NovelToon NovelToon

Hamil Diluar Nikah

BAB 1. Patah Hati

"Suprise...!!!"

Nadia membuka pintu ruangan CEO dengan membawa sebuah launch box yang dia masak sendiri tadi pagi.

Mata Nadia mengerjab ketika melihat Aditya memeluk seorang wanita cantik berpenampilan seperti model profesional. Niat baik Nadia ingin memberikan Aditya kejutan di siang hari itu, malah dia sendiri yang mendapatkan kejutan.

Launch box yang dipegangnya hampir terjatuh, untungnya Nadia sigap menahannya dan tetap aman digenggaman nya. Nadia buru-buru mengubah ekspresi kagetnya dan menunduk seolah-olah memberikan salam kepada Aditya.

"Siapa dia sayang?" tanya wanita cantik yang berada diperlukan Aditya sambil menatap Nadia dengan tatapan sinis. Dia menatap Nadia mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah-olah memberikan penilaian penting saja.

Keningnya berkerut saat menandai jika pakaian yang melekat di tubuh Nadia merupakan salah satu brand terkenal dan sangat mahal pula. Sudah pasti harganya selangit.

"Sekretaris ku" jawab Aditya tanpa ragu-ragu.

Aditya menoleh ke arah wanita cantik yang ada di dalam dekapannya itu. Dia semakin mengeratkan pelukannya seolah-olah dia takut kehilangan lagi.

"Sekretaris...?!" batin Nadia.

Memang benar kalau dia menjabat sebagai sekretaris di perusahaan itu. Tapi dia juga kekasihnya Aditya. Wanita yang sudah memberikan cinta tulus dan kehangatan selama setahun belakangan ini. Namun hubungan mereka memang tidak pernah Aditya publish.

Karena laki-laki itu beralasan dirinya tidak mau Nadia akan di musuhi oleh rekan-rekan kerja sekantornya. Selain itu dia juga belum siap kalau orang tuanya yang berasalan dari keluarga konglomerat, salah satu keluarga terpandang itu mengetahui hubungannya dengan Nadia yang notabennya seorang anak yatim piatu.

Tapi Nadia selalu ingat dan memegang janji Aditya waktu mereka pertama sekali melakukan hubungan terlarang itu. Aditya berjanji untuk mengenalkan Nadia secara resmi kepada orang tuanya dan kepada keluarga besarnya saat waktunya tiba.

Namun setahun berlalu, janji Aditya belum juga ada hilalnya. Dan sayangnya Nadia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya.

"Oh sekretaris mu. Pantas saja dia sepertinya akan memberikan makanan, berhubung sekarang sudah jam makan siang juga. Ambil saja yang kasihan dia kelelahan berdiri dan memegangnya terlalu lama" katanya sambil tersenyum. Tatapan sinis nya yang tadi seketika berubah menjadi ramah.

Wanita yang berada di dalam dekapan Aditya itu bisa dibilang sangat sempurna dari segi mana pun. Dia tidak hanya cantik, tetapi juga terlihat sangat berkelas. Juga semua yang dipakainya adalah barang-bara branded.

"Taruh saja di atas meja" ujar Aditya dengan dagunya. Matanya menyorot tajam Nadia yang hanya menunduk dalam. Wanita itu juga tidak tahu harus berbuat apa setelah mendengar ucapan Aditya tadi.

Dengan ragu-ragu Nadia menyeret kakinya menuju meja yang ada di dekat dua sejoli tersebut. Rasanya seluruh tubuhnya kaku untuk digerakkan. Dan rasanya sangat menyakitkan saat melihat pria yang amat sangat dicintainya memeluk wanita lain tanpa memperdulikan perasaannya.

Tanpa berucap sepatah kata pun Nadia keluar dari ruang kerja Aditya. Pria itu sempat bertatapan dengannya sebelum Nadia memutuskan kontak matanya. Setelah menutup pintu ruang kerja Aditya, Nadia berlari menuju toilet dan menangis di sana.

Cukup lama Nadia menangis di sana. Dan setelah keluar dari toilet, dia bergegas ke meja kerjanya dan duduk dengan nyaman barulah dia melanjutkan pekerjaannya.

Selama jam kerja berjalan, Nadia berusaha menutupi wajahnya yang terlihat sembab. Dia tidak mau teman kerjanya yang lain melihat penampilannya yang berantakan. Karena dia tidak tahu dia harus mengatakan alasan apa nanti ketika yang lain melihat dia habis menangis.

"Nadia, ini laporan yang kamu minta." Rosa meletakkan tumpukan berkas di atas meja kerja Nadia. Gadis itu tersenyum sambil mengusap punggung Nadia dengan lembut.

"Terima kasih Rosa, tapi bisakah kamu mengantarkannya ke ruangan Pak Aditya?" tanya Nadia dengan suara sedikit serak.

