembali ke hotel dengan wajah sumringah sebelum dia melihat kehadiran Sedayu di pintu masuk hotel.

Meski ragu, Dewa keluar dari mobil dengan berusaha tetap tenang. Dia punya alasan jika Sedayu bertanya.

Plak!

Tamparan keras di tengah sunyinya malam. Alih-alih menyapa, Dewa sudah lebih dulu mendapat tamparan itu.

"Berhenti menemui perempuan itu sebelum Omah bertindak nekad. Omah bisa melakukan apa saja pada perempuan murahan itu, Radewa!" ancam Sedayu, mengangkat jari telunjuknya.

Bercak Merah

Plak!

Tamparan keras di tengah sunyinya malam. Alih-alih menyapa, Dewa sudah lebih dulu mendapat tamparan itu.

"Berhenti menemui perempuan itu sebelum Omah bertindak nekad. Omah bisa melakukan apa saja pada perempuan murahan itu, Radewa!" ancam Sedayu, mengangkat jari telunjuknya.

"Apa maksud, Omah. Dewa tidak bertemu siapapun," elak Dewa, berusaha membela diri.

"Lihat kan, perempuan itu membuat kamu menjadi laki-laki pembohong. Omah benar-benar kecewa pada kamu, Dewa."

"Ingat baik-baik peringatan Omah. Sekali lagi, Dewa. Hanya satu kali lagi kesempatan kamu!"

Sudah terlalu larut untuk sebuah keributan. Bukan tempat yang tepat pula jika Sedayu masih ingin menjaga nama baik keluarga. Wanita paruh baya dengan tongkat coklat itu pergi meninggalkan Dewa begitu saja.

Beberapa pasang mata yang merupakan bagian dari staff hotel masih mengarahkan pandangan mereka pada Radewa yang akhirnya menyadari dirinya telah menjadi pusat perhatian. Dia pun segera meninggalkan lobby hotel. Bukan kembali ke kamar di mana harusnya dia berada, melainkan pergi menjauh menggunakan mobil porsche kesayangannya menuju tempat di mana dia bisa menenangkan pikirannya sejenak. Tidak peduli jika nanti Sedayu mencarinya lagi.

***

Jarum jam telah menunjuk angka tujuh. Sinar mentari telah masuk menyelinap di antara tirai yang semalam lupa untuk ditutup rapat. Amanda menggeliat, tidurnya cukup nyenyak karena dia kelelahan, meskipun tubuhnya juga terasa pegal tak karuan.

Semalam setelah wanita berambut gelombang sepunggung itu selesai membersihkan badan, dia langsung menidurkan dirinya di sofa sesuai kesepakatannya dengan Dewa. Tidak peduli jika lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu sudah tak ada di depan mata. Bahkan saat pagi telah datang seperti sekarang dan tempat tidur besar di depannya masih rapi, dia tidak berniat menanyakan keberadaan lelaki itu sama sekali. Hanya ada pemutaran bola mata secara penuh yang menandakan Amanda sangat malas berada di sana.

"Gue laper banget." Amanda menggerutu. Baru dia sadari jika sejak kemarin sore dia belum makan sama sekali.

"Eh...." Suara roda troli besi terdengar. Amanda menoleh pada sumber suara. Bukan hanya troli yang penuh dengan makanan, tapi kehadiran Radewa yang berbadan tegap besar itu juga turut mengagetkannya.

"Bukan dari saya, jangan terlalu percaya diri," kata Dewa saat dahi Manda perlahan mengerut.

"Kalau memang bukan dari anda, saya pun tidak akan mau untuk memakannya. Keluarga yang menjual putranya untuk dinikahkan dengan anak perempuan dari keluarga kaya raya bisa saja meletakkan racun di dalam makanan itu agar bisa menguasai hartanya." Amanda yang telah berdiri melangkahkan kakinya. Dia hendak menuju restaurant hotel tapi sayang Dewa menahannya.

"Jaga ucapan kamu!" tekan Dewa, pergelangan tangan Manda telah digenggamnya erat.

Manda menepis dengan mudah tangan Dewa, balik menantang dengan bersila tangan. "Bukankah benar. Kalau bukan ditawari perusahaan Papa saya, mana mungkin keluarga anda memaksa anda untuk menikah dengan saya!"

"Saya tidak sudi berlama-lama di sini. Silahkan nikmati hidangan itu seorang diri, permisi."

"Jangan membuat saya marah, Amanda Kinanta Tezara!" teriak Dewa.

Alih-alih ketakutan, Manda justru membalasnya dengan kekehan singkat yang berarti meremehkan teriakan suaminya itu. Dia pergi tanpa rasa bersalah atas penghinaannya.

