NovelToon NovelToon

Mencintai Wanita Yang Salah

Episode 1

Tak.. Tak.. Tak.. Tak .. Tak..

Suara sepatu terdengar mengetuk ubin putih Rumah sakit.

"Permisi"

Seorang pria masih terus berlarian, seperti sedang buru buru, bahkan dia melewati beberapa orang yang berada di sekitarnya.

"Hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya sejak tiga hari terakhir mengakibatkan sejumlah wilayah di ibu kota terendam banjir..."

Dia adalah Kavian Airlangga, langkahnya terhenti ketika melihat televisi dan sedang menayangkan sebuah berita

"Dia nampak keren sekali, dia wanita tercantik ku" ujarnya sendiri dengan tersenyum.

"Sementara itu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG mengingatkan masyarakat harus tetap waspada terhadap peningkatan curah hujan wilayah Jabodetabek"

"Saya Renata dari CNB indonesia"

"Kavian" Kavian menoleh saat seseorang memanggilnya, dia nampak terkejut dan dia ingat kalau dia sedang buru buru.

"Apa yang kamu lakukan ?" tegur seseorang itu padanya.

Kavian nampak menghela nafasnya, dia pun sedang merasa bersalah, namun dia mencoba tenang dan dia pun tersenyum ketika itu.

Dia adalah Kavian Airlangga, dia punya impian , impiannya sederhana dia ingin menjadi seorang dokter hebat.

"Cepat, kamu sudah sangat terlambat" Kavian mendapat teguran lagi dari seseorang yang tak lain rekan magangnya di Rumah sakit itu.

"Maaf.. Maaf" Dia pun kembali berlari kecil dan mensejajarkan langkahnya dengan para senior juga kepala dokter.

Dia terus mengikuti langkahnya, hingga sampai di satu ruangan pasien dan dia segera membuka buku kecil dari sakunya.

"Bapak Ridwan, 78 tahun. Dia dinyatakan darah tinggi. Lumpuh di lengan kiri dan kaki, kelihatannya dia menderita infeksi saluran kemih. Kami rencana untuk mengetes ginjal dan U/A"

Kavian nampak sibuk mencatat apa yang sedang Asisten dokter katakan perihal status pasien pada kepala dokter itu.

"Ini tidak sulit, jadi tidak perlu khawatir" ucap kepala dokter pada pasien itu.

Lalu mereka kembali melangkah dan kembali masuk ke salah satu ruangan lainnya, Asisten dokter melakukan hal yang sama, menyebutkan status pasien mereka.

Dengan serius Kavian mendengarkan serta mempelajari apa yang baru saja dia pelajari ketika itu.

Setelahnya mereka kembali melangkah.

"Dokter"

Kavian memanggil kepala dokter itu, dan beliau segera menoleh atas panggilannya Kavian.

"Maaf Dokter, kenapa anda tidak bertanya ?" tanya Kavian padanya "Anda tau, dimana kita berada sekarang"

"Sekarang hari terakhir dari bagian bedah di PK, Dokter dokter lainnya bertanya dan membuat kita membuat laporan kasus. Kenapa Anda tidak bertanya pada kami ?" lanjutnya lagi.

"Apakah kau seorang dokter ?" tiba tiba kepala dokter balik bertanya pada Kavian.

"Belum" jawab singkat Kavian.

"Saya yakin kau bisa seperti itu, karena kau berpakaian seperti itu dan membawa buku kedokteran. Kau pasti senang ketika orang memanggilmu dokter, tapi kau mungkin berharap tamat segera. Saya tidak menanyakan pertanyaan sulit, pertanyaan apa ? Jika saya bertanya apakah kau mengerti ?" ucap beliau panjang lebar

"Jadi kau tidak memberikan kami satu kesempatan " tanya Kavian lagi.

"Buat apa saya harus membuang waktu, untuk mendengar pertanyaan yang tidak berguna ?"

"Ta..tapi" sebelum Kavian melanjutkan bicaranya, terdengar suara mangkok terjatuh, dan itu mengalihkan atensi kepala dokter serta diri Kavian dan para senior lainnya.

Kepala dokter mendekat pada pasien anak kecil yang sedang memberontak pada perawat.

"Aku ingin pulang" rengek anak kecil itu,

"Apa yang terjadi ?" tanya kepala dokter yang melihat kegaduhan itu.

"Biarkan saya pulang" anak kecil itu kembali merengek dan berniat akan melepaskan infusan tangannya.

