"Selamat ulang tahun Wulan. Semua tetap sama ya seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya diri sendiri yang mengucapkan untukku."
Gadis cantik yang baru saja berusia 18 tahun itu duduk di depan cermin usangnya. Dia meniup lilin berwarna putih sambil mengucapkan selamat ulang tahun pada dirinya sendiri.
Gadis itu bernama Wulan. Dia terlahir di keluarga kurang mampu. Ayahnya telah tiada, ibunya hanya pengumpul barang bekas, dan memiliki seorang kakak pemabuk. Meskipun hidupnya malang tapi semangatnya luar biasa. Dia berhasil masuk di salah satu sekolah favorit dari beasiswa yang dia raih. Dia seorang atletik renang yang bergabung dalam sebuah klub renang aquatik terbesar di kota itu.
Wulan kini menyisir rambut sebahunya lalu mengikatnya ke belakang. Dia mengambil seragam renangnya dan memasukkan ke dalam tas.
Hari itu ada pemilihan kandidat untuk peserta lomba antar negara yang akan diselenggarakan tahun depan. Dia sangat berharap bisa menjadi salah satu kandidat yang terpilih.
"Kalau aku terpilih menjadi salah satu kandidat, sudah dipastikan aku akan mendapat beasiswa kuliah, tapi kalau aku gak terpilih, mungkin akan sulit sekali mengejar beasiswa itu. Semoga saja kali ini aku beruntung."
Wulan menarik kedua ujung bibirnya agar tersenyum dan memberi motivasi pada dirinya sendiri. Kemudian dia keluar dari kamarnya dan berpamitan pada ibunya yang sedang memilah barang rongsokannya.
"Ibu, aku berangkat dulu ya."
"Iya, hati-hati."
Wulan mencium tangan ibunya lalu dia memakai helmnya dan menaiki sepeda motor butut peninggalan dari ayahnya dulu.
Sepanjang perjalanan dia bersenandung pelan untuk mengisi kekosongannya. Beberapa saat kemudian, dia sampai di klub aquatik itu. Dia melepas helmnya lalu turun dari motor. Dia sangat introvert dan hampir tidak mempunyai teman karena seluruh temannya dari kelas menengah ke atas yang membuatnya selalu minder.
Dia masuk ke dalam tempat latihan renang itu, ternyata semua anggota klub sudah datang dan mendengarkan penjelasan pelatih renang.
"Hari ini adalah hari terakhir penilaian kandidat peserta event aquatic world, kalian tunjukkan skill kalian yang sebaik-baiknya ya. Kandidat yang terpilih akan saya beri jadwal pelatihan khusus," kata coach Vicky.
"Baik, Coach."
Setelah itu Wulan berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti pakaiannya dengan seragam renang.
"Coba lo tebak, siapa yang bakal kepilih sebagai kandidat?"
"Yang jelas sih Vero, anak pelatih. Terus Ares dan Ara, anaknya pemilik klub."
Wulan hanya terdiam mendengarkan temannya mengobrol.
"Kalau Vero dan Ares sih masih punya skill, lah Ara, dia gak punya skill. Kalau kepilih sih kebangetan."
"Ya kita bisa apa? Orang tuanya kan yang punya kuasa."
"Eh, dia masuk tuh."
Mereka semua terdiam saat Adara masuk ke dalam ruangan itu. "Hai, Wulan," sapa Adara karena Adara memang satu sekolah dengan Wulan. Mereka saling mengenal tapi Wulan selalu membatasi dirinya pada orang lain.
"Gue jadi terlambat gara-gara Kak Ares ketiduran."
"Gue juga baru datang," jawab Wulan singkat. Sebenarnya dia sangat iri dengan kehidupan Adara yang sempurna. Cantik, kaya raya, dan disukai banyak pria. Sedangkan dirinya, dekil, anak miskin, cintanya pada seseorang saja harus dia pendam.