Rosa sedikit bingung dengan permintaan rekan kerjanya itu. Karena biasanya semua yang berhubungan dengan atasan mereka itu diserahkan kepada Nadia.

"Kamu lagi sakit?" tanya Rosa dengan wajah cemas. Apalagi dia melihat wajah sembab Nadia.

Nadia pun mengangguk. Menahan sakit hati, tidak tahu harus melakukan apa, rasanya ingin sekali menghilang dari dunia ini. Tapi janin yang tak berdosa di dalam rahimnya itu membuat dia mengurungkan niatnya tersebut.

"Ya sudah, biar aku yang antar sekarang."

Rosa pun mengambil kembali tumpukan berkas yang dia letakkan tadi di atas meja kerja Nadia tadi. Lalu dia berjalan menuju ruang kerja Aditya.

Nadia hanya bisa menghela napas kasar saat melihat Rosa masuk ke dalam ruangan yang tadinya salah satu ruangan favoritnya. Tetapi tidak lagi setelah dia melihat pemandangan yang menyayat hatinya tadi.

Masuk ke dalam ruang kerja Aditya membuat pria itu menoleh ke arah Rosa. Dia sempat menatap wanita itu sebelum tatapannya kembali ke laptop nya lagi.

"Ke mana Nadia?" tanya Aditya. Dia heran kenapa Rosa melakukan pekerjaan yang seharusnya Nadia kerjakan.

"Maaf pak, Nadia sedang sakit."

Fokus Aditya yang tadi ke laptop nya kembali menatap Rosa. Dia langsung menghentikan pekerjaannya lalu mengangkat dagunya dengan wajah cemas.

"Sakit...?"

"Iya, pak."

Aditya mengangkat interkom nya dan menekan tombol yang langsung terhubung dengan Nadia.

Di mejanya Nadia menahan napasnya saat interkom di depannya berbunyi. Jantung nya berdebar kencang, bingung harus mengangkatnya atau tidak.

"Iya, pak...?" Akhirnya Nadia mengangkat panggilan tersebut.

"Ke ruangan ku sekarang!"

Sambungan telepon itu pun terputus begitu saja. Nadia memegangi jantungnya yang berdenyut nyeri. Dia takut Aditya marah kepadanya. Tapi bukankah dia yang seharusnya marah karena Aditya berbohong tadi? Pria itu yang sepertinya sudah membuangnya. Namun, karena status Aditya yang merupakan CEO di perusahaan itu membuat nyali Nadia menciut.

Tidak lama kemudian pintu ruang kerja Aditya terbuka. Rosa keluar dari sana dan langsung menghampiri Nadia. "Nadia..."

Belum selesai Rosa berbicara, Nadia sudah berdiri dan langsung pergi menuju ruang kerja Aditya. Dia terlihat sangat aneh membuat Rosa kebingungan.

Setelah Nadia mengetuk pintu ruangan itu dan mempersilahkannya masuk, Nadia pun masuk dengan wajah dibuat secerah mungkin.

"Apakah Pak Aditya mencari saya?" tanya Nadia seramah mungkin.

Aditya langsung berdiri dari duduknya dan menghampiri Nadia tanpa mengucapakan sepatah kata pun. Dia langsung meletakkan punggung tangannya di kening wanita di depannya itu.

"Kalau kamu sakit harusnya kamu tidak perlu melanjutkan pekerjaanmu Nadia" kata Aditya dengan suara datar dan terkesan memerintah.

Nadia hanya menganggukkan kepalanya. Dia juga tidak tahu harus berkata apa.

"Mengenai yang tadi aku akan menjelaskannya sekarang. Wanita itu adalah Nindi dan aku akan segera menikahinya."

Nadia langsung mendongak menatap Aditya dengan tatapan tidak percaya. Dia sangat kaget dengan apa yang terucap dari mulut kekasih nya itu. Mereka belum ada kata putus sampai detik itu juga, tetapi Aditya sudah membuat keputusan yang sangat di luar dugaan Nadia.

"Me-menikah...?" tanya Nadia dengan suara terbata-bata.

Aditya terlihat menelan saliva nya dengan susah payah. Dia menatap mata jernih di hadapannya itu yang sudah dia rusak sekaligus sudah menemaninya satu tahun belakangan ini.

"Maafkan aku. Aku sangat mencintainya."

Nadia menunduk dan tanpa sadar air matanya kembali menetes lagi. Namun secepat kilat dia mengusapnya.

Nadia kembali mendongak dengan senyum manisnya sambil berkata "Saya turut senang mendengarnya. Semoga anda bahagia, pak."

