*
*
BRUK! DAGH!
"Ah! Ssshh, sakit, sakit sakit." Pekik Danastri yang baru saja terguling dari atas ranjang dan dahinya terantuk ranjang.
"Pakai bajumu! Ambil cek nya, dan jangan cari aku lagi!" Desis seorang laki-laki dengan raut dingin menatap Danastri yang belum sadar sepenuhnya.
Sesaat sebelum laki-laki tersebut meninggalkan Danastri, ia akhirnya sadar dan menatap sekeliling dengan heran. Punggung laki-laki yang baru saja bicara padanya juga tidak luput dari pandangan matanya.
Tapi dia tidak mempedulikan kepergiannya. Yang ia pedulikan adalah, "Bukankah aku jatuh di dorong dari tebing?" Bisiknya tertahan, dengan keadaan dahi uang sudah memar dan ketidak percayaan, ia akhirnya berdiri dan duduk di atas kasur.
Wajah melongo Danastri benar-benar tidak dapat dikondisikan. "Bukan mimpi, kan? Sial, apa-apaan ini?!" Tanya Danastri pada dirinya sendiri, hampir menangis.
Tapi rasa sakit dan kebenciannya masih jelas terasa, ketakutannya apalagi, benar-benar bisa membuatnya pingsan saat itu juga.
Danastri akhirnya berbalik, menatap nakas dan menatap kalender duduk yang ada disana. "2000?!" Pekik Danastri. "Tidak mungkin, aku? Ini nyata, kan?!" Pekiknya lagi dengan air mata merembes keluar.
Danastri menangis detik itu juga.
Sampai ia puas menangis, dan berdiri dengan penuh ketegasan. Menyadari kenyataan tersebut, ia dengan mata yang penuh tekad dan kedua tangan yang dikepalkan, "Aku akan memulai semuanya lagi! Sanungga, lihat dan tunggu saja!" Desis Danastri penuh kebencian.
Sanungga, orang yang mendorongnya jatuh dari tebing setelah ia diajak berlibur ke salah satu kawasan wisata yang terkenal pada tahun itu. Tapi kemudian Sanungga berpura-pura kelelahan, pusing dan jatuh yang dengan sengaja mendorongkan tubuhnya pada tubuh Danastri hingga ia juga jatuh dan bergelantungan di tebing.
Danastri masih berpikir positif sesaat sebelum Sanungga akhirnya menginjak tangan Danastri yang berpegangan pada ujung tanah yang dijadikan pijakan, akhirnya Danastri menyadari wajah asli Sanungga. Terlebih, ia dengan jelas melihat senyum liciknya. Membuat Danastri marah dan tidak rela.
Akhirnya ia jatuh, dan merasakan sakit yang teramat, tapi begitu bangun, ia terbangun di kamar hotel yang jelas-jelas bukan kamar biasa. Lebih ke kamar vip jika melihat dekor dan luasnya ruangan tersebut.
Danastri ingat, ia memang pernah mengalami hal ini sebelumnya, tetapi ia jelas-jelas bangun sendirian di kamar ini di masa lalu. Tapi baru saja, siapa laki-laki itu tadi?
"AH! AKU TELANJANG!" Teriaknya histeris. Dengan cepat masuk ke dalam selimut dengan wajah panik. "Bukankah laki-laki tadi melihatnya begini juga?!" Lanjutnya tambah frustasi. Ia kemudian mengingat perkataan laki-laki tersebut yang semakin membuatnya berteriak kesal dan frustasi.
Apa-apaan? Dia dijadikan wanita bayaran olehnya? Maksudnya dirinya habis dipakai olehnya?! Bukan begitu?! Pikir Danastri, nelangsa sendiri.
Tapi kemudian ia melihat cek di atas meja di kamar hotel, dekat dengan kalender yang dilihatnya sebelumnya. Melihat angka dan nol di atasnya, matanya jelas membulat sempurna. "50 juta!" Pekiknya lagi, dengan refleks membuka selimut dan mengambil cek tersebut.
"Baiklah, setidaknya ada hal baik." Ucap Danastri, meski kesal, ia tetap akan menggunakan uang tersebut sebagai modal awal bagi kesuksesan dirinya. Tentu saja ia akan membuka bisnis untuk menghidupi diri dan membawa orang tuanya ke kota juga.