Dua perawat di sampingnya nampak kewalahan "Dia memindahkan IP dan dia berkata ingin pulang" ujar salah satu perawat.

"Apakah kau punya diagramnya ?" tanya kepala dokter pada senior atau asisten dokter tersebut.

"Biarkan aku pulang" rengek nya lagi.

"Ziro, 12 tahun. Dia pingsan kemarin malam di rumahnya"

"Apa diagnosanya ?"

"Tidak ada yang aneh di CT scan atau MRI"

"Bagaimana dengan keluarganya ?"

"Dia mempunyai saudara perempuan dan sedang menuju ke sini. Tetangganya mengatakan dia selalu tertutup dan pendiam"

Kepala dokter menghela nafas dan menghampiri anak kecil itu yang sudah stabil serta membaringkan tubuhnya di atas brangkar.

"PK, ingin saya menanyakan pertanyaan ?" ujarnya, lalu melihat ke arah Kavian.

"Apa ?" Kavian nampak gugup, saat semua mata tertuju padanya.

"Apa pendapatmu tentang masalahnya ?" tanyanya pada Kavian dan sukses membuat Kavian gugup serta bingung.

"Bukankah, kamu ingin saya bertanya ? Kamu punya waktu dua jam, keberatan ?"

Kepala dokter melangkah keluar melewati Kavian begitu saja, serta semua orang meninggalkannya juga di ruangan itu.

"Tapi..." ucapnya, namun semua orang sudah keluar, dia pun menghela nafasnya.

Keinginannya untuk bisa menjadi seorang dokter, belum bisa dia raih, di masih belum lulus dari kuliah nya dan juga dia masih harus melewati tahap Koas ( Co - Asisten) dia belum bisa dibilang seorang dokter, semua dokter muda harus melewati tahap itu dahulu, menjadi Asisten seorang dokter dan itu berlangsung sekitar 1,5 sampai 2 tahunan.

Dia masih menjadi pemagang di sana dan dia masih harus banyak belajar lagi. Dia segera mengambil salah satu kursi dan dia duduk di sebelah pasien anak yang bernama Zero itu.

"Dia sebelumnya tidak punya masalah di kepalanya, dia juga tidak punya infeksi, namun ada yang dia sembunyikan" ucapnya sendiri.

"Sial, aku sedang dalam masalah" ujarnya lagi sambil menangkupkan kepalanya ke atas kasur sebelah anak itu , lalu dia mengetuk ketukan buku yang dia pegang pada kepalanya.

Sehingga membuat anak yang tadi tertutup matanya menjadi terbuka dan melihat ke arah Kavian, lalu anak itu akan berniat kembali membuka infusan di tangannya, namun Kavian segera sadar.

"Hei..hei..." ujarnya sambil menahan tangan anak itu,

"Kenapa kamu bandel sekali, kamu mau sembuhkan ? Ini harus terpasang"

"Aku tidak sakit sama sekali, lepaskan aku" rengek anak itu kembali.

Kavian nampak kesal "Diam dan kamu duduk saja" tegurnya pada dia. "Orang yang tidak sakit, tidak akan pingsan"

"Kakakku tidak punya uang, biarkan aku pergi"

Kavian kembali kesal "Diam lah !!" sedikit membentak, lalu dia sadar kalau dia sedang berada di ruangan banyak pasien, dia pun meminta maaf pada pasien lainnya atas kegaduhan yang dia lakukan.

Lalu dia kembali menatap Zero dan dia masih nampak kesal "Kamu tidak sendirian di sini" ujar Kavian.

"Kalau begitu biarkan aku pulang saja" Zero masih bersikeras untuk meminta pulang,

"Nampaknya anda tidak akan bisa membiayai pengobatan saya di sini !!"

"Kalau iya, bagaimana ?" "Saya akan membayarkan mu, kamu senang ?" Kavian pun berkata sembarangan, hanya agar anak itu diam.

Zero melihat Kavian dengan penuh harap "Jangan bohong" ucapnya agak sedih,

"Sudah jangan banyak berkata kata kamu, yang harus kamu lakukan adalah sehat kembali" Kavian memukul kepala anak kecil pelan sangat pelan.

Tapi tiba tiba Zero terbatuk batuk,

"Hei, kamu jangan berpura pura, orang akan berpikir saya sudah melukai kamu !!" Kavian nampak sedikit panik,

Zero langsung memegang kepalanya, dan dia kembali terbatuk terbatuk.