Setelah selesai berganti baju, mereka keluar dari ruang ganti itu dan berkumpul di pinggir kolam renang untuk memulai tes. Tatapan mata Wulan kini tertuju pada seorang pria tampan yang sedang tertawa bersama teman lainnya. Senyuman itu selalu menggetarkan dadanya. Dia adalah Alvero, putra dari pelatih.
Wulan selalu senang melihat Alvero berenang. Tubuh Alvero yang sixpack sangat menggoda kedua matanya. Tapi bukan hanya dirinya yang menyukai Alvero, banyak gadis di tempat itu yang juga menyukainya.
"Wulan!"
"I-iya, Coach." Wulan tak mendengar panggilan itu karena kedua matanya masih sibuk mengintai Alvero.
"Kali ini kamu harus fokus. Tunjukkan skill terbaik kamu."
Wulan menganggukkan kepalanya. Ya, dia harus menunjukkan skill terbaiknya agar terpilih. Dia berkonsentrasi dan melewati semua tes yang diberikan.
"Iya, bagus!"
Wulan bernapas lega setelah berhasil melewati tes itu dengan baik. Dia berdiri dan melihat teman lainnya. Setelah semua selesai melewati semua tes, ada sebuah kejutan ulang tahun di tempat itu. Untuk Wulan? Jelas tidak.
"Selamat ulang tahun." Teriakan itu membuat semua orang berkumpul.
Iya, hari ini juga ulang tahun Ares dan Ara. Setiap tahun, ulang tahun mereka pasti akan dirayakan.
Wulan hanya menatap kejutan itu dari jauh. Dia melihat wajah bahagia Adara yang akan meniup lilinnya.
"Njir, gue udah 18 tahun masih aja diberi kejutan. Malu oey, bukan anak TK lagi," kata Antares. Dia memang saudara kembar Adara. Dia terkenal bad boy dengan slayer yang sering mengikat di kepalanya, sama halnya dengan Alvero, si ketua geng motor tampan dambaan semua wanita.
"Lo itu gak bersyukur diberi kejutan ultah, daripada gue. Bapak gue aja gak ingat gue ulang tahun kapan. Lebih anjir kan!" Alvero merangkul bahu Antares agar mendekati saudara kembarnya. "Yang akur, tiup lilin sama-sama. Semoga tahun depan kita berangkat bareng-bareng ke Spanyol. Amin."
"Njir, yang ulang tahun siapa yang doa siapa."
"Kelamaan lo!"
Wulan hanya tersenyum kecil menatap pesta kejutan itu tanpa ada yang tahu jika sebenarnya hari itu adalah hari ulang tahunnya juga. Dia melewati semua dalam kesendirian meskipun dia berada di keramaian. Hingga akhirnya pengumuman kandidat akan segera diumumkan.
Wulan terus berdoa dalam hatinya agar dia terpilih menjadi kandidat itu. Tapi ternyata itu hanyalah sebuah harapan. Namanya tidak disebut. Siapalah dia mengharap terlalu tinggi. Jelaslah jika yang terpilih yang mempunyai hubungan dengan orang dalam.
Dia membalikkan badannya lalu duduk di tangga penonton. Dia menangis dalam diam. Dia sangat lelah dengan hidupnya yang terus berada di titik terendah.
"Jangan menangis."
Wulan menatap uluran tangan seseorang yang memberikan tisu untuknya kemudian dia mendongak menatap paras tampan yang memakai slayer di kepalanya itu. Jantungnya berdetak tak karuan kala menatap senyuman yang jelas untuknya.
"Vero ...."
...💗💗💗💗💗💗💗...
.
Hai, aku kembali bawa bad boy. 🤭
Ada yang kangen sama aku gak ya setelah hibernasi. 🤭 Yang kangen jadikan favorit ya dan harus baca setiap babnya. 😁 Maksa dikit gak ngaruh! 😂
"Kita terpilih, Res!" Alvero dan Antares saling tos karena mereka terpilih sebagai kandidat peserta event Internasional itu. Meskipun dengan terpilihnya anggota utama yang akan memicu gosip tidak enak karena adanya hubungan dengan orang dalam.