Tapi sebelum itu, pertama-tama Danastri bangkit dan mencari pakaian miliknya yang berserakan dilantai, kemudian memakainya. Setelahnya ia duduk dan dengan tekad ia mengatakan. "Balas dendam akan tetap berlangsung, meski aku mulai berbisnis, Sanungga!" Desis Danastri dengan mata memerah.
Ia berjanji, akan membalas rasa sakitnya di masa lalu berkali-kali lipat, pada dirinya sendiri.
"Pukul 10 pagi. Yah, waktu yang tepat." Ucapnya seraya berdiri dan meninggalkan hotel dengan tas berisi cek 50 jutanya, meski sedikit kesulitan berjalan karena rasa sakit di area sensitifnya.
Waktu yang tepat, karena Sanungga sedang mencari dirinya yang hilang kurun waktu tersebut. Dimana Sanungga dan Kartika istri pertamanya akan membawa Danastri ke rumah sakit untuk pemeriksaan rahim.
Benar, ini adalah awal mula ia dipermainkan dikehidupan sebelumnya.
Sudah 6 bulan sejak ia datang ke kota bersama Sanungga yang berpura-pura melamarnya menjadi istri dengan sikap baik. Selama 6 bulan pula, Sanungga tidak pernah menyentuh Danastri dengan berbagai alasan sibuk dan sakit.
Kemudian Danastri dibawa ke rumah sakit olehnya, dan disini Danastri mulai mengenal Kartika. Awal mula jerit kesakitan karena ditipu muncul kepermukaan. Tapi kemudian rasa sakitnya jelas menjadi lebih, dan lebih sakit ketika Danastri tahu jika Sanungga tidak pernah menyentuhnya karena ia hanya akan dijadikan sebagai rahim pengganti.
Benar-benar hanya rahim pengganti. Karena calon bakal bayi yang dikandungnya berasal dari sel telur dan sel sperma milik Kartika dan Sanungga. Danastri benar-benar dijadikan wadah saja, karena Kartika tidak bisa hamil.
Bukannya tidak bisa, tetapi rahimnya lemah, setiap kali hamil ia selalu mengalami keguguran. Alhasil, temannya menyarankan metode fertilisasi in-vitro lewat orang lain. Dan dengan kejamnya, Danastri lah yang ditipu dan menjadi wadah tersebut.
Di masa lalu, proses ini berhasil dan Danastri hamil anak kembar. Membuat pasangan Sanungga dan Kartika memperlakukan Danastri bagai harta berharga yang harus dilayani dan diperlakukan dengan baik.
Danastri terlena oleh kebaikan keduanya, dia perlahan menerima takdir dan ikhlas dengan jalan hidupnya, tapi siapa sangka, setelah anak kembarnya lahir, satu tahun kemudian ia mulai disinisi oleh Kartika, perilaku Sanungga juga mulai berubah-ubah, sampai akhirnya ia diajak berlibur ke tempat wisata lokal yang disetujui Danastri tanpa pikir panjang.
Ia hanya berpikir ini merupakan cara permintaan maaf Sanungga padanya karena bersikap buruk akhir-akhir ini, tidak tahu jika akhirnya ia akan dijahati dan dibunuh, didorong jatuh dari tebing.
"Danastri! Sayang, kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak pagi. Apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi kemarin setelah kita pulang dari perjamuan?" Tanya Sanungga dengan panik, menyambut Danastri yang baru saja sampai ke rumah keduanya sejak datang ke kota.
Danastri mencibir dalam hati, dengan sinis mengatai dan memaki Sanungga disana, bahkan memujinya jika aktingnya benar-benar buruk, kenapa ia bisa tertipu dulu?
"Aku keluar membeli sayur, rencananya mau membuat sup pengar agar kau merasa baikan setelah mabuk berat semalam." Ucap Danastri seraya tersenyum dan menunjukkan belanjaan pada Sanungga.
Benar, ia kembali, hanya untuk berganti baju dan mengambil tanda pengenal Sanungga. Ia membutuhkannya untuk mencairkan uang dari cek.
Pada tahun ini, bank tidak gampang percaya pada nasabah. Jadi, Danastri mau tidak mau menyusun rencana ini. Akan mengambil uang dengan berpura-pura sebagai pegawai dari Sanungga Maskeiru, direktur pimpinan perusahaan Maskeiru.
