"Munah....," suara serak nan lirih yang terdengar dari kejauhan memanggil namanya.
Wanita paruh baya itu mengusap-ngusap telinganya yang mana suara panggilan berulang itu seringkali ia dengar selama beberapa minggu ini.
"Amdan, Am...,kemarilah!" teriaknya dengan mimik wajah ketakutan.
Amdan, seorang pria beristri dengan satu orang yang merupakan anak bungsu dari Munah dan yang selama ini merawatnya dengan begitu baik meskipun Munah memiliki kekurangan dalam hal.
Munah orang yang buta huruf, namun nilai uang ia masih mengerti. Bahkan Munah mengalami sedikit depresi, sehingga ia harus mendapatkan perhatian lebih. Akan tetapi satu kelebihannya, ia memiliki wajah yang cantik.
Amdan setengah berlari meninggalkan warung sembako yang dibangunnya didepan rumah.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan nada setenang mungkin.
"Tadi ada yang memanggil ibu, dan itu, tadi dibalik jendela ada yang seperti mengintai ibu," tunjuknya pada jendela kaca yang mana masih terbuka tirainya.
Amdan berjalan menghampiri jendela, lalu menutup tirai dengan cepat.
"Tidak ada siapa-siapa, Bu. Kalau hari sudah gelap, tirainya jangan lupa ditutup," Pesan Amdan dan berusaha sesabar mungkin menghadapi ibunya.
"Tapi tadi benar, ada seseorang yang bertinggi besar warna hijau disana," Munah kembali meyakinkan putera bungsunya.
Amdan menghampiri ibunya, lalu menarik selimut dan menutupi setengah tubuh wanita yang melahirkannya, sebab mereka tinggal didaerah perbukitan, dan jika dimalam hari udara sangat dingin.
"Ya sudah, Amdan temeni tidur," ucapnya, lalu duduk disisi sang ibu.
Munah menganggukkan kepalanya, ia mencoba memejakan matanya, kehadiran buah hatinya membuat ia merasa tenang. Munah memiliki 5 orang anak. Tiga laki-laki dan dua perempuan, namun ia merasa betah tinggal dengan si bungsu, karena hanya itu yang mampu membuatnya senang.
Perlahan Munah mulai mengantuk, lalu tertidur. Melihat sang ibu tertidur pulas, Amdan keluar dari kamar dan tak lupa menutup pintu dengan sangat hati-hati, takut jika sang ibu terbangun kembali.
Wuuuuuusssh....
Desiran angin berhawa panas menerpa tengkuknya. Lalu seketika ia merasa meremang dan punggungnya serasa menebal.
Amdan terdiam sejenak, lalu menyapu pandangannya kesekitar rumah, dan tak ada sesiapapun disana.
"Am, beli rokok!" suara Udin yang berada didepan rumahnya.
"Ya, bentar," sahut pria bertubuh tinggi tersebut, lalu bergegas keluar dari rumah menuju warung yang berada sekitar lima meter terpisah dari rumah.
"Munah...," suara bisikan itu kembali terdengar dengan begitu nyata. Seketika wanita itu membuka matanya dan melihat tirai jendela berkibar tertiup angin, sedangkan diluar tidak ada angin yang berhembus.
Ia menarik selimut dan mencoba menghampiri jendela yang mana tirainya tertiup angin. Terlihat dibaik jendela sosok mengerikan yang bertubuh tinggi berwajah seram dengan kulitnya yang berwarna hijau.
"Hah," ia berjalan mundur dan berlari ke arah pintu, lalu membukanya dengan cepat.
"Am, Am.... Tolong ibu!" teriaknya dengan kencang sembari berlari menuju ke arah warung yang mana disana ada beberapa pemuda yang sedang duduk sembari bergitar dibangku kayu yang sengaja dibuat oleh Amdan untuk para remaja nongkrong sembari minum kopi yang diracik oleh Amdan, dan mereka merasa betah.
Teriakan Munah membangunkan sang menantu yang baru saja tertidur. Wardha yang baru saja terlelap akhirnya harus kembali membuka matanya dan keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi.
Ia yang mengetahui jika ibu mertuanya memiliki gangguan depresi semenjak masa pacaran, harus menerima semua yang ada.
"Ada apa lagi, Bu?" tanya Amdan, lalu menghampiri sang ibu dan menggiringnya masuk kedalam rumah agar tak menimbulkan keributan.
Sedangkan Wadha juga membantu suaminya membawa sang mertua masuk ke dalam rumah.
