Selamat Membaca 🥰
Elea menatap nanar pesta yang berada di rumahnya, tepatnya rumah istri sah sang ayah. Mereka sedang merayakan kelulusan putri sulung mereka yang bernama Tatiana.
"Elea, jangan melamun saja, cepat kerja," kata asisten kepala pelayan yang lol bernama Dori dengan wajah ketus.
"B-baik mbak," sahut Elea.
"Jangan bermimpi jadi putri, karena anak seorang pelakor memang pantas menjadi pelayan. Tak perlu sekolah tinggi, jika ujungnya menggoda suami orang," sindir Dori, membuat Elea terdiam sakit hati.
Tentu saja, dia sudah terbiasa dan menerima semua hinaan tersebut. Bahkan dari sosok yang selama ini dia rindukan, siapa lagi kalau bukan sang ayah.
Elea menghela napas menahan sesak di dada, mengerjapkan mata berusaha menghalau air mata yang turun.
"Jangan nangis, El, tahan, kamu harus kuat," gumamnya dalam hati, dengan senyum dia mengantarkan minuman kepada para tamu. Mereka tak tahu, bahwa Elea juga adalah anak dari Bima dengan istri sirinya, bahkan saudara jauh Bima saja tidak mengetahui hal tersebut.
"Jangan banyak melamun," ucap Bara dengan dingin, membuat Elea tertunduk.
"Maaf, Mas," balasnya.
Bara adalah asisten ayahnya, dia menggantikan sang ayah yang sudah mulai sakit-sakitan untuk menangani urusan pekerjaan. Namun, bukannya menjawab Bara, Elea malah melengos begitu saja.
"Huh ... Aku ingin pergi, tapi aku gak punya tempat pulang,” gerutu Elea sambil duduk di pojokan.
Suara musik dan orang-orang yang berbicara sangat riuh di depan sana.
Mendadak teringat saat Elea masih kecil, dia dibawa oleh sang ibu untuk bertemu dengan ayahnya. Elea kecil menatap penuh binar lelaki dewasa yang tampan, yang menurut sang ibu dia adalah ayahnya. Tiga tahun, dia sangat merindukan sang ayah. Dan sekarang akhirnya dia bisa bertemu dengan sang ayah.
"Jangan asal bicara kamu!" bentak Bima, membuat Elea takut dan bersembunyi di belakang tubuh sang ibu.
"Tapi, Mas … dia anakmu, aku gak mungkin bohong. Setelah kamu tak datang lagi, aku tak pernah menikah dengan lelaki manapun! Bahkan sampai sekarang aku masih istrimu," papar ibu Elea.
"Istri?" celetuk Mala dari belakang, bersama Tatiana yang berusia lima tahun.
Ibu Elea menatap istri dari suaminya yang sedang hamil, dengan tatapan nanar dan mata berkaca-kaca. Bahkan saat ibu Elea hamil, dia harus bekerja keras untuk biaya sang anak.
"Siapa dia, Mas?" tanya Mala dengan dingin.
"D-Dia ...."
"Siapa?" bentaknya dengan air mata yang tak dapat Mala tahan.
"Maafkan Mas, Sayang,” ucap Bima lirih, membuat Mala tersenyum sinis.
"Pergi kalian, dasar pelakor," desis Mala, dia menarik tangan sang anak membawanya masuk. Tatiana yang sudah mulai mengerti menatap tak suka pada Elea.
Dua bulan berlalu, kehidupan rumah tangga Mala dan Bima tak sehangat dulu. Mereka saling diam membuat Tatiana merasa sedih, sampai puncaknya setelah Mala melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki. Tiba-tiba seseorang datang dan menyerahkan Elea pada Bima, serta mengabarkan bahwa ibunya Elea menghilang sudah satu minggu entah pergi ke mana, orang tersebut mengatakan bahwa dia adalah tetangganya Elea. Hal ini sontak membuat Mala murka dan meminta Elea disimpan di panti asuhan.
"Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku gak mau disini, Ayah," rengek Elea kecil saat itu.
"Kamu di sini saja, gara-gara ibu sialan mu itu. Saya dan istri saya bertengkar," marah Bima, Elea ketakutan sambil memeluk boneka kesayangannya.
"Ayah …," lirihnya terisak.
Bima memejamkan mata, jujur ada rasa kasihan pada Elea. Tapi rasa takut kehilangan Mala lebih mendominasi, dengan terpaksa Bima membawa Elea ke rumahnya, dan meminta Ida untuk mengasuh Elea, mereka semua diberitahu bahwa dia adalah anak yang tak sengaja Bima temukan.