"Zero, Zero kamu baik baik saja ?" tanya Kavian masih dengan panik, dan terlebih ketika Zero muntah

"Hei, Zero kamu kenapa ?" tanyanya lagi,

"Suster,, suster" teriak Kavian panik.

"Kenapa anda memukul kepala saya ?" Zero mengatakan itu dengan dia menangis.

Kavian nampak merasa bersalah, tapi itu membuat dia bisa menyimpulkan pertanyaan yang kepala dokter tadi tanyakan padanya.

***

HAI MANTEMAN, INI CERITA BARU YA, INSYA ALLAH AKAN SERU, JADI MINTA BANTUANNYA YA CUKUP LIKE DAN KOMEN, DAN KALAU BISA KASIH HADIAH JUGA, HIHIHI...

OK LANJUT BACANYA YA, BIAR MAKIN PAHAM JALAN CERITANYA....

Episode 2

Setelah membuat Zero tenang, Kavian langsung menemui Kepala dokter, dia mencari cari dimana keberadaan beliau.

Hingga akhirnya dia pun melihat beliau sedang berjalan dengan masih di iringi pada seniornya.

Sebelumnya di memberi hormat pada beliau, lalu dia berkata dengan yakin.

"Saya pikir, Zero menderita satu aneurisma otak"

"Dasarnya ?"

"Dia mempunyai radang tenggorokan akut, setelah batuk kepalanya mulai sakit, saya rasa tekanan darahnya naik karena batuk yang berlebihan, Aneurisma otaknya kambuh"

Kepala dokter nampak ragu apa yang dikatakan Kavian tadi, sehingga dia tidak percaya.

"Tapi Saat tadi dia tidak menunjukkan sakit kepala ataupun muntah" ucap beliau.

"Dia mungkin tidak mau mengatakannya, karena dia tidak ingin membuat Kakaknya cemas. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dia kesakitan juga dia muntah muntah" matanya menunduk dan menunjukkan jasnya yang kotor akibat muntahan Zero tadi.

"Dia tidak berani mengatakan itu, karena itu mencemaskan akan kakaknya yang tidak punya uang untuk pengobatan dirinya itu" jelas Kavian lagi.

"Dia baru 12 tahun, dan itu tidak mungkin" sangkal kepala dokter.

"Adik perempuan saya juga seperti itu, dia merahasiakan akan sakitnya, karena dia tidak mau saya cemas" Kavian menghela nafasnya kala teringat akan adiknya.

"Lalu bagaimana kamu menjelaskan akan hasil CT atau MRI ?" tanya kepala dokter.

Tapi dengan yakin Kavian menjawab "Pendarahan bisa terjadi begitu saja, dia kelihatan labil dan cemas, saya meneliti tentang pasien yang mengungkapkan ketakutan berlebihan, atau tidak dapat mengontrol kemarahannya terus menerus"

"Apakah itu karena dia kecanduan obat obatan ?" sergah Kepala dokter.

"Dia bukan termasuk anak yang kecanduan obat" kali ini Kavian nampak kesal pada kepala dokter itu.

"Sepertinya anda memang tidak mau mendengarkan apa pendapat saya, itulah kenapa anda begitu menentang saya !!" ucap Kavian dengan nada kesal

"Hei kamu !!" asisten kepala dokter lain nampak tak suka dengan perilakunya Kavian, sehingga dia menegurnya.

Namun sebuah telepon membuyarkan semuanya, dan kepala dokter nampak menerima telepon itu.

Kepala dokter nampak menatap Kavian dengan angkuhnya "Sudah ada hasil dari Zero, dan hasilnya dia tidak menderita aneurisma otak, seperti yang kamu mendapatkan, kalau kamu tidak yakin pergi dan lihatlah sendiri" terang kepala dokter itu, setelah menerima telepon.

Kavian nampak menghela nafasnya ketika itu, tapi sebenarnya dia masih sangat yakin akan diagnosanya pada Zero, tapi entahlah apa yang terjadi.

"Tidak, saya yang salah" Kavian pun memilih meminta maaf pada beliau, para senior dibelakang kepala nampak tertawa remeh pada Kavian.

"Jika dia tidak menunjukkan gejala lain, biarkan dia pulang" ucapnya pada asisten dibelakangnya.

"Ya dokter" jawabnya.

Lalu mereka kembali pergi meninggalkan Kavian sendiri lagi. Kavian nampak kesal pada dirinya sendiri, bagaimana bisa menjadi dokter, jika dirinya saja sudah salah begitu.

Dia pun pergi ke toilet rumah sakit, lalu menguyur wajahnya dengan air dan dia menatap cermin dengan rasa kesal dan marah.