Antares melipat tangannya dan menatap adik kembarnya yang juga terpilih. Dia tahu persis skill adik kembarnya itu seperti apa. "Kenapa Ara terpilih? Bokap lo gak keliru kan? Harusnya kan si Wulan."
Alvero mengangkat kedua bahunya. "Gue gak peduli."
"Peka dikit sama cewek. Wulan itu naksir lo!"
"Yang bener lo. Cewek misterius kayak dia naksir gue?" Alvero kini melihat Wulan yang duduk di tangga penonton. Selama dua tahun lebih dia satu sekolah dengan Wulan dan juga berada di klub renang yang sama, dia sama sekali tidak pernah berbicara dengan Wulan.
"Iya, lo mau taruhan sama gue gak? Kalau lo bisa jadian sama Wulan, gua akan kasih helm full face AGV gue buat lo."
"Yang harganya 20 juta itu?" Alvero menyugar rambutnya dan tersenyum. "Oke, siapa yang menolak cowok kayak gue. Gue pasti dapatkan dia dengan cepat." Kemudian Alvero mengambil tisu lalu berjalan mendekati Wulan.
Dia mengulurkan tangan dan memberikan tisu itu untuk Wulan. "Jangan menangis." Tak lupa senyuman manis andalannya yang dia buat untuk memikat banyak wanita.
Wulan mendongak dan menatapnya. Dia tak juga menerima tisu itu.
Alvero duduk di sebelahnya dan menyusut air mata di pipi Wulan yang membuat Wulan mengambil alih tisu itu dari tangannya.
Wulan menghapus air matanya sendiri. Dia benar-benar salah tingkah karena tiba-tiba Vero duduk di dekatnya.
"Jangan bersedih, masih banyak kesempatan yang bisa lo raih."
Wulan hanya menganggukkan kepalanya. Ini pertama kalinya Alvero mengajaknya berbicara. Pipinya terasa memerah dan jantungnya berdegup cepat tak terkontrol. Keringat dingin juga sudah membasahi tangannya.
"Gue akui lo hebat," kata Alvero. "Pasti event selanjutnya lo yang akan terpilih."
Wulan hanya mengangguk. Dia tidak tahu harus bicara apa. Apalagi saat melihat teman-teman lainnya melihatnya sambil berbisik-bisik. Jiwa insecure-nya semakin meronta. Dia tidak pantas bersanding dengan Alvero.
"Sorry, gue duluan." Wulan berdiri dan menuruni anak tangga itu dengan cepat.
"Rumah lo dimana?" Pertanyaan Alvero sudah tidak Wulan jawab. "Ternyata mendekati Wulan gak semudah yang gue kira. Demi helm full face seharga 20 juta harus usaha," gumam Alvero.
Wulan masuk ke dalam ruang ganti dan mengganti pakaiannya. Tangannya masih terasa dingin setelah berada di samping Alvero meskipun hanya sesaat.
Setelah selesai mengganti bajunya, dia memakai tasnya dan keluar dari ruang ganti itu. Lebih baik dia pulang terlebih dahulu daripada hanya menyaksikan para kandidat yang sedang bersenang-senang.
Dia menaiki motornya dan melaju ke rumah semi permanennya yang berada di kawasan tempat pembuangan sampah.
Beberapa saat kemudian, dia menghentikan motornya di depan rumahnya. Meskipun rumahnya berjarak sepuluh meter dari pusat pembuangan sampah tapi gunungan sampah itu terlihat jelas dari rumahnya.
Kemudian dia menatap rumah dari setengah papan itu yang telah usang. Satu kalipun temannya tidak ada yang dia ajak ke rumah karena dia merasa malu dengan kondisi rumahnya.