"Sial. Saya benar-benar bisa gila. Hanya Dinda yang mengerti saya!" Dewa meremas tangannya kuat-kuat, sebelum dia menarik selimut, memberantakan ranjang hingga tak berbentuk. Dia juga meneguk anggur merah sisa semalam dan membuang gelas itu ke atas kasur begitu saja.

Tak bisa dibiarkan begitu saja. Radewa yang tidak pernah mau kalah apalagi oleh perempuan turut meninggalkan kamar itu. Akan dia buat Manda merasakan jengkel sebagaimana dia rasakan sekarang.

Langkah tegak serta smirk licik yang kadung dikeluarkan harus segera disingkirkan. Pupus sudah keinginan Dewa begitu dia melihat Manda yang kini tengah berbincang dengan Sedayu di restaurant hotel. Ingin pergi kembali ke kamar pun tidak bisa sebab Sedayu telah menangkap kehadirannya.

"Kenapa kamu tidak datang bersama dengan Manda. Apa yang baru saja kamu lakukan?" tanya Sedayu.

"Dewa di kamar mandi saat Manda keluar dari kamar. Jadi Dewa tidak tau. Tadi Dewa juga sedang mencari Manda," bohong Dewa.

"Mungkin suara Manda kurang keras saat bilang tadi sampai Dewa tidak mendengarnya. Tidak apa Omah, aku juga bukan anak kecil yang ke mana-mana harus dituntun."

"Mana boleh seperti itu. Kalian harus selalu bersama-sama." Sedayu melirik pada Dewa, "lain kali pasang telinga kamu kuat-kuat!" peringatnya.

"Baik, Omah." Dewa menarik napas, ikut duduk bersama untuk melakukan sarapan. Sebenarnya dia baru saja pulang setelah semalaman menginap di apartemen. Untung saja dia kembali tepat waktu. Sempat mengganti pakaian hingga tidak membuat Sedayu curiga padanya.

Satu persatu hidangan pesanan datang. Sedayu, Dewa dan Manda menikmati makanan masing-masing. Meski lebih banyak diam dibanding bicaranya, acara makan pagi itu selesai dengan baik.

"Omah harus segera pergi, ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Kalian jika masih ingin menginap, silahkan tambah waktu." Ucapan Sedayu belum selesai, tapi dia harus diam saat seorang pelayan membisikkan sesuatu padanya. Bisikan yang menghadirkan senyum tipis di bibir wanita yang sebagian rambutnya telah memutih itu.

"Malam tadi pasti melelahkan. Omah pikir akan lebih baik jika kalian menambah waktu untuk mengingap. Omah akan sabar menunggu, pelan-pelan saja, jangan terburu-buru."

Ucapan Sedayu jelas membingungkan. Ditambah dia juga segera pergi setelah meninggalkan ciuman singkat pada pasangan suami istri tersebut.

Sedayu memang telah salah paham. Pelayan yang tadi berbisik adalah pelayan yang ditugaskan untuk mengecek keadaan kamar yang ditempati Dewa dan Manda. bercak merah dari lemparan gelas berisi anggur yang dilakukan Dewa dikira pelayan tersebut sebagai bekas merah darah Amanda.

"Nggak jelas," celetuk Manda.

"Tidak memiliki sopan santun. Pantas saja menjadi perawan tua," sahut Dewa, akhirnya dia bisa membalaskan jengkelnya pada wanita di depannya itu.

Tapi sialnya, tanggapan Amanda tak sesuai ekspektasi. Wanita itu langsung beranjak dari kursinya, mengangkat sebuah panggilan beberapa saat dan mematikannya dengan cepat.

"Nanti ada orang datang untuk mengambil barang-barang saya," ucapnya pada Dewa.

"Kamu mau ke mana!"

"Bukan urusan anda. Silahkan jika anda ingin menginap lagi di sini, saya akan pulang ke rumah yang sudah Papa saya belikan sebagai hadiah pernikahan menjijikan ini. Tenang saja, saya tidak akan mengadu pada Omah tentang kepergian anda. Asal anda juga tidak menjelekkan nama saya di depan orang tua saya."

"Radewa Oza Bagaskara, saya bukan perempuan yang bisa kamu ancam dengan kekuasaanmu itu. Saya, bisa melakukan apa saja sesuai keinginan saya, termasuk menghancurkan siapapun yang mengganggu hidup saya!" tekan Manda.

***

Hingga part 3 tiga ini, kalian sudah punya gambaran bagaiman hubungan mereka nanti nggak?

Sama-sama keras kepala, bukan?

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan cinta kalian di cerita ini❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!