Aditya tampak tidak nyaman dengan ucapan selamat dari Nadia, apalagi wanita itu mengubah kembali panggilannya. Dia tahu dirinya brengsek, tetapi Nindi adalah cinta pertamanya. Ditambah lagi orang tuanya meminta dia segera menikahi Nindi setelah wanita yang pernah meninggalkannya itu kembali ke sisinya.

Awalnya Aditya memang berniat untuk menikahi Nadia. Tapi setelah dia pikir-pikir lagi apalagi orang tuanya tidak merestui hubungannya dengan Nadia. Hubungan mereka sangat ditentang keras oleh ibu Aditya. Nadia yang hanya seorang anak yatim piatu dari keluarga bias-biasa saja dianggap tidak sepadan dan tidak pantas untuk menjadi istri Aditya yang berasal dari keluarga konglomerat.

"Nadia, aku akan memberikanmu kompensasi atas waktumu yang terbuang selama ini" kata Aditya dengan suara rendah.

Nadia langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak butuh uang dan yang dia butuhkan itu hanyalah Aditya. Ayah dari anak yang sedang dia kandung sekarang.

"Tidak perlu, pak! Saya tidak butuh apa pun!"

Nadia menolak dengan tegas dan berusaha tersenyum. Tapi Aditya tahu bahwa wanita itu tidak baik-baik saja seperti yang diperlihatkan Nadia di hadapannya.

Aditya mengangkat tangannya hendak mengusap pipi Nadia, tetapi wanita itu reflek mundur beberapa langkah menjauh dari Aditya. Sikap Nadia tersebut membuat laki-laki itu menurunkan tangannya kembali.

"Maaf..."

Hanya kata itu yang bisa dia ucapkan. Aditya sendiri tidak tahu apakah keputusan yang sudah dia ambil itu sudah benar.

"Apa masih ada yang bapak butuhkan lagi?" tanya Nadia lagi setelah beberapa saat kesunyian menyerang di antara mereka berdua.

Aditya tidak menjawab, dia hanya menatap Nadia. Mencoba memberikan sedikit alasan lain agar dia tak dirundung rasa bersalah. Namun lidahnya terasa kelu.

"Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya pamit" ujar Nadia. Kemudian dia membungkukkan badannya dan perlahan mundur sebelum berbalik melangkah menuju pintu keluar dari ruangan itu.

"Nadia, tunggu...!"

Nadia langsung menghentikan langkahnya dan tunangannya yang sudah memegang gagang pintu.

"Nadia tunggu sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan samamu."

"Iya, ada apa?" Nadia berbalik menatap Aditya.

Aditya pun kembali menghampiri Nadia yang sudah berdiri di depan pintu. Kamu tidak sedang hamil, kan?" tanya Aditya dengan perasaan was-was.

Mengingat saat mereka melakukan hubungan terlarang itu, sekali pun Aditya tidak pernah memakai pengaman. Pria itu takut jika Nadia sedang hamil karena itu akan menjadi masalah besar baginya nanti.

"Memangnya kalau aku hamil, apakah anda akan membatalkan pernikahan anda" tanya Nadia dengan suara bergetar menuntut jawaban.

BAB 2. Bertahan

Nadia keluar dari ruang kerja Aditya dengan hati terluka. Ucapan pria itu benar-benar meruntuhkan harapannya sekaligus sangat menyakiti perasaannya.

"Gugurkan kalau kamu sedang mengandung!"

Hati Nadia hancur sehancur-hancurnya. Dia sungguh tidak menyangka Aditya setega itu memintanya untuk menggugurkan anak yang tidak berdosa yang sedang berkembang baik di dalam rahimnya. Walaupun Aditya tidak tahu jika dia benar-benar mengandung hasil dari perbuatan terlarang mereka.

Nadia duduk di kursinya tetapi pikirannya sudah berkelana ke mana-mana. Dia sudah bertekat akan menjaga janinnya didalam perutnya itu apa pun yang akan terjadi. Mahluk kecil yang ada di dalam perutnya itu adalah malaikat kecil yang tidak berdosa. Salah besar jika dia menuruti keinginan Aditya.

Ada atau tidak adanya kehadiran laki-laki itu, Nadia akan tetap mempertahankan janinnya. Karena dia tidak berhak dan tidak punya kuasa untuk mencabut nyawa dan mematikan kehidupan mahluk lain. Apalagi kehadiran janin di dalam rahimnya itu adalah karena kesalahannya sendiri.

Diusapnya perutnya yang masih datar. Sambil memejamkan matanya, Nadia merutuki kebodohannya yang telah dia lakukan selama ini. Menyesali kenapa dia mudah sekali tertipu dengan rayuan mulut manis Aditya. Dia mengabaikan nasehati sang ibu yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu supaya pintar-pintar menjaga diri. Namun kini sudah rusak tiada tersisa. Hanya penyesalan lah yang dia tanggung sekarang.