"Am, a-ada hantu, disana," ucap Munah dengan terbata dan wajahnya yang memucat.
"Ah, ibu ada-ada saja. Ya sudah, kalau takut tidur dengan Wardha saja malam ini," usulnya. Ia tahu jika sang istri keberatan, sebab ia pastinya akan terganggu tidur, namun Amdan tak punya pilihan, sebab ia harus menjaga warung, karena dari situ tempat mereka mengais rezeki.
Dengan berat hati Wardha menyetujuinya, dan masuk ke dalam kamar dengan wajah masam.
Melihat sang ibu kembali tenang, Amdan bernafas lega, lalu kembali ke warung dan berjualan untuk memasak mie pesanan para remaja yang sejak tadi masih nongkrong.
Wardha menatap sang ibu mertua yang tidur dilantai beralaskan kasur tipis yang biasanya dijadikan tempat tidur oleh Amdan, sebab kasur springbed mereka sudah tidak lagi muat untuk bertiga karena putera mereka yang berusia empat tahun sangat lasak jika tidur.
Wardha ingin memejamkan matanya yang sejak tadi sudah sangat terasa berat. Namun sang ibu mertua tampak gelisah dan sesekali bamgkit, lalu tidur kembali.
Wanita itu tak lagi dapat menahan rasa kantuknya, sebab ia sangat lelah dan membiarkan sang ibu mertua mengoceh tak jelas.
********
Kukuruyuuuk....
Terdengar suara ayam jantan berkokok dan membangunkan Wardha yang tertidur pulas. Ia mengerjapkan kedua matanya yang masih terasa kantuk. Ia melihat ke bawah kasur, tidak ada Amdan disana, hanya ibu mertuanya yang masih mendengkur, sepertinya ia tak menyadari sejak kapan wanita itu tertidur.
"Apa bang Amdan tertidur diwarung?" gumamnya, sembari menyingkap tirai jendela, lalu mengamati pintu warung yang tertutup, tetapi ada dua orang remaja yang masih belum juga pulang dan sedang bermain phonsel, sebab diwarung mereka ada menyediakan wifi gratis, sehingga mereka betah berlama-lama disana.
Ia kembali menutup tirai, lalu beranjak turun untuk perginke kamar mandi. Saat bersamaan, ibu mertuanya terbangun dan hampir saja membuatnya kaget.
"A, ibu. Ngagetin saja," ucap Wardha dengan kesal.
"Ibu mau ke kammar mandi," ucapnya dengan cepat.
"Ya sudah, ayo. Jangan sampai biang air dilantai, aku capek membersihkannya," omel Wardha lagi.
Munah tak menjawab, namun ia berusaha bangkit dari tidurnya dan menuju ke kamar mandi mendahului menantunya.
"Aaaaaaarrgh....," teriak Munah dengan kencang.
Braaaaaaak...
Terdengar suara orang terjatuh dilantai kamar mandi. Wardha bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan mendapati Munah tergeletak dilantai dengan meringis kesakitan.
"Bu...," teriak Wardha dengan panik.
Teriakan Wardha yang tak kalah kencang membangunkan Amdan yang sedang tertidur pulas.
Sedangkan dua remaja yang tadi nongkrong dibangku kayu sudah kembali pulang.
Amdan bergegas masuk kedalam rumah melalui kunci cadangan. Lalu berjalan menuju suara gaduh dikamar mandi.
Ia melihat dua wanita yang sama ia cintai sedang terlihat panik dikamar mandi.
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Amdan panik.
"Kpleset mungkin, Bang?" Jawab Wardha yang berdiri tanpa melakukan apapun.
"Biarkan ibu bangkit sendiri, takutnya nanti stroke jika dibantu," Amdan mencoba menjaga ketenangannya.
Namun lama mereka menunggu, tak ada tanda-tanda sang ibu akan bangkit sendiri. Seketika Amdan bergegas menghampiri sang ibu.
"Bu, ibu bisa bangkit?" tanya Amdan dengan rasa khawatir.
"Sakit," tunjuknya pada pergelangan kakinya yang terlihat lebam seperti cengkraman sebuah tangan yang memiliki jemari yang sangat besar.
"Bu!" pekik Amdan dengan sejuta rasa khawatir yang memenuhi rongga hatinya. Ia melihat jika sang ibu tak lagi dapat bangkit, maka ia memutuskan untuk menggendongnya.
Wardha mengerutkan keningnya. "Ya Tuhan? Jika ibu stroke, mala ini akan menjadi beban bagiku!" gumamnya dengan perasaan bingung.