*
*
*
*
Setelah memastikan Sanungga tertidur lagi di bawah pengaruh obat tidur yang ia berikan di sup pengar buatannya, Danastri tersenyum puas, dan mulai mengganti baju serta mengambil tanda pengenal Sanungga.
Setelahnya, ia bergegas pergi ke bank dengan menggunakan mobil milik Sanungga.
Dengan tas besar, ia memasuki bank dan mulai melakukan transaksi, mencairkan uang dari cek yang di dapatnya.
Kebetulan cek tersebut adalah cek umum yang digunakan banyak orang, maksudnya adalah cek yang tidak ada trade mark di atasnya. Jadi Danastri dengan mudah menarik uang, setelah ditanyai identitas dan lainnya.
Senyum Danastri merekah, setelah mengucapkan terimakasih, ia lantas pergi dengan tas besar tersebut. Di dalam mobil, ia mengganti tas tersebut dengan keresek karung kecil dan dilapisi lagi dengan keresek hitam.
Setelahnya, ia melajukan mobil, mampir ke kios pinggir jalan yang menjual baju murah, dan mengganti baju dengan cepat di dalam mobil. Menumpuk baju jelek di atas uang agar tidak dicurigai dan dicuri orang-orang jahat.
Mobil melaju lagi, Danastri menuju pelabuhan. Tapi ditengah jalan, ia berhenti sebelum mobil mengarah ke pelabuhan untuk mengelabui, dan keluar dari mobil dengan keresek hitam di jinjingannya. Berjalan jauh, sampai ia merasa cukup jauh, iapun mulai menaiki angkutan umum yang jarang lewat pada tahun 2000 an untuk pergi ke pelabuhan.
Banyak orang di angkutan umum yang terlihat sama dengan penampilan Danastri saat ini. Jadi semua orang hanya mengabaikannya, tidak tertarik sama sekali padanya.
Sampai dipelabuhan, ia naik kapal menuju tempat tinggal dirinya sebelumnya, di desa. Yang langsung sampai ke desanya tersebut.
Di perjalanan, ia hanya makan dua roti uang dibelinya dari penjual keliling di kapal. Mencoba untuk tidak mencolok sama sekali.
Ia menunggu dan diam di kapal selama kurang lebih 5 jam, sampai ke desa sekitar pukul 8 malam. Dan ia adalah satu-satunya orang yang datang ke desanya pada saat ini.
Desanya gelap, hanya ada sedikit cahaya dari obor dan bulan. Suasananya juga sangat sepi, karena pada saat ini, pada jam ini, pada tahun 2000, semua orang jelas sudah terlelap di rumahnya masing-masing setelah beraktifitas di siang hari. Tapi di tepi pantai akan menjadi ramai ketika tengah malam tiba, karena lara nelayan akan pergi berlayar lada jam ini. Mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada saat ini, Danastri menghela nafas lega karena sampai di jam-jam sepi seperti ini. Jadi, tidak akan ada warga yang melihatnya datang. Juga, tidak akan ada warga yang melihatnya pergi bersama keluarganya dalam dua jam ke depan.
Danastri menghirup nafas dalam-dalam, kedua matanya sudah basah, tapi ia tetap berjalan dengan penuh kerinduan di sepanjang jalan menuju rumahnya dengan keresek yang masih dijinjingnya.
Sampai akhirnya ia sampai di depan rumah, mengetuk pintu di keheningan malam dengan memanggil-manggil nama Ayah dan Ibunya.
"Bapak, Ibu, ini Tri... Tri pulang, Bapak, Ibu..." Panggilnya dengan suara sedang. Tidak akan terdengar oleh tetangga, sebab pada tahun ini, rumah setiap orangnya berjarak.
Terdengar suara dari dalam rumah, dan Danastri menghela nafas lega dengan senyum kecil. Ayah dan ibunya tidak akan pernah mengabaikannya. Mereka adalah orang yang paling menyayangi dia dan adiknya Wudira.
"Tri? Benar-benar kamu? Cepat, masuk, di luar dingin." Ucap Ayah Danastri, dan ibunya dengan cepat menyambutnya, membawanya masuk ke dalam.