***

Pagi-pagi sekali Nadia sudah muntah-muntah di kamar mandi apartemen yang diberikan Aditya kepadanya. Sudah hampir setahun juga dia tinggal di sana.

Sudah lebih dari enam kali bolak balik ke kamar mandi ingin mengeluarkan sesuatu yang ingin keluar dari dalam perutnya. Tubuh yang semakin lemas, kepala yang berdenyut-denyut hebat. Meskipun kondisinya seperti itu, Nadia tetap masih pergi bekerja.

“Aku tidak mengeluh mulai sekarang” batin Nadia sambil mengelus perutnya.

Walaupun dia tidak berpengalaman mengenai kehamilan, tapi Nadia sudah mulai membaca-baca artikel dan membeli beberapa buku yang membahas masalah kehamilan. Dia sepertinya mempersiapkan menjadi ibu yang baik.

Setidaknya walaupun janin yang dikandungnya itu tidak punya ayah. Nadia berjanji anaknya kelak tidak akan merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian. Dan dia akan berusaha memenuhi kebutuhan sang anak, walaupun dia akan berdarah-darah mencari pekerjaan.

Setelah kondisinya membaik, Nadia pun berangkat bekerja. Dia harus mengumpulkan uang untuk kelangsungan hidupnya dan juga tabungan untuk membiayai ke Nadia tidak punya banyak waktu lagi karena perutnya akan semakin membesar seiringnya berjalannya waktu.

Dia harus mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya sampai setelah dia melahirkan nanti, hingga bisa dia kembali bisa mencari pekerjaan lagi. Untung saja gaji sebagai sekretaris Aditya saat ini lumayan besar. Jadi, dia bisa berhemat dan menabung sebagai uang pegangannya selama dia tidak bisa bekerja nantinya.

Setelah mendengarkan respon dari Aditya sebelumnya, Nadia sudah memutuskan tidak akan memberi tahu pria itu mengenai kehamilannya. Saat Aditya meminta dia menggugurkan janin yang dia kandung itu, detik itu juga Nadia memutuskan anak itu adalah miliknya. Hanya miliknya seorang.”

Tidak ada lagi hak Aditya atas janin itu. Nadia sudah beranggapan jika pria itu sudah memutuskan setengah aliran darahnya yang mengalir tubuh janinnya itu. Jadi, sampai kapan pun Aditya tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan anak di kandungnya.

Mulai pagi itu juga Nadia sudah mengubah beberapa kebiasaannya yang bisa menguras uang sakunya. Contoh, yang biasanya dia selalu menyisihkan uang untuk jatah berbelanja baju atau hal yang tidak penting lainnya sekarang Nadia memutuskan untuk menabung semuanya.

Kecuali biaya untuk membeli kebutuhan makanannya sehari-hari. Itu pun kalau ada yang tidak penting-penting banget, Nadia lebih memilih untuk tidak membelinya atau dialihkan untuk membeli yang berkaitan dengan kehamilannya.

Selama perjalanan Nadia sibuk memeriksa saldonya. Dia juga harus segera keluar dari apartemen pemberian Aditya tersebut.

“Tabunganku tidak akan cukup membayar deposit jika aku masih ingin tinggal di apartemen. Ini hanya cukup untuk membayar tempat tinggal atau flat murah. Dengan harga murah itu untungnya bisa menalangi sampai setengah tahun.” Nadia mendesah pelan.

Sepertinya selama ini dia memang lumayan boros. Sekarang baru dia menyadari jika sudah memiliki tanggungan ada yang harus dia pertanggung jawabkan, jiwa muda Nadia yang selama ini hilang menjadi mode on ibu-ibu rumah tangga yang penuh dengan perhitungan.

Nadia menggigit bibir bawahnya saat merasakan nyeri di keningnya. Ada banyak sekali masalah yang harus dia selesaikan setelah dia resmi putus dari Aditya.

Bus yang dinaiki Nadia akhirnya berhenti di halte bus yang tidak jauh dari perusahaan di mana dia bekerja. Nadia turun dengan langkah berhati-hati. Rasanya baru kemarin dia mengklaim dirinya wanita yang paling beruntung di dunia ini. Namun kini dia dihempaskan oleh kenyataan hingga ke dasar bumi yang paling dalam.

“Pak Aditya, bukannya itu nona Nadia?”

Rama asisten yang sekaligus kaki tangan Aditya memelankan laju mobilnya saat melihat kekasih bosnya itu sedang berjalan menyebrangi trotoar menuju perusahaan. Aditya menoleh ke arah yang ditunjuk Rama. Dia menyipitkan matanya untuk bisa melihat mantan kekasihnya itu dengan jelas. Dan dia yakini jika wanita itu baru saja turun dari bus.