Ia menarik nafasnya yang terasa berat, lalu beranjak dari kamar mandi dan mengekori suaminya yang membawa sang ibu mertua ke dalam kamar.
Terlihat Amdan mengganti pakaian sang ibunda yang tampak basah.
Sementara itu, Muna tak dapat menggerakkan tubuhnya, sebab ototnya seperti kaku.
Wardha semakin frustasi. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ini sangat mengerikan jika ia bayangkan, sebab mengurus orang stroke bukanlah perkara mudah baginya.
"Oh, tidak! Aku tidak mau jika ini menjadi beban hidupku!" ia terlihat gelisah.
Amdan telah selesai mengganti pakaian Munah yang basah. lalu membenahi posisi tidur yang nyaman.
"Dik, telfonkan dr. Aqila untuk datang kemari," titah Amdan pada sang istri yang sedari tadi hanya berdiri diambang pintu.
"Iya," jawab Wardha kesal. Itu tandanya jika ia harus kehilangan jatah belanja yang tidak lagi full, sebab dipakai untuk membayar biaya pengobatan ibu mertuanya.
Wanita itu beranjak ke kamarnya, lalu menghubungi dokter yang diminta oleh suaminya.
*****
Suara deru mesin motor berhenti tepat didepan rumah mereka. Lalu datang seorang dokter muda berambut sebahu dengan nan cantik rupawan.
"Assalammualaikum," ucapnya dengan sangat sopan.
"Waalaikum salam," sahut Amdan dan Wardha bersamaan.
Lalu dokter muda itu masuk ke dalam rumah dan disambut Wardha yang sedari tadi sudah sangat gelisah.
"Ke kamar, Dok," ajak wanita itu dengan wajah masam.
Wanita muda itu menganggukkan kepalanya, lalu mengikuti masuk ke kamar sebelah. "Apa kabar ibu Munah?" sapa Aqila saat melihat wanita paruh baya itu terbaring tanpa dapat menggerakkan tubuhnya, bahkan untuk tersenyum saja ia tak mampu.
Aqila memeriksa Munah dengan benar. Ia melihat semua hasil pemeriksaan dalam kondisi normal. Tekanan darah dan juga kadar kolestrolnya dalam kondisi baik-baik saja.
"Apakah ibu merasakan pusing dikepala? tanya Aqila dengan ramah.
Munah hanya menatap tajam padanya tanpa jawaban apapun, dan hal itu membuat sang dokter sedikit bergidik.
"Emm, bang Amdan. Setelah saya periksa, semuanya dalam kondisi normal, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ucap sang dokter. Bahkan ia tak meninggalkan resep obat apapun.
"Apakah tidak ada obat yang dapat diberikan untuk ibu saya, Dok?" tanya Amdan yang meragukan kemampuan sang dokter.
"Begini, Bang. Semua dalam kondisi normal, maka tidak perlu diberi obat apapun," Aqila menjelaskan hasil pemeriksaannya.
Amdan semakin bingung, sebab ibunya mengalami stroke tiba-tiba, dan ini sangatlah hal mustahil.
"Sebaiknya abang membawa ibu berobat pada orang kampung," saran Aqila, sembari mengemasi peralatan medisnya.
"A-apa? Berobat kampung? Masa iya seorang dokter harus menyarankan itu pada pasiennya," cibir Amdan dengan rasa kesal.
"Ya itu terserah abang saja gimana nantinya," ucap sang dokter, lalu berpamitan pergi.
Amdan menghela nafasnya dengan berat. "Tunggu, Dok. Berapa biaya pemeriksaan ibu saya?" tanya Amdan dengan sedikit mengurangi rasa kesalnya.
"Tidak perlu, saya ikhlas, semoga ibu Munah lekas sembuh," sahut Aqila dan bergegas naik ke atas motornya.
Wuuuusssh....
Ia merasakan desiran angin berhawa panas yang membuatnya sedikit meremang dibagian tengkuknya.
Sang dokter menggedikkan pundaknya, lalu mengemudikan motornya meninggalkan rumah tersebut.
******
Malam beranjak. Ruangan rumah yang biasanya terasa sangat dingin karena tempat mereka tinggal adalah daerah perbukitan berubah suhunya menjadi sangat gerah.
Kipas angin tak dapat membantu mengurangi rasa gerah yang ada.
"Eeeeeee....," Munah berusaha berteriak memanggil puteranya sebab ia merasa jika dirinya sangat takut saat ini.