*
"Bajingan!" Pekik Ayah Danastri tertahan. Rautnya penuh amarah dan matanya memerah. Jelas sangat marah setelah mendengar cerita Danastri tentang dirinya yang ditipu dan dijadikan rahim pengganti.
"Bapak, Tri sudah menjelaskan semuanya, ayo kita pergi secepatnya dari sini sebelum Sanungga mendatangi Tri dan membawa Tri kembali ke kota." Ucap Ibu Danastri dengan tergesa-gesa. Meski ia sama marahnya sampai menangis tersedu-sedu memeluk Danastri yang sama tersedunya, ia masih bisa berpikir dengan rasional.
Bukan waktunya marah, semuanya memang datang terlalu cepat, tetapi tidak ada waktu untuk marah. Jadi ketiganya dengan cepat bersiap.
Danastri dan Ibunya menyiapkan makanan dan beberapa potong pakaian, pakaian hangat serta selimut untuk diperjalanan, sedangkan Bapak Danastri menggendong adiknya, Wudira yang masih terlelap di atas dipan bambu. Umurnya masih sangat belia, masih sekitar 4 tahun, jadi ia tidak terganggu sama sekali ketika digendong oleh Bapak Danastri.
Kemudian keempatnya menuju tepi pantai, menuju salah satu kapal yang paling besar, yang paling memungkinkan bisa dibawa oleh Bapak Danastri untuk pergi ke kota lain dengan kapal tersebut.
Bapak Danastri awalnya ragu, tetapi ketika Danastri meninggalkan segepok uang dan tulisan di atas kapal lain, akhirnya ia mulai mengemudikan kapal tersebut dengan perasaan lega.
Detik itu juga, pada pukul 10 malam, sekitar satu jam setengah sebelum tepi pantai ramai oleh warga desa yang hendak mencari ikan datang. Danastri dan keluarganya benar-benar pergi dari desa tersebut tanpa sepengetahuan satu orang pun.
Sampai akhirnya, para laki-laki di desa sampai di tepi pantai, melihat kapal yang paling besar hilang, keriuhan terjadi. Kepala desa dipanggil, dan pemilik kapal jelas tertekan karena ini.
Tapi setelah sekitar 15 menit tertekan, seorang pemuda menemukan segepok uang dengan catatan kecil di atasnya.
'Pak Awil, maaf mengambil kapalmu tanpa izin. Ini uang untuk menggantikan kapalmu. Semoga lebih dari cukup.'
Akhirnya, pak Awil selaku pemilik kapal pun mengikhlaskan kapalnya. Karena uang uang diberikan Danastri lebih dari cukup untuk ukuran kapal tersebut di tahun 2000 an.
Keriuhan diakhir dengan para lelaki di desa yang pergi, melanjutkan niat awalnya melaut untuk mencari ikan.
Sampai keesokan paginya, desa kembali ramai. Setelah keriuhan di malam hari, ketika matahari bersinar, orang-orang dari kota datang dan menuju rumah Danastri.
Para tetangga yang melihat hal tersebut jelas penasaran dan mengikuti orang-orang ini. Kemudian ketika orang-orang dari kota mulai maraj dan menendang pintu rumah Danastri sampai rusak, oara tetangga terkejut dan mundur satu persatu.
"KEMANA?! KEMANA DANASTRI DAN KELUARGANYA PERGI?!" Teriak Sanungga, orang yang dikenal ramah dan baik oleh warga desa, mendadak mengeluarkan wajah aslinya.
Warga desa jelas ketakutan, alhasil kepala desa kembali muncul untuk menuntaskan masalah. Tetapi Sanungga tidak mau berdamai, ia malah membuat kepala desa jatuh, membuat warga desa beramai-ramai mengusirnya.
"Kami tahu Danastri dan keluarganya seperti apa! Tidak mungkin mereka pergi jika mereka tidak di zolimi!"
"Benar! Mereka begitu baik hati sehari-hari!"
"Justru kamu! Monster yang akhirnya menunjukkan wajahnya!"
"Pantas saja keluarga Danastri melarikan diri!"
"Pergi dari desa kami!"
"Ya, pergi! Untuk apa merusak fasilitas dan melukai kepala desa kami!"
"Pergi!"
"Pergi!"