"Ibu tidak punya uang! Kamu cari pekerjaan sana!"
Mendengar teriakan ibunya, Wulan masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi kakak laki-lakinya datang di saat mabuk dan meminta uang. "Kak Riki, ibu tidak punya uang! Kak Riki pergi saja, jangan pernah kembali ke rumah!"
"Heh! Bocah! Berikan uang kamu atau aku akan tunggu kamu di depan sekolah!"
"Riki, jangan ganggu adik kamu! Biarkan dia sekolah dengan tenang."
"Ibu selalu pilih kasih sama aku dan Wulan. Wulan disekolahkan di tempat bagus sedangkan aku harus putus sekolah!"
"Itu karena kamu tidak mau berusaha! Wulan sekolah di tempat itu karena beasiswa!"
"Ibu memang selalu membela Wulan!"
Kepala Wulan semakin pusing mendengar pertengkaran itu. Akhirnya dia mengambil uang lima puluh ribu dan dia berikan pada kakaknya. "Aku cuma punya uang lima puluh ribu. Kak Riki pergi saja dan jangan kembali lagi."
Riki mengambil uang itu lalu keluar dari rumah.
"Wulan, tapi uang buat bensin kamu gimana?"
"Ibu tenang aja. Nanti malam aku akan bantu ibu cari barang bekas. Siapa tahu dari toko-toko dapat kardus banyak."
Kemudian Wulan masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu itu. Air mata yang berusaha dia tahan kini terjatuh lagi. "Sampai kapan hidupku seperti ini?"
...***...
"Papa, kenapa Ara bisa terpilih sebagai kandidat di event internasional itu? Papa yang menyuruh Om Vicky?" tanya Antares pada papanya setelah sampai di rumah. Dia kini duduk di sebelah papanya yang sedang menatap layar laptopnya.
Sky mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatap putranya yang semakin besar semakin mirip dengannya saat muda. "Tidak. Papa tidak pernah menyuruh Vicky memilih kamu ataupun Ara. Papa ingin kalian maju dengan skill kalian sendiri bukan karena orang dalam."
"Tapi kenapa bisa Ara terpilih?"
"Jadi Kak Ares gak percaya dengan kemampuanku? Ih, Kak Ares selalu aja ngeremehin aku." Adara masuk ke dalam kamarnya. Dia memang seringkali bertengkar dengan Antares meskipun tetap saling menyayangi.
"Bukan gitu, Ra." Antares menarik napas panjang. Selalu saja adik kembarnya itu pemarah dan keras kepala. "Aku cuma ingin isu orang dalam itu gak ada di klub. Masalahnya aku, Ara, dan Vero terpilih."
"Ya mungkin saja memang skill kalian bagus semua."
"Tapi masih ada yang jauh lebih hebat daripada Ara. Kapan-kapan Papa ke klub saat latihan dan lihat sendiri skill yang dia miliki. Namanya Wulan, dia salah satu penerima beasiswa dari klub kita dan dia justru tidak terpilih masuk menjadi kandidat."
"Oke, nanti Papa akan ke sana untuk melihatnya sendiri. Papa juga tidak mau Vicky memilih Ara hanya karena Ara anak Papa."
"Sip! Papa best. Biar Ara ikut kontes kecantikan aja, lebih cocok." Kemudian Antares berdiri dan berjalan menuju kamar adiknya. Dia membuka pintu yang tidak terkunci itu dan melihat Adara yang sedang tengkurap sambil memeluk bonekanya.
"Ra, kita udah 18 tahun. Harus bisa berpikir dewasa."
Adara tak menyahuti perkataan kakaknya itu.
"Ra, kalau kamu memang mau ikut di event itu, kamu harus buktikan kalau kamu bisa." Kemudian Antares duduk di samping Adara. "Jangan dikit-dikit kedinginan saat latihan, cepat capek, terus ini, terus itu."