Rama hendak menepikan mobilnya, namun sebelum sempat dia menepi Aditya buru-buru melarangnya. “Tidak perlu, jalan saja” katanya dengan suara datar.

Rama hanya diam dan menjalankan tugasnya. Dia melirik Aditya melalui kaca spion depan dan melihat bosnya itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Baik, pak.”

Mobil itu pun melaju kencang. Nadia yang bisa mengenali mobil tersebut hanya bisa membatin dengan perasaan hati perinya. Karena dengan mobil tersebut Nadia sering diantar jemput.

“Kamu sudah benar-benar dibuang, Nadia!"

Sesampai di ruang kerjanya, Nadia langsung menyalakan komputernya. Dia harus bekerja sebaik mungkin agar tidak mendapatkan masalah. Dia sebisa mungkin menghindari masalah yang membuat beban pikirannya yang nantinya berakibat buruk dengan janinnya. Yang dia inginkan sekarang, bagaimana dia bisa bekerja dengan baik agar gajinya berjalan dengan baik. Karena uang yang lebih dia butuhkan sekarang.

Sementara di ruangan yang berbeda, semenjak Aditya memasuki ruang kerjanya dia hanya menatap bingkai foto dirinya bersama Nindi. Foto itu diambil beberapa hari yang lalu saat kedua keluarga mereka bertemu untuk makan malam.

Kedua tangannya bertumpu pada dagu lancipnya. Tatapan tajamnya yang membuat dia seperti model pria papan atas. Membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona dengan parasnya yang rupawan.

Aditya jadi teringat dengan dua tahun yang lalu di mana dirinya saat itu sedang mempersiapkan acara untuk melamar Nindi. Namun wanita itu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun. Hingga beberapa bulan berlalu dia mendapatkan informasi jika Nindi tiba-tiba sakit.

Dia mengusap wajahnya dengan kasar mencoba menyakinkan dirinya yang tiba-tiba merasa bimbang dengan keputusannya. Tapi dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia hanya menginginkan Nindi.

“Aku tidak mempermainkan Nadia. Tapi aku hanya sangat mencintai Nindi” gumamnya berulang kali meyakinkan dirinya sendiri.

Pintu ruang kerjanya diketuk seseorang dari luar. Aditya langsung membenarkan posisi duduknya dan menyalakan laptopnya sebelum dia mempersilahkan orang di luar sana masuk.

Pintu ruangannya terbuka. Aditya bisa melihat dengan ekor matanya jika Nadia sedang membawa tumpukan berkas di tangannya dan bersusah payah menutup kembali pintu tersebut. Bayang-bayangan masa lalu di mana dia punya kebiasaan akan langsung menarik lengan wanita itu dan mencumbuinya berulang kali kembali terlintas di benaknya.

Namun sekarang, bukankah dia lebih jauh bahagia setelah wanita yang katanya sangat dia cintai kembali ke pelukannya?

Aditya mencoba untuk fokus pada layar laptopnya. Sebisa mungkin dia berusaha untuk tidak menatap Nadia. Karena dengan hanya menatapnya saja perasaannya mendadak tak karu-karuan.

Itu hal yang wajah. Mereka sudah cukup lama memiliki hubungan dan sangat intim pula. Sikap cueknya yang dia tampilkan sekarang, itulah yang Aditya coba tanamkan di dalam pikirannya.

“Ini berkas laporan mingguan yang anda minta pak Aditya.” Nadia meletakan tumpukan map file tersebut ke atas meja kerja Aditya.

Mendengar suara lembut Nadia, Aditya tidak bisa menahan diri untuk menatap wanita itu. Wajah cantik itu tidak berubah sedikit pun. Malah semakin cantik, namun terlihat pucat.

“Apa kamu sakit?” tanya Aditya dengan suara seraknya. Dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menarik tangan Nadia. Namun di sisi lain dari dirinya belum bisa sepenuhnya tidak peduli pada wanita yang dia pernah cintai tersebut.

“Saya baik-baik saja, pak” jawab Nadia setenang mungkin.

Bohong kalau Nadia tidak tersentuh dengan perhatian yang masih Aditya tunjukkan. Semuanya masih seperti mimpi sehingga Nadia harus menahan dirinya untuk tidak terlena. Kini mereka bukanlah pasangan lagi. Aditya akan segera menikahi Nindi dan Nadia akan terbuang bersama penyesalannya.

“Oh, ya sudah. Kamu boleh keluar.”

Nadia membungkuk tanda salam keluar dan bergegas keluar dari dalam ruangan itu sebelum air matanya luruh.

Berada di dalam satu ruangan bersama Aditya akan membuatnya merasa semakin jijik pada dirinya sendiri. Setiap jengkal dalam ruangan itu mengingatkannya bagaimana murahannya seorang Nadia. Seorang sekretaris yang bermimpi ketinggian menjadi seorang Nyonya Mahendra.