*
*
*
*
Meninggalkan keramaian dan keriuhan di desa, Danastri dan keluarganya, saat ini masih terombang-ambing di laut, menuju salah satu kota tetangga membutuhkan waktu sekitar satu hari, tapi Danastri memilih menuju dua kota berikutnya jadi butuh sekitar empat hari sebelum akhirnya ia menepi dipelabuhan, di waktu yang berbeda dengan waktu ketika ia datang ke desa, kini ia sampai ketika pagi menjelang.
Tetapi Danastri dan keluarganya jelas berpindah kapal ketika menuju dua kota berikutnya, karena kapal tersebut tidak memungkinkan.
Kalau memaksakan menggunakan kapal tersebut, ia akan sampai sekitar 10 hari karena kecepatan kapal tersebut tidak secepat kapal yang biasa dijadikan transportasi antar kota.
Begitu sampai, ia mengajak tiga orang keluarganya untuk sarapan lebih dulu di pelabuhan. Baru setelahnya, ia mengunjungi kantor sipil untuk mendaftarkan rumah tangga sebagai penduduk pindahan dari kota lain.
Untuk menutupi identitas, Danastri tidak merubah nama, tetapi merubah kota tempat tinggal mereka dulu. Agar Sanungga yang punya kuasa, tidak akan mudah menemukan mereka.
Meski sudah jauh, dan tidak mungkin bagi Sanungga menyusulnya ke kota tersebut, karena ia sama sekali tidak mendapat informasi apapun dari warga desanya tentang keluarganya yang pergi melarikan diri dengan kapal di desa.
Tapi Danastri tetap ingin berjaga-jaga, ia dan keluarganya bagaikan tikus kecil di mata Sanungga yang saat ini berkuasa.
Maka dari itu, ia lebih memilih melarikan diri bersama keluarga dan membuka lembaran hidup baru. Membangun kerajaan bisnisnya sendiri, agar ia bisa setara, bahkan melebihi kekuasaan Sanungga, memudahkannya membalas dendam.
Pada saat ini, semuanya masih terbelakang, jadi pencatatan sipil pun masih dengan serba kertas dan pena. Jadi akan sulit bagi Sanungga menemukan keluarganya, meski ia mencarinya di seluruh penjuru kota.
Tapi, mengingat hal ini, daripada mencarinya dan membuang-buang waktu, Danastri pikir, Sanungga lebih mungkin mencari wanita baru daripada dirinya yang tidak jelas keberadaannya. Dan Danastri hanya bisa meminta maaf dalam hati jika benar-benar ada wanita yang menggantikan posisinya saat ini. Semoga, ia lebih beruntung dari pada dirinya yang berakhir menyedihkan dan tragis.
"Bapak, Ibu, maaf membuat kalian melarikan diri bersama Tri..." Ucap Danastri dengan raut sendu menatap Ayah dan ibunya, serta adiknya dengan tatapan bersalah.
"Nduk, tidak, jangan begitu. Kami rela meninggalkan tempat itu demi keselamatan kita semua. Karena meskipun semisal hanya kau yang melarikan diri, tidak menjamin kita bertiga akan tetap aman di desa." Jelas Ibu Danastri seraya mengusap bahunya.
"Benar, nak, bapak setuju dengan ibu. Apalagi setelah mendengar betapa liciknya Sanungga, bapak yakin dia tidak akan melepaskan kita. Adalah hal benar bagimu membawa kita semua pergi." Timpal Ayah Danastri tak kalah lembutnya.
Danastri menatap keduanya dengan penuh rasa syukur. Ia bersyukur memiliki orang tua yang sayang dan mendukung dirinya kapanpun dan dimanapun. Keduanya bahkan percaya sepenuhnya pada dirinya tanpa banyak bertanya dan menyanggah.
Benar, keluarhanya kebih percaya pada putri sulung yang selama 20 tahun dibesarkan oleh keduanya dibanding Sanungga yang baru datang beberapa bulan dalam hidup mereka.
"Bapak, Ibu, terimakasih..." Ucap Danastri seraya memeluk keduanya dan menangis.