Elea yang tak mengerti apa pun merasa senang, saat sang ayah membawanya ke rumah. Tapi rasa senang dan bahagia itu sirna, saat mereka memperlakukannya layaknya seorang pembantu. Bu ida yang dianggap ibu, meninggalkannya saat dia duduk di bangku menengah pertama. Bahkan Elea pun baru mengetahui sang ibu pergi untuk selamanya, saat dia lulus SMA.
Lamunan Elea buyar, saat Tiana melempar baju pada Elea. Dengan wajah dingin dan sombong, Tiana meminta Elea untuk pergi ke kamar tamu. Karena ada seseorang yang ingin dilayani oleh Elea.
"Tapi Tiana, aku tidak mau, apalagi dengan pakaian minim seperti ini," tolak Elea, karena dia bukanlah perempuan murahan.
"Berani kamu membantahku, hah?" bentak Tiana.
"Aku gak mau Tiana, aku mohon," lirih Elea.
Tatiana berdecak kesal, dia keluar dari kamar Elea yang bisa disebut mirip dengan gudang. Ah, bukan mirip lagi, Elea sejak SMP sudah tidur di gudang itu, tepatnya setelah bu Ida meninggal. Elea kira dia bisa bernapas dengan lega, tapi sayang semuanya hanya dalam mimpi. Mala datang memaksa Elea memakai pakaian minim tersebut, mereka mendandani Elea agar cantik.
"Berhentilah menangis, jalang kecil," bentak Mala, beruntung gudang berada di belakang, jadi tak ada yang mendengar suara mereka.
"Ma ....”
"Jangan panggil aku Mama dengan mulut kotor mu itu," marah Mala.
"Panggil aku Nyonya, kamu pantas diperlakukan seperti ini, karena kamu keturunan pelacur," hina Mala.
Setelah mengatakan itu Mala berlalu begitu saja. Tiana tersenyum sinis, dia akui Elea memang cantik, hanya saja dia jijik karena Elea nyaris membuat orang tuanya berpisah.
"Cepat pergi ke kamar tamu, jangan sampai dia menunggu lama, karena dia sudah membayar gue lebih," bisik Tiana.
Tiana mendorong tubuh kurus Elea dengan telunjuknya, kuku panjangnya dia tekan agar membuat Elea jalan. Sesampainya di kamar tamu, Elea gemetar takut apa yang akan dilakukan orang di dalam. Dia hanya takut harga dirinya direndahkan dan diinjak.
"Ya, Tuhan, jagalah aku. Ibu, aku takut …,” lirihnya.
Belum sempat masuk, seseorang menarik Elea ke pojokan dan menyerang bibirnya dengan kasar, dan membawanya jauh dari tempat tersebut, Elea tak bisa berontak sebab dia kalah tenaga.
Di dalam kamar tamu sendiri, Kevin sendiri sudah menunggu lama. Dia menatap pintu tak sabar untuk melihat mainannya.
"Ke mana dia? Apa Tiana bohong?" gumamnya.
Tidak ingin menunggu, Kevin memilih keluar dari kamar. Dia berpura-pura membenarkan rambutnya seolah baru selesai dari kamar mandi, dia mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan mencari keberadaan Tiana.
"Sialan kau, Tiana, awas aja kalo ketemu,” gerutu Kevin, dia sendiri memilih pergi ke klub malam karena gagal mendapatkan mainannya.
Tatiana pun kebingungan mencari Bara, yang tiba-tiba menghilang entah ke mana.
"Bi, lihat Bara?
"Tidak, Nona," jawabnya.
"Huh, ya, sudah sana,” ucapnya ketus. Tiana pun memilih duduk di dekat kolam renang.
"Pesta yang membosankan, coba Papa mengizinkan aku adain pestanya di klub. Pasti seru." Tatiana menatap langit malam, tanpa sadar dia terlelap di sana.
Sementara itu, di kamar yang temaram, desahan seorang lelaki membuat hati Elea sakit. Bagaimana tidak, dia sangat tahu suara siapa itu.
Dunianya terasa hancur, seolah harga dirinya habis terinjak-injak oleh semua orang yang ada di keluarga ini.
"Ibu ... Aku ingin ikut, aku ingin menyusul mu ibu," ucapnya lirih, lalu tak sadarkan diri.
Bersambung...