“Kamu harus bertahan Nadia! Demi janin yang ada di dalam rahimmu” batinnya merapal kan kata-kata itu seolah-olah menjadi mantra penyembuh luka hatinya.

Setetes kristal bening jatuh dari pelupuk matanya dengan cepat disapu menggunakan punggung tangannya. Sebelum Nadia membuka pintu di depannya, pintu tersebut sudah terbuka lebih dulu.

“Aditya ada?”

Nindi tersenyum manis. Dia sangat cantik dan memesona dengan gaun branded dan riasan mahal. Seketika Nadia merasa rendah diri.

“A-ada di dalam” jawab Nadia terbata sambil menunduk. Tidak berani menatap Nindi terlalu lama.

“Kenapa tidak mengabari ku kalau kamu datang ke sini? Aku kan bisa menjemputmu, sayang.” Suara bariton Aditya mengalun lembut di telinga Nadia. Tubuhnya bergetar, hatinya perih. Amat sangat perih mendengar kata-kata mesra yang keluar dari mulut Aditya ditujukan kepada Nindi.

“Aku sangat merindukanmu, sayang.” Nindi langsung memeluk Aditya. Dia mengalungkan lengannya di leher pria itu dan tanpa tahu malu dia menc*um bibirnya.

BAB 3. Orang Asing

Nadia langsung mengalihkan pandangannya dan menunduk. Dia memejamkan matanya dengan erat dengan dada yang bergemuruh.

Aditya tidak menyangka Nindi akan menc*umnya dan buru-buru menjauhkan wajahnya. dia merasa tidak nyaman terlebih ada Nadia di sana.

"Kenapa, sayang? Kamu tidak suka aku menc*ummu?" tanya Nindi dengan wajah sendunya.

Aditya dengan tegas menggelengkan kepalanya. Dia mengusap rahang Nindi sambil berbisik. "Tidak enak dilihat orang."

Nindi lantas tertawa. Dia tidak menyangka Nadia masih di sana.

"Maafkan saya. Permisi."

Nadia buru-buru berbalik dan tanpa sengaja Aditya melihat Nadia meneteskan air mata.

Setelah Nadia pergi, Nindi menutup pintu ruangan dan kembali memeluk Aditya. "Sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Bisa kan kita melanjutkannya?" tanya Nindi dengan nada genitnya.

Aditya tidak menjawab. Dia tertegun dan detik berikutnya Nindi kembali menyatukan bibir mereka. Dia sangat agresif dan mau tidak mau Aditya membalasnya.

Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Nadia pergi ke kantin setelah pekerjaannya selesai. Bukan karena lapar, tapi Nadia tidak mau janinnya tidak mendapatkan jatah makan siang.

"Nadia, tunggu!"

Rosa setengah berlari mengejar Nadia yang hendak masuk ke dalam lift. Nadia menghentikan langkah kakinya, dia menunggu Rosa.

"Aku tadi mencari mu. Aku pikir kamu masih di ruangan Pak Aditya" kata Rosa napas tersengal-senggal karena kelelahan berlari.

"Aku tadi langsung pergi ke ruangan HRD. Ada yang aku urus tadi" ujar Nadia.

"HRD...? Jangan bilang kamu mau berhenti bekerja?" Nadia langsung mengangguk membuat Rosa membelalakkan matanya tidak percaya.

"Jangan membohongiku, Nadia!" kata Rosa menuntut jawaban dan merasa tidak rela.

Nadia adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan oleh Aditya. Bukan hanya CEO muda itu, tapi juga Rosan dan rekan-rekan yang lain.

"Nadia..." Rosa memeluknya. Sungguh dia tidak rela kalau Nadia resign.

"Tidak sekarang, Rosa. Tapi memang benar aku ada rencana mau resign. Aku mohon jangan ceritakan kepada siapa pun."

"Kenapa? Apa kamu akan menikah? Atau ada pekerjaan lain yang lebih baik? Kalau yang terakhir aku merasa tidak mungkin karena gaji mu di atas rata-rata."

Linux Star Corp adalah perusahaan multinasional terbesar yang ada di kota Parim. Gaji karyawan mereka lebih besar tiga kali lipat dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis, sehingga gaji Nadia sebagai sekretaris sama dengan gaji direktur di perusahaan lain.

Nadia tidak menjawab. Seandainya saja dia tidak hamil, mungkin Nadia akan bertahan setidaknya sampai dia bisa mengumpulkan uang agar bisa keluar dari kota Parim. Tapi waktunya tidak banyak lagi.

"Aku hanya ingin mencoba peruntungan baru saja di tempat lain" jawab Nadia setelah sekian lama dia berpikir.