Satu sosok bertubuh tinggi dengan kulit berwarna hijau besar sedang menatapnya dengan seringai mengerikan.
"Eeeeee....," suara Munah yang tak dapat berteriak karena ia mengalami stroke.
Wardha yang mendengarnya merasa terganggu sebab kamar mereka bersebelahan dan tanpa platfom yang membuat suara mereka dapat terakses dengan jelas.
Wanita itu baru saja selesai menyusui puteranya, dan mendengus kesal, lalu turun dari ranjang dan menuju kamar ibu mertuanya. Saat ia membuka pintu, terlihat sang ibu mertua ternyata buang air kecil, wajahnya memucat tampak ketakutan.
"Apalagi sih, Bu! Nyusahin orang saja!" hardik Wardha dengan kesal.
"Eeeee....," jawabnya dengan bibir yang miring kesebelah kiri.
"Eee...eee..., ntah apa yang ibu katakan, ganggu istirahat orang saja," hardik Wardha yang semakin tak dapat mengendalikan emosinya.
Amdan yang baru saja masuk ke dalam rumah untuk mengmbil air galon melihat keributan kecil tersebut.
"Ada apa, Dik? Koq ribut-ribut," tanya Amdan dengan penasaran.
"Itu ibumu buang air kecil, aku tak sanggup merawatnya, kamu antarkan saja kepada kakak-kakakmu, aku tak mau merawatnya," ucap Wardha kesal.
Amdan membolakan matanya. "Apa maksudmu? Kamu tidak mau merawat ibu?" tanya pria itu dengan penasaran.
"Iya, aku tidak mau. Jika kau memaksaku merawat ibumu, maka lebih baik kita berpisah saja!" ancam Wardha dengan nada tinggi, lalu meninggalkan kamar sang ibu mertua dan masuk ke kamarnya.
Braaaaak...
Pintu dibanting dengan keras, dan membuat Amdan tersentak kaget.
Ia menghampiri sang ibu. "Ada apa, Bu?" tanya Amdan berusaha menjaga kewarsannya.
"Eee....," ucap Munah dengan tatapan tajam tertuju pada jendela.
Amdan menoleh ke arah luar, dan memeriksa disana, tak ada sesuatu yang mencurigakan, hanya rasa dipunggungnya menebal dan seolah ada yang mengawasi rumah mereka.
Amdan menutup.tirai jendela. Ia mengingat jika sore tadi sudah menutupnya, dan entah siapa yang membukanya kembali.
Pria itu baru menyadari jika ia harus menyediakan pampers dewasa untuk sang ibu. "Ya, Rabb, berilah keluasan rezeki untuk hamba dapat selalu membelikan semua kebutuhan ibu hamba," doanya dalam hati.
"Bu, Amdan ke warung dulu, ambil pampers," ucapnya lirih. Tentu saja hal itu didengar oleh Wardha.
"Huh, bertambah bengkak kalau begini pengeuaranku!" gerutunya dengan kesal.
Amdan berjalan menuju warung sembakonya. Sesaat ia melihat kelebatan tubuh yang mirip dengan Wardha melintas ke arah belakang. Amdan merasa curiga. "Ngapain dik Wardha ke belakang malam-malam? jika ia marah padaku, tetapi tidak juga harus kebelakang, mana kebun karet lagi," gumam Amdan dengan penasaran. Ia mencoba mengejar kelebatan bayangan yang menyerupai Wardha tersebut.
Ia tiba dibelakang, tetapi tidak ada sesiapapun, hanya ada bau busuk menyengat yang tercium olehnya.
"Kemana dik Wardha?" gumamnya, sembari menyapu pandangannya.
"Amdaaaan...," panggil seseorang dengan sangat lirih, namun terdengar jelas.
"Siapa itu? Dik, Dik Wardha," panggil Amdan dengan kencang.
Sesaat Wardha mendengar panggilan suaminya. Ia tadinya merasa jengkel kembali bertambah jengkel. "Ada apa lagi sih!" wanita itu berguman, lalu beranjak dari ranjangnya menuju keluar rumah.
Ia melihat Doni dan Joni sedang bermain gitar dibangku kayu. "Don!" panggilnya.
"Iya, Kak," .sahut pemuda itu.
"Ada liat bang Amdan tidak?" tanya Wardha.
"Tapi tadi masuk ke dalam, kak, katanya mau ambil air galon buat masak mie, kami juga nungguin," sahut pemuda itu.