Maaf typo
selamat datang di karya baru ku, semoga suka 🥰
Kata orang, Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Ayah juga yang selalu melindungi anaknya dari apa pun. Namun, tidak bagi Elea, dia merasakan sakit di pipinya sangatlah nyata. Apa yang menimpanya tadi malam, bukanlah mimpi, dia masih berharap saat bangun dia berada di kamarnya. Namun, tamparan kedua dari Tiana membuatnya benar-benar sadar bahwa semuanya adalah nyata.
"Kamu mencoba merayu Bara, hah?" teriak Tiana, Tiana kira Elea bersama dengan Kevin. Tapi dia salah, Elea malah menghabiskan malam dengan Bara.
Elea hanya menunduk bahkan dia belum memakai baju sama sekali. Hanya tertutup oleh selimut yang melilit tubuhnya.
"Aku bisa jelaskan," ucapnya dengan pelan, Bara sendiri hanya terdiam dia sungguh tak ingat apa pun.
"Jelaskan apa, hah? Menjelaskan kamu memang seperti ibumu, begitu?" marah Mala, membuat Elea sesak napas secara tiba-tiba.
"Tolong, jangan bawa-bawa ibu saya, Nyonya. Dia tak salah apa pun," lirihnya.
"Halah, kau jalang tetap saja jalang. Sama saja menggoda laki-laki," bentak Tatiana, dia menatap ayahnya yang hanya diam saja.
"Papa, bagaimana ini? Jika semua orang tahu, maka kita yang malu."
Walau di dalam rumah, Tiana dan Mala sangat khawatir dengan aib itu.
"Kita nikahkan mereka," putus Bima, membuat Bara menatap tajam tuannya.
"Tuan, saya ...."
Bima memotong ucapan Bara.
"Bara, apa kamu ingin mempermalukan saya?"
"Jangan lupakan semua kebaikan saya pada keluargamu, Bara,” lanjut Bima dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bara menghela napas pelan, dia menatap benci Elea yang tengah menunduk.
"Baik, Tuan, saya akan menikahinya. Tapi dengan satu syarat," ujar Bara.
"Katakan."
"Saya tidak ingin, semua orang tahu bahwa dia adalah istri saya. Setelah menikah, saya akan membawanya keluar dari rumah ini," papar Bara, menatap Bima dan Mala yang nampak berpikir.
"Baiklah, saya setuju," sahut Mala dengan cepat, membuat Tiana mendelik menatap sang mama.
"Mama, apaan, sih? Aku gak setuju, ya, aku gak mau Kak Bara pergi dari rumah ini," tolak Tiana.
"Sayang, kamu tenang dulu, kita bicarakan ini nanti. Yang terpenting adalah kita harus segera menikahkan mereka," sela Bima.
Elea hanya diam membisu dengan semua keputusan yang diatur untuknya, dia menyeka sudut matanya dan pasrah akan takdir yang harus dia jalani.
Bima meminta pengawalnya untuk mencari pemuka agama untuk menikahkan Bara dan Elea, Bima juga mengundang RT dan RW perumahan mereka. Bara juga memberitahu pada orang tuanya, yang berada di kampung.
"Bara, apa kamu serius?" tanya sang ibu.
"Iya, Bu, Bara serius,” jawab Bara terasa dingin di pendengaran sang ibu.
"Tapi kenapa, Bara? Ibu gak mau punya menantu yang ibunya perebut suami orang. Apa kata tetangga kita nanti."
"Ibu tenang saja, Bara tidak akan membawa dia ke tempat kita. Bara akan membawa dia jauh dari keluarga Tatiana, karena Tatiana yang aku cintai," jelas Bara, memejamkan mata.
Sementara itu, Elea yang berada di balik pintu diam membeku. Tujuan Bara menikahinya adalah untuk membawanya pergi jauh entah ke mana. Elea kembali ke kamar. Awalnya dia ingin membicarakan pernikahan mereka, tapi semua kebenaran yang dia dengar membuatnya sakit.
Elea terduduk di pojok kamar, kamar yang lebih pantas disebut gudang. Dia memeluk foto sang ibu dan menangis lirih.
"Kenapa semua orang membenciku, Bu? Apa salahku? Harusnya ibu gugurkan aku saja dulu," lirih Elea terisak.
Pintu terbuka dengan kasar, dengan cepat Elea menghapus air matanya.
"Cepat keluar, semua orang sudah menunggu,” ucap Dori ketus, menatap hina Elea.