"Nadia, peruntungan seperti apa yang kamu maksud? Di sini kamu sangat dibutuhkan dan kehidupan kita juga jauh lebih baik di kota ini dibandingkan kota lain."

Pintu lift terbuka.

"Ada atau tidak ada aku, perusahaan ini akan tetap berkembang dengan pesat" kata Nadia sambil tersenyum dan mengusap sisi kepala Rosa sebelum keluar dari dalam lift.

Keduanya memasuki kantin yang berada di lantai lima. Sudah banyak karyawan lainnya yang lebih dulu datang untuk makan siang. Selain gaji yang besar, bekerja di Linus Star Corp sangatlah menyenangkan. Ada kantin mewah layaknya resto, bahkan ada cafe juga di sana.

Aditya sudah mengatur semuanya sedemikian rupa. Dia ingin para karyawannya tidak merasa bosan dan berharap mereka selalu merasa senang ketika akan datang ke perusahaan bekerja. Karena dia mengharapkan karyawan yang produktif.

Saat Nadia dan rosa sedang fokus menyantap makan siang mereka, pintu masuk kantin tersebut terbuka lebar. Aditya datang bersama dengan Nindi. Dan tidak lupa juga Rama yang mengawal mereka di belakang keduanya.

Aditya sempat bersitatap dengan Nadia sebelum dia menundukkan kepalanya. Melihat keduanya datang, tiba-tiba makanan yang di makan Nadia terasa hambar di lidahnya.

Aditya dan Nindi duduk, sementara Nadia langsung berdiri. Dia bergegas keluar dari kantin tersebut dengan alasan perutnya sakit. Dia tidak bisa berlama-lama di sana. Hatinya sangat perih tak terkira melihat bagaimana Nindi dengan manjanya bergelayut di sisi Aditya.

Melihat Nadia keluar dengan tergesa-gesa, Aditya hanya bisa menatapnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia tahu Nadia pasti tidak nyaman melihat dirinya yang sedang bersama dengan Nindi. Semuanya sudah terjadi dan Aditya sudah membuat keputusan.

"Silahkan dimakan pak, nona" kata pelayan kantin tersebut yang membawakan makanan mereka.

Kemudian pelayan kantin tersebut menunduk hormat setelah selesai menyusun beraneka makanan yang keduanya pesan di atas meja. Nindi tidak menggubrisnya.

Dia mengambil sendok makan dan mencicipi makanan yang sudah terhidang di depan matanya. Baru saja seujung sendok masuk, wajahnya berubah masam.

"Buruk sekali...!" ucapnya sambil meludah ke samping.

Aditya mengerutkan keningnya melihat respon calon istrinya itu. Setahunya makanan di sini semuanya enak. Dia dan Nadia yang merekomendasikan menu-menu untuk kantin perusahaan saat itu. Bahkan mereka melakukan riset untuk mengetahui gaya dan versi makan dan minuman seperti apa yang cocok untuk orang-oran kantoran.

Tanpa berkata apa pun, Aditya langsung mengambil sendok nya dan ikut mencicipi juga. "Enak, kok. Kamu tidak menyukainya?" tanya Aditya kepada Nindi yang sedang melihatnya.

"Pilihan yang buruk. Aku tidak suka" jawab Nindi dengan gaya songong nya.

Aditya menghela napas panjang. Selera Nindi memang di atas rata-rata dan dia tahu persisi itu. Mungkin dia sudah salah mengajak kekasih hatinya itu makan di kantin perusahaannya. Harusnya dia membawanya makan ke tempat-tempat mewah seperti restoran bintang lima yang biasa Nindi datangi.

"Apa kamu mau makan yang lain?" tawar Aditya. Kali saja wanita itu mau memesan makanan yang lain.

"Aku tidak mau makan di sini. Bagaimana kalau kita pergi makan ke restoran favorit kita saja? Aku sudah lama tidak pergi ke sana" ajak Nindi dengan wajah memelas.

Aditya menoleh ke arah Rama dan asistennya itu menggelengkan kepalanya tanda tidka setuju. Bukannya Ram tidak mau pergi mengantar mereka. Tapi, ada rapat yang akan mereka hadiri setelah makan siang selesai. Dan rapat itu sangat penting.

"Maaf sayang, aku ada meeting habis makan siang ini. Bagaimana kalau Rama saja yang mengantarmu?"

Wajah Nindi langsung cemberut. Mana bisa dirinya pergi makan siang bersama laki-laki lain yang notabenenya asisten Aditya. Bisa-bisa harga dirinya akan jatuh kalau orang mengiranya ada hubungan khusus dengan seorang asisten biasa.