***

"Kavi"

Kavian menoleh saat seorang wanita memanggil dirinya yang baru saja dia keluar dari rumah sakit, untuk hari ini tugasnya sudah selesai, walau semuanya tidak berjalan dengan baik.

Kavian tersenyum kala melihat wanita yang dia anggap kekasihnya itu, dia pun menghampiri wanitanya.

"Kenapa repot repot datang ke sini ? Aku kan bisa yang datang menjemputmu !!" ujar Kavian, setelah mendekat.

Wanitanya nampak tersenyum lebar, lalu dia merangkul tangan Kavian dengan manja.

"Kebetulan aku lewat sini, jadi sekalian aja aku jemput kamu, gak papa dong kali kali aku yang datang jemput kamu" ucapnya dengan nada yang masih manja.

Kavian mengelus elus rambutnya dengan lembut, serta tersenyum hangat juga padanya.

"Hari ini aku sedang melewati hari tak baik, tapi karena kamu datang menjemput, suasana hatiku menjadi baik, terima kasih ya" ucap Kavian, mereka terdiam.

"Kenapa ? Apakah kepala Dokter lagi lagi gak menghargai pendapat kamu lagi ?" Wanita itu bisa menebak dengan benar.

Kavian mengangguk, hatinya masih terasa kesal saat itu.

"Kasian, kalau gitu kita makan aja yuk, aku akan hibur kamu kali ini" Dia mengajak Kavian untuk makan saja dan juga dia bilang akan menghibur Kavian.

Tentu saja itu membuat Kavian tersenyum sumringah, mereka pun berjalan hingga sampai parkiran motor.

Renata Maheswari wanita cantik yang Kavian pacari tujuh tahun ini, perjalanan cinta mereka tidak selalu mulus, mereka sudah saling mengenal sejak kecil.

Hubungan mereka sudah lama terjalin, dan tentu saja Kavian sudah punya rencana untuk mempersunting Renata menjadi istrinya dan kini dia sedang berusaha.

Renata kuliah di satu kampus dengan Kavian, dan dia juga punya impian, impiannya bisa menjadi seorang reporter, namun banyak rintangan yang harus dia hadapi juga seperti Kavian untuk bisa menjadi reporter handal dan hebat perlu perjuangan extra dan sekarang dia sedang berusaha.

Tapi Renata sudah lulus lebih dulu dari Kavian.

"Hari ini aku yang traktir kamu, jadi kamu bisa kamu tabung untuk rencana kita nanti"

Keduanya sudah sampai di salah satu restoran yang sederhana, karena Kavian belum mendapat gaji banyak dari Rumah sakit jadi Kavian belum bisa membahagiakan Renata sepenuhnya.

"Tapi Ren..."

"Sttttt,, udah jangan banyak bantah, kita nikmati aja sore ini ya"

Bagaimana Kavian tidak cinta lagi dan lagi pada wanitanya ini, kalau diperlakukan seperti ini. Maka Kavian akan lebih berjuang lagi dan lagi, sisa satu tahun lagi untuk menyelesaikan belajarnya.

"Jangan banyak pikiran, ok !! hari ini hari kita berdua, dan suasana hati kamu harus bagus hari ini, lupakan yang terjadi tadi di rumah sakit, dan sekarang yang harus kamu pikirin aku yang ada di depan kamu ini"

Kavian tersenyum lebar, dia pun segera memegang erat tangannya Renata.

"Makasih ya, aku makin cinta sama kamu" dia juga mengecup kecil tangan Renata, dan Renata tersipu malu.

Renata pun mengangguk, hingga sampai makanan pun datang, dan mereka sama sama menikmati makan sorenya itu dengan penuh canda tawa.

Banyak hal yang mereka bicarakan ketika itu, sampai suara telepon membuyarkan mereka.

Kavian segera melihat layar ponselnya, dan melihat siapa yang menelepon ternyata itu dari Mutiara - adik perempuannya Kavian.

"Iya halo dek, ada apa ?"

Baru saja dia menjawab, dia langsung berdiri panik mendengar suara adiknya. Renata pun jadi ikut panik.

"Sekarang Kakak pulang, kamu tahan dulu sakitnya ya, sekarang Kakak pulang, ok !!"

Kavian langsung menutup telepon itu, dan menatap Renata.

"Ayo pulang, Mutia lebih membutuhkan kamu, Kavi" ucap Renata.

"Maaf waktunya kembali terganggu" Kavian sedikit merasa bersalah, namun Renata meyakinkan dirinya untuk tak perlu khawatir.