Elea pun mengangguk dan keluar mengikuti Dori, benar semua orang sudah berkumpul. Tatapannya sangat sulit diartikan, ada yang iba, ada juga yang menatapnya dengan pandangan jijik.
"Sehina itukah, aku?" batinnya, dia memilih untuk menunduk dan duduk di dekat Bara. Elea melirik sekilas pada Bara yang memakai kemeja berwarna hitam juga celana bahan berwarna hitam. Sedangkan dirinya, hanya memakai pakaian yang terbaik yang dia punya.
Kata sah membuat Elea memejamkan mata. Entah dia harus berekspresi bagaimana saat ini. Setelah ijab, semua tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh Bima dan Mala. Mereka selalu bersikap baik, di depan semua orang.
"Saya ingin bicara," celetuk Bima, membuyarkan lamunan Elea.
Elea mengangguk dan mengikuti langkah ayahnya, menuju ruang kerja lelaki paruh baya tersebut. Bima menatap Elea dari atas sampai bawah setelah duduk di kursi kerjanya, lelaki yang bergelar Ayah bagi Elea menatapnya dari atas sampai bawah. Terlihat kurus dan wajahnya sedikit kusam, walau begitu masih terlihat gurat kecantikan dari Elea, mengingatkannya pada mendiang ibu Elea.
"Ada apa, Tuan?" tanya Elea, dia inisiatif untuk bertanya lebih dulu karena melihat Bima melamun.
"Setelah ini, hiduplah bahagia, Elea. Maafkan semua perlakuan saya terhadapmu," celetuk Bima, membuat Elea tersenyum tipis.
"Apakah ada jaminan aku bisa hidup bahagia bersama Bara? Bahkan dia saja merahasiakan pernikahan ini," ujar Elea dengan lirih.
"Terlebih lagi, kamu sendiri tak pernah menganggapku sebagai anak."
Bima terdiam dengan semua perkataan Elea. Namun, dia pun tak bisa melakukan apa pun. Bima kembali menatap Elea, yang juga sedang menatapnya, sungguh dia pun sangat merindukan ibu dari Elea.
"Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi,” ucap Elea, menyadarkan Bima dari lamunannya.
"Elea."
Elea berhenti di ambang pintu, dia menunggu apa yang akan dikatakan oleh lelaki tersebut.
"Maaf."
Elea tersenyum masam, hanya kata maaf yang bisa lelaki itu ucapkan. Setidaknya Bima memeluk Elea untuk terakhir kalinya. Tak ingin berlama-lama, Elea keluar dengan tergesa dan tanpa sengaja menabrak Bara yang akan masuk ke dalam.
"Maaf," cicit Elea takut, saat tahu Bara yang dia tabrak.
"Cepat berkemas, kita akan pergi."
"Baik."
Elea berjalan cepat setibanya di kamar, dia membereskan apa yang akan dibawa ke rumah milik Bara. Namun, tak ada barang berharga yang dia bawa, semua baju adalah bekas Tatiana.
"Setidaknya, aku keluar dari rumah yang seperti neraka in, Bu."
"Aku akan membangun keluarga kecil versiku sendiri."
Elea tersenyum menatap foto sang ibu, lalu memasukan foto tersebut ke dalam tas usang dan lagi-lagi bekas Tatiana.
Selama tinggal di rumah Bima, Elea tak pernah sekali pun mendapatkan uang. Dia hanya dijadikan pembantu gratisan untuk Mala, bahkan jika Elea menginginkan sesuatu dia harus memberitahu Mala.
Elea keluar dari kamar dan disambut oleh tatapan mengejek dan jijik para pekerja di sana.
"Akhirnya anak pelakor pergi juga,” celetuk Dori, diangguki oleh semua orang.
"Iya, betul, Mbak, rumah Nyonya Mala gak akan kena sial lagi karena memelihara anak pelakor."
Elea menghembuskan napasnya dengan pelan, sudah terbiasa mendengar hinaan tersebut.
"Bye, jangan kesini lagi," kekeh yang lain.
***
Elea sudah tiba di halaman depan rumah Bima, yang dia tahu sudah berubah nama menjadi milik Mala. Dia menatap bangunan megah di depannya sangat indah, banyak kenangan yang terjadi di dalamnya terutama kenangan pahit nan menyakitkan.
Di kejauhan Bima menatap Elea, ada rasa sesal saat anaknya akan pergi. Ya, Elea adalah anaknya bagaimana pun juga, dia yang berbuat salah tapi sang anak yang mendapatkan pelampiasannya.