"Memang iya, dingin, capek."
"Ya udah, kalau gitu serahkan saja pada Wulan kalau kamu memang gak sanggup."
Adara memutar tubuhnya dan menatap Antares. "Ih, adik Kak Ares itu aku atau Wulan sih. Belain aku dong."
Antares tertawa dan mencubit hidung mancung Adara. "Ra, kamu ingat satu hal, jangan pernah memanfaatkan kekuasaan orang tua untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan."
"Tapi aku ingin ikut bertanding di event itu." Kemudian Adara memeluk perut kakaknya.
"Ya udah, kalau begitu kamu harus mengikuti semua jadwal latihan yang cukup berat itu."
"Oke. Aku pasti bisa." Adara mendongak menatap Antares sambil tersenyum.
Entah mengapa tatapan Adara pada Antares selalu mampu menghipnotisnya. Ara saudara kembar gue, tapi perasaan apa ini yang muncul?
"Kemana aku harus cari uang? Kalau aku kerja di kafe, nanti aku gak bisa atur jadwal buat renang juga." Hari sudah larut malam, Wulan masih mengumpulkan beberapa kardus bekas di dekat toko serba ada. Dia sudah terbiasa memulung sejak kecil, hingga sekarang remaja dia masih kerapkali seperti ini.
"Aku harus cari cara lain agar aku bisa mendapatkan uang lebih." Wulan menutup kepalanya dengan topi jaket hoodie agar tidak ada yang mengenalinya jika bertemu temannya di jalan.
Dia memasukkan semua kardus bekas itu ke dalam karung yang lumayan besar. Setelah itu dia membawanya di punggung. Begitulah hidup yang dia jalani, di saat dia ingin mengubah hidupnya dengan prestasi selalu ada hambatan yang menghalangi. Terkadang dia merasa hidup ini tidak adil karena selalu saja orang miskin dianggap rendahan dan tidak pantas mengubah hidupnya.
Wulan menghentikan langkahnya saat akan melewati ruko kosong. Dia melihat segerombolan anak muda dengan motor sportnya sedang berkumpul di sana.
"Mereka anak geng motor blacky." Sebenarnya dia takut dengan anak geng motor itu tapi tidak ada jalan lain lagi. Dia menarik napas panjang lalu melangkahkan kakinya.
Saat berada di depan mereka, Wulan semakin mempercepat langkah kakinya berharap mereka tidak melihatnya.
"Hei, Wulan!" panggil Andre, ketua geng motor itu.
Wulan melangkahkan kakinya semakin cepat.
"Lo adiknya Riki kan? Kakak lo punya hutang sama gue."
Wulan tak menggubrisnya. Dia semakin berlari saat Andre dan dua orang lainnya mengejarnya.
"Kalau Riki gak bisa bayar hutang, gue boleh dapetin lo."
Wulan menjatuhkan karungnya agar bisa berlari dengan cepat. Saat menyeberang jalan tanpa menoleh ke kanan dan kiri, dia hampir saja ditabrak oleh sepeda motor yang melintas.
Wulan menutup telinganya sambil memejamkan kedua matanya karena motor itu hampir saja menyenggol tubuhnya.
"Hei! Ngapain kalian!"
Mendengar suara itu seketika Wulan menatap pengendara motor yang sekarang membuka helmnya dan menantang Andre.
"Kita gak ada urusan sama lo tapi sama cewek itu!"
Alvero menoleh dan menatap Wulan yang sekarang menatapnya. "Berani sekali kalian ganggu cewek gue!"
"Cewek lo? Mana mungkin lo pacaran sama cewek gembel kayak dia."
Alvero tersenyum miring dia mendekati Wulan dan merengkuh bahunya. "Lo tahu kan, tidak ada yang boleh mengusik apa yang gue miliki!" Alvero mencium singkat pipi Wulan yang membuat Wulan melebarkan kedua matanya. "Sekarang kalian pergi dan jangan pernah ganggu Wulan."