"Jangan pikirin aku, bersama aku masih banyak waktu, sekarang Airin sedang butuh kamu, ayo pulang"

Kavian tersenyum hangat, mereka pun memutuskan untuk pulang, Kavian mengantarkan Renata sampai depan kosannya sedangkan dirinya pergi ke rumah menemui Mutia adiknya.

Episode 3

Rumah sakit besar itu nampak sedang sibuk, mendapati banyak pasien yang baru datang.

Hingga ada satu pasien yang sedikit mengusik kepala dokter, pasien anak bernama Zero yang baru saja di pulangkan tadi siang, kembali ke Rumah sakit itu di malam hari dengan keadaan muntah muntah.

Kepala dokter yang baru saja akan pulang, di datangi asistennya.

"Ada apa ?"

"Pasien bernama Zero, kembali masuk gawat darurat lagi dengan keadaan mual dan pingsan, pemeriksaan lain menunjukkan pendarahan dalam karena aneurisma otak. Ada beberapa pembekuan darah juga di otak" jelas asistennya.

Kepala dokter nampak menghela nafasnya, dia jadi teringat akan diagnosa Kavian tadi siang. Dan dia kembali melepas jasnya dan kembali memakai jas dokternya.

"Berikan dia manitol IV dengan obat mual dan pereda nyeri"

"Ya dokter"

"Ah, dimana Pemagang tadi siang ?"

"Maksud anda ?"

"Petugas yang mendiagnosa anak itu aneurisma otak"

"Ah, maksud anda Kavian Airlangga, Pak ? mungkin di lab atau sudah berada di rumah"

"Hubungi dia"

Kepala dokter itu akan melangkah keluar, namun langkahnya terhenti lalu menatap asistennya dan berkata "Haruskah saya katakan dia yang benar dan saya yang salah, saya sudah mengabaikan pendapatnya. Saya malu sebagai seorang pembimbingnya" beliau mengakui kalau Kavian lah yang benar.

Apa yang sudah Kavian katakan adalah kebenaran, dan Kavian pantas mendapatkan satu poin atas tugasnya.

"Satu tahun ke depan, kita akan mendapatkan dokter hebat seperti Kavian"

***

Kavian sampai di rumah saat malam sudah tiba, dia pun segera berlari dengan cepat untuk segera masuk rumahnya itu.

Dan mendapati sang adik sudah terbaring lemah dengan beberapa muntahan pada baju juga lantai rumah.

Kavian nampak panik "Mutia,, Mutia buka matamu dek" dia memangku Mutia untuk berada di atas pahanya, dan dia berusaha membangunkannya.

"Mutiara..." "Mutia, buka mata kamu, bangun"

Terlihat perlahan Mutiara membuka matanya, Kavian mengecek suhu tubuh Mutiara, nampak demam lalu dia mengecek detak nadi di tangannya dan itu berdetak dengan cepat.

"Tak boleh begini, aku harus membawa kamu ke rumah sakit dengan cepat" ucapnya dengan sangat panik.

Kavian membangunkan Mutiara dan membiarkannya duduk "Bersandar lah" dan dia juga menyandarkan Airin pada lemari di belakangnya, lalu dia mengambil kaus kaki di lemari.

"Pakailah, ayo segera ke Rumah sakit" ucap Kavian lagi.

"Aku baik baik saja, kak" ucap Mutiara terbata bata.

"Baik baik saja bagaimana, kamu sedang demam tinggi, dek"

Kavian juga memakaikan jaket pada Mutiara, serta dia langsung menggendong Mutiara di punggungnya, dengan berjalan cepat dia memanggil taksi yang lewat dan segera masuk bersama Mutia.

Rumah sakit terdekat adalah pilihan Kavian, karena jika harus ke rumah sakit besar jaraknya agak jauh. Mutia pun dibawa masuk ke UGD dan bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi.

Kavian segera meraih ponselnya dan terlihat nama Renata di sana, saat perawat membawa Mutia dia berhenti dan mengangkat telepon dari Renata dulu.

"Ya Ren, aku sedang berada di Rumah sakit"

Belum Renata bicara, Kavian sudah berkata dimana dia berada, namun suara Isak tangis dari Renata membuat dia jadi tambah panik setelah sang adik.

"Ren, kamu kenapa ? Ada apa ?"

"Hiks,, Kavi, tolong aku. Aku harus bagaimana sekarang, aku harus bagaimana ?"