"Semoga kamu bahagia, Nak!" Bima menyeka sudut matanya.
bersambung...
Maaf typo
Tatiana dan Bara keluar bersama, membuat Elea langsung menunduk. Walau tak ada adegan apa pun, dia tak ingin melihat adegan menyakitkan tersebut. Menyakitkan? Seperti ada cinta saja ucap Elea dalam hati tersenyum kecil.
"Kamu harus janji, Bara. Kamu gak akan macam-macam lagi sama dia," rengek Tiana.
"Kamu tenang saja, Tiana. Aku tidak akan tergoda sama dia," Bara melirik sekilas pada Elea, lalu berpamitan pada Tatiana.
Selama dalam perjalanan hanya hening yang tercipta, apalagi Elea duduk di kursi belakang. Sesekali Bara melirik istrinya tersebut.
Berpuluh menit kemudian, mobil Bara sudah tiba di kawasan apartemen biasa. Jangan mimpi jika Elea akan dibawa ke apartemen mewah, Bara hanya menyewanya saja sampai dia menceraikan Elea dan memastikan perempuan itu tidak hamil anaknya. Kejam bukan?
"Turun," titah Bara, saat melihat Elea yang hanya melamun.
"Ehh, baik." Jawab Elea patuh, dia mengikuti langkah Bara yang ada di depannya.
Lima menit kemudian, mereka sudah sampai di apartemen yang Bara sewa. Tak terlalu luas. Namun, cukup untuk tinggal Elea saja. Karena Bara hanya datang sesekali.
"Kamu akan tinggal disini, sampai kamu benar-benar tidak hamil anakku." Celetuk Bara, membuat Elea menoleh. Entah mengapa saat Bara mengatakan itu, dia merasakan sesak di dadanya seburuk itukah dia dimatanya?
"Apa kamu mendengarkan aku?" tanya Bara.
"Iya aku mendengarkan mu," jawabnya dengan suara lirih.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Untuk nafkah, kamu jangan khawatir aku akan mengirimkannya padamu."
Setelah mengatakan itu, Bara pergi begitu saja bahkan tanpa memberi Elea kesempatan untuk bertanya. Elea memandang pintu yang tertutup dengan sempurna.
"Huh, sabar Elea."
Dia memutuskan untuk melihat-lihat unit apartemen tersebut, semuanya tersedia, kulkas pun penuh dengan bahan masakan. Juga peralatan dapur yang sangat komplit, Elea tersenyum kecil mengetahui bahwa Bara seperhatian itu padanya. Bolehkan Elea berharap?
"Oke Elea, saatnya membuka lembaran baru." Ujarnya dengan semangat, pertama-tama Elea memutuskan untuk membuat makan siang dan malam hanya untuknya saja. Karena dia tahu bahwa, Bara tak akan datang.
***
Sementara itu di perusahaan Hadinata Grup.
Bima menatap kosong ke arah depan, dimana hanya ada gedung-gedung tinggi dan pemandangan kota yang selalu sibuk. Perkataan Elea terus saja menghantui dirinya.
Masih teringat jelas di ingatan Bima, saat dia bertemu dengan ibunya Elea yang bernama Minati. Gadis yang berasal dari kampung, yang melamar pekerjaan di perusahaannya. Awalnya dia tidak terlalu menanggapi Mina, gadis polos penuh pesona tersebut.
Awal mulanya, Bima meminta Mina untuk membuatkan sarapan. Karena saat itu, Bima belum sempat sarapan karena ada meeting penting.
"Kamu ... Pekerja baru?" tanya Bima, saat melihat wajah Mina yang asing. Karena dia hafal betul siapa saja OB dan OG di perusahaannya.
"Iya tuan," jawabnya singkat.
Bima mengangguk dan kembali bertanya. "Siapa namamu?"
"Nama saya Minati." Mina menjawab dengan menunduk, dia merasa gugup berhadapan dengan pemilik perusahaan. Takut melakukan kesalahan, yang berakhir dipecat dan kembali ke kampung halamannya.
Bima mengangguk dan mulai mencoba masakan Mina, walau hanya nasi goreng sederhana. Tapi terlihat menggiurkan bagi Bima, hari, minggu bahkan bulan. Bima mulai terbiasa dengan masakan Mina, dia menjadi jarang sarapan di rumah beruntung Mala tak curiga padanya.