"Dengan kamu atau Nadia saja, bagaimana?" Nindi memberi pilihan. Dia tidak akan pergi dengan pria yang tidak selevel dengannya. Kalau dengan Nadia, dia berpikir orang-orang bisa membedakan siapa yang majikan dan pembantu.

Aditya tidak langsung menjawab. Dia masih berpikir sejenak. "Bagiamana dengan Rosa saja?" tanya Aditya yang memberikan pilihan juga.

"Ada apa dengan sekretaris mu itu? Apakah dia sibuk?"

"Dia akan menemaniku rapat nanti." Nindi mendengus pelan. Kemudian dia langsung berdiri yang disusul Aditya dan Rama dari belakang. Mereka bertiga batal makan makanan yang sudah mereka pesan tadi karena Nindi langsung pergi begitu saja.

"Aku pergi sendiri saja. Tapi, lain kali kamu harus menemaniku makan siang" kata Nindi berbalik memberikan pelukan kepada Aditya.

Lalu Nindi kemudian berbisik, "Nanti datang ke apartemen ya sayang?"

Aditya tidak menjawab. Dia hanya mengusap pucuk kepala Nindi dan meminta Rama mengantarkan kekasihnya itu ke mobil.

Saat kembali dari kantin, Aditya langsung pergi menuju meja kerja Nadia.

"Ikut aku rapat."

Suara bariton Aditya membuat Nadia kaget. Tidak sengaja berkas yang berada di tangannya berhamburan ke lantai. Buru-buru Nadia memungutinya, lalu merapikannya kembali ke atas meja.

"Rapat...? Bukannya Pak Rama..."

"Aku tidak suka penolakan, Nadia!"

"Maaf" jawab Nadia tidak mau memperpanjang lagi.

Nadia menunduk tidak berani menatap Aditya. Dia meremas ujung pakaiannya. Dan entah kenapa hawa ruangan itu terasa mendadak dingin seperti kutub selatan.

Aditya pergi dari hadapan Nadia. Melihat tersebut, Nadia pun langsung meraih tasnya. Tidak lupa juga dia membawa salinan berkas yang akan mereka bahas dengan klien nanti. Kemudian Nadia segera menyusul Aditya yang sudah berjalan menuju lift. Mereka rapat di luar kantor karena klien mereka membuat janji temu di luar.

Pintu lift tertutup. Nadia merapatkan tubuhnya ke dinding menjauh dari Aditya. Dia jadi merasa gugup dan tidak tahu alasannya kenapa dia menjadi begitu. Padahal dulu dia sering sekali berduaan dengan pria itu. Bahkan mereka berdua sering tinggal bersama di apartemen yang diberikan Aditya kepadanya.

Tapi sekarang hubungan mereka sudah jauh sangat berbeda. Seperti orang asing uang dipisahkan oleh tembok tebal yang kokoh.

"Kenapa kamu buru-buru pergi dari kanti tadi? Padahal aku lihat makanan mu juga belum habis. Apa kamu tidak bisa bersikap biasa saja?"

Seketika hati Nadia mencelos. Bagaimana bisa Aditya berkata seperti itu dengan mudahnya. Apakah dia tidak bisa sedikit pun memahami perasaan Nadia?"

"Kemungkinan besar Nindi akan lebih sering datang ke kantor. Dan aku minta kamu harus menemaninya mengurus keperluan pernikahan kami."

Deg...

Bagai dihantam ribuan ton besi, sakit dan sesak terasa di dada Nadia. Dia hanyalah wanita biasa yang punya hati dan batasan kesabaran. Tapi menyadari dirinya yang hanya seorang bawahan dan juga memerlukan uang, Nadia hanya bisa menurut.

"Hanya sampai uangmu terkumpul saja, Nadia. Sabar..." batinnya.

"Baik, pak" jawab Nadia tanpa banyak drama perdebatan.

Aditya menoleh ke arah Nadia yang menjawabnya seolah-olah tak ada beban. Sempat terlintas di benak Aditya kalau mantan kekasihnya itu untuk memohon supaya dia kembali kepadanya. Mungkin saja dia akan memikirkannya kembali lagi. Jauh di lubuk hatinya, bohong kalau Aditya semudah itu melupakan Nadia. Namun, egonya terlalu jauh lebih besar dari pada akal sehatnya.

"Kau sepertinya senang sekali berpisah denganku! Apa kamu hendak juga akan kembali kepada mantan kekasihmu yang dulu itu?" ujar Aditya dengan nada sinis.

Nadia mendengus kesal. Ingin sekali dia menampar mulut laki-laki itu, namun sekali lagi dia harus bersabar. Dia masih butuh uang dengan cara kerja di perusahaan pria itu.

"Saya tidak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun dalam waktu dekat ini, pak" jawab Nadia dengan memalingkan wajahnya dari Aditya.

"Bagus" balas Aditya singkat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!