"Sudah, sudah, ayo makan dulu. Bukankah kau bilang setelah dari kantor catatan sipil ini, kita akan mencari rumah? Maka bergegaslah, sebelum hari menjadi gelap dan kita malah menjadi gelandangan di kota orang, hahaha." Ucap Ayah Danastri bercanda, sehingga suasana diantara keempatnya berangsur-angsur mencair. Bahkan si kecil Wudira juga mulai tersenyum, setelah kebingungan dan takut dalam beberapa hari ini, menghadapi dunia luar yang asing baginya.
*
"Kita sudah menjadi warga kota, selanjutnya beli rumah dan tinggal dengan nyaman." Ucap Danastri tersenyum, menatap catatan rumah tangga atau kartu keluarga dan tanda pengenal setiap orang ditangan.
Tentu saja Danastri membayar mahal atas semua hal tersebut, jika tidak, maka hal-hal ini tidak akan bisa dibuat dengan cepat. Bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya jika ia mengikuti aturan antri. Tapi demi kenyamanan, ia rela mengeluarkan uang.
"Tri, sekalian tanyakan pada petugas, dimana kita bisa membeli rumah di kota ini." Ucap Ayah Danastri.
Danastri akhirnya menganggukkan kepalanya dan kembali memasuki kantor catatan sipil. Setelah beberapa menit bertanya, akhirnya ia di arahkan ke sisi selatan kota, tidak jauh dari kantor, hanya sekitar 2 jam an menuju tempat pembelian rumah.
Keempatnya menunggu di sisi jalan, menaiki angkutan umum yang bisa membawa keempatnya menuju tempat pembelian rumah. Sampai 2 jam berlalu, dan keempatnya sampai.
Danastri langsung masuk untuk menanyakan rumah yang akan dibelinya. Disambut pegawai, Danastri dengan lugas menjelaskan keinginannya tentang rumah.
Tapi beberapa orang melihat penampilan Danastri yang terlihat lusuh. Akhirnya pembelian tertunda karena orang-orang ini. Kemudian, orang yang melayaninya membela Danastri dan keluarga, sampai Danastri melihat gambar rumah yang sesuai dengan kriterianya, dan langsung membelinya secara cash.
10 juta adalah harga yang fantastis pada tahun 2000, karena gaji umr per bulan di ibukota saja hanya sekitar 300 ribuan, jadi kedua orang tuanya bahkan menenangkan Danastri untuk memastikan jika ia tidak ditipu dan tidak gegabah.
Danastri kembali menenangkan keduanya dan akhirnya membeli rumah tersebut, alhasil kini, ia dan keluarganya berada di rumah yang jelas-jelas akan menjadi miliknya di masa depan.
Benar, pertama-tama Danastri meminta pegawai mengantarnya melihat rumah, untuk memastikan kebenaran rumahnya. Setelah rumah satu lantai bergaya klasik tersebut dengan halaman yang luas dan dinding yang dibangun dengan batu bata, terlihat sangat kokoh, Danastri akhirnya tidak segan membelinya.
Di ibukota, harga rumah tersebut kemungkinan besar bisa mencapai 50 sampai 70 juta. Tapi di kota ini, jelas masih sangat murah. Jadi ia tidak ragu lagi dan langsung menyelesaikan transaksi jual beli dengan pegawai tersebut yang semakin ramah saja pada Danastri.
Setelah transaksi dan mendapatkan surat-surat kepemilikan rumah dengan persyaratan yang telah selesai dilewati, akhirnya rumah tersebut benar-benar menjadi milik Danastri dan keluarganya. Dan yang membuat Danastri semakin yakin membelinya adalah karena rumah tersebut, sudah lengkap dengan perabotannya.
Hanya perabotan kecil yang belum ada, seperti alat masak, alat makan, dan alat kebersihan rumah, perabotan yang lebih besar seperti lemari, meja, kursi, sofa, meja makan, lampu, sudah tersedia.
Peralatan elektronik jelas berbeda, hal tersebut harus dibeli baru jika Danastri menginginkannya saat ini.
"Tri, kemari, ada yang mau bapak dan ibu bicarakan." Ucap Ayah Danastri, yang sudah duduk di sofa baru di rumah baru.
"Ada apa, pak, bu?" Tanya Danastri sedikit gugup ketika melihat wajah serius keduanya.
"Nduk, kami tidak meragukanmu sama sekali, tapi kami ingin tahu, darimana sebenarnya kau dapat banyak uang ini?" Tanya Ibunya.
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!