"Ammmmdan...," suara panggilan yang terdengar berat dan serak seolah terdengar begitu jelas ditelinga pria tersebut.
Seketika bulu kuduknya meremang saat merasakan ada sekelebatan bayangan yang melintas dibelakangnya.
Amdan dengan cepat menoleh ke arah tersebut, namun tak sesiapapun disana, ia merasa sangat yakin jika melihatnya.
"Bang, bang Amdan," panggil Wardah dengan nada cemas dari arah dapur.
Suara panggilan sang istri terdengar hingga ke bagian belakang. Ia mengerutkan keningnya. "Dik, kamu dimana?" tanyanya dengan rasa penasaran.
"Aku didapur, abang dimana?" sahutnya.
Seketika Amdan berlari dari tempat tersebut dan menuju ke depan. Nafasnya tersengal karena bobot tubuhnya yang sedikit gempal membuatnya sangat lelah saat berlarian barusan.
"Eh, bang Amdan? Ngapain lari-lari dari arah belakang?" tanya Doni penasaran.
"Huh..huh..huh...," terdengar Amdan mencoba mengatur nafasnya yang tersengal. Ia mencoba mengontrol degub jantungnya yang tidak terkontrol.
Setelah dapat menenangkan dirinya, ia mencoba menyahuti pertanyaan dari Doni si pemuda bertubuh cungkring yang sering mangkal diwarungnya.
"Tadi abang liat kakakmu ke arah belakang, jadi coba abang kejar, ternyata tidak ada," ia mengurut dadanya yang terasa masih sangat begitu berat.
"Kak Wardah baru saja nyariin abang, ah mengigau saja abang ini. Mana mie kami, Bang? Dah lapar ini," omel Si Joni.
Amdan melongo. Jika istrinya masih didalam rumah, lalu siapa yang baru saja dilihatnya? Ah, entahlah, itu semua membuatnya sangat pusing.
Pria itu kembali ke warung dan memasak mie instan seperti pesanan ke dua remaja itu. Tak berselang lama, para remaja lainnya datang untuk nongkrong, dan warung dipenuhi oleh para pelanggan setianya yang selalu memberikan pundi-pundi uangnya.
*****
"Munah....," suara panggilan itu kembali terdengar. Mata wanita paruh baya yang tadinya sudah terpejam, kini harus kembali terbuka.
"Aaaaaaaa....," teriak Munah ditengah malam buta. Amdan yang baru saja akan menutup warungnya tersentak kaget.
Sesaat Doni menghentikan permainan gitarnya. "Mak Cik kenapa, Bang? Tanya Joni kepo.
"Gak tau, Jon. Tiba-tiba stroke, jatuh dikamar mandi. Dan beberapa malam sering berteriak ketakutan," sahut Amdan, lalu bergegas meninggalkan warung.
Sementara itu, Doni dan yang lainnya memutuskan untuk pulang, sebab tak ingin membuat bising, karena ada yang sedang sakit.
Wardah yang sedari tadi sangat sulit memejamkan matanya, dan disaat akan terlelap, justru teriakan ibu mertuanya membuatnya kembali terjaga.
Seketika ia menarik nafasnya dengan berat. Lalu mengacak rambutnya dengan kasar.
Ia beranjak dari ranjangnya dan keluar dari kamar untuk meninjau kamar sang mertuanya. Ia melihat jika sang suami sudah berada disana dan sedang menghadapi ibundanya.
"Ada apa lagi, sih, Bu? Tau gak ini malam? Aku capek, mau istirahat!" omel Wardah dengan kesal.
Akhir-akhir ini ia merasa jika dirinya sangat mudah marah dan juga tersinggung.
"Eeeh, eeeh, eeeh...," hanya itu yang dapat keluar dari mulut Munah, sebab ia mengalami stroke dan tidak dapat berbicara.
Sesungguhnya ia ingin mengatakan jika perutnya tiba-tiba merasa sangat sakit dan seolah sedang ditusuk ribuan jarum, itu sangat menyiksanya.
"Apanya yang sakit, Bu?" tanya Amdan berusaha tidak terpancing emosi oleh ucapan istrinya.
"Eh," Muna mengangkat tangan kananya, sebab tangan kirinya tidak dapat digerakkan.
Ia meletakkan tangan kanannya diatas perut dan air matanya meluncur dari sudut matanya, seolah ingin memberitahu jika itu sangat sakit sekali.
Amdan memegang perut itu, lalu meraih sebotol minyak angin dan membalurkannya disana sembari membacakan doa untuk kesembuhan sang ibu.