Suara Renata semakin mengusik Kavian, hatinya ikut teriris kala mendengar Renata menangis.

"Ok, kamu tenang dulu ya, ceritakan ada apa ?" Kavian mencoba membuat Renata untuk tenang, namun sepertinya terjadi sesuatu pada Renata di sana.

"Kamu ke sini Kavi, aku takut" ucapnya lagi.

Kavian jadi bingung, dia pun berlari menghampiri adiknya yang mulai akan ditangani oleh Dokter jaga.

"Dek"

"Kakak"

"Kavi, tolong kamu cepat ke sini, aku benar benar takut Kavi"

Suara Renata terdengar oleh Mutia, dia lalu menatap Kavian.

Kavian tambah bingung, di sisi lain Mutia adalah adiknya, dan di sisi lain Renata wanita yang dia cintai.

"Kavi, aku benar benar takut, kamu harus selamatkan dia, dia tidak benar benar meninggalkan, kan ? Aku takut Kavi" ucap Renata lagi di balik telepon.

"Maksud kamu apa ?"

"Cepat datang ke sini Kavian !!!"

Ponselnya tertutup, dia menatap Mutia lagi.

"Dek, Kakak pergi dulu sebentar, kakak akan cepat kembali, ok !!" Kavian meminta ijin pada Mutia

Saat dia berbalik, Mutiara menahan kaos Kavian "Jangan pergi Kak"

Kavian terdiam "Kakak hanya sebentar, Kak Renata sedang butuh Kakak" ucap Kavian.

"Aku sedang sakit, kakak jangan pergi, jangan tinggalin aku" pinta Mutia dengan meneteskan air matanya.

"Kakak hanya sebentar, dek. Kakak pasti kembali dengan cepat" Kavian mencoba meyakinkan Mutia.

Mutia menggelengkan kepalanya "Jangan pergi, aku benar benar sangat sakit, Kak"

Kavian duduk, lalu menggenggam tangan Mutia erat "Hitung sampai 1000, dalam hitungan 1000 Kakak janji akan kembali, ok !! Berhitung sampai 1000 ya "

"Kakak janji" Kavian menggantungkan jari kelingkingnya, untuk mengucap janji pada Mutia.

Mutia nampak kembali menangis dan menatap Kavian dengan iba. Lalu dia menepis tangan Kavian.

"Aku akan mati !! Jika Kakak memilih menemui Kak Renata maka aku akan mati !!" ancam Mutia

Kavian tambah bingung, situasi saat itu benar benar membingungkan nya tapi rasa khawatir pada Renata lebih mendominasi.

Mutia menangis tersedu sedu "Kakak pasti akan kembali, hitung sampai 1000, ok !! Sebelum hitungan selesai sampai 1000, kakak akan kembali. Kakak pasti kembali, Kakak akan hubungi kak Andrian untuk menemani kamu sebentar"

Kavian berdiri dan dia mengelus rambut Mutia, jelas dia merasa sangat bersalah pada Mutia, adik satu satunya itu. Mutia juga kembali menangis dan menatap Kavian dengan marah.

Nyatanya Kakaknya itu lebih memilih Renata, dia langsung menepis tangan Kavian dari rambutnya dan memalingkan mukanya dengan cepat. Dia marah pada Kakaknya itu.

Kavian menghela nafas "Maaf dek" setelah mengucapkan itu, dia segera berlari keluar rumah sakit dan mencari kendaraan yang lewat untuk dia naiki sampai ke tempat dimana Renata berada.

Beberapa menit menunggu, kendaraan pun datang dan dia segera menaiki itu, dia mencoba menghubungi Renata lagi, namun tidak terangkat. Dia terus menatap ponselnya dengan hati was was.

Dia tidak tau apa yang terjadi pada Renata di sana, dan siapa yang dimaksud meninggal olehnya. Kavian benar benar tidak tau.

Dan sampailah di sebuah hotel, tempat dimana Renata berada malam itu, dia segera masuk ke sana, dan sempat bertanya lebih dulu, setelah mendapati di mana Renata dia pun segera masuk dan mendapati Renata yang sedang menangis di atas ke dua lututnya.

Saat Kavian datang, Renata langsung berdiri dan segera memeluk Kavian dengan erat dengan tangisan yang menyayat hati.

"Apa yang terjadi ?" tanya Kavian, lalu dia menatap seorang pria yang sudah tergeletak dia lantai sebuah tempat tidur dengan bersimbah darah.

"Ren ?"

***

Like dan Komen nya dong, Episode 4 akan aku up besok ya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!