"Wulan, kali ini lo lolos! Kalau kakak lo gak bayar hutang juga! Lo habis!" ancam Andre sambil berjalan pergi bersama kedua temannya.
"Makasih," kata Wulan sambil melepas tangan Alvero. Dia melanjutkan langkah kakinya tapi Alvero menahan tangannya.
"Rumah lo dimana? Ayo, gue antar," tawar Alvero.
"Gue bisa pulang sendiri."
"Tapi ini udah larut malam, bahaya kalau lo jalan sendiri."
"Gue udah biasa." Wulan melepas tangan Alvero. Dia kembali melangkahkan kakinya pergi tapi Alvero masih terus mengikutinya.
"Ya udah, kalau lo gak mau gue bonceng, gue temani aja lo sampai rumah." Alvero memelankan laju motornya dan berjalan mengikuti Wulan.
Wulan tidak ingin Alvero tahu rumahnya. Dia sengaja berbelok ke gang lainnya. "Gue udah sampai. Lo pergi saja," kata Wulan. Dia berhenti di salah satu rumah sederhana yang berada di gang itu.
Alvero tak juga pergi. Dia menatap Wulan yang masih berdiri di dekat pagar rumah itu.
"Ya udah lo masuk aja. Gue tungguin di sini."
Tidak ada pilihan lain, Wulan masuk ke dalam pagar rumah itu tapi baru beberapa langkah, anjing sudah menggonggong dengan kencang yang membuat Wulan terkejut. Dia berlari keluar dan menjauh dari pagar karena sepertinya anjing itu akan mengejarnya.
Alvero tertawa melihat tingkah Wulan. "Katanya rumah lo, harusnya anjing itu peliharaan lo kan?"
"Ih!" Akhirnya Wulan kembali melangkahkan kakinya. Dia meremat kedua tangannya sendiri karena dia sangat gerogi diikuti Alvero seperti ini. "Lo kenapa masih ngikutin gue?"
"Ya, biar lo aman sampai rumah."
"Oke, setelah lo tahu rumah gue, lo pasti gak akan pernah lagi ikutin gue."
Alvero hanya mengangkat bahunya. Dia mengikuti Wulan masuk ke dalam gang sempit lalu sampai di rumah semi permanen itu.
Alvero menatap gunungan sampah yang terlihat jelas dari rumah Wulan, bahkan bau sampah itu tercium saat tertiup angin.
"Ini rumah kumuh gue. Makasih sudah antar. Maaf, gak bisa nawarin lo masuk karena rumah gue kotor, gak layak buat lo duduki," kata Wulan.
"Ck!" Alvero turun dari motornya dan melepas helmnya. Sekarang dia mengerti, ternyata kondisi ekonomi Wulan yang membuat Wulan menjadi gadis misterius dan minder. "Lo pikir gue cowok apaan. Gue juga udah biasa hidup susah dan keras."
"Gak mungkin. Bokap lo seorang pelatih, lo udah biasa hidup enak."
"Kata siapa? Dari kecil gue dididik keras, kalau gak gitu, gue gak mungkin jadi ketua geng motor dan ditakuti sama si Andre tadi." Alvero duduk menyamping di atas motornya. Sepertinya dia mulai tertarik mengulik kehidupan gelap Wulan.
Wulan hanya terdiam. Dia berdiri di dekat pintu rumahnya yang setengah terbuka itu. "Gue mau masuk, lo pulang aja."
"Oke. Sampai jumpa besok di sekolah." Alvero kembali memakai helmnya. Dia akan melajukan motornya tapi urung karena teriakan dari seorang pria yang sedang berjalan sempoyongan ke arahnya.
"Wulan! Kenapa kamu kabur dari Andre? Kalau kamu kabur dari Andre, berikan aku uang untuk membayar hutang!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!