Satu tahun mereka saling mengenal, Bima menyatakan ketertarikannya pada Mina. Awalnya Mina menolak. Namun, dengan segala bujuk rayu dan janji manis Bima. Mina termakan omongan manis lelaki yang sudah memiliki istri tersebut.
"Kita menikah siri saja dulu," ujar Bima pada Mina, kini mereka sedang menikmati senja di salah satu balkon hotel yang Bima sewa untuk perjalanan bisnisnya ke luar kota.
"Tapi mas, aku gak mau. Aku takut istrimu tahu dan marah." Ujar Mina cemas, Mina pun akhirnya tahu Bima sudah menikah saat tak sengaja menemukan foto Mala dan Bima.
"Gak akan, kamu tenang saja. Selama kamu gak banyak bicara maka semuanya akan aman. Kamu tetap bekerja di perusahaan, kamu juga bakal punya tempat tinggal yang nyaman dan layak." Jelas Bima, dia memegang tangan Mina dan menatapnya serius.
"Aku sungguh-sungguh Mina, aku mencintai mu!"
Mina menunduk dan mengulum senyum malu-malu, pernyataan Bima membuat hatinya menghangat.
"Baiklah, aku mau menikah dengan mu." Balas Mina pada akhirnya, menerbitkan satu senyum kecil dari Bima.
Bima memeluk erat Mina, langsung membawa pulang Mina hari itu juga untuk menikah disekitar kontrakan Mina. Satu minggu usia pernikahan, Mina belum di bawa ke apartemen yang dijanjikan Bima. Lelaki yang berstatus suaminya tersebut hanya datang saat melampiaskan nafsunya, setelah itu dia tak akan terlihat baik di kantor atau di manapun. Beruntung Bima memberikan uang nafkah pada Mina, jadi Mina tak terlalu khawatir.
Lamunan Bima tentang masa lalu pun buyar, saat ada yang mengetuk pintu ruangannya.
"Masuk," titah Bima.
"Bara kamu, kenapa bekerja?" tanya Bima, sebelum Bara bicara.
"Maaf tuan, semua orang tidak ada yang tahu bahwa saya menikah. Hanya keluarga anda yang tahu," jelas Bara, Bima pun mengangguk dan tak lagi bicara mereka membahas pekerjaan juga beberapa rapat penting di luar kantor.
****
Akhirnya Elea bisa bersantai sejenak, setelah melakukan pekerjaan rumah. Biasanya dia akan selalu ke sana kemari, walau pekerjaannya selesai sedangkan yang malah enak-enakan.
"Pemandangan yang indah," puji Elea, kini dia sedang duduk di balkon yang terdapat di kamarnya, yang menghadap langsung pada pemandangan ibu kota.
"Hai, orang baru yah?" Sapa seseorang, membuat Elea menoleh dan mendapati pria tak kalah tampannya dari Bara.
"I-iya," jawab Elea.
"Santai saja, aku gak gigit kok." Kekehnya, membuat Elea tersenyum tipis.
Canggung tak ada lagi obrolan dari mereka berdua, sesekali Elea membenarkan letak posisi pot juga gelas yang ada di meja. Melihat itu, lelaki tersebut tersenyum tipis melihat tingkah gadis di depannya.
"Adrian Abimana," celetuk lelaki yang bernama Adrian, membuat Elea menoleh padanya.
"Apa dia mengajak ku, kenalan?" tanya Elea dalam hati, dari jauh Adrian mengulurkan tangannya.
"Adrian Abimana," ulang Adrian, saat melihat Elea yang hanya menatapnya.
"Tenang aja aku gak jahat, kok!" Adrian berusaha meyakinkan Elea, yang terlihat ragu-ragu.
"Elea." Jawabnya dengan singkat.
"Nama yang bagus, apa nama mu hanya itu saja?"
Elea melirik sebentar ke arah Adrian, tak menjawab ucapan lelaki tersebut.
"Saya masuk dulu, permisi." Pamit Elea, Adrian tersenyum melihat Elea.
"Jumpa lagi besok, El." Teriak Adrian, Adrian pun masuk kedalam.
Sementara Elea kembali ke balkon, dan memastikan Adrian sudah tak ada.
"Huh, syukurlah dia sudah masuk." Gumam Elea, duduk menikmati keindahan di depannya. Adrian sendiri tak benar-benar masuk, dia bersembunyi di dekat tembok dan memperhatikan Elea yang menggerutu karena dirinya.
"Menggemaskan," gumam Adrian.
bersambung ...
Maaf typo
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!