Sesaat Munah berteriak kencang, sebab rasa sakit tersebut semakin kuat. "Aaaaaarrggh," teriaknya, sembari menghentak-hentakkan kaki kanannya.
"Bang, tolong, Ya. Besok tolong telfon kakakmu, dan antarkan Ibu kerumahnya, aku tidak sanggup merawatnya," ucap Wardah kesal. Ia merasakan dunianya sangat kacau, lalu kemabli ke kamarnya dang menghempas pintu dengan kuat.
Amdan yang sudah sangat lelah tak dapat mengatakan apapun, dan semakin lama ia juga merasa tak sanggup jika seperti ini.
Akhirnya ia tertidur dilantai karena tak sanggup menahan kantuknya. Sedangkan Muna masih terus berjaga dan berteriak kembali saat ia melihat sosok tubuh yang besar dan tinggi dengan wajah menyeramkan dan berkulit hijau.
Terlihat sosok itu semakin mendekatinya dan tersenyum seringai.
"Munaaaah...., ikutlah denganku," panggilnya dengan suara sangat berat.
Wanita paruh baya itu tersentak kaget. Ia sangat ketakutan dan wajahnya memucat melihat sosok yang sangat menakutkan itu. Ia mencoba membangunkan puteranya, namun stroke yang tiba-tiba dialaminya itu memaksanya untuk tidak dapat bersuara, bahkan berteriak saja saat ini ia tak mampu.
Sesaat perutnya kembali terasa sangat sakit, dan ini membuatnya sangat tersiksa, keringat membanjiri tubuhnya karena mencoba menahannya seorang diri.
Adzan subuh berkumandang, sosok tinggi besar dengan kulit berwarna hijau itu tiba-tiba menghilang. Ia merasa sangat panas saat mendengar seruan tersebut, dan Munah kembali tenang, namun sakit diperutnya masih terasa sangat menyiksa, ia tidak tahu siapa makhluk mengerikan itu, dan apa tujuannya.
******
Amdan terbangun dari tidurnya. Hari sudah sangat siang, ia ketiduran, sebab sangat lelah berjaga untuk sang ibu dan juga mengurus warungnya.
Ia bergegas turun dari ranjang, lalu membuka warung. Sesaat ia berhenti sejenak. Dari dalam warung, ia melihat seorang pria yang merupakan tetangganya sedang duduk diatas motor dan pandangannya tertuju pada warungnya, ia seolah seperti sedang mengawasi sesuatu, entah apa dan sejak kapan ia ada disana.
Amdan merasakan sesuatu yang tidak nyaman, entah mengapa perasaan itu tiba-tiba hadir begitu saja.
Bahkan ia terlihat berkomat-kamit membaca sesuatu yang tak jelas, dan masih terus duduk diatas jok motornya.
"Apa yang sedang dilakukan oleh kang Danang disana?" gumanya dengan penuh penasaran.
Saat bersamaan, pak Udin datang membeli rokok. "Am, rokok surya, satu bungkus," ucapnya dengan lantang.
Ia bergegas mengambilnya, dan pria paruh baya itu membayar dengan cepat. Ia ingin berbalik arah, namun perlahan membatalkan niatnya, lalu kembali berbalik menatapku.
"Sore nanti, kamu taburi garam kasar sekitar warung hingga keliling rumah, jangan sampai terputus, dan abaikan siapa saja yang menyapamu, sembari membaca doa ruqyah," ucapnya dengan sangat serius.
"Memangnya ada apa, Pak?" tanya pria itu penasaran.
"Bapak merasakan ada hawa negatif disekitar rumah dan warungmu," lalu ia beranjak pergi tanpa menunggu pertanyaan dariku. Ku lihat ia melirik kang Jono yang sedari tadi mengawasi warungku dengan gerak-gerik yang mencurigakan.
"Apa maksudnya? Mengapa pak Udin mengatakan hal tersebut?" gumamku dengan lirih.
Setelah hampir satu jam lamanya. Ia melihat kang Danang menghampiri warung miliknya, lalu ia merogoh saku celananya, dan mengeluarkan uang sebanyak tiga lembar dalam hitungan pas untuk membeli rokok yang bukan biasanya.
"Rokok itu, Am, tunjuknya pada sebungus rokok mahal, dan ia membayarnya lalu bergegas pergi tanpa basa-basi.
Amdan mengambil uang tersebut, dan tiba-tiba uang tersebut terasa membakar telapak tangannya, hingga terlepas dari genggamannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!